Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Minggu, 31 Januari 2021

Analisis Kasus Waris di Adat Batak Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata (doc)

Januari 31, 2021 1



Analisis Kasus Waris di Adat Batak Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata

Permasalahan :
Keluarga Ayah Dani terdiri dari 7 orang yang terdiri dari 4 perempuan dan 3 laki-laki, namun 1 perempuan telah meninggal dunia. Pada masa hidup, kakek/nenek Dani tidak sempat membuat pembagian tanah warisan, dan saat nenek Dani meninggal dunia, surat tanah dipegang oleh adik Ayah Dani. Sampai sekarang pembagian tanah warisan tidak dilakukan. Sudah dilakukan pengukuran luas tanah dan pembagian tanah di hadapan kepala lingkungan, namun pemecahan surat tanah untuk 6 pewaris tidak dilakukan secara hukum karena surat tanah ditahan oleh adik Ayah Dani. Ayah Dani sudah menyarankan untuk memecah surat tanah agar Ayah Dani mendapatkan hakny, namun adik Ayah Dani tidak melakukan pemecahan surat tanah di notaris. Lalu, bagaimana penyelesaian pembagian tanah warisan baik secara Hukum Adat di Batak dan secara Hukum Perdata apabila surat tanah ditahan oleh salah satu pewaris?

Penyelesaian :
Menurut Hukum Adat

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat saya analisis atau tanggapadan sebagai berikut : Di Indonesia dikenal beberapa hukum waris yaitu berdasarkan KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat. Pada dasarnya, hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Contohnya pada kasus di atas yakni di Adat Batak. Menurut hukum adat Batak yang menganut prinsip kekeluargaan yang patrilineal, di mana dalam prinsip ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris adat sangat kuat. Misalnya pada masyarakat adat Batak, yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja. 

Juga sebagian besar daerah hukum adat di Indonesia, yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki. Hal ini didasarkan pada keadaan bahwa anak laki-laki paling besar tanggung jawabnya terhadap keutuhan keluarga dan ia dianggap sebagai pengganti/penerus ayahnya. Di tanah Batak (yang menganut system patrilineal), yang merupakan ahli waris itu hanyalah anak laki-laki. Di sini, semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Adapun anak perempuan tidak berhak mendapat warisan (karena perkawinannya keluar dari kerabat bapaknya). 
Hal ini juga terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun menurun dari marga ayahnya. Dari hal tersebutlah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Dalam pembagian warisan orang tua, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. 
Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut Siapudan, dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dia mendapatkan warisan berupa tanah pusaka, rumah induk atau rumah peninggalan orang tua dan harta lainnya dibagi rata oleh semua anak laki-lakinya. Si anak bungsu tersebut juga tidak boleh meninggalkan kampungnya. Jika tidak memiliki anak laki-laki, hartanya akan jatuh ke tangan saudara ayahnya. Saudara ayah tersebutlah yang menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka menikah. 

Menurut Hukum Perdata
Selain dianalisis dari hukum adat, hukum waris juga bisa dianalisis sesuai dengan hukum perdata melalui KUHPerdata. Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah : 
Harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian (Pasal 830 KUHPerdata);
Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. 
Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan bukan merupakan ahli waris dari pewaris. 
Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek, atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yag berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu :
Golongan I : golongan ini terdiri dari suami-istri dan anak beserta keturunannya, yaitu anak beserta keturunannya dan suami atau istri yang hidup terlama;
Golongan II : golongan ini terdiri dari orang tua, saudara laki-laki atau perempuan dan keturunannya. Menurut Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata, apabila tidak ada ahli waris dalam golongan pertama, maka warisan jatuh kepada golongan kedua;
Golongan III : golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun dari garis ibu (Pasal 853 KUHPerdata). Golongan ini tampil apabila ahli waris dari Golongan I dan Golongan II tidak ada lagi. Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dalam garis ibu dan garis ayah ke atas adalah kakek dan nenek, kakek buyut dan nenek buyut terus ke atas dari garis ayah maupun dari garis ibu. Berdasarkan Pasal 853 KUHPerdata, pembagian warisan dibagi dalam dua bagian terlebih dahulu (kloving). Satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan satu bagian untuk keluarga sedarah sedarah dalam garis lurus ibu ke atas. Dengan demikian, dalam pewarisan Golongan III in, otomatis terjadi kloving atau pembelahan harta warisan dalam dua bagian.
Golongan IV :  menurut pasal 858 ayat (1) KUHPerdata, dalam hal tidak ada saudara (Golongan II) dan saudara dalam sat ugaris lurus ke atas (Golongan III), maka setengah bagian warisan menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup. Adapun setengah bagian lainnya, menjadi bagian para sanak saudara dalam garis yang lain. Pengertian “sanak saudara” dalam garis lurus yang lain ini adalah para paman dan bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Mereka ini adalah ahli waris Golongan IV.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap garis sebagai akibat kloving, pewarisan juga dianggap sebagai suatu pewarisan yang berdiri sendiri. Dalam masing-masing garis sekalian keluarga sedarah dalam derajat yang sama, mewaris kepala demi kepala. Pada dasaranya di dalam Golongan IV, tidak dikenal adanya penggantian tempat sebagaimana dikenal dalam Golongan I dan Golongan II. 
Read More

Makalah Pengertian Penghapusan Pidana (doc)

Januari 31, 2021 0



Pengertian Penghapusan Pidana

Alasan penghapus pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda strafuitsluitingsgrond, yang dapat diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan ….. tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan ….. meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi …. dijatuhi pidana. KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan alasan penghapus pidana dan perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya menyebutkan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana saja. Pembahasan mengenai hal tersebut berkembang melalui doktrin dan yurispridensi.

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus pidana tersebut.

Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan dan hapusnya pidana. Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut umum telah melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak dapat mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya.
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat.

Alasan Penghapusan Pidana

Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu:
1.      perbuatannya bersifat melawan hukum.
Perbuatan yang didakwakan tersebut harus terbukti memenuhi rumusan tindak pidana yang didakwakan (melawan hukum formal), bertentangan dengan tata nilai atau norma-norma hukum yang berlaku umum dalam masyarakat (melawan hukum materiil) dan tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan tersebut (alasan pembenar).
2.      Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Alasan dapat bersifat umum (disebut general defence), artinya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana pada umumnya, dan dapat pula bersifat khusus (disebut special defence) yang hanya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana tertentu.
Yang termasuk general defences antara lain:
a.       Compulsion (Paksaan).
b.      Intoxication (Keracunan/mabuk alkohol).
c.       Automatism (Gerakan refkleks).
d.      Insanity (Kegilaan/ ketidakwarasan).
e.       Infancy (anak dibawah umur).
f.       Consent of the victim (Persetujuan korban).[1]
Yang termasuk special defence antara lain:
a.       Dalam hal delik abortus, apabila hal itu dilakukan berdasarkan alasan-alasan, antara lain:
1.      kehamilan itu (apabila diteruskan) akan membahayakan keselamatan jiwa si ibu.
2.      kemungkinan anak yang lahir akan menderita cacat fisik atau cacat mental yang cukup serius.
b.      Dalam hal menerbitkan atau mempublikasikan tulisan-tulisan cabul, apabila hal itu dibenarkan demi kebaikan umum, demi kepentingan ilmu pengetahuan, seni dan sebagainya.[2]

Dasar Penghapus Pidana

Harus dibedakan antara dasar peniadaan pidana, seperti penulis diuraikan dengan dasar peniadaan penuntutan. Dasar peniadaan ditujukan kepada hakim, sedangkan dasar peniadaan penuntutan ditujukan kepada penuntut umum. Seperti telah diuraikan, bahwa dasar peniadaan pidana terbagi atas dua bagian, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari pandangan dualistis maka dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan, dan terdakwa seharusnya dibebaskan, sedangkan bilaman terdapat dasar pemaaf berarti perbuatan kriminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan.[3]
Suatu contoh tentang dasar penghapusan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu. Dalam hal lewat waktu ini, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: seandainya penuntut umum mengadakan penuntutan, maka akan ditolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
Hilangnya hak menuntut karena lewat waktu diatur dalam pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena diatur didalam pasal 76 KUHP. Di situ dikatakan “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah, maka orang tidak dapat dituntut sekali lagi sebab perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Indonesia dengan keputusan yang telah tetap.[4]

Pembagian Alasan Penghapus pidana

Di dalam titel ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pidana, yaitu:
1.      Tak mampu bertanggung jawab, dalam Pasal 44 (1) yaitu:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dpertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana”.
2.      Belum berumur 16 tahun  , dalam Pasal 45 yaitu:
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun: atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun”.
3.      Daya Paksa (overmacht), dalam Pasal 48 yaitu:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
4.      Pembelaan terpaksa, dalam Pasal 49 (1) dan (2) yaitu:
Ayat (1) “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kahormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
Ayat (2) “pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
5.      Ketentuan Udang-undang, dalam Pasal 50 yaitu:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.
6.      Perintah jabatan, dalam Pasal 51 (1) dan (2) yaitu:
Ayat (1) “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksakan perintah jabatan yang di berikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”
Ayat (2) “perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira perintah diberikan dengan wewenang dan pelksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
7.      Pemberatan karena jabatan, dalam Pasal 52 yaitu:
“bila seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekkuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat di tambah sepertiga”.[5]
Selain itu, terdapat pula didalam buku ke dua KUHP yaitu Pasal 310 ayat 3. Menurut Prof. Moeljatno, S.H alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:
1.      Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar, yang termasuk alasan pembenar yaitu :
a.       Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP
Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) ;
1.      tidak ada jalan lain.
2.      kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan.
Contohnya ; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang.
b.      Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) yaitu:
1.      Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda;
2.      Serangan itu bersifat melawan hukum;
3.      Pembelaan merupakan keharusan;
4.      Cara pembelaan adalah patut.
c.       Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP.
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus diutamakan.
Contohnya; seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah dilarang, namun karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya tersebut tidak dapa dipidana.
2.      Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum. Jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak di pidana, yang termasuk dalam alasan pemaaf yaitu:
a.       Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa. Pada dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan perbuatannya.
b.      Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61), daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada papan yang sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut akan mati tenggelam, maka salah seorang mendorong yang lainnya.
c.       Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi : “orang yang melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan tersebut dilakukannya karena sangat panas hatinya disebabkan oleh serang itu, tidak dipidana”. yang dimaksud dengan melampaui  pembelaan yang perlu ialah tidak seimbang antara pembelaan yang diberikan dengan akibat yang timbul. Hal ini disebabkan antara lain alat yang digunakan untuk membela diri tidak seimbang dengan alat yang digunakan lawannya. (misalnya; mempergunakan sepotong besi sedangkan lawannya rotan). Pembelaan melampaui batas (Noodweer exces) adalah suatu alasan pemaaf (schulduitluitingsgrond) karena perbuatan yang melampaui batas pembelaan itu tetap melawan hukum hanya pembuat yang tidak mempunyai kesalahan.
d.      Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wewenang.
Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi: “Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiabn pegawai yang dibawah perintah tadi”.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) menerangkan melaksanakan  Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wenang tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat:
a.       Secara subyektif yang diperintah itu tegoedertrouw yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah dan,
b.      Secara obyektif adalah masuk akal karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.
3.      Alasan penuntutan, disini masalahnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Jadi, tidak ada pikiran mengenai sifat perbuatan maupun sifat orang yang melakukan perbuatan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak di tuntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. Contoh: Pasal 53 kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya untuk melakukan suatu kejahatan.[6]
Alasan-alasan yang dimuat dalam perundang-undangan untuk hapusnya hak penuntutan adalah:
1.      Adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi : “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah,orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap”.
Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, upaya hukum tidak dapat digunakan lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut,dapat berupa:
a.       Putusan bebas.
b.      Putusan lepas dari segala tuntutan hokum.
c.       Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.
d.      Putusan pemidanaan.
2.      Kematian orang yang melakukan delik
Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi: “hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya  si tersangka.”
3.      Daluwarsa
Hal ini diatur dalam pasal 78 KUHP yang berbunyi: hak untuk penuntutan pidana hapus karena daluwarsa :
a.       Dalam satu tahun bagi semua pelanggaran dan bagi kejahatan yang    dilakukan dengan percetakan.
b.      Dalam enam tahun bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan denda, hukuman kurungan atau hukuman penjara, yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun.
c.       Dalam dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara sementara yang lamanya lebih dari tiga tahun.
d.      Dalam delapan belas tahun bagi semua kejahatan, yang diancam dengan hukuman mati  atau hukuman penjara seumur hidup.
Untuk orang,yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun,tenggang daluwarsa yang tersebut diatas itu, dikurangi sepertiga.”
4.      Penyelesaian perkara di luar pengadilan
Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Hak penuntutan pidana kerena pelanggaran,yang atasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum denda serta juga biaya perkara.”
Ketentuan diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi.hal ini diatur demikian untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi aparat penunan
1.      Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana.
2.      Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu:
a.       perbuatannya bersifat melawan hukum.
b.      Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau peruatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.
3.      Di dalam titel ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkanidana, yaitu:
a.       Tak mampu bertanggung jawab.
b.      Belum berumur 16 tahun.
c.       Daya Paksa.
d.      Pembelaan terpaksa.
e.       Ketentuan Udang-undang.
f.       Perintah jabatan.
g.      Pemberatan karena jabatan.

B.     Saran-Saran
1.Makalah Hukum Pidana ini diharapkan menjadi masukan dan bahan tambahan dalam memahami perkara-perkara Demokrasi.  Penulis juga mengharapkan makalah ini dapat dikembangkan oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Andi Hamzah,  Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ismu Gunawan, dkk, Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Pranata Group, 2014.
Zainal Abidin Farid,  Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.


[1]Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal, 50-51.
[2] Barda Nawawi Arief.…, hal, 51.
[3] Zainal Abidin Farid,  Hukum Pidana I, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), hal, 401.
[4] Andi Hamzah,  Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),  hal, 139.
[5] Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal, 69-70.
[6] Pipin Syarifin…., hal, 70

Read More

Makalah Landasan Historis, filosofis, sosiologis, serta yuridis berlakunya syariat islam di Aceh - Studi Syariat Islam di Aceh (doc)

Januari 31, 2021 0




Landasan Historis Syariat Islam di Aceh

Syariat Islam di Aceh mengalami pasang surut mulai dari pemerintahan Bandar Khalifah (Kerajaan Aceh) hingga sekarng. Pada zaman kekhalifahan kerajaan Aceh banyak sudah tercapainya syariat Islam. Namun, tidak pernah juga terlaksana dengan sempurna, meski Aeh pada saat itu telah dakui oleh kerajaan Islam lainnya didunia.
Setelah datangnya Belanda dan seiiring runtuhnya kerajaan Aceh. Syariat Islam mengalami kemunduran, baik karena pengaruh dari budaya asing maupun kesulitan para Ulama dan Umara dalam menjalankannya. Karena ditekan oleh pemeritahan Hindia Belanda. Pada saat itu rakyat Aceh lebih memperhatinkan tentang perang sabil atau perang dijalan Allah untuk mengusir para penjajah.
Setelah Indonesia merdeka. Aceh tidak juga mendapatkan kewenangan untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Sehingga banyak menimbulkan konflik antara DI/TI yang dipimpin oleh Daud Berue’euh. Kemudian juga berdirinya GAM. Namun, pada tahun 2004 terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak yang lebih dikenal dengan MOU Helsingki.

Termasuk didalam butir-butir MOU adalah memperbolehkan kepada pemerintahan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Sayangnya sampai sekarang pelaksanaan syariat Islam masih mempunyai perdebatan baik dalam penetapan qanun-qanun maupun penentang keras terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Syariat islam memang merupakan tuntutan masyarakat, dikarenakan penduduk Aceh mayoritas muslim dan orang Aceh 100% muslim. Seorang antropolog belanda B.J. Boland, setelah melakukan penelitian  di Aceh mengatakan “being an Acehnese is equivalent to being a muslim” (menjadi orang Aceh identik dengan menjadi Muslim).[1] Sejak zaman kesultanan, abad ke-17, Nanggroe Aceh telah menjadikan syariat islam sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan untuk masyarakatnya. Undang-undang itu disusun oleh ulam atas perintah atau kerja sama dengan umara[2].
Lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab yang menjadi rujukan para hakim dan semua aparat penegak hukum di Aceh pada waktu itu. Di antara para ulama yang berkiprah pada waktu itu adalah Nuruddin Ar-Raniry (w. 1685 M) Syamsuddin al-Sumatrani (w.1661 M) dan Abdurrauf al-Singkili (1615-1691 M). sebuah karya yang lebih akhir adalah safinat al-hukam yang ditulis oleh Jalal Al-din Al-Tarusani. Kitab ini ditulis secara khusus atas perintah Sultan Alaidin Johansyah (1735-1760 M / 1147-1175 H) dan isi kitab ini adalah aturan-aturan hukum perdata dan pidana serta berbagai penjelasan tentang ihwal penyelesaian perkara dan pokok-pokok hukum acara dalam sebuah peradilan, sasaran utama buku ini sangat jelas yaitu untuk menjadi pegangan para hakim[3].
Judul lengkap kitab tersebut adalah safinat al-hukum fi takhlish al-khashshan, (bahtera para hakim dalam menyelesaikan perkara segala orang yang bertikai). Di samping itu, terkenal pula Qanun Al-asyi (Adat Meukuta Alam) yang mengandung hukum-hukum dusturiyat dan ‘Alaqah Dauliyah yang ditulis dalam huruf jawi yang menjadi Undang-undang kerajaan.
Semua karya tersebut menjadi saksi atas keberadaban dan peran yang dimainkan Syariat isam di Aceh sejak zaman silam dan betapa hal tersebut telah mampu mengantarkan masyarakat negri ini dalam membangun peradabannya hingga diperhitungkan secara internasional sebagai sebuah kerajaan yang kuat dan makmur.

Landasan Filosofis Syariat Islam di Aceh

Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.
filosofi eksistensi syariah juga adalah sebagai penyeimbang di antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri manusia, dan juga untuk mendidik manusia menjadi suci lahir dan batin.
Dalam konteks ini, keberadaan syariah bagi kehidupan manusia adalah sesuatu yang substansial dan karena itu pula ketika dicoba untuk ditransformasikan kedalam nilai-nilai kehidupan akan mendapat  tantangan yang disebabkan oleh keragaman pemikiran dan luasnya wawasan pemaknaan dasar dari syariat itu sendiri. Disinilah, ketika tataran aplikasi syariah telah memunculkan pro dan kontra sehingga acapkali mendapat gugatan dari apa yang terjadi, misalnya, komunitas di aceh merasakan bahwa penerapan syariat masih jauh dari harapan. Meskipun untuk memenuhi harapan pemberlakuan syariat secara kaffah bukanlah sesuatu yang mudah apalagi kecenderungan era glolalisasi yang menuntut kearifan, toleransi dan kebersamaan untuk menuju kemaslahatan.

Landasan Sosiologis Syariat Islam di Aceh

Konsep gradualisme yang diaplikasikan terhadap pengharaman khamar dan praktek riba, menggambarkan bahwa Al-Qur’an memperhatikan kondisi sosial dan tradisi kebudayaan yang telah berakar dalam masyarakat. Al-Qur’an tidak mengharamkan secara langsung suatu praktek yang telah menmbudaya, tetapi ia sangat akomodatif terhadap praktek tersebut.
Secara umum manusia ini membutuhkan syariat Islam. Al-Qur’an pada mulanya menjelaskan sisi positif dan sisi negatif terhadap praktek riba dan meminum khamar, agar masyrakat memahami kemudharatan dari suatu larangan tersebut. Bila masyarakat benar-benar telah merasakan praktek tersebut membawa kemudharatan yang akan mengancam eksistensi manusia di dunia, maka pada saat itu lah Al-Qur’an menyatakan secara tegas haramnya praktek riba dan meminum khamar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakikat adanya kewajiban dan pengharaman sesuatu ditentukan oleh tingkat kemaslahatan yang dirasakan oleh manusia.
Nilai sosiologis yang melekat pada hukum-hukum yang termuat dalam Al-Qur’an sudah semestinya dipahami secara mendalam, sehingga ketika dilakukan penerapan tidak akan kehilangan ruh sosiologis yang mendasarinya. Oleh karena itu, asbab an-nuzul dan asbab al-wurud memegang peranan penting dalam mengungkapkan realitas dan kondisi sosial ketika aturan itu disyariatkan. Peran yang dimainkan oleh teori asbab an-nuzul dan asbab al-wurud tidak hanya mengungkapkan realitas sosial yang terekam dalam satu ayat atau hadits, tetapi dapat menjelaskan berbagai realitas secara integral dalam suatu tema tertentu. Oleh karena itu prinsip analisis sosiologis berkaitan erat dengan pendekatan tematis.
Melalui dua pendekatan ini diharapkan akan mampu dibumikan ajaran Tuhan yang bersifat normatif-sakralitas. Dalam konteks kehidupan masa kini, dalam bahasa lugas, dapat dikatakan bahwa analisis sosiologis menjadikan realitas sosial sebagai pertimbangan utama dalam merumuskan berbagai aturan hukum Islam. Atau dapat pula diartikan bahwa selain dari keberadaan UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU no. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai legitimasi yuridis, maka diperlukan pendekatan sosiologis yang akan mengkaji sosio-kultural, latar belakang sejarah dari masyarakat Aceh.
Namun bukan berarti mengabaikan satu kesatuan hukum nasional, tetapi juga dengan tetap memperhatikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan (ius contituendum), sebab hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari norma nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.
Beberapa kasus kekerasan yang telah diuraikan sebelumnya merupakan contoh bagaimana ketengangan-ketegangan terjadi dalam kehidupan masyarakat Aceh terkait pelaksanaan Syariat Islam, padahal nilai esensial dan tujuan luhur pemberlakuan Syariat Islam adalah rahmatan lil alamin. Untuk menghindari konflik berkepanjangan dalam rangka penerapam Syariat Islam ini, kita memerlukan metode interpretasi nilai lokal.
Metode ini menggunakan kerangka sosiologis dalam pemahaman dan penafsiran teks baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Paradigma dasar metode ini adalah bahwa setiap teks Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak dapat dilepas dari suasana sosial masyarakat ketika teks-teks itu muncul, karena pemberlakuan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits sasarannya adalah masyarakat. Metode ini semestinya juga dapat diterapkan dalam kerangka pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Di sini nilai-nilai lokal masyarakat Aceh dapat diadopsi oleh berbagai Qanun sebagai bentuk kongkrit penerjemahan Syariat Islam di Aceh. Pendekatan interpretasi nilai lokal akan melahirkan bangunan pelaksanaan Syariat Islam yang khas secara kontekstual dan melalui pendekatan semacam ini diharapkan konflik-konflik Hukum Islam pada tatanan pelaksanaan akan terakomodir dalam suatu bingkai yang terbuka dan demokratis.[4]

Landasan Yuridis Syariat Islam di Aceh

Landasan yuridis adalah landasan yang berdasarkan kepada hukum yang dinyatakan di dalam Undang-undang yang telah diresmikan oleh badan yang berwenang, seperti yang kita ketahui, aceh telah mendapatkan wewenang untuk secara leluasa melaksanakan syariat islam secara kaffah di daerahnya. Sesuai dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 yang berbunyi:
Isi keputusan perdana menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959 tentang keistimewaan Provinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan disertai dengan penambahan peran ulama dalam menentukan kebijakan Daerah, untuk menindak lanjuti ketentuan-ketentuan mengenai keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu nndang-undang
Undang-undang yang mengatur mengenai penyeenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksud untuk memberikan landasan bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan Daerah. Undang-undang ini mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberikan kebebasan kepada Daeah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat. [5]
Dari isi Undang-undang di atas kita dapat mengetahui secara umum bahwa:
1.      Pada awalnya pemerintah mengakui bahwa keistimewaan yang diberikan kepada Aceh di bidang pendidikan, agama dan peradatan pada taun 1959 dahulu tidak mempunyai peraturan pelaksanaan yang memungkinkannya dijalankan ditengah masyarakat. ketiadaan peraturan pelaksanaan ini yang ingin diatasi, yaitu dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, lebih kurang setelah keistimewaan atau kewenangan itu diberikan.
2.      Syariat Islam telah didefinisikan secara relatif lengkap, yaitu mencakup seluruh ajaannya. Jadi undang-undang ini telah memberikan pemahamam yang kaffah kepada Syariat Islam, mencakup ibadat, mu’amalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu, Syariat Islam juga mencakup aqidah serta akhlak dan semua ajaran dan tuntunan di berbagai bidang lainnya.
3.      Umat Islam di Aceh memporoleh izin untuk melaksanakan atau menjalankan syariat islam di dalam keidupannya.
Seperti yang telah disinggung di atas, adanya aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang pendidikan, kehidupan dan adat semakin memudahkan dan mengukuhkan pelaksanaan Syariat Islam dalam keidupan masyarakat Aceh.[6]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sejarah syariat islam di Aceh begitu mearik perhatian karena ceritanya yang sangat berguna untuk kita sebagai masyarakat yang hidup di masa keterpurukan islam. Karena, dengan membaca sejarah kegemilangan syariat islam pada masa lalu di Aceh dapat menumbuhkan kembali semangat kita untuk kembali menegakkan syariat yang kaffah. Selain sejarah, ada berbagai macam landasan yang mengkokohkan syariat islam untuk ditegakkan di Aceh.
Sesuai dengan firman Allah SWT yang berarti “Tidak ada kekerasan dalam beragama”, membuat agama islam dengan mudah masuk dan berkembang didalam masayarakat Aceh diwaktu itu.
Selain itu landasan yuridis juga membantu untuk memperkuat syariat islam yang ditegakkan di Aceh. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 meyakinkan masyarakat aceh untuk menjalankan syariat islam dengan penuh ketenangan dan kesejahteraan.

Saran-saran

Saran kami selaku penulis adalah, jangan tinggalkan syariat islam. Karena dengan mengikuti syariat islam maka kita akan semakin dekat Surga yang telah Allah SWT telah sediakan kepada calon penghuninya. Dan semoga kita menjadi salah satu dari calon penghuni tersebut. Amin


Daftar Pustaka
Ali Muhammad Rusydi, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Aceh: Ar-Ranirry Pres, 2003).
Abu Bakar Al-Yasa’, Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005).
http://satryaleonardo.blogspot.com/2010/07/pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.html


[1] Ali Muhammad Rusydi, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh,  (Ar-Ranirry Pres, Aceh, 2003), hlm 48
[2] Penguasa atau sultan
[3] Ali Muhammad Rusydi, …., hlm 48-49
[4] http://satryaleonardo.blogspot.com/2010/07/pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.html
[5] Abu Bakar Al-Yasa’,  Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, (Banda Aceh,  2005, Dinas Syariat Islam) hlm 41
[6] Abu Bakar Al-Yasa’, (Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, Banda Aceh,  2005, Dinas Syariat Islam) hlm 43-44
Read More

Pengertian Ragam Bahasa - Belajar Bahasa Indonseia (doc)

Januari 31, 2021 0


PENGERTIAN RAGAM BAHASA

Setiap bahasa di dunia ini memiliki ragam. Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang terjadi karena pemakaian bahasa.  bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat penuturnya. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI  RAGAM BAHASA
Faktor-faktor yang mempengaruhi Ragam Bahasa antara lain adalah
Penuturnya yang tidak homogen
Keragama interaksi sosial yang dilakukan
Banyak penutur bahasa tersebut
Luasnya wilayah yang menggunakan bahasa tersebut
Klasifikasi Ragam Bahasa
Ragam bahasa dapat dibedakan bedasarkan media pengantarnya. Diantanya adalah
Ragam Lisan
Ragam Tulis
Bedasarkan situasi pemakaiannya, ragam bahasa dibagi kedalam 3 bagian.
Ragam Formal
Ragam Semi formal
Ragam Nonformal
 (Utorowo dkk. Dalam finosa, 2006:3) menggabungkan ragam bahasa berdasarkan media pengantarnya dan situasi pemakaiannya. Sehingga memunculkan
Ragam lisan formal, lisan semi formal dan lisan nonformal
Ragam tulis formal, tulis semiformal dan tulis nonformal
perlu juga dipahami bahwa pembagian ragam bahasa akan semakin beragam bila ditinjau dari sudut lain.

Bahasa Indonesia dalam konteks pemakaiannya, baik lisan maupun tulis, sudah mmemiliki standar baku yang menjadi norma, ukuran ataupun patokan bagi masyarakat pemakainya. Namun tidak dapat dipungkiri  bahwa bahasa Indonesia memiliki banyak ragam. Alwi dkk. (2003:3) menjelaskan bahwa faktor sejarah sangat berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa Indonesia yang beraneka macam ini masih disebut “Bahasa Indonesia” karena masing masing berbagi inti sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, tata makna umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang berbahasa Indonesia walaupun disamping itu kita dapat mengenali perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya.

Ditinjau dari sudut pandangan penutur
Ragam bahasa dapat dirinci menurut patokan daerah, pendidikan dan sikap penutur.
Ragam daerah ( Dialek/Logat )seperti yang kita ketahui, Dialek atau Logat sangat dipengaruhi oleh faktor georafis atau wilayah tempat tinggal penutur dan juga Dialek atau Logat sangat dipengaruhi oleh bahasa ibu
Ragam bahasa menurut pendidikan
Bahasa yang digunakan orang yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan. Perbedaan ini dapat dilihat dari segi pelafalan atau tata bunyi, struktur kata, dan struktur kalimat.
Contoh :
orang berpendidikan melafalkan suatu kata secara tepat. Hakekat bukan hakikat, apotek bukan apotik, andal bukan handal.
Ragam bahasa menurut sikap penutur
 berkenaan dengan pemilihan bentuk bentuk bahasa tertentu yang dapat menggabarkan sikap formal, nonformal, atau santai, dingin, hangat ataupun penuh keakraban. Semua tercermin dalam pemilihan kata. ragam ini disebut juga dengan Langgam atau Gaya.
2.Ragam bahasa yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Chaer dan Agustina (2004:62 -83) ia membaginya ragam bahasa berdasarkan,
Penutur, ragam ini dilihat dari berdasarkan orang yang menggunakan bahasa tersebut, tempat tinggalnya, jenis kelaminnya, kedudukannya dalam masyarakat, dan waktu penggunaannya
Penggunaan, ragam ini berarti bahasa itu dipakai untuk apa, dalam bidang apa, jalur dan alatnya apa dan bagaimana situasi keformalannya.
Ragam Bahasa menurut penuturnya ada 4 yaitu
 Idiolek, ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep ini, setiap orang memiliki ragam bahasa tersendiri. Ragam idiolek berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. dengan ragam ini, kita dapat mengenali seseorang dengan mendengar “warna” suaranya tanpa harus melihat wajahnya
Dialek, ragam ini bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada dalam tempat, wilayah, atau area tertentu. Meskipun memiliki idiolek masing-masing, para penutur dalam satu dialek memiliki kesamaan ciri yang menandakan bahwa mereka berada dalam satu dialek yang berbeda dengan penutur lainnya.
Kronolek, ragam bahasa ini, digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu,
Contoh:
Ragam bahasa orang tiga puluhan berbeda dengan yang hidup di masa lima puluhan dan juga dengan saat ini
Sosiolek, ragam bahasa ini berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.
Ragam Bahasa menurut penggunaan disebut dengan Fungsiolek. Ragam bahasa ini berkaitan dengan penggunaan bahasa untuk keperluan atau bidang tertentu. Misalnya bidang sastra, militer, jurnalistik, pertanian. Ragam bahasa bidang ini paling tampak pada kosakata yang digunakan. Setiap bidang menggunakan kosa kata tertentu yang tidak dipakai di bidang lainnya.
Pengertian Ejaan - Belajar Bahasa Indonseia II
Read More

Minggu, 24 Januari 2021

Makalah Hadist Di Tinjau Dari Segi Kualitas Perawi (doc)

Januari 24, 2021 0



Pengertian Hadits di tinjau dari segi kualitas perawi

Dilihat dari segi kualitasnya, hadits dapat diklasifikasi menjadi hadits sahih, hasan dan dha’if. Pembahasan tentang hadits sahih dan hasan mengkaji tentang dua jenis yang hampir sama, tidak hanya keduanya berstatus sabagai hadits maqbul, dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat dari segi persyaratannya dan kriteria-kriterianya sama kecuali pada hadits hasan, diantara periwayatnya ada yang kurang kuat hapalannyanya, sementara pada hadits sahih diharuskan kuat hafalan. Sedang persyaratan lain, terkait dengan persambungan sanad, keadilan periwayat, keterlepasan dari syadz dan ‘illat. Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau sahih.
 

Pembagian hadits dari segi Kualitas 


Hadis dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis mardud ialah hadis yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud ialah ialah hadis yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya. Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya juga menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
Hadits shahih 


Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”. 
Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 

1) sanadnya bersambung, 
2) perawinya bersifat adil, 
3) perawinya bersifat dhabith,
4) matannya tidak syaz, 
5) matannya tidak mengandung ‘illat.

Hadsit Hasan

Pengertian
   Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
    “khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.”
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
“Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.”
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.[]
Contoh hadits Hasan 
    Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.”

Macam-Macam Hadist Hasan
    Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
    Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :

هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.”
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.”
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat. 
Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.

Kehujjahan Hadist Hasan
    Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
    Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan Hadits hasan ini, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memerikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal dengan Hadits hasan  ini. Agaknya Al-Khattabi lebih teliiti tentang penerimaan mereka terhadap Hadits ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan di sini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah Hadits hasan li dzatihi.[]    
    Sedangkan Hadits hasan li gharihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi  oleh banyaknya riwayat (riwayat lain), maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian, tidak sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatnya hasan li gharihi pun bisa dipergunakan sebagai hujjah.
    Kitab-kitab Hadits yang banyak memuat Hadits hasan ini adalah Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan Al-Daruquthny.
    Sementara para ulama yang membedakan kehujjahan Hadits berdasarkan perbedaan kualitas, Hadits hasan li dzatihi dengan li gharihi dan sahih li dzatihi dengan li ghairihi, maupun antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah Hadits-Hadits tersebut berdasakan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dan seterusnya.
    Penempatan hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan/tingkatan-tingkatan di atas, akan terlihat kegunaannya ketika terjadi atau terlihat adanya pertentangan (ta’arudh) antara dua hadits. Hadits-Hadits yang menempati urutan pertama dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau ketiga dinilai lebih kuat daripada Hadits-Hadits pada urutan keempat atau kelima.
Hadist Dhaif
Pengertian 
   Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.”
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ

“Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan”
    Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[]
Contoh Hadist Dhaif

    Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi MuhammadSAW.”
    Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
Hukum Periwayatan Hadist Dhaif

    Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

    Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :   رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).

Pemgalaman Hadist Dhaif
    Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :

Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam. 
Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama. 
Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :

Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar). 
Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

Tingkatan Hadist Dhaif
    Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.[]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
   Hadits di tinjau dari segi kualitasnya menjajadi hadits sahih, hasan dan dhaif. Perbedaan anatara hadits sahih dan hadits hasan terdapat pada hafalan perawinya. Sedangkan hadits dhif adalah hadits yang ditolak  (tidak dapat diterima) karena hadits ini tidak terdapat syarat-syarat hadits sahih dan hasan.
    Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
    Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
     dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

Saran
    Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari Dosen Pembimbing Bapak Burhanuddin, MA yang bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

[] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[2] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[3] Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RayaGrasindo Persada, 2002, hlm. 148
[4] Ibid. hlm. 164
[5] Ibid. Hlm. 91
http:/ /musicflashbqs .blogspot.com/2017/11/makalah-hadits-menurut-segi-kuanlitas.html
https://makalahnih.blogspot.com/2014/06/pembagian-hadits-ulumul-hadits.html?m=1
Read More

Kamis, 03 Desember 2020

Resume Filsafat Pendidikan Wawasan Tentang Filsafat Pendidikan (doc)

Desember 03, 2020 0



Kemampuan Manusia Untuk Belajar Dari Pengalaman Orang Lain 

Pendidikan berfungsi sebagai pembaharuan hidup, “a renewal of life”. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju pada pembaharuan.hidup merupakan keseluruhan tingkatan pengalaman individu dengan kelompok. Untuk kelangsungan hidup diperlikan usaha untuk mendidik anggota masyarakat, mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan sebagai minat pribadi (personal interest). Bahwa pembaharuan hidup tidak otomatis, melainkan banyak tergantung pada teknologi, seni, ilmu pengetahuan, dan perwujudan moral kemanusiaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan pendidikan. 
Seorang filsuf Yunani mengatakan, “orang pandai belajar dari pengalamannya dan orang bijak belajar dari pengalaman orang lain, tetapi orang bodoh tidak belajar apapun.” Cara belajar yang lebih cepat dan efisien adalah belajar dari pengalaman orang lain. Kita bisa mengambil pelajaran tanpa harus mengalami trial and error terlebih dahulu. Pembelajaran dari pengalaman orang-orang sukses dapat dimulai dengan membaca buku-buku yang mereka tulis, karena buku merupakan pemikiran-pemikiran terbaik penulisnya. Manfaat dari belajar dari pengalaman orang lain:
Kita tidak harus mengalami  langsung kegagalan yang sudah dilalui orang tersebut
Karena kita tidak harus mengalami semuanya dulu untuk belajar dari pengalaman, sehingga kita dapat menghemat waktu dan energi untuk hal yang sifatnya strategis. Langkah-langkah belajar dari pengalaman orang lain, yaitu :
Menemukan seseorang yang telah lebih dulu sukses mencapai tujuan atau pencapaiannya.
Perhatikan perjalanan hidupnya dalam meraih kesuksesan.
Mengambil pelajaran dari kegagalan mereka sebagai proses menemukan kesuksesan.
Padukan antara pengalaman mereka dengan potensi dan keterampilan yang kita miliki serta sesuaikan dengan kondisi dilapangan.

Kamu tahu langkah-langkah yang harus dilakukan
Maksudnya, kita dapat mengetahui tindakan prefentif apa yang kita lakukan agar tidak mengalami kegagalan yang sama.

Jenis Pendidikan Dilihat Dari Sifatnya
Pendidikan di dalam keluarga


Seluruh anggota keluarga seharusnya memberikan pengaruh yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan mengadakan interaksi, pergaulan dengan anak yang berupa interaksi dan pergaulan pendidikan. Penanaman nilai-nilai kebaikan, akhlak mulia,nilai-nilai religius, nilai-nilai karakter yang baik haruslah selalu ditanamkan kepada anak didalam keluarga sehingga anak akan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berkarakter, berakhlak mulia. Anak adalah generasi penerus yang perlu dididik agar kelak mereka dapat menjadi anak yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarga dan bagi bangsa dan bagi sesama umat manusia didunia.

Pendidikan persekolahan
Lembaga pendidikan adalah suatu tempat atau wadah dimana proses pendidikan berlangsung yang dilaksanakan  dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku seseorang ke arah yang lebih baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar serta wawasan dan pengetahuan yang diperoleh.  Sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang mengelola sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat serta pada gilirannya lulusan sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pembangunan bangsa.

Pendidikan Masyarakat
Pendidikan masyarakat atau Pendidikan Luar Sekolah atau yang lebih dikenal dengan sebutan pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang dilaksanakan berbasis masyarakat. masyarakat dilibatkan sebagai pelaku pendidikan karena masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pendidikannya. Pada UU RI no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan nonformal diselengarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. 
Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar baik yang dirancang maupun yang dimanfaatkan. Perlu pula diingat bahwa manusia dalam bekerja dan hidup sehari-hari akan selalu berupaya memperoleh manfaat dari pengalaman hidupnya itu untuk Sehingga manusia itu dapat dinyatakan sebagai berusaha mendidik dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia dimasyarakatnya dalam bekerja, bergaul dan sebagainya.

  Pendidikan dan Kemajuan Sosial
Pendidikan dan perubahan sosial, keduanya saling bertautan satu dengan yang lain. Keduanya saling mempengaruhi, sehingga berdampak luas di masyarakat. Pendidikan adalah lembaga yang dapat dijadikan sebagai agen pembaharu/perubahan sosial dan sekaligus menentukan arah perubahan sosial yang disebut dengan pembangunan mesyarakat. Sedangkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat setiap kalinya dapat direncanakan dengan arah perubahan yang ingin dicapai. Namun perubahan sosial juga dapat terjadi setiap saat tanpa harus direncanakan terlebih dahulu disebabkan pengaruh budaya dari luar.
  Pendidikan sejak dulu sampai sekarang merupakan hal terpenting dalam hidup manusia. Pendidikan memberikan kemajuan pemikiran umat manusia, sehingga taraf hidup mereka meningkat. Dalam perkembangannya dari zaman ke zaman pendidikan berubah menjadi suatu sistem. Suatu sistem pendidikan yang tersusun secara sistematis diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 11 ayat 1, yang menjelaskan bahwa pendidikan dilaksanakan melalui 3 jalur yaitu pendidikan formal, nonformal,dan informal. Ketiga jalur pendidikan ini satu sama lain saling berkait dan membutuhkan untuk melakukan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat kelak. Selain ketiga jalur tersebut anak-anak Indonesia wajib menempuh pendidikan “wajib belajar 9 tahun”, sebagai program pemerintah dalam meningkatkan SDM masyarakat Indonesia.
Pendidikan mempengaruhi masyarakat yang pada akhirnya terjadi perubahan sosial. Perubahan sosial sebagai bentuk inovasi yang berkaiatan dengan seluruh aspek kehidupan manusia yang bertujuan meningkatkan kemakmuran. Bermacam konsep perubahan sosial disodorkan para ahli dalam menganalisis fenomena tersebut yaitu, konsep kemajuan sosial, konsep sosialistik, konsep perubahan siklus, teori sejarah, teori pertikularistik, toeri sosiologi serta sosiologi dan perubahan sosial.
  Di masa depan pendidikan dalam prespektif perubahan sosial banyak dikonsepkan oleh sebagian ahli, pendidikan adalah sebagai proses yang dapat mengubah perilaku individu dalam konteks teori perubahan sosial akan mempunyai dampak terjadinya perubahan baik pada tingkat individu sebagai agen maupun tingkat kelembagaan yang mampu mengubah struktur sosial yang ada di masyarakat. Diharapakn pendidikan dalam perubahan sosial dapat menghasilakn generasi yang kritis serta solusif dalam menghadapi permasalahan sebagai bagian perubahan sosial masyarakat dewasa ini dan selanjutnya.


Sumber : 
Hasan Langgulung. 1986. Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna Ismaun, 2001
Tim Dosen FIP-IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, Malang: Usaha Nasional, 1980.
Uyoh Sadullo. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Media Iptek, 1994.
Read More

Makalah Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Aspek Epistemologi Dan Aspek Aksiologi (Makalah Filsafat) (doc)

Desember 03, 2020 0




Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Aspek Epistemologi Dan Aspek Aksiologi

Dari Aspek Ontologi

Pada  dasarnya,  menurut  Jujun  S.  Suriasumantri  Filsafat  Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab bebrapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti : “obyek  apa  yang  ditelaah  ilmu  ?  bagaimana  wujud  yang  hakiki  dari  obyek tersebut  ?  bagaimana  hubungan  antara  obyek  tadi  dengan  daya  tangkap manusia  (seperti  berpikir,  merasa  dan  mengindera)  yang  membuahkan pengetahuan ?.
Konkritnya,  bidang  telaah  sebagaimana  konteks  diatas  merupakan bidang Ontologi. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu  Hukum  maka  bidang  Ontologi  Ilmu  Hukum  pada  hakikatnya  akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum. 
Sebagaimana  diketahui  bersama  bahwasanya  menurut  pandangan doktrina  seperti  E.  Ultercht,  Van  Apeldoorn,  Prof.  Van  Kant,  Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan  yang  harus  ditaati  oleh  anggota  masyarakat  dan  pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi.
Oleh  karena  itu,  menurut  penulis  dengan  titik  tolak  teoritik sebagaimana  pandangan  doktrina  dan  aspek  praktek  pada  dunia  peradilan maka  secara  Universal ada 3  (tiga) aspek  yang  dipelajari  dari  Ilmu  Hukum, yaitu :  
Nilai-nilai  hukum  seperti  ketertiban,  keadilan,  kepastian  hukum  dan lain-lain
Kaidah-kaidah  hukum  berupa  kaidah  tertulis  ataupun  tidak  tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret.
Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.
Dengan  3  (tiga)  bidang  dari  Ilmu  Hukum  tersebut  menimbulkan pertanyaan  tentang  apakah  titik  tolak  kajian  substansial  dari  Ilmu  Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu. 
Ternyata  dari  Optik  Ontologi  maka  kajian  substansial  Ilmu  Hukum terletak  pada  “Kaidah-kaidah  Hukum“.  Tegasnya,  Ilmu  Hukum  tidak mungkin  dapat  dipisahkan  dari  kaidah  Hukum.  Tetapi  dalam  korelasi demikian  ini  persoalannya  timbul  dalam  posisi  dan  situasi  kaidah  hukum yang  bagaimana  menjadi  perhatian  dari  Ilmu  Hukum.  Seperti  diuraikan konteks diatas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang  Ilmu  Hukum  ini  yaitu  sosiologi  Hukum  dan  Antropologi  Hukum tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  adanya  kriteria  bahwa  perilaku  atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi  menjadikan  suatu  hal  yang  akan  menjadi  kaidah  hukum  itu  bila dilanggar  menimbulkan  adanya  sanksi. Tanpa    terbagi-bagi  ke  dalam bidang-bidang  kajian,  Ilmu  Hukum  dengan  senirinya  sudah  mengkaji  nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang  dipentingkan  adalah  bidang  perilaku,  terhadap  nilai  atau  kaidah seperti  Sosiologi  Hukum  dan  Antropologi  Hukum  misalnya  lebih  menekankan  pengkajian  perilaku  hukum.  Akan  tetapi  yang  perlu  menjadi titik  tolak  bidang  kajian  Ilmu  Hukum  adalah  Kaidah  Hukum  yang berhubungan  dengan  nilai  dan  perilaku.  Kaidah  Hukum  dapat  ditentukan dalam dunia  nyata  sebagai  hukum  yang  hidup  berupa  perilaku  hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.  
Begitu  pula  kaidah  hukum  dapat  ditemukan  dalam  hukum  tertulis seperti  :  UU,  Yurisprudensi,  Keputusn  Pemerintah  Pusat/Daerah  dan  lain sebagainya.  Kaidah  hukum  dapat  pula  ditemukan  dalam  kitab-kitab  suci, ada  kemungkinan  hukum  yang  tercatat/tertulis  berasal  dari  kenyataan hukum,  tetapi  pembentukannya  bersifat  rasional.  Pembentuknya  (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai  pandangan  tertentu  yang  cukup  berperanan  dalam terbentuknya  hukum  tersebut.  Adanya  kepentingan/pandangan  tertentu turut  dipertimbangkan  mengakibatkan  fakta  empiris  akan  menjadai  hukum setelah  diolah  secara  rasional.  Dalam  pembentukan  hukum  yang  terbentuk tidak  berasal  semata-mata  dari  kebiasaan  tetapi  timbul  berdasarkan  suatu pertimbangan  dari  pihak  berwibawa  sehingga  anggota  masyarakat  patuh. Hukum  yang  hidup  (living  Law)  tidak  bisa  lepas  dari  pertimbangan  pihak yang  berwibawa.  Pihak  yang  berwibawa  sudah  tentu  mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah membiasa, serta sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.  
Dengan  demikian  ditinjau  dari  deskripsi  diatas  dapatlah  ditarik  2 (dua)  asumsi  dasar,  yaitu  :  Pertama,  bahwasanya  kaidah  hukum  dapat ditemukan  dalam  hukum  tertulis  dan  tercatat.  Kedua,  bahwasanya pembentukan  hukum  yang  hidup  tidak  lepas  dari  legitimasi  kewibawaan yang  mengakibatkan  adanya  pertimbangan  nilai,  maka  dapat  disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta  empiris  yang  alamiah  dan  fisik  serta  dapat  diserap  dengan  panca indera.  Hukum  bersangkutan  dengan  manusia  yang  secara  utuh  bersosok monodualistis  antara  jiwa  dan  badan,  individu  dan  masyarakat.  Kaidah hukum  berintikan  keadilan.  Adil  dan  tidak  adil  merupakan  pendapat mengenai  nilai  secara  pribadi.  Kaidah  hukum  bersangkutan  dengan martabat  manusia  (human  dignity),  bagaimana  manusia  terlindungi  dari kesewenang-wenangan,  bebas  dari  rasa  takut  dan  lain-lain  dan  ini merupakan  aspek  personal  dari  hukum.  Sedangkan  terhadap  pernyataan bahwa  kaidah  hukum  berlaku  bagi  siapapun  dan  kapanpun,  pedoman  bagi anggota  masyarakat  bertingkah  laku,  dan  untuk  memperhatikan  kaidah hukum  tersebut  dibentuklah  pranata  hukum  dan  lembaga  hukum,  adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum.

Dari Aspek Epistemologi

Bagaimanakah  Ilmu  Hukum  apabila  dikaji  dari  aspek  Epistemologi? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu  kiranya dibahas  selintas  pengertian  “Epistemologi”  ini.  Ditinjau  aspek  etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai  untuk  menunjukkan  adanya  pengetahuan  sistematik.  Sehingga secara  mudah  epistemologi  dapat  diartikan  sebagai  pengetahuan  sistematik mengenai pengetahuan. 
Selanjutnya,  menurut  A.M.W.  Pranarka  menyebutkan,  bahwa : “Webster  Third  New  International  Dictionary  mengartikan  epitemologi sebagai  “the  study  of  methol  and  grounds  of  knowledge,  especially  with reference  to  its  limits  and  validity”.  Pada  tempat  yang  sama  secara  singkat dikemukakan  bahwa  Runnes  didalam  “The  theory  of    knowledge”.  Dalam pada  itu    Runnes  didalam  Dictionary  of  Philosophy  memberikan keterangan  bahwa  epistemology  merupakan  the  bronch  of  philosophy  which investigates the origin, structure methode an validity of knowledge”. 
Selain  itu,  secara  terminologis  maka  Epistemologi  dikenal  dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”.  Di  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  istilah  “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”.
Dari  apa  yang  diuraikan  diatas  maka  ditinjau  melalui  aspek  Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum.
Pada  dasarnya,  apabila  ilmu  hukum  sebagai  ilmu  maka  bertujuan mencari  kebenaran.  Menurut  Theori  Korespodensi  kebenaran  merupakan persesuaian, antara  pengetahuan  dan obyeknya. Sehingga  dengan demikian pengetahuan  terletak  dalam  dimensi  mentalitas  manusia,  sedangkan  obyek dalam  dunia  nyata.  Untuk  menyatakan  adanya  hubungan  inilah  timbul pendapat  antara  faham  empiris  dan  rasionalisme.  Menurut  empirisme pengetahuan  adalah  segenap  pengalaman  manusia,  sedangkan  menurut faham  rasionalisme  maka  akallah/ratiolah  yang  dapat  mengetahui  obyek. Akan  tetapi,  terhadap  hakekat  hukum  tidak  selalu  berdasarkan empirisme/rasionalisme  saja  oleh  karena  gejala  hukum  bukan  saja  berupa pengalaman  manusia  saja  seperti  perilaku  hukum  akan  tetapi  diluar pengalaman  manusia  seperti  nilai-nilai  hukum.  Theori  Kebenaran korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu  guna    mencari  keadilan  yang  benar  digunakanlah  sebuah  metode.  Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan rasionalisme maka  secara  tradisional  dibedakan  dua  metode  ilmu  yakin  metode  deduksi dan  metode  induksi.  Selanjutnya,  dalam  perkembangannya  timbul  metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko – hipotetiko – verifikasi yang berdasarkan pandangan Karl R. Popper muncul theori  faksifikasi.  Dalam  metode  ini  maka  suatu  masalah  berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin baik yang termasuk deduktif atau induktif. Istilah  “  Logiko  –  hipotetiko  “  menempatkan  kaidah  hukum  sebagai  hal mentah  yang  perlu  dimasukkan  ke  dalam  proses  “Verifikasi”  cenderung menjadi justifikasi/pembenaran. Dengan mengadakan verifikasi, maka sebab itu  menurut  Popper  bukan  verifikasi  yang  menjadi  kretarium  demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah faksifikasi yakni kemampuan untuk menyangkal  kesalahan.  Dengan  demikian  Popper  mengganti  verifikasi bersifat induktif dengan falsifikasi deduktif. 
Konkretnya,  metode  ilmu  Hukum  ditentukan  oleh  aspek  Ontologis dan  Axiologis  dari  hukum.  Konsep  mengenai  metode  dan  ilmu  sifatnya universal.  Artinya,  untuk  bidang  apa  saja  atau  untuk  jenis  ilmu  manapun adalah  sama,  tetapi  pengaruh  dari  obyek  suatu  ilmu  tentu  tidak  dapat dihindarkan. Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana  telah  diuraikan  dari  aspek  Ontologi  maka  fokus  utama titik  kajian  substansial  Ilmu  Hukum  adalah  kaidah  hukum.  Tegasnya, eksistensi  hukum  ditentukan  adanya  kaidah  hukum.  Mungkin  kaidah hukum mempunyai nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum.  Ciri  pokok  dari  nilai  dan  perilaku  sebagai  hukum  ialah  sifat normatifnya.  Sudah  tentu  kaidah  hukum  berisi  nilai-nilai  dan  perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai  dan  perilaku.  Nilai  merupakan  turunan  dari  ide  dan  perilaku merupakan  turunan  realitas/fakta.  Apabila  kita  mencita-citakan  suatu  ilmu tentang  hukum/ilmu  hukum  maka  penentuan  metode  Ilmu  Hukum  harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan perilaku sehingga fokus  sentral  atau  fundamental  metode  Ilmu  Hukum  adalah  analisis  atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya bahan kajian sampingan dari  analisis  kaidah.  Maka  oleh  karena  itu  secara  ideal  dalam  Ilmu  Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-hipotetiko-verifikasi.

Dari Aspek Aksiologi

Menurut  Jujun  S  Suriasumantri  maka  ditinjau  dari  aspek  axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk  apa  pengetahuan  yang  berupa  ilmu  itu  dipergunakan  ?  Bagaimana kaitan  antara  cara  penggunaan  tersebut  dengan  kaidah-kaidah  moral  ? Bagaimana  penentuan  obyek  yang  ditelaah  berdasarkan  pilihan-pilihan moral  ?  Bagaimana    kaitan  antara  teknik  prosedural  yang  merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?”

Konkritnya,  dari  aspek  tersebut  Axiologi  Ilmu  Hukum  akan berkoleratif  terhadap  kegunaan  dari  Ilmu  Hukum  itu  sendiri.  Sebagaimana diketahui  bersama  bahwasanya  Ilmu  Hukum  bersifat  dinamis  dalam  artian mempunyai  pengaruh  dan  fungsih  yang  khas  dibanding  dengan  bidang- bidang hukum yang lain.
Apabila  dijabarkan  secara  intens,  detail  dan  terperinci  maka peran/pengaruh  Ilmu  Hukum  tersebut  dari  aspek  Axiologi  Ilmu  adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam proses  pembentukan  hukum  Ilmu  Hukum  melalui  hasil- hasil  penelitian,  kajian  teroritik  dari  para  doktrina  sebagai  bahan masukan  yang  penting  dalam  rangka  menjadi  masukan  untuk menyusun  RUU  (Rancangan  Undang-Undang)  sehingga diharapkan  nantinya  Undang-Undang  yang  diterapkan  dapat berfungsi  maksimal  karena  telah  memenuhi  analisis,  filosofis, yuridis dan sosiologis;


Kedua, dalam  praktek  hukum  lazim  pada  proses  peradilan  oleh  hakim, jaksa/Penuntut  Umum,  Penasehat  Hukum  dipergunakan pendapat  para  doktrina  untuk  menyusun  putusan,  tuntutan  dan pembelaan.  Dari aspek  ini  merupakan  perpaduan  antara  dunia teori dan dunia praktek;
Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan  berpengaruh  kepada  mutu  pendidikan  hukum  dan lulusannya dan;
Keempat, Bahwa  dengan  pesat  dan  majunya  Ilmu  Hukum  akan  menarik, memacu  dan  berpengaruh  kepada  perkembangan  bidang-bidang lainnya  diluar  hukum.  Peranan  Ilmu  Hukum  disini  nampak kepada  bidang-bidang  yang  memerlukan  suatu  kejelasan  dan pengaturan  dimana  suatu  sistem  hukum  berusaha  mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
Sedangkan fungsi Ilmu Hukum dari aspek Axiologi Ilmu nampak dalam: 
Pertama, Bahwa  Ilmu  hukum  berusaha  mensistemasi  bahan-bahan  hukum yang  terpisah-pisah  secara  komprehensif  dalam  suatu  buku hukum seperti: Kondefikasi, Unifikasi dan lain-lain;
Kedua,   Bahwa  adanya  fungsi  Ilmu  Hukum  yang  mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan  dan  diperlukan  oleh  bidang-bidang lain  serta  sehingga  sebagai  pencerahan  guna  mengatasi  kesulitan dan  kebuntuan  yang  meluas  dalam  dunia  hukum  khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legalitas.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Konkritnya,  bidang  telaah  sebagaimana  konteks  diatas  merupakan bidang Ontologi. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu  Hukum  maka  bidang  Ontologi  Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum. Ternyata dari Ontologi maka kajian substansial Ilmu  Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat  dipisahkan  dari  kaidah  Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian  ini  persoalannya  timbul  dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang  bagaimana  menjadi  perhatian  dari  Ilmu  Hukum.
Bagaimanakah  Ilmu  Hukum  apabila  dikaji  dari  aspek  Epistemologi? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu  kiranya dibahas  selintas  pengertian  “Epistemologi”  ini.  Ditinjau  aspek  etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai  untuk  menunjukkan  adanya  pengetahuan  sistematik.  Sehingga secara  mudah  epistemologi  dapat  diartikan  sebagai  pengetahuan  sistematik mengenai pengetahuan. Selain  itu,  secara  terminologis  maka  Epistemologi  dikenal  dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”.  Di  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  istilah  “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”. Dari  apa  yang  diuraikan  diatas  maka  ditinjau  melalui  aspek  Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum. Pada  dasarnya,  apabila  ilmu  hukum  sebagai  ilmu  maka  bertujuan mencari  kebenaran.  Menurut  Theori  Korespodensi  kebenaran  merupakan persesuaian, antara  pengetahuan  dan obyeknya. Sehingga  dengan demikian pengetahuan  terletak  dalam  dimensi  mentalitas  manusia,  sedangkan  obyek dalam  dunia  nyata.
Menurut  Jujun  S  Suriasumantri  maka  ditinjau  dari  aspek  axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk  apa  pengetahuan  yang  berupa  ilmu  itu  dipergunakan  ?  Bagaimana kaitan  antara  cara  penggunaan  tersebut  dengan  kaidah-kaidah  moral  ? Bagaimana  penentuan  obyek  yang  ditelaah  berdasarkan  pilihan-pilihan moral  ?  Bagaimana    kaitan  antara  teknik  prosedural  yang  merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?” Konkritnya,  dari  aspek  tersebut  Axiologi  Ilmu  Hukum  akan berkoleratif  terhadap  kegunaan  dari  Ilmu  Hukum  itu  sendiri.  Sebagaimana diketahui  bersama  bahwasanya  Ilmu  Hukum  bersifat  dinamis  dalam  artian mempunyai  pengaruh  dan  fungsih  yang  khas  dibanding  dengan  bidang- bidang hukum yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Jujun S.  Suriamantri. 1996. Filsafat  Ilmu  Sebuah  Pengantar. Jakarta: Pustaka  Sinar Harapan. 
J.J.H.  Bruggink. 1996. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Darmadi, Sugijanto. 1998. Kedudukan  Ilmu  Hukum  Dalam  Ilmu  dan  Filsafat  sebuah
Eksplorasi Awal Menuju Ilmu Hukum yang Intregalistik Dan Otonomi. Bandung: CV
Mandar Maju.
A.M.W.  Pranarka. 1987. Epistemologi Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Praklamasi
Centre For Strategic and International Studies.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot