Knowledge Is Free: Analisis

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label Analisis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Analisis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Januari 2021

Analisis Kasus Waris di Adat Batak Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata (doc)

Januari 31, 2021 1



Analisis Kasus Waris di Adat Batak Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata

Permasalahan :
Keluarga Ayah Dani terdiri dari 7 orang yang terdiri dari 4 perempuan dan 3 laki-laki, namun 1 perempuan telah meninggal dunia. Pada masa hidup, kakek/nenek Dani tidak sempat membuat pembagian tanah warisan, dan saat nenek Dani meninggal dunia, surat tanah dipegang oleh adik Ayah Dani. Sampai sekarang pembagian tanah warisan tidak dilakukan. Sudah dilakukan pengukuran luas tanah dan pembagian tanah di hadapan kepala lingkungan, namun pemecahan surat tanah untuk 6 pewaris tidak dilakukan secara hukum karena surat tanah ditahan oleh adik Ayah Dani. Ayah Dani sudah menyarankan untuk memecah surat tanah agar Ayah Dani mendapatkan hakny, namun adik Ayah Dani tidak melakukan pemecahan surat tanah di notaris. Lalu, bagaimana penyelesaian pembagian tanah warisan baik secara Hukum Adat di Batak dan secara Hukum Perdata apabila surat tanah ditahan oleh salah satu pewaris?

Penyelesaian :
Menurut Hukum Adat

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat saya analisis atau tanggapadan sebagai berikut : Di Indonesia dikenal beberapa hukum waris yaitu berdasarkan KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat. Pada dasarnya, hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Contohnya pada kasus di atas yakni di Adat Batak. Menurut hukum adat Batak yang menganut prinsip kekeluargaan yang patrilineal, di mana dalam prinsip ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris adat sangat kuat. Misalnya pada masyarakat adat Batak, yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja. 

Juga sebagian besar daerah hukum adat di Indonesia, yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki. Hal ini didasarkan pada keadaan bahwa anak laki-laki paling besar tanggung jawabnya terhadap keutuhan keluarga dan ia dianggap sebagai pengganti/penerus ayahnya. Di tanah Batak (yang menganut system patrilineal), yang merupakan ahli waris itu hanyalah anak laki-laki. Di sini, semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Adapun anak perempuan tidak berhak mendapat warisan (karena perkawinannya keluar dari kerabat bapaknya). 
Hal ini juga terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun menurun dari marga ayahnya. Dari hal tersebutlah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Dalam pembagian warisan orang tua, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. 
Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut Siapudan, dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dia mendapatkan warisan berupa tanah pusaka, rumah induk atau rumah peninggalan orang tua dan harta lainnya dibagi rata oleh semua anak laki-lakinya. Si anak bungsu tersebut juga tidak boleh meninggalkan kampungnya. Jika tidak memiliki anak laki-laki, hartanya akan jatuh ke tangan saudara ayahnya. Saudara ayah tersebutlah yang menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka menikah. 

Menurut Hukum Perdata
Selain dianalisis dari hukum adat, hukum waris juga bisa dianalisis sesuai dengan hukum perdata melalui KUHPerdata. Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah : 
Harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian (Pasal 830 KUHPerdata);
Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. 
Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan bukan merupakan ahli waris dari pewaris. 
Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek, atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yag berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu :
Golongan I : golongan ini terdiri dari suami-istri dan anak beserta keturunannya, yaitu anak beserta keturunannya dan suami atau istri yang hidup terlama;
Golongan II : golongan ini terdiri dari orang tua, saudara laki-laki atau perempuan dan keturunannya. Menurut Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata, apabila tidak ada ahli waris dalam golongan pertama, maka warisan jatuh kepada golongan kedua;
Golongan III : golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun dari garis ibu (Pasal 853 KUHPerdata). Golongan ini tampil apabila ahli waris dari Golongan I dan Golongan II tidak ada lagi. Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dalam garis ibu dan garis ayah ke atas adalah kakek dan nenek, kakek buyut dan nenek buyut terus ke atas dari garis ayah maupun dari garis ibu. Berdasarkan Pasal 853 KUHPerdata, pembagian warisan dibagi dalam dua bagian terlebih dahulu (kloving). Satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan satu bagian untuk keluarga sedarah sedarah dalam garis lurus ibu ke atas. Dengan demikian, dalam pewarisan Golongan III in, otomatis terjadi kloving atau pembelahan harta warisan dalam dua bagian.
Golongan IV :  menurut pasal 858 ayat (1) KUHPerdata, dalam hal tidak ada saudara (Golongan II) dan saudara dalam sat ugaris lurus ke atas (Golongan III), maka setengah bagian warisan menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup. Adapun setengah bagian lainnya, menjadi bagian para sanak saudara dalam garis yang lain. Pengertian “sanak saudara” dalam garis lurus yang lain ini adalah para paman dan bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Mereka ini adalah ahli waris Golongan IV.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap garis sebagai akibat kloving, pewarisan juga dianggap sebagai suatu pewarisan yang berdiri sendiri. Dalam masing-masing garis sekalian keluarga sedarah dalam derajat yang sama, mewaris kepala demi kepala. Pada dasaranya di dalam Golongan IV, tidak dikenal adanya penggantian tempat sebagaimana dikenal dalam Golongan I dan Golongan II. 
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot