Makalah Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Aspek Epistemologi Dan Aspek Aksiologi (Makalah Filsafat) (doc) - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Kamis, 03 Desember 2020

Makalah Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Aspek Epistemologi Dan Aspek Aksiologi (Makalah Filsafat) (doc)




Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Aspek Epistemologi Dan Aspek Aksiologi

Dari Aspek Ontologi

Pada  dasarnya,  menurut  Jujun  S.  Suriasumantri  Filsafat  Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab bebrapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti : “obyek  apa  yang  ditelaah  ilmu  ?  bagaimana  wujud  yang  hakiki  dari  obyek tersebut  ?  bagaimana  hubungan  antara  obyek  tadi  dengan  daya  tangkap manusia  (seperti  berpikir,  merasa  dan  mengindera)  yang  membuahkan pengetahuan ?.
Konkritnya,  bidang  telaah  sebagaimana  konteks  diatas  merupakan bidang Ontologi. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu  Hukum  maka  bidang  Ontologi  Ilmu  Hukum  pada  hakikatnya  akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum. 
Sebagaimana  diketahui  bersama  bahwasanya  menurut  pandangan doktrina  seperti  E.  Ultercht,  Van  Apeldoorn,  Prof.  Van  Kant,  Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan  yang  harus  ditaati  oleh  anggota  masyarakat  dan  pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi.
Oleh  karena  itu,  menurut  penulis  dengan  titik  tolak  teoritik sebagaimana  pandangan  doktrina  dan  aspek  praktek  pada  dunia  peradilan maka  secara  Universal ada 3  (tiga) aspek  yang  dipelajari  dari  Ilmu  Hukum, yaitu :  
Nilai-nilai  hukum  seperti  ketertiban,  keadilan,  kepastian  hukum  dan lain-lain
Kaidah-kaidah  hukum  berupa  kaidah  tertulis  ataupun  tidak  tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret.
Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.
Dengan  3  (tiga)  bidang  dari  Ilmu  Hukum  tersebut  menimbulkan pertanyaan  tentang  apakah  titik  tolak  kajian  substansial  dari  Ilmu  Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu. 
Ternyata  dari  Optik  Ontologi  maka  kajian  substansial  Ilmu  Hukum terletak  pada  “Kaidah-kaidah  Hukum“.  Tegasnya,  Ilmu  Hukum  tidak mungkin  dapat  dipisahkan  dari  kaidah  Hukum.  Tetapi  dalam  korelasi demikian  ini  persoalannya  timbul  dalam  posisi  dan  situasi  kaidah  hukum yang  bagaimana  menjadi  perhatian  dari  Ilmu  Hukum.  Seperti  diuraikan konteks diatas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang  Ilmu  Hukum  ini  yaitu  sosiologi  Hukum  dan  Antropologi  Hukum tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  adanya  kriteria  bahwa  perilaku  atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi  menjadikan  suatu  hal  yang  akan  menjadi  kaidah  hukum  itu  bila dilanggar  menimbulkan  adanya  sanksi. Tanpa    terbagi-bagi  ke  dalam bidang-bidang  kajian,  Ilmu  Hukum  dengan  senirinya  sudah  mengkaji  nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang  dipentingkan  adalah  bidang  perilaku,  terhadap  nilai  atau  kaidah seperti  Sosiologi  Hukum  dan  Antropologi  Hukum  misalnya  lebih  menekankan  pengkajian  perilaku  hukum.  Akan  tetapi  yang  perlu  menjadi titik  tolak  bidang  kajian  Ilmu  Hukum  adalah  Kaidah  Hukum  yang berhubungan  dengan  nilai  dan  perilaku.  Kaidah  Hukum  dapat  ditentukan dalam dunia  nyata  sebagai  hukum  yang  hidup  berupa  perilaku  hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.  
Begitu  pula  kaidah  hukum  dapat  ditemukan  dalam  hukum  tertulis seperti  :  UU,  Yurisprudensi,  Keputusn  Pemerintah  Pusat/Daerah  dan  lain sebagainya.  Kaidah  hukum  dapat  pula  ditemukan  dalam  kitab-kitab  suci, ada  kemungkinan  hukum  yang  tercatat/tertulis  berasal  dari  kenyataan hukum,  tetapi  pembentukannya  bersifat  rasional.  Pembentuknya  (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai  pandangan  tertentu  yang  cukup  berperanan  dalam terbentuknya  hukum  tersebut.  Adanya  kepentingan/pandangan  tertentu turut  dipertimbangkan  mengakibatkan  fakta  empiris  akan  menjadai  hukum setelah  diolah  secara  rasional.  Dalam  pembentukan  hukum  yang  terbentuk tidak  berasal  semata-mata  dari  kebiasaan  tetapi  timbul  berdasarkan  suatu pertimbangan  dari  pihak  berwibawa  sehingga  anggota  masyarakat  patuh. Hukum  yang  hidup  (living  Law)  tidak  bisa  lepas  dari  pertimbangan  pihak yang  berwibawa.  Pihak  yang  berwibawa  sudah  tentu  mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah membiasa, serta sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.  
Dengan  demikian  ditinjau  dari  deskripsi  diatas  dapatlah  ditarik  2 (dua)  asumsi  dasar,  yaitu  :  Pertama,  bahwasanya  kaidah  hukum  dapat ditemukan  dalam  hukum  tertulis  dan  tercatat.  Kedua,  bahwasanya pembentukan  hukum  yang  hidup  tidak  lepas  dari  legitimasi  kewibawaan yang  mengakibatkan  adanya  pertimbangan  nilai,  maka  dapat  disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta  empiris  yang  alamiah  dan  fisik  serta  dapat  diserap  dengan  panca indera.  Hukum  bersangkutan  dengan  manusia  yang  secara  utuh  bersosok monodualistis  antara  jiwa  dan  badan,  individu  dan  masyarakat.  Kaidah hukum  berintikan  keadilan.  Adil  dan  tidak  adil  merupakan  pendapat mengenai  nilai  secara  pribadi.  Kaidah  hukum  bersangkutan  dengan martabat  manusia  (human  dignity),  bagaimana  manusia  terlindungi  dari kesewenang-wenangan,  bebas  dari  rasa  takut  dan  lain-lain  dan  ini merupakan  aspek  personal  dari  hukum.  Sedangkan  terhadap  pernyataan bahwa  kaidah  hukum  berlaku  bagi  siapapun  dan  kapanpun,  pedoman  bagi anggota  masyarakat  bertingkah  laku,  dan  untuk  memperhatikan  kaidah hukum  tersebut  dibentuklah  pranata  hukum  dan  lembaga  hukum,  adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum.

Dari Aspek Epistemologi

Bagaimanakah  Ilmu  Hukum  apabila  dikaji  dari  aspek  Epistemologi? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu  kiranya dibahas  selintas  pengertian  “Epistemologi”  ini.  Ditinjau  aspek  etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai  untuk  menunjukkan  adanya  pengetahuan  sistematik.  Sehingga secara  mudah  epistemologi  dapat  diartikan  sebagai  pengetahuan  sistematik mengenai pengetahuan. 
Selanjutnya,  menurut  A.M.W.  Pranarka  menyebutkan,  bahwa : “Webster  Third  New  International  Dictionary  mengartikan  epitemologi sebagai  “the  study  of  methol  and  grounds  of  knowledge,  especially  with reference  to  its  limits  and  validity”.  Pada  tempat  yang  sama  secara  singkat dikemukakan  bahwa  Runnes  didalam  “The  theory  of    knowledge”.  Dalam pada  itu    Runnes  didalam  Dictionary  of  Philosophy  memberikan keterangan  bahwa  epistemology  merupakan  the  bronch  of  philosophy  which investigates the origin, structure methode an validity of knowledge”. 
Selain  itu,  secara  terminologis  maka  Epistemologi  dikenal  dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”.  Di  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  istilah  “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”.
Dari  apa  yang  diuraikan  diatas  maka  ditinjau  melalui  aspek  Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum.
Pada  dasarnya,  apabila  ilmu  hukum  sebagai  ilmu  maka  bertujuan mencari  kebenaran.  Menurut  Theori  Korespodensi  kebenaran  merupakan persesuaian, antara  pengetahuan  dan obyeknya. Sehingga  dengan demikian pengetahuan  terletak  dalam  dimensi  mentalitas  manusia,  sedangkan  obyek dalam  dunia  nyata.  Untuk  menyatakan  adanya  hubungan  inilah  timbul pendapat  antara  faham  empiris  dan  rasionalisme.  Menurut  empirisme pengetahuan  adalah  segenap  pengalaman  manusia,  sedangkan  menurut faham  rasionalisme  maka  akallah/ratiolah  yang  dapat  mengetahui  obyek. Akan  tetapi,  terhadap  hakekat  hukum  tidak  selalu  berdasarkan empirisme/rasionalisme  saja  oleh  karena  gejala  hukum  bukan  saja  berupa pengalaman  manusia  saja  seperti  perilaku  hukum  akan  tetapi  diluar pengalaman  manusia  seperti  nilai-nilai  hukum.  Theori  Kebenaran korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu  guna    mencari  keadilan  yang  benar  digunakanlah  sebuah  metode.  Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan rasionalisme maka  secara  tradisional  dibedakan  dua  metode  ilmu  yakin  metode  deduksi dan  metode  induksi.  Selanjutnya,  dalam  perkembangannya  timbul  metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko – hipotetiko – verifikasi yang berdasarkan pandangan Karl R. Popper muncul theori  faksifikasi.  Dalam  metode  ini  maka  suatu  masalah  berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin baik yang termasuk deduktif atau induktif. Istilah  “  Logiko  –  hipotetiko  “  menempatkan  kaidah  hukum  sebagai  hal mentah  yang  perlu  dimasukkan  ke  dalam  proses  “Verifikasi”  cenderung menjadi justifikasi/pembenaran. Dengan mengadakan verifikasi, maka sebab itu  menurut  Popper  bukan  verifikasi  yang  menjadi  kretarium  demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah faksifikasi yakni kemampuan untuk menyangkal  kesalahan.  Dengan  demikian  Popper  mengganti  verifikasi bersifat induktif dengan falsifikasi deduktif. 
Konkretnya,  metode  ilmu  Hukum  ditentukan  oleh  aspek  Ontologis dan  Axiologis  dari  hukum.  Konsep  mengenai  metode  dan  ilmu  sifatnya universal.  Artinya,  untuk  bidang  apa  saja  atau  untuk  jenis  ilmu  manapun adalah  sama,  tetapi  pengaruh  dari  obyek  suatu  ilmu  tentu  tidak  dapat dihindarkan. Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana  telah  diuraikan  dari  aspek  Ontologi  maka  fokus  utama titik  kajian  substansial  Ilmu  Hukum  adalah  kaidah  hukum.  Tegasnya, eksistensi  hukum  ditentukan  adanya  kaidah  hukum.  Mungkin  kaidah hukum mempunyai nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum.  Ciri  pokok  dari  nilai  dan  perilaku  sebagai  hukum  ialah  sifat normatifnya.  Sudah  tentu  kaidah  hukum  berisi  nilai-nilai  dan  perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai  dan  perilaku.  Nilai  merupakan  turunan  dari  ide  dan  perilaku merupakan  turunan  realitas/fakta.  Apabila  kita  mencita-citakan  suatu  ilmu tentang  hukum/ilmu  hukum  maka  penentuan  metode  Ilmu  Hukum  harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan perilaku sehingga fokus  sentral  atau  fundamental  metode  Ilmu  Hukum  adalah  analisis  atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya bahan kajian sampingan dari  analisis  kaidah.  Maka  oleh  karena  itu  secara  ideal  dalam  Ilmu  Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-hipotetiko-verifikasi.

Dari Aspek Aksiologi

Menurut  Jujun  S  Suriasumantri  maka  ditinjau  dari  aspek  axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk  apa  pengetahuan  yang  berupa  ilmu  itu  dipergunakan  ?  Bagaimana kaitan  antara  cara  penggunaan  tersebut  dengan  kaidah-kaidah  moral  ? Bagaimana  penentuan  obyek  yang  ditelaah  berdasarkan  pilihan-pilihan moral  ?  Bagaimana    kaitan  antara  teknik  prosedural  yang  merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?”

Konkritnya,  dari  aspek  tersebut  Axiologi  Ilmu  Hukum  akan berkoleratif  terhadap  kegunaan  dari  Ilmu  Hukum  itu  sendiri.  Sebagaimana diketahui  bersama  bahwasanya  Ilmu  Hukum  bersifat  dinamis  dalam  artian mempunyai  pengaruh  dan  fungsih  yang  khas  dibanding  dengan  bidang- bidang hukum yang lain.
Apabila  dijabarkan  secara  intens,  detail  dan  terperinci  maka peran/pengaruh  Ilmu  Hukum  tersebut  dari  aspek  Axiologi  Ilmu  adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam proses  pembentukan  hukum  Ilmu  Hukum  melalui  hasil- hasil  penelitian,  kajian  teroritik  dari  para  doktrina  sebagai  bahan masukan  yang  penting  dalam  rangka  menjadi  masukan  untuk menyusun  RUU  (Rancangan  Undang-Undang)  sehingga diharapkan  nantinya  Undang-Undang  yang  diterapkan  dapat berfungsi  maksimal  karena  telah  memenuhi  analisis,  filosofis, yuridis dan sosiologis;


Kedua, dalam  praktek  hukum  lazim  pada  proses  peradilan  oleh  hakim, jaksa/Penuntut  Umum,  Penasehat  Hukum  dipergunakan pendapat  para  doktrina  untuk  menyusun  putusan,  tuntutan  dan pembelaan.  Dari aspek  ini  merupakan  perpaduan  antara  dunia teori dan dunia praktek;
Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan  berpengaruh  kepada  mutu  pendidikan  hukum  dan lulusannya dan;
Keempat, Bahwa  dengan  pesat  dan  majunya  Ilmu  Hukum  akan  menarik, memacu  dan  berpengaruh  kepada  perkembangan  bidang-bidang lainnya  diluar  hukum.  Peranan  Ilmu  Hukum  disini  nampak kepada  bidang-bidang  yang  memerlukan  suatu  kejelasan  dan pengaturan  dimana  suatu  sistem  hukum  berusaha  mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
Sedangkan fungsi Ilmu Hukum dari aspek Axiologi Ilmu nampak dalam: 
Pertama, Bahwa  Ilmu  hukum  berusaha  mensistemasi  bahan-bahan  hukum yang  terpisah-pisah  secara  komprehensif  dalam  suatu  buku hukum seperti: Kondefikasi, Unifikasi dan lain-lain;
Kedua,   Bahwa  adanya  fungsi  Ilmu  Hukum  yang  mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan  dan  diperlukan  oleh  bidang-bidang lain  serta  sehingga  sebagai  pencerahan  guna  mengatasi  kesulitan dan  kebuntuan  yang  meluas  dalam  dunia  hukum  khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legalitas.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Konkritnya,  bidang  telaah  sebagaimana  konteks  diatas  merupakan bidang Ontologi. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu  Hukum  maka  bidang  Ontologi  Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum. Ternyata dari Ontologi maka kajian substansial Ilmu  Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat  dipisahkan  dari  kaidah  Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian  ini  persoalannya  timbul  dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang  bagaimana  menjadi  perhatian  dari  Ilmu  Hukum.
Bagaimanakah  Ilmu  Hukum  apabila  dikaji  dari  aspek  Epistemologi? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu  kiranya dibahas  selintas  pengertian  “Epistemologi”  ini.  Ditinjau  aspek  etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai  untuk  menunjukkan  adanya  pengetahuan  sistematik.  Sehingga secara  mudah  epistemologi  dapat  diartikan  sebagai  pengetahuan  sistematik mengenai pengetahuan. Selain  itu,  secara  terminologis  maka  Epistemologi  dikenal  dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”.  Di  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  istilah  “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”. Dari  apa  yang  diuraikan  diatas  maka  ditinjau  melalui  aspek  Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum. Pada  dasarnya,  apabila  ilmu  hukum  sebagai  ilmu  maka  bertujuan mencari  kebenaran.  Menurut  Theori  Korespodensi  kebenaran  merupakan persesuaian, antara  pengetahuan  dan obyeknya. Sehingga  dengan demikian pengetahuan  terletak  dalam  dimensi  mentalitas  manusia,  sedangkan  obyek dalam  dunia  nyata.
Menurut  Jujun  S  Suriasumantri  maka  ditinjau  dari  aspek  axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk  apa  pengetahuan  yang  berupa  ilmu  itu  dipergunakan  ?  Bagaimana kaitan  antara  cara  penggunaan  tersebut  dengan  kaidah-kaidah  moral  ? Bagaimana  penentuan  obyek  yang  ditelaah  berdasarkan  pilihan-pilihan moral  ?  Bagaimana    kaitan  antara  teknik  prosedural  yang  merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?” Konkritnya,  dari  aspek  tersebut  Axiologi  Ilmu  Hukum  akan berkoleratif  terhadap  kegunaan  dari  Ilmu  Hukum  itu  sendiri.  Sebagaimana diketahui  bersama  bahwasanya  Ilmu  Hukum  bersifat  dinamis  dalam  artian mempunyai  pengaruh  dan  fungsih  yang  khas  dibanding  dengan  bidang- bidang hukum yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Jujun S.  Suriamantri. 1996. Filsafat  Ilmu  Sebuah  Pengantar. Jakarta: Pustaka  Sinar Harapan. 
J.J.H.  Bruggink. 1996. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Darmadi, Sugijanto. 1998. Kedudukan  Ilmu  Hukum  Dalam  Ilmu  dan  Filsafat  sebuah
Eksplorasi Awal Menuju Ilmu Hukum yang Intregalistik Dan Otonomi. Bandung: CV
Mandar Maju.
A.M.W.  Pranarka. 1987. Epistemologi Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Praklamasi
Centre For Strategic and International Studies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot