2.1. Pengenalan Filsafat Pendidikan
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yang terdiri dari dua suku kata yaitu philos dan Sophia. Philos berarti cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan. Oleh sebab itu, secara etimologis filsafat berarti “love of wisdom.”[1] Rene Decrates mendefinisikan filsafat sebagai himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia.[2] Adapun makna pendidikan adalah upaya yang sengaja untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Pendidikan dapat dikatakan sebagai sebuah usaha yang dilakukan secara sadar untuk mengenalkan manusia terhadap realita kehidupannya. Dalam hal ini jelas bahwa pendidikan yang diberikan harus didasarkan atas landasan pelaksanaan pendidikan, kebutuhan peserta didik serta tujuan yang hendak dicapai lewat proses pendidikan tersebut. Dari kedua pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat dan isi yang ideal dari pendidikan.
Jadi berfikir filsafat dalam pendidikan adalah berfikir mengakar atau menuju
akar atau intisari pendidikan. Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar
filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat
atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah
yang dimaksud dengan pengetahuan dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri
dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu?
Walaupun kenyataannya
berbagai pemikiran yang hadir kemudian menjadi “mazhab” dalam penyelenggaraan
pendidikan itu dicetuskan beberapa puluh tahun yang lalu, bahkan beberapa ratus
tahun yang lalu, namun nampak nyata bahwasanya pemikiran tersebut sangat
mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan pada masa kini. Pemikiran para ahli
tersebut lazimnya dikatakan sebagai aliran pendidikan atau ada pula yang
menamakan sebagai mazhab filsafat pendidikan. Namun, dari berbagai aliran yang
ada dalam pendidikan, aliran yang utama digunakan di Indonesia ialah filsafat
pendidikan Pancasila.
2.2. Pancasila Sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan
Nasional
Bangsa
Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara yaitu pancasila sebagai falsafah
negara. Pancasila
merupakan dasar dan filsafat hidup bagi negara kita, Negara Republik Indonesia.
Maka sesungguhnya negara kita memiliki filosofis pendidikan sendiri dalam
sistem pendidikan. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia perlu mengkaji
nilai yang terkandung dalam pancasila untuk dijadikan titik balik untuk praktek
pendidikan di Indonesia.
Pancasila
patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada
segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan
Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian
selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989
yang menegaskan bahwa pembangunan nasional termasuk di bidang pendidikan adalah
pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara
lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang
tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI
No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula
bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa
Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar Negara Republik
Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa
manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang
menjadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan.
Dengan kata lain, Pancasila berfungsi sebagai sumber sistem nilai dalam
pendidikan.
Bangsa
Indonesia meyakini bahwa adanya alam semesta ini tidak hanya ada begitu saja
namun ada yang menciptakan yaitu Tuhan YME. Begitupun manusia, manusia
merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Manusia diberi potensi oleh Tuhan untuk dapat
beriman dan berbuat baik, akan tetapi manusia pun dapat melakukan kejahatan
karena Tuhan pun memberikan hawa nafsu dalam diri manusia. Manusia bisa
memperoleh pengetahuan melalui utusan Tuhan ataupun lewat alam semesta dan
termasuk hukum-hukumnya. Tuhan merupakan sumber pengetahuan yang utama dan sumber pertama segala nilai.
Menurut
aliran ini, pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik dapat aktif
mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik. Karena pendidikan
merupakan usaha yang sadar, maka pendidikan pasti mempunyai tujuan yang jelas.
Menurut aliran ini, tujuan dari pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, mandiri, menjadi
warga negara yang baik. Tidak seperti aliran-aliran lainnya yang menerapkan
kurikulum secara menyeluruh, namun di Negara kita Indonesia ini kurikulum
disusun sesuai tingkatan jenjang pendidikan.
Maka
untuk itu, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan bagi peserta didik dan
pendidikpun harus bisa memberikan siswa kesempatan untuk dapat belajar mandiri.
Pada hakikatnya, pendidikan diletakan pada usaha untuk dapat menggali dan
mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik agar tidak hanya bisa
mencapai perubahan namun juga diharapkan para peserta didik dapat menjadi agen
atau pelopor dari suatu perubahan.
Setiap
aliran dalam filsafat pendidikan pasti berusaha untuk menghasilkan pemikiran
yang sempurna untuk diterapkan dalam
sistem pendidikan, begitupun dengan aliran filsafat pendidikan pancasila,
sistemnya sudah cukup baik namun mungkin penerapannya saja yang masih banyak
kekurangan, karena pendidik terkadang masih sulit untuk bisa mengidentifikasi
potensi yang terdapat dalam diri peserta didik sehingga pendidik belum dapat
mengarahkan ataupun mengembangkan potensi yang masih terpendam dalam diri
peserta didik.
2.3. Masalah Seputar Pendidikan di
Indonesia
Dari
pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa untuk membentuk filsafat
pendidikan yang khas Indonesia memamg bukan hal yang mudah dan membutuhkan
usaha yang cukup besar dari semua pihak. Di lain sisi, disini kita juga perlu
mengkaji hal-hal yang menjadi masalah dalam pendidikan kita saat ini, dimana
masalah ini menunjukkan perilaku masyarakat, khususnya peserta didik yang kaitannya
dengan pemikiran pendidikan yang ada di Indonesia saat ini.
Berbicara
mengenai pendidikan di Indonesia, sebenarnya negara kita mempunyai tokoh
pendidikan yang sangat kuat, yakni Ki Hajar Dewantara. Dengan konsep
Tri-Pusat-nya (individu-sekolah-masyarakat), ia mengajarkan bahwa segala nilai
dan norma yang baik yang didapatkan peserta didik di sekolah semestinyalah bisa
merembes masuk ke dalam masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi, pasti ada
sesuatu yang salah dalam proses pendidikan itu. Terjadinya diskontinuitas itu
bisa jadi disebabkan oleh orientasi pendidikan itu. Misalnya, pendidikan
sekarang lebih menekankan NEM (Nilai Ebtanas Murni) daripada aspek humanisasi.
Jika kita bertanya pada anak SD, SMP, SMA, atau bahkan tingkat universitas
sekalipun, tolak ukur keberhasilan mereka pastilah NEM. Jika ini yang dikejar,
maka tidak mustahil mereka akan jatuh pada upaya mengejar hanya nilai saja dan
lupa bahwa diri mereka yang harus dimekarkan.
Pemikiran seperti ini lambat laun akan merusak tatanan pendidikan kita,
karena jika semua orang hanya mementingkan NEM tanpa melihat kualitas yang dimiliki
oleh seseorang, maka hasilnya adalah Indonesia ”hanya” akan menghasilkan
individu yang besar dengan kuantitas/nilai tanpa memiliki kualitas yang bisa
dibanggakan.
Dalam sebuah
makalah milik ketut Sumarta yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”, ia
menggambarkan situasi Indonesia yang lebih ironis lagi. Ia memulai dengan
memaparkan rintihannya mengenai masyarakat Indonesia yang sudah dikuasai oleh
budaya kekerasan. Mungkin sebuah ironisme yang sangat menyakitkan ketika kita
melihat para pelajar yang berhamburan keluar dari sekolah langsung tawuran.
Bagaimana mungkin para mahasiswa yang dilatih untuk menjadi intelektual dalam
suatu demonstrasi akhirnya membalas
tindakan kekerasan aparat dengan membakar mobil aparat? Di sinilah tugas
pendidikan untuk memberi pengertian tentang demokrasi serta budaya santun
berpolitik. Berdasarkan hal-hal itulah rancangan mengenai filsafat pendidikan
yang khas Indonesia harus diletakkan. Apalagi jika kita melihat bahwa dasar
filsafat pendidikan kita adalah pancasila, maka seharusnya hal-hal seperti itu tidaklah
terjadi karena bertentangan dengan landasan pendidikan negara kita. Maka dari
sini dapat disimpulkan bahwa pengamalan terhadap sila-sila tersebut belumlah
berjalan semestinya sehingga masih terjadi penyelewengan dimana-mana. Jika
begitu, dapat dikatakan bahwa sila itu hanya berdiri sendiri sebagai suatu
landasan, tapi pengimplementasian terhadap silanya belum kita dapatkan.
2.4. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia
Secara umum,
dapat dipahami bahwa tujuan dari filsafat ialah bermaksud untuk membangun
sebuah sisitem berpikir dalam khazanah keilmuan. Dengan melihat keadaan
Indonesia yang multikultural dengan berbagai karakter yang berbeda di setiap
wilayahnya, serta jika ditinjau dari
segi politis, kata “Indonesia” baru menggumpal sebagai bangsa pada sumpah
pemuda tahun 1928 dan sebelum itu Indonesia lebih dikenal sebagai nusantara.
Oleh karena itu, jika ingin merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang khas
Indonesia, kita harus memandang dua aspek yang cukup mendasar, yakni pluralitas
(kebudayaan, bahasa, agama, suku, ras, dan geografi) dan aspek antropologis-historis
yakni adanya “bangsa Indonesia” (sejarah nusantara, zaman kerajaan-kerajaan,
pra-penjajahan, penjajahan, masa perjuangan kemerdekaan, transisis menuju
kemerdekaan, masa kemerdekaan awal, dan seterusnya hingga sekarang ini).
Jika sekarang
ini kita mengalami sebuah kesulitan besar dalam membuat sebuah sistem
pendidikan yang cocok untuk “manusia indonesia”, barangkali itu disebabkan
konsep dan sistem pendidikan Indonesia tidak memahami dua aspek tersebut.
Pendidikan kita lebih merupakan impor dan penerusan dari tradisi warisan
belanda yang kemudian dalam proses ditambah di sana-sini dengan mengambil dari
Amerika, Jerman, atau yang lainnya. Lalu dasar filsafat pendidikan yang
menggumpalkan manusia Indonesia dalam dimensi pluralitas dan
antropologis-historisnya menjadi kabur. Maka tidak heran, jika pada saat kita
ditanya tentang apa itu filsafat pendidikan yang khas Indonesia, kesulitanpun
muncul.
Dalam
perbincangan mengenai filsafat pendidikan, ada sebuah pertanyaan menarik:
apakah kita memerlukan filsafat pendidikan? Semua peserta akhirnya sepakat
bahwa perlu sebuah filsafat pendidikan atas alasan: tanpa filsafat pendidikan,
hasil dan arah pendidikan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Filsafat pendidikan menjadi faktor pendorong dan memberi
motivasi pada gerak pendidikan secara keseluruhan. Maka, filsafat pendidikan
itu harus dibangun berdasarkan realitas Indonesia yang murni, bukan didatangkan
dari luar, karena pada dasarnya kita sudah punya peluang dan dasar untuk
membangun filsafat itu, yakni pengalaman penderitaan yang begitu lama dialami
oleh bangsa Indonesia.[3]
Dunia
pendidikan di Indonesia memang belum mempunyai konsep atau teori-teori sendiri
yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian
dan cara–cara mencapai tujuan pendidikan. Sebagian besar konsep atau teori
pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk
diterapkan di Indonesia. Teori-teori tersebut biasa didapat dengan cara belajar
diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding dan yang paling banyak
dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain.
Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyusun
sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini.
Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam
penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku-buku. Dengan demikian,
dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa
patung dengan cetakan luar negeri. Hasilnya tentu tidak sama persis seperti
manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.
Saat ini
pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian
terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini, namun
belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkannya.
Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para
pendidik terhadap pendidikan itu sendiri.
Ada suatu
hasil penelitian bertalian dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan
kawan-kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP
Jakarta dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian
itu menemukan hal-hal sebagai berikut :
1) Lebih
dari separo responden menginginkan penegasan
kembali pengertian pendidikan dan pengajaran.
2) Hampir separo
responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang
dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan
pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
3) Para
mahasiswa dan dosen berpendapat pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu
hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan.
4) Semua responden menyatakan
kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman pandangan di atas
membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan guru tidak
mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak.
Dari hasil
penelitian tersebut di atas, dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan
ilmu pendidikan, yaitu :
(1) Belum
jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
(2)
Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan.
(3)
Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
(4)
Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
(5)
Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
(6)
Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam
masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan
sebagai ilmu belum ditangani. Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu
dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada
para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan
seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk
mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid,
terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang
khusus membahas pendidikan yang tepat diterapkan di bumi Indonesia. Dengan kata
lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan
terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Bagaimana
kiat untuk meningkatkan kegiatan usaha merumuskan filsafat pendidikan Indonesia
ini yang kini baru dalam tahap perhatian yang bersifat sporadic? Tampaknya
kiat itu perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini,
yakni seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa filsafat pendidikan
hendaknya dibangun di atas realitas Indonesia yang murni dan bukan berasal dari
negara lain dan ini pastilah membututuhkan intervensi pemerintah Indonesia itu
sendiri. Sesuatu akan terjadi secara relatif lebih mudah bila gagasan itu
bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat
pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam perkembangannya manakala
pemrakarsa dapat menggugah hati pemerintah untuk menyetujuinya.
Upaya
mendorong pemerintah untuk memberi syarat akan pentingnya merumuskan filsafat
pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan
menjelang sidang umum MPR (kompas, 27 Nopember 1992), sebagai satu
sumbangan untuk bahan sidang umum itu. Namun, GBHN 1993 sebagai produk sidang
itu tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu.
Hal ini menunjukkan kemauan politik pemerintah kearah itu belum ada.
Di samping
kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum
ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan
teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar
mudah diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan
menjadi 45 butir, tetapi penjabaran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan
kerja para ahli pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan
di lapangan. Sampai sekarang tidak setiap ahli diperkenankan menjabarkan
sila-sila Pancasila. Yang diperbolehkan menjabarkan sila-sila itu hanya BP7
pusat, dengan maksud sangat mungkin untuk menghindari kesimpangsiuran makna
sila-sila Pancasila itu sendiri.
Tetapi bila
para ahli pendidikan yang berwewenang merumuskan filsafat pendidikan tidak
diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila itu,
hal ini akan membatasi kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu.
Bila hal itu tidak bisa ditawar-tawar, mungkin dapat diambil jalan
kompromi yaitu dengan dibentuk tim yang anggotanya beberapa ahli pendidikan dan
beberapa anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan salah satu faktor
penghambat pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia dapat diatasi.
Andaikan
isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu
kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang
harus dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah:
(1) Apakah
filsafat pendidikan yang akan dibentuk yang sesuai dengan kondisi dan budaya
Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain?
(2) Apakah
filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang
sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensilais, Perenialis, Progesivise,
Rekonstruksionis, dan Eksistensialis, sehingga tinggal merevisi agar cocok
dengan kondisi Indonesia?
(3) Ataukah
filsafat itu dimunculkan bersumber dari filsafat-filsafat umum yang
berlaku secara Internasional, seperti yang dilaksanakan oleh Negara Australia.
Ahli pendidikan di Australia menyatakan filsafat yang mendasari pendidikan
mereka adalah Liberal, Demokrasi, dan multikultural, seakan-akan mereka tidak
memiliki filsafat khusus tentang pendidikan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya filsafat yang diterapkan di
Indonesia adalah filsafat pendidikan pancasila. Di sini pancasila menjadi
landasan dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Namun dalam prakteknya
di dunia pendidikan, pengamalan terhadap sila-silanya belumlah berjalan seperti
yang diharapkan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kesulitan dalam mengkaji nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari masalah yang terjadi di
dunia siswa, dimana siswa yang dididik untuk memiliki intelektual yag tinngi
malah memilih jalan kekerasan dalam menyelesaikan suatu perkara. Hal ini
tentulah bukan kesalahan landasan pendidikan kita, sistem yang ada sudah sangat
bagus, hanya pengimplementasiannya saja yang masih perlu diperhatikan serta
penghayatan terhadap seluruh sisa-sisa yang ada.
Akhirnya, untuk masalah
ini didapatlah sebuah jalan keluar, yakni perlu adanya campur tangan pemerintah
dalam memperhatikan tentang perumusan dari sila-sila ini serta
diberikan kesempatan kepada para ahli pendidikan yang berwewenang untuk
merumuskan filsafat pendidikan dan diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan
sendiri sila-sila Pancasila tersebut.
3.2. kritik dan Saran
Kami
selaku penulis mengharapkan dengan adanya makalah sederhana ini dapat menambah
wawasan bagi para pembaca, khususnya dalam memahami keadaan serta pemikiran
pendidikan kita di Indonesia. Makalah ini hanya membahas sedikit dari
keseluruhan pembahasan tersebut, untuk itu jika pembaca ingin memperdalam
pengetahuan tentang hal ini, disarankan untuk membaca di berbagai sumber lain
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya
kami sebagai penulis memohon maaf atas kekurangan materi yang kami paparkan
dalam makalah ini serta kami mengharapkan saran yang membangun dari pembaca
sekalian untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rachmat, Aceng, et al.. 2013. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta:
Kencana.
Sindhunata (Editor). 2006. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Tilaar, H.A.R.. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
[1]
Martini Djamaris, Filsafat Ilmu Lanjutan,
Bab 6, ”Ilmu, Filsafat, dan Filsafat Ilmu,” hal. 104.
[2]
Martini Djamaris, Filsafat . . .,
hal. 105
[3]
Dedy Kristanto dan St. Sularto, Menggagas
Paradigma Baru Pendidikan, Rangkuman “Paradigma: Filsafat Pendidikan yang
Berpijak Pada Realitas,” hal. 250