Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Minggu, 30 Oktober 2016

Makalah Harta Benda Wakaf, Pengertian dan Mekanismenya

Oktober 30, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya, seperti yang berkaitan dengan konteks amal ibadah pokok seperti shalat, selain itu islam juga mengatur hubungan sosial kemasyarakatan maupun dalam hal pendistribusian kesejahteraan (kekayaan) dengan cara menafkahkan harta yang dimiliki demi kesejahteraan umum seperti adanya perintah zakat, infaq, shadaqah, qurban, hibah dan wakaf.


Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam yang beberapa diantaranya telah mengenal wakaf dengan baik . Potensi wakaf sebagai salah satu sumber dana publik mendapat perhatian cukup dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya bermunculan lembaga-lembaga amal yang salah satu peranannya adalah mengelola dana umat, dalam hal ini termasuk wakaf. Dengan adanya pengelolaan wakaf dari lembaga lembaga amal diharapkan wakaf dapat memajukan kesejahteraan umum.Pada  umumnya wakaf diartikan dengan memberikan harta secara sukarela  untuk digunakan bagi kepentingan umum dan memberikan manfaat bagi orang banyak seperti untuk masjid, mushola, sekolah, dan lain-lain. Dengan seiring berjalannya waktu wakaf nantinya tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan sosial tetapi juga memiliki kekuatan ekonomiyang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perludikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Saat ini definisi wakaf lebih mudah dipahami, yaitu wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Lalu pengertian harta benda wakaf sendiri juga mengalami perubahan maksud yang lebih mudah, yaitu bahwa  harta benda wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif, yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah. Harta benda wakaf tersebut dapat berupa  harta benda tidak bergerak maupun yang  bergerak.
Setelah mengetahui harta benda wakaf, maka proses selanjtnya yang harus di ketahui adalah, mekanisme pelaksanaan wakaf tersebut guna menghindari perwakafan yang tidak terdata sehingga dapat menimbulkan persengketaan di kemudian hari.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka penulis merumuskan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini, yakni sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan wakaf?
2.      Apa yang dimaksud dengan harta benda wakaf?
3.      Apa saja syarat-syarat harta yang ingin di wakafkan?
4.      Bagaimana mekanisme pelaksanaan harta wakaf?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah[1].
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat atau tetap berdiri. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “habas-yahbisu-tahbisan”.
Kata al-waqf dalam bahasa Arab dapat berarti menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah-milikkan. Oleh karena itu para ahli fikih (fuqaha) berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang pengertian wakaf itu secara substansial.
1.      Imam Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hokum, tetap milik si wakif (orang yang mewakafkan) dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Oleh karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”[2].

2.      Mazhab Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Dengan istilah lainnya adalah pemilik harta menahan benda tersebut dari penggunaan secara pemilikan tetapi memperbolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedangkan benda tersebut tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan tersebut berlaku untuk masa tertentu dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal.[3]
3.      Mazhab Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal
Wakaf dalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik itu dengan pertukaran atau tidak. Apabila wakif meninggal dunia, maka harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya.
Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (orang yang diberi wakaf) sebagai sedekah mangikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Oleh karena itu mazhab Syafii mendefinisikan wakaf adalah “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus sebagai milik Allah SWT dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”[4].
B.     Harta Benda Wakaf
Harta benda wakaf adalah harta benda dimiliki dan dikuasai oleh pewakaf secara sah dan merupakan salah satu unsur penting dalam perwakafan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menegaskan bahwa salah satu syarat utama yang harus dipenuhi mengenai harta benda wakaf adalah harta benda yang hendak diwakafkan dimiliki dan dikuasai oleh pewakaf secara sah.
Dari pengertian di atas dapat dipahami harta benda yang dapat diwakafkan oleh wakif hanya harta yang nyata-nyata dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh pewakaf secara sah. Seorang pewakaf tidak bisa mewakafkan harta yang diperoleh secara sah, akan tetapi tidak dimilikannya atau dikuasai pada saat itu.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 16 tentang harta benda wakaf, harta benda wakaf itu terdiri dari:
a.       Benda tidak bergerak.
b.      Benda bergerak[5]
Peraturan perundangan perwakafan menegaskan bahwa yang dimaksud dengan benda tidak bergerak tersebut meliputi: hak atas tanah, hak atas bangunan, hak atas tanaman, hak milik atas satuan rumah susun dan benda tidak bergerak lain. Sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan perwakafan, bahwa hak atas tanah yang menjadi objek wakaf tersebut adalah hak atas tanah sesuai dengan  peraturan perundangan baik sudah maupun yang belum terdaftar. Hak-hak yang sudah terdaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai. Sedangkan yang belum terdaftar, misalnya Hak Milik Adat, Hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang dimiliki seseorang.
Selain hak atas tanah, hak yang dapat diwakafkan adalah ahak atas bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya seseorang memiliki beberapa petak toko di suatu pusat perbelanjaan. Pemilik toko tersebut dapat mewakafkan satu petak atau beberapa petak dari bangunan toko yang dimilikinya itu.
Selanjutnya yang dapat diwakafkan oleh seseorang pewakaf adalah tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah. Dalam hal ini yang diwakafkan adalah berupa pohon atau pokok tanaman yang berada dan tumbuh di atas tanah, sedangkan tanahnya tidak diwakafkan. Misalnya wakaf pohon kelapa, wakaf pohon sawit, wakaf pohon durian dan lain-lain sebagainya. Wakaf pohon ini banyak ragamnya, misalnya dengan cara, setiap panen kelapa, hasil penjualan buah kelapa dari pokok kelapa yang diwakafkan itu diserahkan kepada Nazhir Mesjid. Hasil penjualan panen buah kelapa tersebut terus diserahkan selama pokok kelapa itu berbuah atau selama diperlukan.
Selain benda tidak bergerak, benda yang bergerak juga dapat diwakafkan, asalkan saja benda tersebut tidak habis karena dikonsumsi seperti beras, minyak makan, kue-kuean, minuman dan barang-barang lainnya yang dapat habis karena dikonsumsi. Pasal 16 ayat (3) UU Wakaf menegaskan benda-benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku[6].
Wakaf berupa benda bergerak misalnya wakaf uang, uang wakaf ini kemudian diinvestasikan, dan hasil investasi yang diperoleh dipergunakan sesuai dengan kehendak pewakaf, misalnya untuk membantu fakir miskin, biaya pendidikan dan lain-lain. Wakaf uang ini potensinya sangat besar, sebab selain pewakaf tidak mesti kaya (karena uang lima ratus rupiah pun dapat diwakafkan) , juga lebih mudah untuk diinvestasikan. Dengan mudahnya untuk diinvestasikan tentu akan lebih cepat untuk menghasilkan, kalau wakaf sudah menghasilkan maka pewakaf akan lebih cepat untuk memperoleh aliran pahala.
Objek wakaf berupa logam mulia, misalnya berupa koin mas, atau barang-barang perhiasan lainnya. Sedangkan objek wakaf berupa surat berharga misalnya berupa saham di perusahaan, pada saat perusahaan membagi deviden atas saham-saham, maka dividen atas saham yang telah diwakafkan dipergunakan sesuai dengan tujuan yang dikemukakan oleh pewakaf pada saat berwakaf.
Benda bergerak lainnya yang dapat diwakafkan adalah kenderaan, misalnya pemilik kenderaan  mewakafkan kenderaan yang dimilikinya untuk transport anak-anak Panti Asuhan. Selanjutnya benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah hak atas kekayaan intelektual (HAKI), misalnya seorang pengarang buku, mewakafkan hak cipta yang dimilikinya atas sebuah buku, selanjutnya royalti yang diperoleh dari penjualan buku tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf oleh pengarang buku yang telah mewakafkan haknya.
Selain benda-benda bergerak yang dikemukakan diatas,  yang digolongkan kepada benda bergerak  yang dapat diwakafkan adalah hak sewa. Misalnya seseorang pewakaf menyewa sebuah rumah selama dua tahun, kemudin hak sewa selama dua tahun tersebut diwakafkan untuk kepentingan tempat tinggal pelajar dan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu. Begitu juga benda-benda bergerak lainnya yang dapat dipergunakan sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
C.    Syarat-Syarat Harta Yang di Wakafkan
Adapun syarat sahnya harta wakaf, adalah :
a.       Harta yang diwakafkan harus merupakan harta yang bernilai (mal mutaqowwam). Mutaqowwam adalah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat) dan memiliki nilai (harga). Contoh barang yang tidak mutaqowwam yaitu buku-buku anti Islam, peternakan babi, dan lain sebagainya.
b.      Harta yang akan diwakafkan harus jelas sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan.
c.       Milik pewakaf secara penuh. Contoh : X mewasiatkan pemberian rumah kepada Y. Kemudian Y mewakafkannya kepada Z, sementara X masih hidup. Wakaf ini tidak syah karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah setelah yang berwasiat wafat. Contoh lain mewakafkan barang gadai, barang curian, dsb.
d.      Harta tersebut bukan milik bersama (musya’) dan terpisah. Para ulama sepakat bahwa harta wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur, khususnya untuk masjid dan kuburan karena wakaf tidak terlaksana kecuali harta itu terpisah dan bebas (independen). Contoh : A mewakafkan sebagian dari harta bersama untuk dijadikan masjid atau pemakama n maka ini tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan ditetapkan batas-batasnya.
e.       Syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf terkait harta wakaf. Syarat yang ditetapkan pewakaf dapat diterima asalkan tidak melanggar prinsip dan hukum syariah/wakaf ataupun menghambat pemanfaatan barang yang diwakafkan.Pengertian Harta Benda Wakaf.

D.    Mekanisme Pelaksanaan Harta Wakaf
Setelah mengetahui pengertian wakaf dan pengertian harta benda wakaf, maka kita hal yang harus dimengerti ialah, bagaimana mekanisme pelaksanaan harta wakaf yang terjadi didalam masyarakat. Adapun mekanisme yang harus dilakukan seseo-rang sebelum menyerahkan harta wakaf yaitu,
1.      Mekanisme Penyerahan Harta Benda Yang Tidak Bergerak (Tanah)
a.       Calon Wakif (orang yang ingin mewakafkan) melakukan musyawarah dengan keluarga untuk mohon persetujuan untuk mewakafkan sebagian tanah miliknya.
b.      Syarat tanah yang diwakafkan adalah milik Wakif baik berupa pekarangan, pertanian (sawah-tambak) atau sudah berdiri bangunan boleh berupa tanah dan bangunan prduktif, atau bila tanah negara sudah dikuasai lama oleh nadzir/pengurus lembaga sosial-agama dan berdiri bangunan sosial-agama.
c.       Calon Wakif memberitahukan kehendaknya kepada Nadzir (orang yang diserahi mengelola harta benda wakaf) di  Desa/Kelurahan atau Nadzir yang ditunjuk.
d.      Nadzir terdiri dari
                    i.            Nadzir Perorangan biasa disebut Nadzir Desa/Kelurahan atau Nadzir yang ditunjuk (Minimal 3 orang maksimal 5 orang berdomisili KTP di kecamatan wilayah tempat Objek Wakaf)
                  ii.            Nadzir Organisasi contoh Pengurus NU atau Pengurus Muhammadiyah di tingkat kecamatan atau kabupaten.
                iii.            Nadzir Badan Hukum (memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku)
e.       Calon Wakif dan Nadzir memberitahukan kehendaknya kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yaitu Kepala KUA yang mewilayahi tempat objek wakaf guna merencanakan Ikrar Wakaf dengan membawa bukti asli dan foto copy kepemilikan (Sertifikat Hak, HGB, Petok atau Keterangan Tanah Negara (yang sdh dikuasai Lembaga Sosial dan didirikan bangunan sosial)
f.       Bila objek yang diwakafkan berasal dari sertifikat hak milik yg dipecah (tidak diwakafkan keseluruhan) maka perlu dipecah dulu sesuai dengan luas yang diwakafkan (proses pemisahan/pemecahan sertifikat di BPN). Bila dari tanah yasan/bekas hak adat, atau dari tanah Negara perkiraan luas yang diwakafkan mendekati luas riel,
g.      Calon Wakif & Nadzir memenuhi persyaratan administrasi yang dibutuhkan (lihat lampiran persyaratan administrasi) Diusakan persyaratan administrasi telah lengkap sebelum dilaksanakan Ikrar Wakaf
h.      Setelah persyaratan diperiksa dan cukup memenuhi syarat, Ikrar Wakaf dilaksanakan di depan PPAIW dan diterbitkan Akta Ikrar Wakaf (untuk wakaf baru/wakifnya masih ada) atau Akta Ikrar Pengganti Ikrar Wakaf (untuk wakaf telah lama dilakukan oleh wakif dibawah tangan dan wakifnya telah meninggal dunia, ahli waris hanya mendaftarkan wakaf)
i.        Nadzir atau orang yang ditunjuk mendaftarkan Tanah Wakaf ke Kantor BPN setempat untuk mendapatkan sertifikat Tanah Wakaf sesuai dengan persyaratan yang ada.

2.      Mekanisme Penyerahan Harta Benda Yang Bergerak (Wakaf Tunai)
Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’.Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan  uang,) menurut mazhab hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah atau  mubadha’ah. Sedang   keuntungannya disedekahkan   kepada pihak  wakaf[7]
Adapun mekanisme yang harus dilakukan oleh seorang wakif adalah sebagai berikut
1.      Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah
2.      Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang  asing, maka harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam rupiah[8].
3.      Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
a.       Hadir di Lembaga Keuangan Syari'ah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
b.      Menjelaskan kepemilikan dan asal usul yang akan diwakafkan;
c.       Menyetor secara tunai keLKS-PWU;
d.      Mengisi formulir peryataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai akta ikrar wakaf.
4.      Dalam hal wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
5.      Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang selanjutnya nazhir menyerahkan akta ikrar wakaf tersebut kepada LKS[9].


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT atau dapat dikatakan juga perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.Masih cukup banyak harta benda wakaf, terutama yang berupa tanah, yang belum dikelola secara baik dan maksimal.
2.      Harta benda wakaf adalah harta benda dimiliki dan dikuasai oleh pewakaf secara sah dan merupakan salah satu unsur penting dalam perwakafan. Harta benda wakaf itu terdiri dari:
a.       Benda tidak bergerak.
b.      Benda bergerak
3.      Adapun syarat sahnya harta wakaf, adalah :
                                     a.      Harta yang diwakafkan harus merupakan harta yang bernilai (mal mutaqowwam).
                                    b.      Harta yang akan diwakafkan harus.
                                     c.      Milik pewakaf secara penuh.
                                    d.      Harta tersebut bukan milik bersama (musya’) dan terpisah.
                                     e.      Syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf terkait harta wakaf.



4.      Adapun mekanisme pelaksanaan harta wakaf antaralain:
a.       Mekanisme Penyerahan Harta Benda Yang Tidak Bergerak (Tanah)
o   Calon Wakif melakukan musyawarah dengan keluarga untuk mohon persetujuan untuk mewakafkan sebagian tanah miliknya.
o   Syarat tanah yang diwakafkan adalah milik Wakif.
o   Calon Wakif memberitahukan kehendaknya kepada Nadzir.
o   Calon Wakif dan Nadzir memberitahukan kehendaknya kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
o   Bila objek yang diwakafkan berasal dari sertifikat hak milik yg dipecah (tidak diwakafkan keseluruhan) maka perlu dipecah dulu.
o   Calon Wakif & Nadzir memenuhi persyaratan administrasi.
o   Setelah persyaratan diperiksa dan cukup memenuhi syarat, Ikrar Wakaf dilaksanakan di depan PPAIW.
o   Nadzir atau orang yang ditunjuk mendaftarkan Tanah Wakaf ke Kantor BPN.

b.      Mekanisme Penyerahan Harta Benda Yang Bergerak (Wakaf Tunai)
o   Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah
o   Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
§  Hadir di Lembaga Keuangan Syari'ah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
§  Menjelaskan kepemilikan dan asal usul yang akan diwakafkan;
§  Menyetor secara tunai keLKS-PWU;
§  Mengisi formulir peryataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai akta ikrar wakaf.
o   Dalam hal wakif tidak dapat hadir maka wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
o   Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW.



DAFTAR PUSTAKA
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu  (Damaskus: Dar al-Fkr, 1985, Juz x)
Khosyi’ah Siah, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010)
Muhammad, Abu  As-Su’ud, Risalatu fi  Jawazi Waqfi An- Nuqud, Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997
  Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu fi Jawazi Waqfi An-Nuqud (Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997).
Undang-Undang Nomor  41 Tahun 2004


[1] Khosyi’ah Siah, Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010) hal:15
[2] Ibid, hal: 18
[3] Ibid, hal: 19
[4] Ibid, hal: 19
[5] Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
[6] Pasal 15-16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
[7] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu  (Damaskus: Dar al-Fkr, 1985, Juz x)  hal. 7610.
[8] Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu fi Jawazi Waqfi An-Nuqud (Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997), hal. 20-21.
[9] Pasal  28-31 Undang-Undang Nomor  41 Tahun 2004
Read More

Kamis, 27 Oktober 2016

Makalah Pengertian dan Konsep Hukum Adat

Oktober 27, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri,yang satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
Maka dari tu dalam memahami hukum adat, kita harus terlebih dahulu mengetahui apa itu hukum adat serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
b. Rumusan masalah
a. Apa pengertian hukum adat?
b. Konsep hukum adat
c. Apa unsur-unsur hukum adat?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. 

Pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Beberapa pendapat pakar yang lain tentang pengertian hukum Adat antara lain:
1. Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
2. Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi: a) Hukum Negara, b) Hukum Tata Usaha Negara, c) Hukum Pidana, d) Hukum Perdata, dan e) Hukum Antar Bangsa Adat.
Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar,
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian.
Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi, ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi (dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson Tahun 1850.
B. Konsep Dasar Hukum Adat
Konsep dasar hukum adat dapat ditelaah dari pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Sehingga dapat dikatakan bahwa adat merupakan pola tingkah laku kebiasaan suatu suku bangsa. Namun demikian terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli mengenai konsep hukum adat. Diantaranya adalah:
a. Menurut Prof. Mr. C. van Vollenhoven
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Aturan-aturan tingkah laku bagi pribumi dan Timur Asing  yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).
b. Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn.
            Hukum adat adalah aturan adat yang mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan petugas hukum seperti kepala adat, hakim, dan lain-lain, baik di dalam maupun di luar persengketaan. Ajaran dari Ter Haar ini terkenal dengan ajaran keputusan (fungsionaris hukum).

 c. Menurut Roelof van Dijk
            Hukum adat adalah suatu istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi dalam kalangan orang pribumi dan Timur Asing. Lebih lanjut untuk membedakan antara peraturan-peraturan hukum dari peraturan adat lainnya di pasang kata hukum di depan kata adat. Sehingga hukum adat dan adat bergandengan erat.
d. Menurut Prof. Holleman
            Hukum adat adalah norma-norma hukum yang hidup yang disertai sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan.
e. Menurut Mr. J.H.P. Bellefroid
            Hukum adat adalah sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa tetapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
f. Menurut Prof. Logemann
            Hukum adat adalah norma-norma pergaulan hidup bersama, yaitu peraturan-peraturan tingkah laku yang harus diturut oleh segenap warga pergaulan hidup bersama itu. Norma-norma tersebut mempunyai sanksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa norma yang memiliki sanksi adalah norma hukum.
g. Menurut Mr. L.W.C. van den Berg
            Berdasarkan teori receptio in complexu, hukum adat adalah sama dengan hukum agama yang dianut oleh sekelompok orang tertentu. Jadi tegasnya kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.


h. Menurut Mr. Is. H. Cassutto
            Hukum adat adalah segenap aturan-aturan yang dipengaruhi oleh magis dan animisme (pemujaan roh-roh luhur, hukuman dari kekuatan-kekuatan gaib, dan sebagainya).
i. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo
            Hukum adat adalah adat yang telah mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential moment) yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di luar sengketa. Pandangan Kusumadi ini sependapat dengan Ter Haar, tetapi tidak sepenuhnya sama, karena menurut Kusumadi meskipun tidak mendapatkan sifat (dan bentuk hukum) hukum melalui penetapan yang dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum, hukum adat tetaplah ada dan hidup di masyarakat.
j. Menurut Prof. Dr. Supomo S.H.
            Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis (unstatutary law) di dalam peraturan legislatif yang meliputi :
  1. Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen, dewan provinsi dan sebagainya
  2. Hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law).
  1. Hukum yang hidup sebagai kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan baik di kota maupun desa (customary law).

k. Menurut Dr. Sukanto
            Hukum adat adalah sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.

l. Menurut Prof. M.M. Djojodigoeno
            Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan. Pokok pangkal hukum adat adalah ugeran-ugeran dan timbul langsung sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih.

m. Menurut Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat dan mendapat pengakuan masyarakat. Meskipun berbeda, tetapi kaidah hukum dan kaidah kesusilaan memiliki kaitan yang sangat erat. Kaidah hukum juga memiliki unsur sanksi dan paksaan.

C. Unsur-Unsur Hukum Adat
Pada permulaannya untuk menyebut hukum adat antara lain digunakan istilah “godsdienstige wetten” atau hukum agama. Ini suatu bukti adanya kesalah pahaman, dimana hukum adat itu dianggap sama dengan hukum agama.
Menurut Snock Hurgronye, tidak semua bagian hukum agama diterima, diresepsi dalam hukum adat. Hanya sebagian tertentu saja dari hukum adat di pengaruhi oleh hukum agama(terutama bagian hukum keluarga, perkawinan dan hukum waris yang mendapat pengaruh dari hukum agama)
Ter Haar membantah sebagian pendapat Snock Hurgronye bahwa hukum waris tidak dipengaruhi oleh hukum islam. Melainkan hukum adat yang asli.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum adat:
1. Sebagian besar terdiri dari unsur-unsur hukum asli.
2. Sebagian kecil terdiri dari unsur-unsur hukum agama.
Dari batasan-batasan definisi yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis
7. Ditaati dalam masyarakat
Menurut soerodjo wignjodipoero, S.H. hukum adat memiliki dua unsur, yaitu:
1. Unsur kenyataan: bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di indahkan oleh rakyat.
2. Unsur psikologis: bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajiban hukum (opinion yuris necessitatis)





BAB III
PENUTUP
  Kesimpulan
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Dari batasan-batasan definisi yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis
7. Ditaati dalam masyarakat

Read More

Makalah Pembagian Jenis-Jenis Harta (Kajian Fiqh Muamalah)

Oktober 27, 2016


PEMBAGIAN JENIS-JENIS HARTA
            Menurut Fuqaha’ harta dapat ditinjau dari beberapa bagian yang setiap bagian memilik cirri-ciri khusus dan hukumnya tersendiri yang berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan). Namun, pada pembahasan ini hanya akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur yaitu sebagai berikut :

1.      Mal Mutaqawwim dan Ghair al-Mutaqawwim

a.       Harta Mutaqawwim
 ialah sesuatu yang memiliki nilai dari segi hukum syar’I”. Yang dimaksud harta Mutaqawwim dalam pembahasan ini ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Pemahaman tersebut bermakna bahwa tiap pemanfaatan atas sesuatu berhubungan erat dengan ketentuan nilai positif dari segi hukum, yang terkait pada cara perolehan maupun penggunaannya.
Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat islam, tetapi, apabila kerbau tersebut disembelih tidak menurut syara’, semisal dipukul. Maka daging kerbau tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal (tidak sah) menurut syara’.
b.      Harta Ghair al-Mutaqawwim 
Ialah sesuatu yang tidak memiliki nilai dari segi hukum syar’i. Maksud pengertian harta Ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari hartamutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.
Harta dalam pengertian ini, dilarang oleh syara’ diambil manfaatnya, terkait jenis benda tersebut dan cara memperolehnya maupun penggunaannya. Misalnya babi termasuk harta Ghair al-Mutaqawwim , karena jenisnya. Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri temasuk Ghair al-Mutaqawwim, karena cara memperolehnya yang haram. Uang disumbangkan untuk pembangunan tempat pelacuran, termasuk Ghair al-Mutaqawwim karena penggunaannya dilanggar syara’.
Kadang-kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimah, yaitu sesuatu yang mempunyai nilai, seperti pandangan fuqaha’ : sesuatu dinyatakan bermanfaat itu tidak dinilai dengan sendirinya, tetapi ia dilihat dengan adanya akad sewa-menyewa yang dimaksudkan untuk memenuhi keperluan.


2.      Mal Mitsli dan Mal Qimi
a.       Harta Mitsli
Ialah harta yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dalam pembagian ini, harta diartikan sebagai sesuatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta mitsli terbagi atas empat bagian yaitu: harta yang ditakar, seperti gandum, harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi, harta yang dihitung, seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti kain, papan, dan lain-lainnya.
b.      Harta Qimi
Yaitu harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon.
Dengan perkataan lain, pengertian kedua jenis harta di atas ialah mitsli berarti jenisnya mudah ditemukan atau diperoleh di pasaran (secara persis), dan qimi suatu benda yang jenisnya sulit didapatkan serupanya secara persis, walau bisa ditemukan, tetapi jenisnya berbeda dalam nilai harga yang sama. Jadi, harta yang ada duanya disebut mitsli dan harta yang tidak duanya secara tepat disebut qimi.
      Perlu diketahui bahwa harta yang dikatagorikan sebagai qimi ataupunmitsli tersebut bersifat amat relatif dan kondisional. Artinya bisa saja di suatu tempat atau negara yang satu menyebutnya qimi dan di tempat yang lain menyebutnya mitsli
3.      Mal Istihlak dan Mal Isti’mal
a.       Harta istihlak
Yaitu sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya, kecuali dengan menghabiskannya atau merusak dzatnya. Harta dalam katagori ini ialah harta sekali pakai, artinya manfaat dari benda tersebut hanya bisa digunakan sekali saja.
Harta istihlak dibagi menjadi dua, yaitu istihlak haqiqi dan istihlak huquqi. Istihlak haqiqi yaitu suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) dzatnya habis sekali digunakan. Misalnya makanan, minuman, kayu bakar dan sebagainya.
Sedangkan istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi dzat nya masih ada. Misalnya uang, uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuhm hanya pindah kepemilikan.
b.      Harta Isti’mal
Ialah harta yang dapat digunakan berulang kali, artinya wujud benda tersebut tidaklah habis atau musnah dalam sekali pemakaian, seperti kebun, tempat tidur, baju, sepatu, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, perbedaan antara dua jenis harta tersebut di atas, terletak pada dzat benda itu sendiri, mal istihlak habis dzatnya dalam sekali pemakaian dan mal isti’mal tidak habis dalam sekali pemanfaatan (bisa dipakai berulang-ulang).
4.      Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
a.       Harta Manqul
Ialah segala macam sesuatu yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Harta dalam katagori ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan, kendaraan, macam-macam benda yang ditimbang dan diukur.
b.      Harta Ghair al-Manqul atau Al-Aqar
Ialah segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ke tempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dan lainnya. Dalam ketentuan kitab undang-undang hukum perdata, istilah Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul (al-Aqar) diartikan dengan istilah benda bergerak dan atau benda tetap
5.      Mal ‘Ain dan Mal Dayn
a.       Harta ‘Ain
Ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras, kendaraan, dan yang lainnya. Harta ‘Ain dibagi menjadi 2 bagian :
1.      Harta ‘Ain Dzati Qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain dzati qimah meliputi :
a.       Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
b.      Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya.
c.       Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.
d.      Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari sepadanya yang serupa.
e.       Benda yang dianggap harta berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
f.       Benda yang dianggap harta berharga dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
2.      Harta ‘Ain Ghayr Dzati Qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, misalnya sebiji beras.
b.      Harta Dayn
Ialah kepemilikan atas suatu harta dimana harta masih berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan orang lain.
Menurut Hanafiyah harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan daynkarena konsep harta menurut hanafiyah merupakan segala sesuatu yang berwujud (kongkrit), maka bagi sesuatu yang tidak memiliki wujud riil tidaklah dapat dianggap sebagai harta, semisal hutang. Hutang tidak dipandang sebagai harta, tetapi hutang menurut Hanafiyah merupakan sifat pada tanggung jawab (washf fii al-dzimmah)
6.      Mal ‘Aini dan Mal Naf’I (manfaat)
a.       Harta al- ‘Aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk (berwujud), misalnya rumah, ternak, dan lainnya.
b.      Harta an-Nafi’ ialah a’radl yang berangsunr-angsur tumbuh menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal al-Naf’I tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa harta ‘ain dan harta naf’imemiliki perbedaan, dan manfaat dianggap sebagai harta mutaqawwim karena manfaat adalag maksud yang diharapkan dari kepemilikan suatu harta benda.
7.      Mal Mamluk, Mubah dan Mahjur
a.       Harta Mamluk
ialah sesuatu yang merupakan hak milik baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Harta perorangan (mustaqih) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2.      Harta pengkongsian antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, semisal dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik, maka pabrik tersebut di hasruslah dikelola bersama.

b.      Harta Mubah
Yaitu sesuatu yang pada asalnya bukan merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
c.       Harta Mahjur
Yaitu harta yang dilarang oleh syara’ untuk dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta tersebut berbentuk wakaf ataupun benda yang dukhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
8.      Harta Yang Dapat Dibagi dan Harta Yang Tidak Dapat Dibagi
a.       Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan bila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, jagung, tepung dan sebagainya.
b.      Harta yang dapat dibagi (mal ghair al-qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi misalnya gelas, kemeja, mesin dan sebagainya.
9.      Harta Pokok (ashl) dan Harta Hasil (tsamar)
a.       Harta pokok ialah harta yang memungkinkan darinya muncul harta lain
b.      Harta hasil ialah harta yang muncul dari harta lain (harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal, misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok.
10.  Mal Khas dan Mal ‘Am  
a.       Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b.      Harta ‘Am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya secara bersama-sama.
Harta yang dapat dikuasai (ikhraj) terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a)      Harta yang termasuk milik perseorangan
b)      Harta-harta yang tidak dapat termasuk milik perseorangan
Harta yang dapat masuk menjadi milik perseorangan, ada dua macam yaitu :
a.       Harta yang bisa menjadi milik perorangan, tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya binatang buruan di hutan.
b.      Harta yang bisa menjadi milik perorangan dan sudah ada sebab kepemilikan misalnya ikan di sungai diperoleh seseorang dengan cara memancing.
c.       Harta yang tidak masuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara’ tidak boleh dimiliki sendiri, misalnya sungai, jalan raya dan yang lainnya.
Dari kesepuluh pembagian jenis-jenis harta yang telah diuraikan di atas, secara global konsep  harta dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Mal at-Tam yaitu harta yang merupakan hak milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun manfaatnya, pengertian harta ini disebut jugaMilk at-Tam berarti kepemilikan sempurna atas unsure hak milik dan hak penggunaannya.
2.      Mal Ghair al-Tam yaitu harta yang bukan merupakan hak milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun dari segi manfaatnya, pengertian harta ini disebut juga Milk an-Naqis yang berarti kepemilikan atas unsur harta hanya dari satu segi saja. Semisal hak pakai rumah kontrakan dan sebagainya.

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot