Knowledge Is Free: HUKUM

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label HUKUM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 November 2020

Makalah Sistem Hukum (doc)

November 28, 2020 0



Definisi Sistem Hukum

Sistem hukum adalah keseluruhan aturan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh manusia yang mengikat dan terpadu dari satuan kegiatan satu sama lain untuk mencapai tujuan hukum di Indonesia. Semua warga Negara bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dan tidak ada kecualinya. Untuk mewujudkan Negara hukum yang Pancasialis harus ada alat-alat penegak hukum yang mampu bertindak sebagai penegak hukum di Negara tercinta ini. Alat-alat penegak hukum yang bertindak objektif yang didukung oleh seluruh warga Negara akan mampu menciptakan ketertiban dan keadilan bagi warga negaranya. Sistem hukum nasional adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum nasional yang saling melekat dalam rangka mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan. Sistem hukum nasional terdiri dari tiga bagian, yaitu struktur kelembagaan hukum, materi hukum, dan budaya hukum.

Sistem Hukum di Indonesia

Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem hukum. Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara eropa terutama Belanda sebagai Bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya. Maka tidak heran apabila banyak peradaban mereka yang diwariskan termasuk sistem hukum. Bangsa Indonesia sebelumnya juga merupakan bangsa yang telah memiliki budaya atau adat yang sangat kaya. Bukti peninggalan atau fakta sejarah mengatakan bahwa di Indonesia dahulu banyak berdiri kerajaan-kerajaan hindu-budha seperti Sriwijaya, Kutai, Majapahit, dan lain-lain. Zaman kerajaan meninggalkan warisan-warisan budaya yang hingga saat ini masih terasa. Salah satunya adalah peraturan-peraturan adat yang hidup dan bertahan hingga kini. Nilai-nilai hukum adat merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar maka tidak heran apabila bangsa Indonesia juga menggunakan hukum agama terutama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan dan juga menjadi sumber hukum Indonesia.

Sejarah Hukum di Indonesia

· Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme dibedakan menjadi tiga era, yaitu: Era VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga pendudukan Jepang.
a. Era VOC
Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk:
 1. Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda
2. Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter
3. Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.
 
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata politik & pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa itu.
 
b. Era Liberal Belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan Regeringsreglement (kemudian dinamakan RR 1854) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan (di Hindia-Belanda) yang tujuannya adalah melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan yang sewenang-wenang. Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur soal pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) & kepolisian, dan juga jaminan soal proses peradilan yg bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada era ini, meskipun tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih terus terjadi.

Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Politik Etis diterapkan  di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:
1.      Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan lanjutan hukum; 
2.      Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 
3.      Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi efisiensi; 
4.      Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal profesionalitas; 
5.      Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi pada kepastian hukum. 
Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda meninggalkan warisan: i) Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme lembaga-lembaga peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.
 
Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan perundang-undangan yang dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina; ii) Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang terjadi adalah: i) Penghapusan pluralisme/dualisme tata peradilan; ii) Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan pembedaan polisi kota & lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; v) Pengisian secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.
 
·  Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal 
a. Era Revolusi Fisik
i) Melanjutkan unfikasi badan-badan peradilan dengan melaksanakan penyederhanaan; 
ii) Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan adat & swapraja, terkecuali badan-badan pengadilan agama yg bahkan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
 
b. Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM. Namun pada era ini pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk mempertahankan hukum & peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan & mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan & Kekuasaan Pengadilan.
· Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru 
a. Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini
i) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 
ii) Mengubah lambang hukum "dewi keadilan" menjadi "pohon beringin" yang berarti pengayoman; 
iii) Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara langsung atas proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965; 
iv) Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak berlaku kecuali hanya sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional & kontekstual.
 
b. Era Orde Baru
Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan & pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era orba tidak terjadi perkembangan positif  hukum Nasional.
 
·         Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Semenjak kekuasaan eksekutif beralih ke Presiden Habibie sampai dengan sekarang, sudah dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa pembaruan formal yang terjadi antara lain: 1) Pembaruan sistem politik & ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum & HAM; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.

Ciri-ciri Sistem Hukum

∙ terdapat perintah dan larangan
∙ terdapat sanksi tegas bagi yang melanggar
∙ perintah dan larangan harus ditaati untuk seluruh masyarakat
Tiap-tiap orang harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaedah hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakatan.

Kaedah Hukum

Sumber-sumber yang menjadi kaedah hukum atau peraturan kemasyarakatan:
1. Norma Agama merupakan peraturan hidup yang berisi perintah dan larangan yang bersumber dari Yang Maha Kuasa. Contoh: jangan membunuh, hormati orang tua, berdoa, dll
2. Norma Kesusilaan merupakan peraturan yang bersumber dari hati sanubari. contohnya: melihat orang yang sedang kesulitan maka hendaknya kita tolong.
3. Norma Kesopanan merupakan peraturan yang hidup di masyarakat tertentu. contohnya: menyapa orang yang lebih tua dengan bahasa yang lebih tinggi atau baik.
4. Norma Hukum merupakan peraturan yang dibuat oleh penguasa yang berisi perintah dan larangan yang bersifat mengikat: contohnya: ttiap indakan pidana ada hukumannya.
F. Unsur-unsur Hukum
Di dalam sebuah sistem hukum terdapat unsur-unsur yang membangun sistem tersebut yaitu:
1. Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat
2. Peraturan yang ditetapkan oleh instansi resmi negara
3. Peraturan yang bersifat memaksa
4. Peraturan yang memiliki sanksi tegas.
G. Sifat Hukum
Agar peraturan hidup kemasyarakatan agar benar-benar dipatuhi dan di taati sehingga menjadi kaidah hukum, peraturan hidup kemasyarakata itu harus memiliki sifat mengatur dan memaksa. Bersifat memaksa agar orang menaati tata tertib dalam masyarakaty serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh menaatinya.

Tujuan Hukum

Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Sementara itu, para ahli hukum memberikan tujuan hukum menurut sudut pandangnya masing-masing.
1.Prof. Subekti, S.H. hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
2.Prof. MR. dr. L.J. Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.
3.Geny, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan, dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya “kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.
4.Jeremy Betham (teori utilitas), hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
5.Prof. Mr. J. Van Kan, hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.

Berdasarkan pada beberapa tujuan hukum yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum itu memiliki dua hal, yaitu :
1.untuk mewujudkan keadilan
2.semata-mata untuk mencari faedah atau manfaat.
Selain tujuan hukum, ada juga tugas hukum, yaitu :
1.menjamin adanya kepastian hukum.
2.Menjamin keadilan, kebenaran, ketentraman dan perdamaian.
3.Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat.
I. Sumber Hukum
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan-kekutatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat ditinjau dari segi :
1. Sumber hukum material, sumber hukum yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya ekonomi, sejarah, sosiologi, dan filsafat. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan menyatakan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Demikian sudut pandang yang lainnya pun seterusnya akan bergantung pada pandangannya masing-masing bila kita telusuri lebih jauh.
 
2. Sumber hukum formal, membagi sumber hukum menjadi :
·Undang-undang (statue), yaitu suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.

 a) Dalam arti material adalah setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dilihat dari isinya mengikat secara umum seperti yang diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
 b) Dalam arti formal adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang karena bentuknya dan dilibatkan dalam pembuatannya disebut sebagai undang-undang
·Kebiasaan (custom/adat), perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama kemudian diterima dan diakui oleh masyarakat. Apabila ada tindakan atau perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan tersebut, hal ini dirasakan sebagai pelanggaran.
·Keputusan Hakim (Jurisprudensi); adalah keputusan hakim terdahulu yang dijadikan dasar keputusan oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara yang sama.
·Traktat (treaty); atau perjanjian yang mengikat warga Negara dari Negara yang bersangkutan. Traktat juga merupakan perjanjian formal antara dua Negara atau lebih. Perjanjian ini khusus menyangkut bidang ekonomi dan politik.
·Pendapat Sarjana Hukum (doktrin); merupakan pendapat para ilmuwan atau para sarjana hukum terkemuka yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan.

Ciri – Ciri Negara Hukum

a. Fridrich Julius Sthal
1. Adanya hak asasi manusia
2. Adanya trias politika
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan – peraturan.
b. A. V. Dicey
1.Supremasi hokum dalam arti tidak boleh ada kesewenang – wenangan sehingga seseorang bisa dihukum jika melanggar hukum.
2.Kedudukan yang sama di depan hokum baik bagi masyarakat biasa ataupun pejabat.
3.Terjaminya hak – hak manusia oleh undang – undang dan keputusan – keputusan pengadilan.
 
BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan
 
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang terdiri dari perintah dan larangan yang bersifat memaksa dan mengikat dengan disertai sanksi bagi pelanggarnya yang bertujuan untuk mengatur ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk mencapai ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat dibutuhkan sikap masyarakat yang sadar hokum. Selain masyarakat pemerintahpun juga harus sadar hokum. Maka tercapailah ketentraman dan ketertiban itu. Untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran hokum yang terjadi maka di Indonesia telah ada berbagai macam Pengadilan. Dari yang mengadili masyarakat sampai dengan pemerintah dan para pejaba
 
B. Saran
 
Sebagai Negara hukum sudah sepatutnya hukum itu harus dipatuhi dan ditaati agar terciptalah Negara yang sejahtera, agar demikian masyarakat yang ada didalam dapat terlendungi hukum dari hal-hal yang meresahkan dan tidak mengenakan, sebagai Negara hukum Indonesia adalah salah satu Negara yang menjunjung hukum agar ketentraman dinegara Indonesia senantiasa terjaga dan terpelihara agar terciptalah kesejahteraan dan ketentraman dalam bermasyarakat, oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah juga turut turun langsung meninjau apakah seluruh masyarakat sudah mendapatkan hak-nya dilindungi oleh hukum tanpa pandang bulu apa dia masyarakat yang mampu ataukah tidak mampu. Karena hukum itu adalah bagian dari masyarakat juga dan masyarakatlah yang berhak dijamin atas hukum.
Dalam penyusunan Makalah ini penulis tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dan kehilafan oleh sebab itu penulis berharap untuk diberi kritikan dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini dan pembuatan makalah selanjutnya.
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
·  1. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
·  2. Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
·  3. Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
·  4. —————————–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.
·  5. Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta,
Read More

Kamis, 27 Oktober 2016

Makalah Pengertian dan Konsep Hukum Adat

Oktober 27, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri,yang satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
Maka dari tu dalam memahami hukum adat, kita harus terlebih dahulu mengetahui apa itu hukum adat serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
b. Rumusan masalah
a. Apa pengertian hukum adat?
b. Konsep hukum adat
c. Apa unsur-unsur hukum adat?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. 

Pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Beberapa pendapat pakar yang lain tentang pengertian hukum Adat antara lain:
1. Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
2. Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi: a) Hukum Negara, b) Hukum Tata Usaha Negara, c) Hukum Pidana, d) Hukum Perdata, dan e) Hukum Antar Bangsa Adat.
Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar,
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian.
Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi, ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi (dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson Tahun 1850.
B. Konsep Dasar Hukum Adat
Konsep dasar hukum adat dapat ditelaah dari pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Sehingga dapat dikatakan bahwa adat merupakan pola tingkah laku kebiasaan suatu suku bangsa. Namun demikian terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli mengenai konsep hukum adat. Diantaranya adalah:
a. Menurut Prof. Mr. C. van Vollenhoven
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Aturan-aturan tingkah laku bagi pribumi dan Timur Asing  yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).
b. Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn.
            Hukum adat adalah aturan adat yang mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan petugas hukum seperti kepala adat, hakim, dan lain-lain, baik di dalam maupun di luar persengketaan. Ajaran dari Ter Haar ini terkenal dengan ajaran keputusan (fungsionaris hukum).

 c. Menurut Roelof van Dijk
            Hukum adat adalah suatu istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi dalam kalangan orang pribumi dan Timur Asing. Lebih lanjut untuk membedakan antara peraturan-peraturan hukum dari peraturan adat lainnya di pasang kata hukum di depan kata adat. Sehingga hukum adat dan adat bergandengan erat.
d. Menurut Prof. Holleman
            Hukum adat adalah norma-norma hukum yang hidup yang disertai sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan.
e. Menurut Mr. J.H.P. Bellefroid
            Hukum adat adalah sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa tetapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
f. Menurut Prof. Logemann
            Hukum adat adalah norma-norma pergaulan hidup bersama, yaitu peraturan-peraturan tingkah laku yang harus diturut oleh segenap warga pergaulan hidup bersama itu. Norma-norma tersebut mempunyai sanksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa norma yang memiliki sanksi adalah norma hukum.
g. Menurut Mr. L.W.C. van den Berg
            Berdasarkan teori receptio in complexu, hukum adat adalah sama dengan hukum agama yang dianut oleh sekelompok orang tertentu. Jadi tegasnya kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.


h. Menurut Mr. Is. H. Cassutto
            Hukum adat adalah segenap aturan-aturan yang dipengaruhi oleh magis dan animisme (pemujaan roh-roh luhur, hukuman dari kekuatan-kekuatan gaib, dan sebagainya).
i. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo
            Hukum adat adalah adat yang telah mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential moment) yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di luar sengketa. Pandangan Kusumadi ini sependapat dengan Ter Haar, tetapi tidak sepenuhnya sama, karena menurut Kusumadi meskipun tidak mendapatkan sifat (dan bentuk hukum) hukum melalui penetapan yang dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum, hukum adat tetaplah ada dan hidup di masyarakat.
j. Menurut Prof. Dr. Supomo S.H.
            Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis (unstatutary law) di dalam peraturan legislatif yang meliputi :
  1. Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen, dewan provinsi dan sebagainya
  2. Hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law).
  1. Hukum yang hidup sebagai kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan baik di kota maupun desa (customary law).

k. Menurut Dr. Sukanto
            Hukum adat adalah sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.

l. Menurut Prof. M.M. Djojodigoeno
            Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan. Pokok pangkal hukum adat adalah ugeran-ugeran dan timbul langsung sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih.

m. Menurut Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat dan mendapat pengakuan masyarakat. Meskipun berbeda, tetapi kaidah hukum dan kaidah kesusilaan memiliki kaitan yang sangat erat. Kaidah hukum juga memiliki unsur sanksi dan paksaan.

C. Unsur-Unsur Hukum Adat
Pada permulaannya untuk menyebut hukum adat antara lain digunakan istilah “godsdienstige wetten” atau hukum agama. Ini suatu bukti adanya kesalah pahaman, dimana hukum adat itu dianggap sama dengan hukum agama.
Menurut Snock Hurgronye, tidak semua bagian hukum agama diterima, diresepsi dalam hukum adat. Hanya sebagian tertentu saja dari hukum adat di pengaruhi oleh hukum agama(terutama bagian hukum keluarga, perkawinan dan hukum waris yang mendapat pengaruh dari hukum agama)
Ter Haar membantah sebagian pendapat Snock Hurgronye bahwa hukum waris tidak dipengaruhi oleh hukum islam. Melainkan hukum adat yang asli.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum adat:
1. Sebagian besar terdiri dari unsur-unsur hukum asli.
2. Sebagian kecil terdiri dari unsur-unsur hukum agama.
Dari batasan-batasan definisi yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis
7. Ditaati dalam masyarakat
Menurut soerodjo wignjodipoero, S.H. hukum adat memiliki dua unsur, yaitu:
1. Unsur kenyataan: bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di indahkan oleh rakyat.
2. Unsur psikologis: bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajiban hukum (opinion yuris necessitatis)





BAB III
PENUTUP
  Kesimpulan
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Dari batasan-batasan definisi yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis
7. Ditaati dalam masyarakat

Read More

Selasa, 18 Oktober 2016

Makalah Tatacara Beracara Secara Prodeo (Beracara di Pengadilan Agama)

Oktober 18, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Pengadilan Agama sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 termasuk di dalamnya menyelesaikan perkara voluntair (penjelasan pasal 2 ayat (1) tersebut). Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya menerima pengajuan Gugatan atau Permohonan bagi orang-orang beragama Islam.

Dalam pengajuan perkara di Pengadilan Agama, Penggugat atau Pemohon dapat mendaftarkannya ke Kepaniteraan Pengadilan Agama melalui Meja I untuk menaksir panjar biaya perkara serta membayarnya di kasir sekaligus menyerahkan surat gugatan atau permohonan, kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan surat Gugatan atau Permohonan untuk diserahkan kepada wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
Menariknya, sebagian masyarakat yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai beracara di pengadilan. Bagi masyarakat yang berekonomi rendah, mereka juga enggan untuk beracara di pengadilan dikarenakan biayanya yang sedikit tinggi sehingga tidak sedikit perceraian yang tidak memiliki akta cerai yang sah.
Berlandaskan permasalahan tersebut menarik perhatian penulis untuk membahas bagaimana pedoman beracara di Pengadilan Agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Permohonan.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama di tempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) akan tetapi apabila pemohon tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama, permohonan tersebut dicatat oleh Ketua atau Hakim yang ditunjuk hal tersebut berdasarkan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 RBg.
            Adapun jenis-jenis permohonan yang dapat di ajukan di pengadilan agama antara lain:
a)      Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
b)      Permohonan pengangkatan waliataupengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun (Pasal 229 HIRatauPasal 262 RBg).
c)      Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
d)     Permohonan izin kawin bagi calaon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
e)      Permohonan pengangkatan anak (Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
f)       Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
g)      Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari suami istri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).
h)      Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita untuk kepentingan keluarga (Pasal 95 ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam)
Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
B.     Pengertian Gugatan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama yang erwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama hal tersebut di atur dalam Pasal 118 ayat (1) HIRatau Pasal 142 ayat (1) RBg). Sama halnya dengan permohon, apabila penggugat tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat gugatan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 120 HIRatau Pasal 144 RBg.
C.    Tata Cara Beracara Secara Prodeo
Dalam proses beracara dalam pengadilan, pemerintah memberikan kemudahan bagi masyarakat yang memiliki ekonomi rendah dengan menggratiskan proses mereka selama beracara dalam pengadilan. Adapun cara untuk bisa beracara secara prodeo antara lain:
1.      Bagi penggugat atau Pemohon yang tidak mampu, dapat mengajukan permohonan berperkara secara prodeo bersamaan dengan surat gugatanatau permohonan, baik secara tertulis atau lisan.
2.      Apabila Tergugatatau Termohon selain dalam bidang perkawinan juga mengajukan permohonan berperkara secara prodeo, maka permohonan itu disampaikan pada waktu menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat atau Pemohon. (Pasal 238 ayat (2) HIR atau Pasal 274 ayat (2) RBg).
3.   Pihak yang tidak mampu harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa atau Kelurahan atau yang setingkat (Banjar, Nagari dan Gmpong) (Pasal 60 B Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009) atau surat keterangan sosial lainnya.
4.   Majelis Hakin yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk menangani perkara tersebut melakukan sidang insidentil dan membuat putusan sela tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan perkara secara prodeo setelah sebelumnya memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk menanggapi permohonan tersebut.
5.   Putusan Sela tersebut dimuat secara lengkap di dalam Berita Acara Persidangan.
6.   Dalam hal permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan, Penggugat atau Pemohon diperintahkan membayar panjar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkan putusan Sela yang jika tidak dipenuhi maka gugatan atau permohonan tersebut dicoret dari daftar perkara.
7.   Contoh amar Putusan Sela:
a)   Permohonan berperkara prodeo dikabulkan:
-     Memberi izin kepada Pemohonatau Penggugat untuk berperkara secara prodeo.
-     Memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara.
b)   Permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan:
-     Tidak memberi izin kepada Pemohon atau Penggugat untuk berperkara secara prodeo.
-     Memerintahkan kepada Pemohonatau Penggugat untuk membayar panjar biaya perkara.
8.   Dalam hal berperkara secara prodeo dibiayai negara melalui DIPA Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, maka jumlah biaya beserta rinciannya harus dicantumkan dalam amar putusan. Contoh : Biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp....... dibebankan kepada negara.
9.   Perihal pemberian izin beracara secara prodeo ini berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan secara sendiri-sendiri dan tidak dapat diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus.
10. Permohonan beracara secara prodeo dapat juga diajukan untuk tingkat banding dan kasasi.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Berperkara secara prodeo adalah   berperkara secara cuma-cuma atau tampa biaya didepan pengadilan, dalam berperkara secara prodeo, maka pihak yang ingin  berperkara  secara  prodeo  harus membuktikan  bahwa  dirinnya  benar- benar tidak mampu, sehinnga pihak pengadilan  memberikan surat penetapan berperkara secara prodeo.
2.      Prosedur   permohonan   berprodeo   atau   berperkara   cuma-cuma   ini   pada prinsipnnya harus melampirkan surat permohonan untuk berperkara secara prodeo   harus   melampirkan   surat   keterangan   tidak   mampu   pada   saat mengajukan gugatan dipengadilan yang ditujukan kepada ketua pengadilan dan selanjutnya dlakukan pemeriksaan secara prodeo. Dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan, apakah perkara tersebut dapat dilakukan secara prodeo.
3.      Syarat-syarat  dari  permintaan  secara  cuma-cuma  itu  adalah  harus  disertai dengan surat keterangan tidak mempu, berasal dari kepala desa, yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal, si peminta dan menerangkan bahwa orang tersebut benar-benar tidak mampu.






Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot