Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 05 Desember 2015

MAKALAH PENGERTIAN FIQH MAWARIS DAN PERIODE PERKEMBANGAN FIQH MAWARIS

Desember 05, 2015 0





            A. DEFINISI FIQH MAWARIS
1. Pengertian Fiqh Mawaris

            
Mawaris secara Etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal maris artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya. Istilah fiqh Mawaris dimaksudkan ilmu fiqh yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqh Mawaris, disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-Qur’an. Secara terminologi fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tenteng siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara penghitungannya.      Mawaris juga disebut fara’id, bentuk jama’ dari فرد. Kata ini berasal dari kata  فرد. Yang aritnya ketentuan atau menentukan. Kata farida ini banyak juga disebutkan didalam al quran surat at tahrim ayat 2 yaitu :

Artinya :
            “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu. Dengan pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa pengertian fiqih mawaris adalah fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa orang yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli waris, dan bagaimana cara penghitungannya.
2. Bebrapa istilah dalam fiqh mawaris :
            a) Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
            b) Muwaris adalah orang yang diwarisi harta peninggalannya, yaitu orang yang meninggal dunia. Baik meninggal secara hakiki, takdiri, atau melalui keputusan hakim.
            c) Al ‘irs adalah harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah.
            d) Tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan pelaksanaan wasiat.
3. Sebab-sebab pewarisan pada zama jahiliyah :
            a) Adanaya Pertalian Kerabat (Al Qorabah )
            Pertalian kerabat yang menyebabkan ahli waris dapat menerima warisan adalah meraka laki-laki yang kuta fisiknya. Pertimbangannya adalah meraklah yang secara fisik kuat memanggul senjata., menghancurkan musuh, demi kehormatan suku dan marga mereka. Implikasinya, wanita dan anak tidak mendapat waris karena kedua golongan yang terakhir ini tidak sanggup melakukan tugas-tugas peperangan, dan lebih dari itu mereka dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu kerabat yang dapat menerima waris pada zaman jahiliyah adalah :
- anak laki-laki
- saudara laki-laki
- paman
- anak laki-laki paman
            b) Janji Prasetia (Al Hilf Wa Al Muaqodah)
            Janji prasetia dijadikan dasar pewarisan pada masarakat zaman jahiliyah. Karena melalui perjanjian ini, sendi-sendi martabat dan kesukuan dapat dipertahankan. Janji prasetia ini dapat dilakukan oleh dua orang. pelaksanaannya. Sesesorang berikrar kepada orang lain untuk saling mewarisi, apabila salah satu diantara mereka meninggal dunia. Tujuannya untuk kepentingan tolong menolong, nasehat menasehati dan saling mendapatkan rasa aman. Karena itu, janji prasetia hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang telah dewasa dan cakap melakukannya.
Adapun isi janji prasetia adalah :
            “Darahku darahmu, perumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuananku perjuanmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku merawisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karenamu dan diwajibkan denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu.”
Cara-cara perjanjian tersebut juga diakomodasi oleh al Quran, dalam surat an-nisa’ ayat 33 :
Artinya :
            “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
            Ayat tersebut tampak masih menyetujui atau melegalisasi janji prasetia sebagai dasar hukumsaling mewarisi diantara pihak-pihak yang melakuakn perjanjian. Akan tetapi hanya sebagaian ulama’ hanafiyah saja yang tatap memberlakukan ketentuan hokum, menurut isi ayat tersebut. Alasannya yang dikemukakan adalah, tidak ada ayat lain yang menghapusnya.
            c) Pengangkatan Anak (Al Tabanni) Atau Adobsi
            Dalam tradisi masyarakat jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukumyang lazim. Setatus anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Caranya, sesorang mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan kedalah keluarga bapaknya. Karena setatusnya sama dengan anak kandung, maka terjadi hubungan saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia, lebih dari itu, hubungan kekeluargaannya terputus dan oleh karenanya tidak bias mewarisi harta peninggalan ayah kandungnya. Anak angkat bukan saja setatus hukumnya sama dengan anak kandung, tatapi juga perlakuan, pemeliharaan dan juga kasih sayangnya. Untuk selanjutnya pengankatan anak ini berlaku sampai awal-awal Islam.
4. Sebab-sebab pewarisan pada masa awal islam
            a.) pertalian kerabat
            b.) janji prsetia
            c.) pengangkatan anak
            d.) hijrah dari makah kemadinah
            e.) ikatan persaudaraan (al muakhah) antara orang-orang muhajirin pendatang dan orang-orang anshar (penolong) di madinah.
5. Dasar-dasar hukum pewarisan islam :
            a.) Ayat Al Quran (An Nisa’ : 7-14, 33, 176, Al Anfal : 75 )
1) Q.S An Nisa’ : 7
Artinya :  
            “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
2) Q.S An Nisa’ : 8  
Artinya :
            “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[270], anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.”
3) An Nisa’ : 9
Artinya :
            “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”
Sunnah Nabi  
Hadis nabi Muhammad SAW yang secara langsung mengatur pewarisan adalah :
Diriwayatkan Ibnu Abbas :
            “Berikanlah fara’id (bagian-bagian yang ditentuakan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturuan laki-laki yang terdekat. “
6. Asas-asas hukum pewarisan Islam antara lain :
            a.) Asas Ijbari
            Dalam hokum islam pemeliharaan harta dari orang yang meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara pemeliharaan ini disebut ijbari.
            b.) Asas bilateral
            Membicarakan asas ini berarti berbicara kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas bilateral dalam pewarisan mengandung arti bahwa harta waris beralih kepada atau melalui dua arah hal ini berarti bahwa setiap orang yang menerima harta warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
            c.) Asas Individual
            Hukum islam mengajarkan asas pewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta waris dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan, masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara sendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
 d.) Asas keadilan berimbang 
            Dalam ubungannya dengan hak menyangkut materi, khusunya dengan menyangkut perasin, kata trsbut dapat di artikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antra yang diperoleh dengan kegunaan.
            e.) Asas semata akibat kematian
            Asas ini berarti bahwa harta serang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunya arat masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seorang yang masih hiddup baik seca ralangsung maupun teraksana setelah dia mati, tidak termasuk kedalam istiha kewarisn menurut hokum islam dengandemikian hokum pewrisan islam mengenal satu bentuk pewarisan akibat kematian semata atau yang dalam ukum perdata atuau BW disebut dengan kewarisan abintestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasit yang diuat pada watu masih hidup yang disebut kewarisan bij testamen.
4. Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
            Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah dibatalkan oleh firman Allah swt.
Artinya :
            “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
Artinya :
            “… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah:
Artinya :
            “… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab [33]:4-5)
Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi)[3].
5. Waris menuju kesempurnaan Islam
            Kedatangan islam memberikan keadilan salah satunya dalam pembagian waris,, kriteria pembagian waris sebelum datangnya islam adalah karena  pengangkatan anak dan persaudaraan kaum muslimin.Tapi hal tersebut di luruskan berdasarkan firman Allah :
Artinya :
            “dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagian yang lain di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu..” ( Q.S. Al-Ahzab [33]:06 ) .
            Pada masa jahiliyah yang mendapat harta warisan hanya kepada mereka orang laki-laki dewasa yang kuat lagi mampu berperang dengan mengesampingkan anak-anak dan perempuan kemudian dibatalkan oleh firman Allah dalam surat An-Nisa : 07
Artinya ;
            “Bagi orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya serta kerabatnya. Dan bagi perempuan ada bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan .“
            Selain itu di zaman jahiliyah juga berlaku bahwa berdasarkan janji setia seseorang dapat menerima warisan kemudian di nasakh oleh firman Allah.
Artinya :
            “...orang yang mempunyai prtalian kerbat itu sebagiannya lebih baik daripada sebagian yang lain didalam kitab Allah. Sungguh Allah maha mengetahui segala sesuatu “ (Q.S. Al-anfal[08] : 75)
Mendapat waris berdasar adopsi juga dibantah oleh firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab : 4 & 5
Artinya
            “Dan tuhan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanya perkataan dimulut saja sedang Allah itu mengatakan yang sebenarnya dan menunjukan ke jalan yang benar. Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka yang sebenarnya. Sebab yang demikian itu lebih adil disisi Allah jika kamu tidak mengetahui ayahnya, maka panggillah mereka sebagai memanggil saudara-saudaramu seagama dan muala-muala (orang-orang yang dibawah pemeliharaanmu).”

            B. PERIODE PERKEMBANGAN FIQH MAWARIS
1.                  Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)
            Orang-orang Arab Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu juga mereka berdagang rempah-rempah.
            Dalam bidang pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang telah berlaku, bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga macam:
a.       Adanya pertalian kerabat (القرية)
Pertalian kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan dan yang paling penting adalah kuat jasmani untuk membela dan mempertahankan keluarga dan kabilah (suku) dari serangan pihak lain. Dengan demikian, para ahli waris pada zaman Jahiliyyah dari golongan kerabat terdiri dari:
·                     Anak laki-laki
·                     Sudara laki-laki
·                     Paman
·                     Anak paman[1]
b.      Adanya janji Prasetia (المخالفة)
            Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa digunakan, antara lain:
دَمِّىْ دَمُّكَ وَهَدْمِىْ هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ بِكَ
            “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu”.
c.       Adanya pengangkatana anak (تبنّى)
            Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
            Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
            Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.[2]
2.                  Pewarisan Pada Masa Awal Islam
            Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat, Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada tiga macam:
·                     Adanya pertalian kerabat (القربة)
·                     Adanya pengangkatan anak (التبني)
·                     Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)

3.                  Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
            Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah dibatalkan oleh firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنَِسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَلِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا (النّساء :٧
            “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
وَأُوْلُواالأرْحَامْ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله إنّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليْمٌ (الأنفال٧٥)
            “… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. أُدْعُهُمْ لِأَبَاءِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا أبَاءَهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَمَوَلِيْكُمْ …
            “… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab [33]:4-5)
            Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).





BAB    III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

• Fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tenteng siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara penghitungannya.
• Beberapa istilah dalam fiqh mawaris : Waris, Muwaris, Al ‘irs, Tirkah.
• Sebab-sebab pewarisan pada zama jahiliyah :
            a) Adanaya Pertalian Kerabat (Al Qorabah )
            b) Janji Prasetia (Al Hilf Wa Al Muaqodah)
            c) Pengangkatan Anak (Al Tabanni) Atau Adobsi
• Dasar-dasar hukum pewarisan islam :
            a) Ayat Al Quran (An Nisa’ : 7-14, 33, 176, Al Anfal : 75 )
            b) Sunnah Nabi : hadis nabi dari Ibnu Abbas
• Asas-asas hukum pewarisan Islam antara lain :
            a) Asas Ijbari
            b) asas bilateral
            c) asas individual
            d) asas keadilan berimbang
            e) Asas semata akibat kematian

B.     Saran
            Demikianlah makalah ini kami buat , dan tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karna kami hanyalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kehilafan. Kami sadar ini adalah proses dalam menempuh pembelajaran ,untuk itu kami berharap kritik serta searan yang bisa membangun demi kesempurnaan makalah kami berikutnya . harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan sebuah kontribusi yang berarti dalam dunia pendidikan kami .amin




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, MA, Fiqh Mawari Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Garafindo Pesada, 2002.
Amir Syarifuddin, Dr. Prof., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Perenada 2004.
Ahmad Rofiq. Drs, MA., Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Pesada, 1994
Ali Hasan, M., Drs., Hukum Waris Belajar Mudah Ilmu Mawaris, Jakarta: PT. Bulan Bintang
Muhibin, M., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1979
Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta
Ali Hasan, Hukum Waris Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang




       
        
Read More

MAKALAH KEBIJAKAN MONETER ISLAM

Desember 05, 2015 0
157

A.    Sejarah Kebijakan Moneter Islam
Sistem keuangan pada zaman Rasulullah digunakan bimetalic standard yaitu emas (dinar) dan perak (dirham) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah yang beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa Rasulullah ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar dirham 1:10. Namun demikian, stabilitas kurs pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supplay dan demand. Misalkan pada masa Bani Umayyah (41-132H) rasio kurs antara dinar dirham 1:12, sedangkan pada masa Abbasyiah (132-656H) berada pada kisaran 1:15.
B.     Manajemen Moneter Islam
Dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk menggunakan dinar-dirham sebagai standard tukar uang. Khalifah Umar, telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang fiducier ini juga mendapat dukungan seperti Ahmad bin Hambali, Ibnu Hazm, dan Ibn Taimiyah.
Secara umum para fuaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa saja yang berhak mengeluarkan uang tersebut. Dalam hal ini, imam al-Ghazali mensyaratkan pemerintah untuk menyatakan uang fiducier yang dicetak sebagai alat pembayaran yang resmi, wajib menjaga nilainya dengan mengatur jumlah uang beredar sesuai dengan kebutuhan dan memastikan tidaknya perdagangan uang.
Upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga sebagai instrumen moneter malah akan menyebabkan penyalah gunaan sumber dana untuk tujuan yang tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan peranan suku bunga dalam sektor makro telah membawa permintaan uang ditujukan untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan, investasi yang kurang produktif dan tingginya spekulasi. Oleh karena itulah para ekonom Islam lebih mengandalkan pada tiga variable-variable penting di dalam manajemen permintaan uang, yaitu:
a.       Nilai-nilai moral
b.      Lembaga-lembaga sosial ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga
c.       Tingkat keuntungan riil sebagai pengganti keberadaan suku bunga

C.     Aplikasi instrumen Moneter Islam di Indonesia
Peraturan perbankan syari’ah yang di keluarkan pada tahun 1998 yang menggantikan peraturn perbankan syari’ah tahun 1992 telah memungkinkan perkembangan perbankan syari’ah dengan sangat cepat. Berkembangnya jumlah cabang dari bank syari’ah baik dari bank umum yang berasaskan syari’ah maupun divisi syari’ah dari bank konvensional, serta meningkatnya kemampuan dalam menyerap dana masyarakat yang terlihat dari dana simpanan pihak ketiga yang tertera di neraca bank-bank syari’ah tersebut. Hal tersebut mengharuskan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk menaruh perhatian dan lebih berhati-hati dalam menjalankan fungsi pengawasannya sebagai bank sentral yang mengawasi bank-bank umum.
Dalam hal ini BI mempunyai instrumen-instrumen sebagai berikut:
a.       Giro wajib minimum (Giro wadhi’ah, tabungan mudharabah, deposito investasi mudharabah, dan kewajiban lainnya)
b.       Sertifikat investasi mudharabah antar bank Syari’ah
c.       Sertifikat wadhia’ah BI
Dalam perekonomian Islam, keseimbangan antara aktivitas ekonomi riil dengan tinggi rendahnya jumlah uang yang beredar senantiasa di jaga. Salah satu instrumen untuk menjaga adalah sistem perbankan Islami.
D.    Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter aalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang yang beredar. Jumlah uang beredar, dalam menganalisis ekonomi makro, memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, jga terhadap stabilitas harga-harga.
Neraca pengeluaran pemerintah dapat dibagi tiga, yaitu:
a.       Pengeluaran rutin
b.      Pengeluaran proyek
c.       Pengeluaran darurat
E.     Kebijakan Mneter dengan Suku Bunga
Bunga sesungguhnya merupakan sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Karena bunga adalah instrumen yang menyebabkan ketidakstabilan sektor riil dan moneter.
Dalam perekonomian Islam, sektor perbankn tidak mengenal instrumen suku bunga. Sistem keuangan islam merupakan sistem pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing), bukan kepada tingkat bunga yang telah menetapkan keuntungan dimuka. Sistem keuangan islam sesungguhnya merupakan penyempurnaan sistem ekonomi yang berdasarkan kepada produksi dan perdagangan, atau dikenal denagn istilah sektor riil.
Penghapusan bunga sekaligus mewajibkan membayar zakat 2,5% akan meminimalkan permintaan spekulatif terhadap uang, sehingga akan memberikan stabilitas yang lebih besar terhadap permintaan akan uang. Sejumlah faktor lain akan memperkuat kondisi, antara lain:
a.       Karena tidak ada aset berbasis bunga, maka seseorangyang memiliki dana hanya akan memiliki pilihan untuk menginvestasikan dananya dalam skema bagi hasil
b.      Peluang investasi jangka pendek dan jangka panjang
c.       Kecuali dalam keadaan resesi, rasanya tidak akan ada orang yang menyimpan sisa uangnya setelah dikurangi untuk keperlua transaksi dan berjaga-jaga membeku begitu saja. Ia tentu lebih memilih investasi pada aset bagi hasil
d.      Nisbah di tentukan oleh konvensi sosial ekonomi, dan setiap terjadi perubahan didalamnya akan melalui negoisasi yang sangat panjang

F.      Posisi Bank Sentral dalam Islam
Fungsi bank sentral dan meninjaunya dengan perspektif sejarah ekonomi Islam:
a.       Mencetak uang atau currency
b.      Sebagai pengawas LKS agar senantiasa stabil dan terarah.
G.    Instrumen Kebijakan Moneter
Terdapat sejumlah elemen untuk mengatur hal ini, diantaranya:
a.       Target peertumbuhan dalam M dan MO
b.      Saham publik terhadap deposito uang giral
c.       Cadangan wajib resmi
d.      Pembatas kredit
e.       Alokasi kredit
f.       Teknik lainnya


Read More

MAKALAH TEORI DAN MEKANISME PASAR DALAM ISLAM

Desember 05, 2015 0
A. Teori Harga
Menurut Yahya Ibn Umar, harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran dan permintaan. Namun, ia menambahkan bahwa mekanisme pasar itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah tersebut adalah pemerintah berhak melakukan intervensi pasar ketika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat.
B.     Mekanisme Pasar; Perspektif Islam
Pasar adalah sebuah mekanisme pertukaran barang jasa yang alamiah dan telah berlangsung sejak peradaban awal manusia. Islam menempatkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian. Praktik edkonomi pada masa Rasulullah dan khulafaurrasyidin menunjukkan adanya peranan pasar yang besar. Rsulullah sangat menhargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil.
Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan bebas. Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan yang dibungkus oleh frame syari’ah.
Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara dan individu berada dalam keseimbangan, tidak boleh ada sub-ordinat sehingga salah satunya menjdai dominan dari yang lain. Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri, tanpa ada yang mengontrol, ternyata telah menyebabkan penguasaan pasar sepihak oleh pemilik modal, penguasa infrastruktur dan pemilik informasi.
Memastikan kompetisi di pasar berlangsung sempurna, informasi yang merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas menjadikannya dominan, sebab negara sekali-kali tidak boleh mengganggu pasar yang berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam sistem pasar.
Pasar yang adil akan melahirkan harga yang wajar dan juga tingkat laba yang tidak berlebihan, sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh Allah swt. konsep mekanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadist Rasulullah saw sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di Kota Madinah. Dengan hadist ini terlihat jelas bahwa islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep mekanisme pasar dari Adam Smith. Dalam hadist tersebut diriwayatkan sebagai berikut:
“Harga melambung pada zaman Rasulullah saw. orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata “ya Rasulullah, hendaklah engkau menentukan harga”. Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rizki. Sangat aku harapkan kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorangpun dari kamu menuntutku tentang kedzaliman dalam darah maupun harta.”
Inilah teori ekonomi Islam tentang harga. Rasulullah dalm hadist tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal.
Dalam rangka melindungi hak penjual dan pembeli, Islam membolehkan bahkan mewajibkan pemerintah melakukan price intervention bila kenaikan harga disebabkan adanya distorsi terhadap genuine demand dan genuine supply. Kebolehan ini antara lain karena:
a.    Price intervention menyangkut kepentingan masyarakat, yaitu melindungi penjual.
b.    Bila tidak dilakukan price intervention makan penjual dapat menaikkan harga dengan cara ihtikar atau ghaban faa-hisy. Dalam hal ini sipenjual mendzalimi si pembeli.
Pembeli bsanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili kelompok masyarakat yang lebih kecil. Sehingga price intervention berarti pula melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Etika bertransaksi dalam pasar antara lain sebagai berikut:
a.       Adil dalam takaran timbangan
b.      Dilarang mengkonsumsi riba
c.       Kejujuran dalam bertransaksi
d.      Dilarang najsy
e.       Dilarang talaqqy rukban
f.       Dilarang menjual barang yang belum sempurna kepada pemiliknya
g.      Dilaranag menimbun barang (ihtikar)
h.      Konsep kemudahan dan kerelaan dalam pasar.
C.     Pendekatan dan Tujuan Mekenisme Pasar dalam Islam
Hal yang terlebih harus kita ketahui yaitu ciri-ciri pendekatan Islam dalam mekanisme pasar adalah:
a.       Penyelesaian maslah ekonomi yang asasi-penggunaan, produksi dan pembagian.
b.      Berpedoman kepada ajaran Islam.
c.       Campur tangan negara dianggap sebagai unsur penting yang memperbanyak atau menggantikan mekanisme pasar.
Selain itu ada beberapa tujuan utama yang ingin dicapai islam dalam aspek penggunaan barang-barang kebutuhan ekonomi, yaitu:
a.       Setiap individu hanya pantas berbelanja untuk mendapatkan barang-barang ekonomi secukupnya.
b.      Barang-barang yang diharamkan sebaiknya tidak dibeli.
c.       Penggunaan barang ekonomi jangan sampai pada taraf mubazir.
d.      Penggunaan barang ekonomi dan kepuasan yang didapatkan dari penggunaannya jangan dijadikan tujuan oleh setiap individu.
D.    Peran Pasar
Pasar Islami harus bisa menjamin adanya kebebasan keluar masuknya sebuah komoditas di pasar. Hal ini dimaksdukan untuk menjamin pendistribusian kekuatan ekonomi dalam sebuah mekanisme yang proposional. Otoritas pasar tidak bisa membatasi elemen pasar pada peran industri tertentu karena akan menimbulkan perilaku monopolistik. Sedangkan kondisi monopolistik produktivitas sebuah industri dapat dibatasi dengan adanya kenaikan harga.

Jika pasar telah mampu mengakomodasi berbagai macam bentuk kebebasan, berarti pasar telah berperan sebagai intrumen terstruktur untuk pendistribusian barang dan jasa.
Read More

MAKALAH TEORI DAN KEBIJAKAN FISKAL DALAM ISLAM

Desember 05, 2015 0
155
A.    Landasan Teori Kebijakan Fiskal
Menurutu Sadono Sukirno, kebijakan fiskal adalahlangkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem zakat, pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi dengan berlandaskan prinsip Islam.
Kenijakan memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya. Dan yang kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomu makro, yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran.
Sedangkan, kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susuan permintaan agregat. Indikator yang biasa dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah dengan penerimaan terutama dari pajak.
B.     Instrumen Kebijakan Fiskal
1.      Zakat
Institusi ini bermaksud untuk mentransfer kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin sehingga pada gilirannya akan mendorong ekonomi dan menjamin keseimbangan pendistribusian pendapatan serta terjaminnya ketersediaan kebutuhan pokok kaun miskin.
2.      Wakaf
Di Indonesia, wakaf menduduki posisi yang paling terbelakang kemajuannya. Padahal wakaf telah emberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan Islam di indonesia. Karena lahan yang digunakan untuk sekolah islam atau mesjid  umumnya berasal dari wakaf.
3.      Kharaj
Kharaj ini dikenal dengan pajak bumi/tanah. Selama masa pemerintahan islam, kharaj menjadi sumber penerimaan utama dari negara islam, dana itu dikuasai oleh komunitas dan bukan kelompok-kelompok tertentu.
4.      Jizyah
Pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim sebagai jaminan yang diberikan oleh suatu negara pada mereka guna melindungai kehidupannya. Hasil pengumpulan dana jizyah digunakan untuk membiayai kesejahteraan umum.
5.      Ghanimah
Dikenal dengan harta rampasan perang dengan jenis barang bergerak dan diperoleh dalam peperangan mekawan musuh. Anggota pasukan akan mendapat bagian sebesar 4/5.
6.      Fa’i
Merupakan penerimaan dari negara islam dan sumber pembiayaan negara.
7.      Pembelanjaan Negara
Jumlah, waktu dan penggunaan pembelanjaan negara yang diperuntukkan untuk menstabilkan negara juga termasuk sebagai instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi islam.
C.     Kebijakan Fiskal dalam Islam
1.      Pendapatan
Secara umum, ada kaidah-kaidah syari’at membatasi kebijakan pendapatan tersebut, yaitu antara lain:
a.       Kaidah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan zakat
Dalam islam, ketentuan mengenai syarat, besarnya  dan kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya telah ditentukan. Maka dengan ketentuan tersebut pemerintah tidak ada hal untuk mengubahnya. Namun pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati terhadap realita modern dan tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada.
b.      Kaidah  yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal dari aset pemerintah.
·         Pendapatan dari aset pemerintah yang umum berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah tersebut sendiri atau masyarakat. Ketika aset tersebut dikelola individu asyarakat maka pemerintah berhak menentukan berapa bagian pemerintah dari hasil tersebut dengan pedoman pada kaidah umum yaitu maslhalahah dan keadlian.
·         Pendapatan dari aset  yang masyarakat ikut memanfaatkannya adalah berdasarkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia dalam konteks pemerintahan modern.
c.       Kaidah syari;ah yang berkaitan dengan kebijakan pajak
Dalam konteks ekonomi modern, pajak merupakan satu=satunya sektor pendapatan terpenting dan terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut dialokasikan pada publik dan mempunyai tujuan sebagai redistribusi, penstabilan dan pendorong pertumbuhan ekonomi.
2.      Pengeluaran
Efesiensi dan evektifitas landasab pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran islam dipandu oleh kaidah-kaidah syari’ah dan penentuan skala prioritas. Kaidah ini diantara lain sebagai berikut:
a.       Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah mashlahah
b.      Menghindari masyaqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan
c.       Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skala umum

d.      Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot