A.
DEFINISI FIQH MAWARIS
1.
Pengertian Fiqh Mawaris
Mawaris secara Etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal maris artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya. Istilah fiqh Mawaris dimaksudkan ilmu fiqh yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqh Mawaris, disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-Qur’an. Secara terminologi fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tenteng siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara penghitungannya. Mawaris juga disebut fara’id, bentuk jama’ dari فرد. Kata ini berasal dari kata فرد. Yang aritnya ketentuan atau menentukan. Kata farida ini banyak juga disebutkan didalam al quran surat at tahrim ayat 2 yaitu :
Artinya
:
“Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu. Dengan
pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa pengertian fiqih mawaris adalah fiqh
yang mempelajari tentang siapa-siapa orang yang termasuk ahli waris,
bagian-bagian yang diterima mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli waris,
dan bagaimana cara penghitungannya.”
2.
Bebrapa istilah dalam fiqh mawaris :
a)
Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
b)
Muwaris adalah orang yang diwarisi harta peninggalannya, yaitu orang yang
meninggal dunia. Baik meninggal secara hakiki, takdiri, atau melalui keputusan
hakim.
c)
Al ‘irs adalah harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah.
d)
Tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan pelaksanaan
wasiat.
3.
Sebab-sebab pewarisan pada zama jahiliyah :
a)
Adanaya Pertalian Kerabat (Al Qorabah )
Pertalian
kerabat yang menyebabkan ahli waris dapat menerima warisan adalah meraka
laki-laki yang kuta fisiknya. Pertimbangannya adalah meraklah yang secara fisik
kuat memanggul senjata., menghancurkan musuh, demi kehormatan suku dan marga
mereka. Implikasinya, wanita dan anak tidak mendapat waris karena kedua
golongan yang terakhir ini tidak sanggup melakukan tugas-tugas peperangan, dan
lebih dari itu mereka dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh
karena itu kerabat yang dapat menerima waris pada zaman jahiliyah adalah :
-
anak laki-laki
-
saudara laki-laki
-
paman
-
anak laki-laki paman
b)
Janji Prasetia (Al Hilf Wa Al Muaqodah)
Janji
prasetia dijadikan dasar pewarisan pada masarakat zaman jahiliyah. Karena
melalui perjanjian ini, sendi-sendi martabat dan kesukuan dapat dipertahankan.
Janji prasetia ini dapat dilakukan oleh dua orang. pelaksanaannya. Sesesorang
berikrar kepada orang lain untuk saling mewarisi, apabila salah satu diantara
mereka meninggal dunia. Tujuannya untuk kepentingan tolong menolong, nasehat
menasehati dan saling mendapatkan rasa aman. Karena itu, janji prasetia hanya
dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang telah dewasa dan cakap melakukannya.
Adapun
isi janji prasetia adalah :
“Darahku
darahmu, perumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuananku perjuanmu,
perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku merawisi hartamu,
kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karenamu dan
diwajibkan denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda
sebagai pengganti nyawamu.”
Cara-cara
perjanjian tersebut juga diakomodasi oleh al Quran, dalam surat an-nisa’ ayat
33 :
Artinya
:
“Bagi
tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Ayat
tersebut tampak masih menyetujui atau melegalisasi janji prasetia sebagai dasar
hukumsaling mewarisi diantara pihak-pihak yang melakuakn perjanjian. Akan
tetapi hanya sebagaian ulama’ hanafiyah saja yang tatap memberlakukan ketentuan
hokum, menurut isi ayat tersebut. Alasannya yang dikemukakan adalah, tidak ada
ayat lain yang menghapusnya.
c)
Pengangkatan Anak (Al Tabanni) Atau Adobsi
Dalam
tradisi masyarakat jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukumyang lazim.
Setatus anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Caranya,
sesorang mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan
kedalah keluarga bapaknya. Karena setatusnya sama dengan anak kandung, maka
terjadi hubungan saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia, lebih dari
itu, hubungan kekeluargaannya terputus dan oleh karenanya tidak bias mewarisi
harta peninggalan ayah kandungnya. Anak angkat bukan saja setatus hukumnya sama
dengan anak kandung, tatapi juga perlakuan, pemeliharaan dan juga kasih
sayangnya. Untuk selanjutnya pengankatan anak ini berlaku sampai awal-awal
Islam.
4.
Sebab-sebab pewarisan pada masa awal
islam
a.)
pertalian kerabat
b.)
janji prsetia
c.)
pengangkatan
anak
d.)
hijrah dari makah kemadinah
e.)
ikatan persaudaraan (al muakhah) antara orang-orang muhajirin pendatang dan
orang-orang anshar
(penolong) di madinah.
5.
Dasar-dasar hukum pewarisan islam :
a.) Ayat Al Quran (An Nisa’ : 7-14, 33,
176, Al Anfal : 75 )
1)
Q.S An Nisa’ : 7
Artinya
:
“Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
2)
Q.S An Nisa’ : 8
Artinya
:
“Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[270], anak yatim dan orang miskin,
Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang baik.”
3) An Nisa’ : 9
Artinya :
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”
Sunnah
Nabi
Hadis
nabi Muhammad SAW yang secara langsung mengatur pewarisan adalah :
Diriwayatkan Ibnu Abbas :
“Berikanlah
fara’id (bagian-bagian yang ditentuakan) itu kepada yang berhak dan selebihnya
berikanlah untuk laki-laki dari keturuan laki-laki yang terdekat. “
6. Asas-asas hukum pewarisan Islam antara lain :
a.) Asas
Ijbari
Dalam
hokum islam pemeliharaan harta dari orang yang meninggal kepada orang yang
masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau
kehendak yang akan menerima. Cara pemeliharaan ini disebut ijbari.
b.) Asas
bilateral
Membicarakan
asas ini berarti berbicara kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli
waris. Asas bilateral dalam pewarisan mengandung arti bahwa harta waris beralih
kepada atau melalui dua arah hal ini berarti bahwa setiap orang yang menerima
harta warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis
keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c.) Asas Individual
Hukum
islam mengajarkan asas pewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta
waris dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan, masing-masing ahli
waris menerima bagiannya secara sendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang
lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin
dibagi-bagi kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang
berhak menurut kadar bagian masing-masing.
d.)
Asas
keadilan berimbang
Dalam
ubungannya dengan hak menyangkut materi, khusunya dengan menyangkut perasin,
kata trsbut dapat di artikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antra yang diperoleh dengan kegunaan.
e.) Asas semata akibat kematian
Asas
ini berarti bahwa harta serang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan
nama waris selama yang mempunya arat masih hidup. Juga berarti bahwa segala
bentuk peralihan harta seorang yang masih hiddup baik seca ralangsung maupun
teraksana setelah dia mati, tidak termasuk kedalam istiha kewarisn menurut
hokum islam dengandemikian hokum pewrisan islam mengenal satu bentuk pewarisan
akibat kematian semata atau yang dalam ukum perdata atuau BW disebut dengan
kewarisan abintestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasit yang diuat
pada watu masih hidup yang disebut kewarisan bij testamen.
4.
Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah
aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah
terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw.
sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut
bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan
yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak
dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah
dibatalkan oleh firman Allah swt.
Artinya :
“Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya.
Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S
a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab
pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
Artinya :
“…
orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S
al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan
pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh
firman Allah:
Artinya :
“…
dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).
Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil
pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka
panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S
al-Ahzab [33]:4-5)
Dari
uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak
menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa,
melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak
dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi)[3].
5.
Waris menuju kesempurnaan Islam
Kedatangan
islam memberikan keadilan salah satunya dalam pembagian waris,, kriteria
pembagian waris sebelum datangnya islam adalah karena pengangkatan anak
dan persaudaraan kaum muslimin.Tapi hal tersebut di luruskan berdasarkan firman
Allah :
Artinya :
“dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah lebih berhak
daripada sebagian yang lain di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin
dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu..” ( Q.S. Al-Ahzab [33]:06 ) .
Pada
masa jahiliyah yang mendapat harta warisan hanya kepada mereka orang laki-laki
dewasa yang kuat lagi mampu berperang dengan mengesampingkan anak-anak dan
perempuan kemudian dibatalkan oleh firman Allah dalam surat An-Nisa : 07
Artinya ;
“Bagi
orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua
orang tuanya serta kerabatnya. Dan bagi perempuan ada bagian dari harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya baik sedikit maupun
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan .“
Selain
itu di zaman jahiliyah juga berlaku bahwa berdasarkan janji setia seseorang
dapat menerima warisan kemudian di nasakh oleh firman Allah.
Artinya :
“...orang
yang mempunyai prtalian kerbat itu sebagiannya lebih baik daripada sebagian
yang lain didalam kitab Allah. Sungguh Allah maha mengetahui segala sesuatu “
(Q.S. Al-anfal[08] : 75)
Mendapat
waris berdasar adopsi juga dibantah oleh firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab : 4
& 5
Artinya
“Dan
tuhan tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang
demikian itu hanya perkataan dimulut saja sedang Allah itu mengatakan yang
sebenarnya dan menunjukan ke jalan yang benar. Panggillah mereka dengan nama
ayah-ayah mereka yang sebenarnya. Sebab yang demikian itu lebih adil disisi
Allah jika kamu tidak mengetahui ayahnya, maka panggillah mereka sebagai
memanggil saudara-saudaramu seagama dan muala-muala (orang-orang yang dibawah
pemeliharaanmu).”
B. PERIODE
PERKEMBANGAN FIQH MAWARIS
1.
Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)
Orang-orang Arab Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara
dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil
rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan.
Di samping itu juga mereka berdagang rempah-rempah.
Dalam bidang pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada adat
istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang
telah berlaku, bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan atau kaum
perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang
meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang
meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si
ayah kepada anaknya.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga
macam:
a.
Adanya pertalian kerabat (القرية)
Pertalian kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan dan
yang paling penting adalah kuat jasmani untuk membela dan mempertahankan
keluarga dan kabilah (suku) dari serangan pihak lain. Dengan demikian, para
ahli waris pada zaman Jahiliyyah dari golongan kerabat terdiri dari:
·
Anak laki-laki
·
Sudara laki-laki
·
Paman
·
Anak paman[1]
b.
Adanya janji Prasetia (المخالفة)
Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak
mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru
terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah
mengadakan ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah)
yang bisa digunakan, antara lain:
دَمِّىْ دَمُّكَ وَهَدْمِىْ
هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ بِكَ
“Darahku darahmu, pertumpahan
darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu,
kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku
karena tindakanku terhadapmu”.
c.
Adanya pengangkatana anak (تبنّى)
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua
sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak
kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan
harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia
dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah
angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas
dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang
laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji
prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan
sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau
perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan
melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta
kekayaan yang mereka miliki.[2]
2.
Pewarisan Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran
jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat
kuat, Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang sepaham
dan simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada tiga
macam:
·
Adanya pertalian kerabat (القربة)
·
Adanya pengangkatan anak (التبني)
·
Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum
Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
3.
Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah aqidah umat Islam bertambah
kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk rasa saling mencintai,
apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah sangat melekat,
perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah banyak, pemerintahan
Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan
kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan,
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah dibatalkan oleh
firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنَِسَاءِ
نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَلِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ
كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا (النّساء
:٧
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh
firman Allah SWT
…وَأُوْلُواالأرْحَامْ
بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله إنّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليْمٌ (الأنفال : ٧٥)
“… orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang
bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi)
dibatalkan oleh firman Allah:
…وَمَا
جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ
وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. أُدْعُهُمْ لِأَبَاءِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا أبَاءَهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ
فِي الدِّيْنِ وَمَوَلِيْكُمْ …
“… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama
bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab [33]:4-5)
Dari uraian diatas, dapatlah
dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak
terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada
anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak
dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
•
Fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tenteng siapa orang-orang
yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan
bagaimana cara penghitungannya.
•
Beberapa istilah dalam fiqh mawaris : Waris, Muwaris, Al ‘irs, Tirkah.
•
Sebab-sebab pewarisan pada zama jahiliyah :
a)
Adanaya Pertalian Kerabat (Al Qorabah )
b)
Janji Prasetia (Al Hilf Wa Al Muaqodah)
c)
Pengangkatan Anak (Al Tabanni) Atau Adobsi
•
Dasar-dasar hukum pewarisan islam :
a)
Ayat Al Quran (An Nisa’ : 7-14, 33, 176, Al Anfal : 75 )
b)
Sunnah Nabi : hadis nabi dari Ibnu Abbas
•
Asas-asas hukum pewarisan Islam antara lain :
a)
Asas Ijbari
b)
asas bilateral
c)
asas individual
d)
asas keadilan berimbang
e)
Asas semata akibat kematian
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat , dan tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karna
kami hanyalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kehilafan. Kami sadar
ini adalah proses dalam menempuh pembelajaran ,untuk itu kami berharap kritik
serta searan yang bisa membangun demi kesempurnaan makalah kami berikutnya .
harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan sebuah kontribusi yang berarti
dalam dunia pendidikan kami .amin
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Rofiq, MA, Fiqh Mawari Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Garafindo Pesada, 2002.
Amir Syarifuddin, Dr. Prof., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Perenada 2004.
Ahmad
Rofiq. Drs, MA., Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Pesada, 1994
Ali
Hasan, M., Drs., Hukum
Waris
Belajar Mudah
Ilmu
Mawaris, Jakarta: PT. Bulan Bintang
Muhibin, M., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1979
Suparman
Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta
Ali Hasan, Hukum Waris Dalam Islam, Jakarta: PT.
Bulan Bintang
Tags:
MAKALAH