Makalah Strategi Membuat Masyarakat Wakatobi Menjadi Masyarakat Yang Seimbang Melalui Konsep Internalisasi Ummatan Wasathan Dengan Pendekatan Dakwah Kultural - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 28 November 2020

Makalah Strategi Membuat Masyarakat Wakatobi Menjadi Masyarakat Yang Seimbang Melalui Konsep Internalisasi Ummatan Wasathan Dengan Pendekatan Dakwah Kultural




 

Sejarah Kabupaten Wakatobi

Sebelum menjadi daerah otonom wilayah Kabupaten Wakatobi lebih dikenal sebagai Kepulaun Tukang Besi .Pada masa sebelum kemerdekaan Wakatobi berada di bawah kekuasaan Kesultanan Buton. Setelah Indonesia Merdeka dan SulawesiTenggara berdiri sebagai satu provinsi , wilayah Wakatobi hanya berstatus beberapa kecamatan   dalam wilayah pemerintahan kabupaten Buton.
Masa Reformasi
Pada tanggal 18 Desember 2003 Wakatobi resmi ditetapkan sebagai salah satu kabupaten pemekaran di Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana , Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara . Saat pertama kali terbentuk Wakatobi hanya terdiri dari lima kecamatan yaitu, kecamatan wangi-wangi,kecamatan wangi-wangi selatan,kecamatan kaledupa,kecamatan Tomia, dan Kecamatan Binongko.
Pada tahun 2005, melalui peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 19 Tahun 2005 dibentuk Kecamatan Kaledupa Selatan dan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 20 Tahun 2005 dibentuk Kecamatan Tomia Timur . Pada tahun 2007, melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 41 Tahun 2007 dibentuk Kecamatan Togo Binongko sehingga jumlah kecamatan di Kabupaten Wakatobi menjadi 8 kecamatan yang terbagi menjadi 100 desa dan kelurahan (25 kelurahan  dan 75 desa ).
Pemerintah Di Awal Pembentukan 
Pemerintahan Kabupaten Wakatobi sebagai daerah otonom secara resmi ditandai dengan pelantikan Syarifudin Safaa, SH, MM sebagai pejabat Bupati Wakatobi pada tanggal 19 Januari 2004 sampai dengan tanggal 19 Januari 2006. Kemudian dilanjutkan oleh H. LM. Mahufi Madra, SH, MH sebagai pejabat bupati selanjutnya sejak tanggal 19 Januari 2006 sampai dengan tanggal 28 Juni 2006.
Berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah secara langsung maka pada tanggal 28 Juni 2006 Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi yang terpilih yaitu Ir. Hugua dan Ediarto Rusmin, BAE dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tenggara ,Ali Mazi, SH atas nama Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.74-314 tanggal 13 Juni 2006 tentang pengesahan pengangkatan Bupati Wakatobi Ir. Hugua dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 132.74-315 tanggal 13 Juni 2006 tentang pengesahan pengangkatan Wakil Bupati Wakatobi Ediarto Rusmin, BAE untuk masa bhakti 2006 - 2011 .Saat ini kepemimpinan daerah di Kabupaten Wakatobi dijabat oleh pasangan bupati dan wakil bupati  H. Arhawi, SE dan Ilmiati Daud S.E .

Seni dan Budaya  di Wakatobi

Tari Tradisional Kaledupa 
TARI LARIANGI, merupakan tari tradisional Kecamatan Kaledupa yang lahir pada tahun 1634 dikala Raja Buton yang pertama berkuasa yaitu WA KAKA.
TARI HEBALIA merupakan tari tradisional Kecamatan Kaledupa, diciptakan oleh para dukun pada zaman dahulu,
TARI SOMBO BUNGKALE merupakan tari tradisional Kecamatan Kaledupa Selatan. Tarian ini dilakoni oleh penari gadis cantik sebanyak 12 orang.
Pesta Adat dan tradisi
PESTA ADAT KARIA’A merupakan tradisi khas masyarakat Kaledupa. Usungan 15 sampai 20 dalam sekali upacara. TRADISI ADAT PENCAK SILAT adalah tradisi adat masyarakat Kaledupa.
Pulau Tomia 
PESTA ADAT SAFARA adalah Pesta adat masyarakat Tomia yang dilakukan pada setiap Bulan Safar.
TRADISI BOSE – BOSE adalah tradisi yang dilakukan dengan menghiasi perahu dengan hiasan berwarna-warni, dan dimuati sajian masakan tradisional, seperti Liwo, lalu diarak mengelilingi pantai dari Dermaga Patipelong menuju Dermaga Usuku sampai ke Selat One Mobaa, sambil menabuh gendang. Pesta adat ini dilaksanakan bertujuan agar semua dosa dapat hanyut bersama riaknya air laut.
TARI SAJO MOANE adalah Tarian Sakral yang dimaikan oleh kaum laki – laki.
TARI SAJO WOWINE adalah Tarian Sakral yang dimainkan oleh kaum wanita, tarian ini dipentaskan dengan sebuah nyanyian yang menceritakan kehidupan masyarkatan Tomia pada masa lampau.
TARI SARIDE merupakan tarian tradisional yang berarti persatuan dan kebersamaan dalam menyelesaikan suatu kegiatan yang menyangkut kepentingan umum.
Pulau Binongko 
Tari Balumpa, Tari Balumpa adalah salah satu tari tradisional yang berasal dari Pulau Binongko.

Agama Masyarakat Wakatobi

Tempat Ibadah Menurut Agama, terlihat bahwa masjid sebanyak 112 buah dan Mushollah 22 buah, sementara Gereja,pura dan Vihara tidak ada. Ini menandakan Bahwa Masyarakat Wakatobi Memeluk Agama Islam. 
 
Masyarakat wakatobi sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yang mana karena letaknya yang dekat pesisir jadi banyak masyarakat wakatobi yang berprofesi sebagai nelayan. Di dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat wakatobi tidak bisa di pungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang tidak berperilaku seimbang . sebagai salah satu contoh sebentar lagi  masayarakat wakatobi akan melakasanakan pesta PILKADA pada bulan desember 2020. Yang dimana seperti yang saya ketahui bahwa setiap pesta pilkada itu pasti ada saja hal-hal yang tidak seimbang artinya banyak masyarakat yang memilih bukan sesuai dengan hati nurani mereka. Melaikan karena ada unsur sodara poltik uang dan lain sebagainnya. Oleh karean itu dibutuhkan suatu strategi yang cocok untuk membuat masyarakat wakatobi menjadi masyarakat yang seimbang.  

Strategi Internalisasi Konsep Ummatan Wasathan Dengan Pendeketan Dakwah Kultural

Teori Internalisasi 

Internalisasi adalah “proses dimana orientasi nilai budaya dan harapan peran benar-benar disatukan dengan sistem kepribadian”.Internalisasi merupakan menyatukan suatu nilai dengan kepribadian seseorang melalui suatu proses direncanakan dan berkelanjutan. Internalisasi diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standar tingkah laku, pendapat, dan seterusnya di dalam kepribadian. Internalisasi dapat mempengaruhi prubahan tingkah laku dan kepribadian seseorang melalui proses yang berulang-ulang melalui cara dan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik orang yang akan dipengaruhi.
Menurut Kalidjernih “internalisasi merupakan suatu proses dimana individu belajar dan diterima menjadi bagian, dan sekaligus mengikat diri ke dalam nilai-nilai dan norma-norma sosial dari perilaku suatu masyarakat”.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa internalisasi adalah suatu proses belajar seseorang sampai dapat diterima sebagai bagian dari kelompok masyarakat, kemudian mengikatkan diri dalam nilai dan norma sosial dari perilaku kelompok masyarakat tertentu. Menurut Hornsby internalisasi merupakan “Something to make attitudes, feeling, beliefs, etc fully part of one‟s personality by absorbing them throught repeated experience of or exposure to them”.Maksudnya sesuatu untuk membuat sikap, perasaan, keyakinan, dan lain sebagainya sebagai bagian dari kepribadian seseorang yang akan menyerap pikiran mereka dengan pengalaman berulang atau dengan yang mereka ucapkan. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan internalisasi adalah penanaman suatu kepribadian melalui suatu proses panjang dan berulang-ulang. Senada dengan yang diungkapkan oleh Tafsir bahwa internalisasi merupakan suatu “upaya memasukan pengetahuan (knowing), dan keterampilan melaksanakan (doing) itu ke dalam pribadi”. Dengan demikian berarti internalisasi adalah sebuah proses mengawal suatu apapun yang diajarkan untuk kemudian dijadikan sebagai pegangan hidup, dan tidak selesai hanya dalam tataran pemahaman konsep tapi juga teralisasi sebagai suatu prilaku yang berkelanjutan. 
Pada dasarnya manusia mempunyai bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi dalam kepribadian individunya, tetapi wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada dalam sekitaran alam dan lingkungan sosial maupun budayanya.Sebagai salah satu proses yang menggunakan pendekatan budaya, dakwah kultural memiliki peran strategis dalam merealisasikan proses stimuli dari lingkungan. Pegaktifan kepribadian seseorang berupa hasil interpretasi konsep ummatan wasathan bisa dipercepat melalui pendekatan dakwah kultural, dimana keduanya ditemukan pada satu titik sebagai suatu nilai yang berorientasi pada kebudayaan sebagai tolok ukurnya. Ini sangat cocok dengan masayrakat Wakatobi yang kental dengan kebudayaanya.
 Internalisasi tentu membutuhkan suatu proses yang panjang dan peran aktif semua kalangan, sebagaimana disampaikan oleh Marmawi Rais “Proses internalisasi lazim lebih cepat terwujud melalui keterlibatan peran-peran model (role-models). Individu mendapatkan seseorang yang dapat dihormati dan dijadikan panutan, sehingga dia dapat menerima serangkaian norma yang ditampilkan melalui keteladanan. Proses ini lazim dinamai sebagai identifikasi (identification), baik dalam psikologi maupun sosiologi. Sikap dan perilaku ini terwujud melalui pembelajaran atau asimiliasi yang subsadar (subconscious) dan nir-sadar (unconscious)”. 
Dari apa yang disebutkan diatas, sangat jelas sekali bahwa proses internalisasi membutuhkan seorang pioner sebagai panutan dan teladan untuk selanjutnya dijadikan sebagai suatu model khusus untuk diikuti. Keberadaan seorang teladan –dalam hal ini adalah da’i- sangat urgen untuk menjadi penggerak sekaligus promotor tereliasasinya suatu tujuan yang dicitacitakan. Proses internalisasi merupakan suatu proses yang panjang, dimulai sejak individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Mereka belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya yang mereka peroleh dari pendidikan dan pengalaman hidupnya.Proses internalisasi yang didukung dengan adanya role models akan menghasilkan suatu capaian yang ditargetkan. Dalam hal ini adalah terpatrinya pemahaman konsep ummatan wasathan sebagai lentera kehidupan.

Konsep Ummatan wasathan
 Kata ummat (أمة ( dalam al-Qur’an diulang sebanyak 51 kali dalam bentuk kalimat mufrad (singular) dan 13 kali dengan bentuk Jama’ (أمم.(12 Sedangkan kata wasathan atau al-wasath, secara etimologis, bermakna ‘seimbang/adil’, ‘pertengahan’, juga bisa bermakna ‘yang terbaik’. Kata ‘wasith’ berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata “wasatha-yasithu-wasathan“, yang artinya adalah adil dan terpilih, yaitu orang yang ada di tengah-tengah dalam urusan agama, tidak suka mengunggul-unggulkan sesuatu sebagaimana kebiasaan kaum Nasrani, tidak pula suka merendahkan sesuatu seperti prilaku kaum Yahudi.

 Islam sebagai pembawa rahmat menganggap orang-orang mukmin sebagai saudara. sedangkan membangun suatu hubungan persahabatan yang akrab dan saling tolong dalam kebaikan adalah kewajiban bagi setiap mukmin. Rasullulah selalu mengajarkan umatnya untuk selalu berprilaku baik kepada sesama manusia, tidak boleh saling mendzolimi satu dengan lainnya.Semua yang diajarkan oleh Rasullah merupakan manifestasi dari apa yang difirmankan Allah kepada Beliau.

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ
ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ
          هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Artinya:Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil   dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Ummatan wasathan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah umat yang adil.Ummatan wasathan diartikan sebagai umat yang adil bukan tanpa alasan, tapi karena satu tujuan untuk menumbuhkan semangat berkeadilan bagi semua umat manusia dalam melakukan semua aktivitas kehidupannya. Bahkan, Rasulullah mengklaim bahwa suatu yang terbaik itu adalah yang paling adil.Secara harfiyah, Ummatan wasathan dapat diartikan sebagai umat yang pertengahan. Quraish Shihab menerjemahan ayat diatas sebagai berikut: demikian pula kami telah menjadikan kamu wahai ummat Islam ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan tauladan sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itusesuai dengan posisi ka’bah berada dipertengahan pula.
Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri ataupun ke kanan, suatu hal dimana dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar kamu, wahai umat Islam, menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain, tetapi ini tidak dapat kalian lakukan kecuali jika kalian menjadi rasul SAW. Syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kamu dan beliaupun kalian saksikan, kini kalian jadikan teladan dalam segala tingkah lalu. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lanjutan ayat dan agar rosul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu.
Ummatan wasathan juga diartikan sebagai umat yang moderat, yang mencerminkan keseimbangan dan keserasian, dalam sifat dan perilakunya. Para hukama’ menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga daya yang masing-masing melahirkan sifat-sifat tertentu, yaitu daya berpikir, daya syahwat dan daya emosi. Sifat-sifat itu ada yang ekstrim dalam arti berlebihan atau ekstrim dalam arti menunjukkan kelemahan. Di antara kedua sifat ekstrim tersebut terdapat sifat yang moderat dan pada sifat yang moderat itulah terletak keutamaan sebagai akhlak yang baik. Salah satu indikasi bahwa ayat ini memang menunjukkan arti pertengahan ditunjukkan dari letaknya yang tepat ditengah-tengah surat al-Baqarah, yaitu ayat 143 yang merupakan angka pertengahan dalam surat al-Baqarah yang berjumlah 286. Demikian itu termasuk salah satu keunikan ayat ini sebagai salah satu ayat menunjukkan pentingnya sikap moderat dan tidak terlalu fanatik pada sisi kanan atau kiri dengan kecenderungan yang tidak baik. 
Setidaknya untuk menyandang gelar sebagai ummatan wasathan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Seimbang antara hak kebebasan dan tuntutan melaksanakan kewajiban, maksudnya, tidak boleh sewenang-wenang dalam memaksakan Hak asasi dirinya tapi juga memperhatikan kewajiban dirinya sebagai bagian dari masyarakat.
Seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, maksudnya tidak timpang sebelah tapi berjalan seimbang dalam mencapai fi ad-dunya hasanah wa fi alakhirati hasanah.
Mewujudkan keseimbagan dalam bentuk kemampuan akal dan moral, maksudnya mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki keseimbangan dalam berpikir dan berbuat untuk kemaslahatan. 
Keberhasilan menampilkan diri sebagaimana kriteria diatas tidak hanya menuai manfaat yang kembali pada pribadinya, tapi juga membuka peluang bagi sesama untuk meniru dan mengambil manfaat dari nilai positif yang ditularkan, bahkan bisa menjadi ibadah jariyah secara tidak terasa.
Konsep Dakwah Kultural
Dakwah secara bahasa (etimologi) merupakan sebuah kata dari bahasa arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan yang berarti seruan, panggilan, undangan, atau do’a. Bahkan dari asal hurufnya itu, kata dakwah akan membentuk ragam makna yang juga bisa berarti memanggil, mengundang, minta tolong, memohon, menyuruh datang, mendorong, mendoakan, menangisi dan meratapi. Sedangkan menurut Abd Aziz, sebagaimana dikutip oleh Enjang AS dan Aliyudin, secara etimologis kata dakwah berarti 1) memanggil, 2) menyeru, 3) menegaskan atau membela sesuatu, 4) perbuatan atau perkataan untuk menarik manusia kepada sesuatu, dan 5) memohon dan meminta, atau do’a.

 Sedangkan secara terminologis dikatakan oleh Ali Mahfudz bahwa dakwah adalah proses mendorong manusia agar melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bahkan, secara lebih praktis karena dakwah merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh seseorang yang ahli agama untuk meneruskan perjuangan Rasulullah SAW, dakwah didefinisikan oleh Abu Bakar Zakaria, sebagai sebuah usaha para ulama dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama Islam untuk memberikan pengajaran kepada khalayak umum sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan dunia dan keagamaan.
Sedangkan dalam al-qur’an surat an-Nahl ayat 125, dapat dirumuskan bahwa dakwah adalah sebagai kewajiban muslim mukalaf untuk mengajak, menyeru dan memanggil orang berakal ke jalan Tuhan (dîen al-Islam) dengan cara hikmah, mauizhah hasanah, dan mujadalah yang ahsan, dengan respon positif atau negatif, dari orang berakal, yang diajak, diseru dan dipanggil, di sepanjang zaman dan di setiap ruang. Tahapan metode yang disebutkan harus dipilih secara arif sesuai dengan kemampuan dan kualifikasi da’i dan situasi yang dihadapi oleh mitra dakwah. Kesalahan dalam menentukan metode dakwah akan berakibat pada kurangnya efektifitas kegiatan dakwah. Asmuni Syukir menyatakan bahwa pengertian dakwah dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, pengertian dakwah dari sifat pembinaan. Kedua, dakwah dalam arti pengembangan. Dakwah yang bersifat pembinaan artinya usaha mempertahankan, melestarikan, dan menyempurnakan umat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah Swt. dengan menjalankan syariatnya, sehingga menjadi manusia yang hidup bahagia dunia dan akhirat. Sedangkan dakwah dalam arti pengembangan adalah usaha mengajak umat manusia yang belum beriman kepada Allah swt. agar mentaati syariat Islam (memeluk agama Islam) supaya nantinya dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat.
Sayyid Qutb memberi batasan definisi dakwah dengan “mengajak” atau “menyeru” kepada orang lain masuk kedalam sabil Allah SWT. bukan untuk mengikuti da’i atau sekelompok orang. Dan juga menurut Toha Yahya Omar bahwa dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah tuhan,untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Pengertian dakwah seperti diatas merupakan salah satu diantara sekian banyak pendapat para ahli, akan tetapi Ali Azis menyimpulkan bahwa yang di maksud dakwah adalah “ kegiatan peningkatan iman menurut syariat Islam”.
Dengan demikian, dakwah pada dasarnya sebuah usaha untuk menyeru, memotivasi, mengajak dan memberikan pengajaran agama Islam kepada umat manusia agar dapat bersikap dan berperilaku susuai ajaran agama Islam dalam kehidupan dunia, baik dalam hubungan dia dengan Allah SWT ataupun dengan sesama makhluk, sehingga dapat hidup bahagia baik di dunia mupun di akhirat. Kultur atau budaya adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General dalam hal ini berarti setiap manusia di dunia ini mempunyai budaya, sedangkan secara spesifik berarti setiap budaya pada kelompok masyarakat pasti bervariasi antara satu dan lainnya. Perbedaan budaya masyarakat dikarenakan perbedaan banyak hal, mulai dari yang paling mendasar seperti ras dan keturuanan sampai perbedaan geografis dan karakter lingkungan yang ditempati.
 Sebagaimana dinyatakan juga oleh Tylor dalam H.A.R Tilaar bahwa “Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuaan kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.  Kompleksitas cakupan dari istilah kebudayaan menunjukkan bahwa semua yang dihasilkan oleh manusia tidak hampa nilai. Bahkan dengan keunikannya masing-masing akan semakin memperkaya kebudayaan masyarakat tersebut. 
Tubbs & Moss mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Dalam kategori social, kebudayaan dipahami sebagai seluruh cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Dari semua pendapat para ahli menegaskan bahwa kebudayaan merupakan semua hal yang terjadi pada manusia, baik berupa peristiwa yang dialami maupun karya yang dihasilkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam kultural pada dasarnya adalah respon Islam terhadap berbagai masalah kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Respon tersebut dalam perjalanannya saling mempengaruhi dan tarik menarik. Dari satu segi dimensi kulturalnya lebih menonjol, di lain segi dimensi Islamnya lebih kuat dan kokoh. Islam kultural, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, biasa diakui sebagai bentuk pemahaman yang sejalan dengan kebudayaan. Melalui pemahaman Islam yang demikian itu, berbagai kebudayaan yang ada di masyarakat dapat disatukan dalam naungan nilai-nilai Islam, dan pada gilirannya dapat memberi rahmat pada kehidupan manusia. Dengan Islam kultural, ada unsur pertimbangan lokal dalam rangka penerapan ajaran-ajaran Islam lainnya.
Salah satu bukti adanya Islam kultural di Indonesia dapat dilihat dari pada tulisan Clifford Geertz, dalam bukunya yang berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Geeertz mengidentifikasi adanya tiga corak paham keagamaan tersebut dengan menampilkan Islam Abangan sebagai mereka yang memiliki komitmen kuat pada komunitas Islam, walaupun dalam prakteknya tidak tertarik untuk mengamalkan syariat Islam secara kaffah. Yang banyak diamalkan adalah Islam yang terwujud dalam bentuk slametan dan upacara yang maknanya terkait pada upaya mencari perlindungan dan keselamatan diri pada Tuhan dari hal-hal yang dapat membahayakan perjalanan hidupnya. Jika yang dimaksud dakwah kultural adalah dakwah dengan pendekatan Islam kultural, maka dakwah kultural adalah dakwah yang penuh dengan kebijaksanaan dalam menyikapi dan memahami budaya yang berkembang dalam masyarakat dengan penuh kedamaian. Dengan demikian dakwah kultural, jika ditinjau dari segi interaksinya dengan lingkungan social setempat, masuk kategori dakwah kompromis, yaitu dakwah yang mengakomodasi dan memahami kearifan lokal.
Dakwah kultural dapat pula dipahami sebagai kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka menghasilkan kultur budaya yang bernuansa Islami. Diantara ciri-ciri dakwah kultural adalah : dinamis, kreatif dan inovatif.Ketiga ciri dakwah kultural ini pernah dipraktekkan Rasulullah. Jadi, dengan demikian secara implisit dakwah kultural adalah sebagai realitas secara praktis yang telah ada bersamaan dengan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah atau lebih mudahnya dakwah dengan pendekatan dakwah bil hikmah, sebagaimana terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125: yang Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sungguh Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Dakwah bi al-Hikmah menurut sebagian mufassir diartikan sebagai dakwah dengan cara membedakan tingkatan pekerjaan mitra dakwah yang mengandung kebaikan dan keburukan. Dakwah bil-Hikmah juga diartikan sebagai dakwah secara arif bijaksana, dengan berbagai pendekatan sedemikian rupa sehingga mad’u dapat melaksanakan ajaran Islam dengan suka rela. Untuk melaksanakan dakwah bi al-Hikmah seperti pengertian diatas tentu da’i dituntut untuk mengakomodir semua kegiatan dakwah- termasuk juga kebudayaandalam menjalankan dakwahnya. Demikian juga dakwah kultural sangat sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad dalam berdakwah, yaitu dakwah secara halus dan tidak kasar. Dakwah secara halus diatas dapat diartikan dengan dakwah yang tidak merusak tatanan tradisi masyarakat, melainkan dakwah dengan mengawal dan mengarahkan tradisi sesuai dengan ajaran Islam. Hal itu dapat dipahami dari Hadits berikut: artinya “Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia akan membaguskannya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya” 
Searti dengan hadits diatas, hadits berikut yang diriyawatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah RA. 
Artinya “Sesungguhnya Allah Maha lembut, mencintai kelembutan, Dia memberikan kepada yang lembut apa yang tidak diberikan kepada yang kasar dan lain sebagainya” 
Lembut yang penulis maksudkan dari hadits ini adalah upaya dakwah secara lembut yang akomodatif terhadap budaya lokal tanpa menghilangkan ruhnya sebagai upaya menyadarkan masyarakat dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya secara kaffah dengan menjadikan budaya sebagai salah satu pijakannya. Sedangkan da’i yang melakukan dakwah dengan pendekatan kultural tergolong sebagai da’i yang strategis, hal itu mengingat dimungkinkannya terjadi kecemburuan etnik dan emosi kedaerahan, atau bahkan terkadang cenderung dominan dikalangan mitra dakwah. Untuk itu pendakwah yang memiliki kesamaan etnik, bahasa dan daerah dengan mitra dakwah akan lebih mengena dibanding dengan pendakwah dari luar etniknya . sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 4: 
Artinya : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
 Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa status da’i yang menyampaikan pesan-pesan dakwah juga sangat berpengaruh terhadap efektivitas dan keberhasilan proses dakwah itu sendiri, hal itu mengingat bahwa da’i merupakan elemen fundamental dalam proses dakwah disamping juga isi pesan yang disampaikan. Kesamaan etnis dan bahasa antara da’i dengan mitra dakwah merupakan nilai plus dan sangat mempengaruhi terhadap efektivitas komunikasi antara da’i dengan para mitra dakwahnya, karena bagaimanapun “norma-norma budaya bangsa itu mempengaruhi perilaku komunikasi warganya”. Pada akhirnya proses dakwah juga berjalan dengan efektif.
 Dakwah kultural dapat pula dilakukan melalui upaya menarik minat mitra dakwah untuk mengamalkan ajaran Islam melalui cara berbaur langsung. Strategi dakwah semacam itu dapat dipilih manakala mayoritas mitra dakwah adalah masyarakat pedesaan yang tentu membutuhkan metode dan strategi dakwah yang juga berbeda. Sebagaimana disebutkan oleh Surjadi, diantara  metode dakwah yang pas untuk masyarakat pedesaan dengan cara melakukan kontak langsung dengan mereka, dengan cara menyelipkan pesan dakwah pada kegiatan keseharian yang mereka lakukan dan menjadi bagian dari mereka secara langsung. Dakwah seperti yang disampaikan oleh Surjadi merupakan bentuk kongkrit dari ayat berikut:
Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orangorang yang menyerah diri".
 Pengertian menyeru dan beramal sholeh pada ayat diatas merupakan suatu tuntunan bagaimana sekiranya pesan dakwah yang disampaikan oleh da’i menemukan relevansinya dengan perbuatan yang dilakukannya, dengan selalu menyelaraskan solusi permasalahan yang ditawarkan dengan prilaku da’i sebagai percontohan.
Internalisasi Konsep Ummatan wasathan Dengan Pendekatan Dakwah Kultural 
Proses internalisasi konsep ummatan wasathan melalui pendekatan dakwah kultural merupakan suatu cara menanamkan kejujuran dan sikap moderat pada seseorang melalui pendekatan sesuaikan dengan kebudayaan orang tersebut berdasarkan pada azas keIslaman sebagai pedoman utamanya. Internalisasi konsep ummatan wasathan merupakan suatu upaya memasukkan nilai moderasi dan kejujuran dalam diri seseorang atau secara umum kepada masyarakat Wakatobi. Pendekatan dakwah kultural penulis pilih karena dianggap memiliki relevansi dengan konsep ummatan wasathan ,masyarakat wakatobi yang mayoritas adalah agama islam dan sangat cocok dengan masayarkat wakatobi yang kental akan budaya , mengingat ajaran Islam sangat ramah terhadap keberadaan budaya Penerimaan Islam secara terbuka terhadap budaya dengan tetap mengedepankan selektivitas nilai dan norma yang terdapat dalam budaya tersebut untuk menjaga keautentikan ajaran dan ketauhidan Islam dengan sendirinya memberikan ruang yang cukup pada proses akulturasi serta menunjang signifikansi proses internalisasi nilai dan ajarannya di masyarakat. Proses internalisasi konsep ummatan wasathan dalam ikatan habl min an-nas sangat urgen sebagai penyeimbang dalam berbagai perbedaan kultur, pengalaman spritual, kesenjangan intelektual dan ekonomi dan lain sebagainya. Pemahaman yang utuh tentang konsep ummatan wasathan bisa menempatkan manusia pada posisi yang benar seimbang dalam berbagai bidang kehidupan tanpa condong pada arah tertentu yang dipengaruhi berbagai macam kepentingan. Pendekatan dakwah kultural yang relevan dijadikan sebagai metode internalisasi konsep ummatan wasathan diantaranya sebagai berikut:
Metode kontak langsung 

Metode kontak langsung maksudnya proses internalisasi dengan metode home visit atau silaturahmi dengan mendatangi masyarakat dari satu rumah ke rumah yang lain. Dalam kaitannya dengan internalisasi konsep ummatan wasathan yaitu menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis melalui pergaulan yang akrab dan saling menghargai. Ikatan baik yang terjalin dengan para tetangga merupakan implementasi nilai keIslaman yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
 Home visit atau silaturahmi dengan para tetangga bisa menjadi salah satu bentuk aktualisasi nilai-nilai konsep ummatan wasathan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai pribadi yang tidak congkak dan tidak mau mengenal saudara dan tetangganya. Kegiatan home visit dapat menjadi perantara terbentuknya komunitas (umat) yang sama-sama memahami pentingnya hidup moderat dalam memahami ajaran agama, tidak condong pada ekstrim kiri ataupun kanan. Dakwah dengan metode kontak langsung sangat mungkin menjadi model dakwah yang akan sangat terima oleh masyarakat, terutama di pedesaan, mengingat mereka merupakan masyarakat yang sangat gemar berinteraksi dengan tetangga, baik ditempat-tempat umum seperti masjid ataupun di rumah-rumah warga. Tujuan dari metode kontak langsung dapat dipahami sebagai upaya untuk merangsang minat mitra dakwah dalam menyelesaikan sendiri permasalahan yang sedang dihadapi. Dengan demikian pemahaman yang utuh tentang konsep ummatan wasathan dan mampu diimplementasi dalam kehidupan melalui pendekatan dakwah yang sesuai dengan karekteristik budaya masyarakat bisa menjadi akar tumbuhnya ikatan kebersamaan dalam bingkai keimanan yang sempurna.
Metode Kerjasama dengan Pemimpin Masyarakat 
Proses internalisasi tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan usaha maksimal untuk mencapai target yang diinginkan. Dengan demikian berbagai macam metode perlu dicoba demi optimalisasi capaian yang dimaksudkan. Salah satunya adalah bekerjasama dengan pemimpin masyarakat dalam rangka memaksimalkan proses dakwah kultural tentang konsep ummatan wasathan. Peran vital tokoh masyarakat menjadi salah satu metode karena pendekatan dakwah kultural yang digunakan, sebagaimana tradisi masyarakat yang masih patuh pada instruksi para pemimpinnya, dimana perbedaan jabatan antara rakyat biasa dengan pemimpin masyarakat tidak menjadi sekat terjalinnya ikatan kebersamaan yang kuat. 
Situasi masyarakat seperti diatas memberikan peluang pada terjalinnya ikatan kerjasama untuk satu tujuan mulia, terealisasinya konsep ummatan wasathan melalui kegiatan-kegiatan yang didukung penuh dan keterlibatan langsung para tokoh masyarakat. Diantara kegiatan yang dapat direlisasikan adalah kegiatan-kegiatan keagamaan yang yang dipelopori oleh tokoh masyarakat dan para tokoh agama, misalkan pengajian rutin di balai desa, mashollah dan masjid sekitar dengan pokok kajian tentang konsep ummatan wasathan. Keterlibatan langsung para tokoh dalam kegiatan seperti disebutkan, akan menjadi magnet tersendiri terhadap masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan tersebut. Pemilihan dakwah kultural sebagai pendekatan dalam upaya internalisasi konsep ummatan wasathan karena memiliki kesan lembut dalam proses penyebarannya.  Hal demikian tentu sangat relevan dengan konsep ummatan wasathan sebagai suatu ajaran yang menitik beratkan pada penanaman sifat moderat bagi pemeluk agama Islam. Sikap moderat dan sifat lembut yang dipadukan sebagai suatu kajian yang komprehensif memiliki keistimewaan tersendiri.

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Internalisasi merupakan suatu nilai dengan kepribadian sesorang melalui suatu proses direncanakan dan berkelanjutan,dengan cara penggabungan atau penyatuan sikap,standar tingkah laku,pendapat, dan seterusnya di dalam kepribadian. Internalisasi dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku dan kepribadian seseorang melalui proses berulang-ulang melalui cara dan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan serta karateristik orang yang akan dipengaruhi. Ummatan Wasathan  diartikan sebagai umat yang moderat,yang menecerminkan keseimbangan dan keserasian,dalam sifat dan perilkunya,juga diartikan pertengahan,yaitu orang yang ada di tangah-tenagah. Dengan internalisasi konsep Ummatan Wasathan Pendekatan kultural ini sangat cocok dengan daerah Wakatobi yang begitu kental akan budayanya ditambah lagi di daerah wakatobi semuanya beragama islam
.
Saran
Saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu Saran dan kritikan  yang membangun sangat saya harapkan dari para pembaca  agar saya kedepannya lagi lebih baik lagi dalam membuat makalah.

DAFTAR PUSTAKA

Munir Ahmad,Saputra Ramadan Agus.2015.Jurnal Implementasi Konsep Islam Wasathiyyah.
Muchtar Ilham.2013. Jurnal Pilar,vol 2,no 2”UMMATAN WASATHAN”Dalam Perspektif Tafsir Al-Tabariy
Sholahuddin.2004.Jurnal Millah IV “SIGNIFIKASI DIALOG ANTARAGAMA DALAM ERA POST-FUNDAMENTALISME. Yogyakarta
Arif Muhammad Khairan.Jurnal “MODERASI ISLAM (WASATHIYAH ISLAM) PERSPEKTIF AL-QYR’AN,AS-SUNNAH SERTA PANDANGAN PARA ULAMA DAN FUQAHA
Rosi Bahrur.2019. Jurnal INTERNALISASI KONSEP UMMATAN WASATHAN DENGAN PENDEKATAN DAKWAH KULTURAL.STAI Mihfatul
Sudjiton.2014.Buku Profil Perekonomian Kabupaten Wakatobi Tahun 2014.Wakatobi: wangi-wangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot