Makalah Akad Nikah dan Syarat-Syaratnya - FIKIH MUQARANAH MUNAKAHAT

 

 

A.      Pengertian Nikah

Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Abdurrahman Al-Jarizi dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga macam makna nikah.  Pertama, menurut bahasa nikah adalah:

وَهُوَ اْلوَطْءُ وَالضَّمُّ

Bersenggama atau campur"

Kedua, makna Ushuli atau makna menurut syar’i, yaitu nikah arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’.

Dan yang ketiga, menurut para ahli fiqih.

Menurut golongan Hanafiah, nikah  adalah :

النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا

Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja”

 

Menurut golongan Asy-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai:

 

النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معنهما

Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’ dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya”

 

Menurut Malikiyah:

 

النكاح بانه عقد على مجرد متعه التلذذ بادمية غير موجب قيمتها ببينة

Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk memperbolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang dinikahinya”

Sedangkan menurut golongan Hanbaliyah, mendefinisikan bahwa:

هو عقد بلفظ انكاح او تزويج على منفعة الاستماع

Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita [1]

     Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama masih memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula dilarang berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka berpendapat bahwa nikah merupakan akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka tak memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam pernikahan terdapat pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.

     Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek akibat hukum yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan termasuk ke dalam syariat agama, maka di dalamnya terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.[2]

B.     Akad Nikah dan Syarat–Syaratnya

     Para ulama imam madzhab bersepakat bahwa nikah dikatakan sah apabila dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab kabul antara wanita yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. Dalam suatu pernikahan harus ada dua mempelai, ada wali, ada saksi, dan juga ijab kabul. Seorang wali dan saksi pun harus mempunyai syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat-syaratnya adalah beragamaIslam, baligh, berakal, dan seorang laki-laki. Para ulama madzhab bersepakat bahwa pernikahan harus ada akad, yang mencakup ijab dan qabul antara kedua mempelai.

     Para ulama madzhab juga bersepakat bahwa nikah itu sah apabila dilakukan dengan redaksi  زَوَّجْتُ (aku mengawinkan) atau اَنْكَحْتُ (aku menikahakan) dari pihak yang dilamar dan redaksi  قَبِلْت  (saya terima) atau رَضِيْتُ (saya ridho) dari pihak yang melamar atau yang mewakilinya.

     Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibbah (penyerahan), al-ihlal (penghalalan), al-ibahah (pembolehan) sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah.

     Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Sementara itu, Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan nikah saja, dan selainnya tidak sah.

     Dalam hal persaksian akad nikah, Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Imam Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan. Namun, mereka berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita saja tanpa hadirnya seorang laki-laki dinyatakan tidak sah.

     Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki muslim. Sedangkan Imam Maliki mengatakan bahwa saksi hukumnya tidak wajib dalam akad tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya (dukhul).

     Sementara itu, syarat kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, menurut para ulama’ mazhab bersepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan. Juga disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik hubungan keluarga maupun hubungan yang lainnya.[3]

Syarat dan rukun nikah menurut 4 Madzhab

Madzhab Syafi’i

Madzhab Maliki

Madzhab Hanafi

Madzhab Hambali

Shighat (ijab dan qabul)

Shighat (ijab dan qabul)

Shighat (ijab dan qabul)

Shighat (ijab dan qabul)

Wali

Wali

Wali

Wali

Pihak Laki-Laki

Pihak Laki-Laki

Pihak Laki-Laki

Pihak Laki-Laki dan pihak Perempuan tertentu

Pihak Perempuan

Pihak Perempuan

Pihak Perempuan

Perempuan dan Laki-Laki saling ridho

Dua Saksi

Mahar

Dua Saksi

Dua Saksi

 

Dua Saksi

 

 


C.   
Saksi menurut 4 Madzhab

            Para ulama empat mazhab (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah) sepakat mesti adanya saksi dalam akad pernikahan. Hanya saja, mereka sedikit berbeda mengenai status saksi ini, entah syarat, rukun, atau wajib.

1.      Madzhab Imam Syafi’i

Kehadiran 2 saksi ketika prosesi pernikahan merupakan rukun yang tidak bisa ditiadakan, sehingga akad nikah yang tidak dihadiri oleh 2 saksi itu tidak sah menurut syara’

2.      Madzhab Imam Hanafi dan Hambali

adanya dua saksi merupakan slah satu rukun nikah, artinya akad nikah dianggap sah apabila disaksikan dua orang yang memiliki sifat adil.[4]

3.      Madzhab Imam Maliki

mereka tidak menganggap saksi sebagai syarat maupun rukun, namun sebagai suatu hal yang wajib dan bersifat independent.[5]

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

·        Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin

·         Para ulama madzhab juga bersepakat bahwa nikah itu sah apabila dilakukan dengan redaksi  زَوَّجْتُ (aku mengawinkan) atau اَنْكَحْتُ (aku menikahakan) dari pihak yang dilamar dan redaksi  قَبِلْت  (saya terima) atau رَضِيْتُ (saya ridho) dari pihak yang melamar atau yang mewakilinya

·        Para ulama imam madzhab bersepakat bahwa nikah dikatakan sah apabila dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab kabul antara wanita yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad

·        Para ulama empat mazhab (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah) sepakat mesti adanya saksi dalam akad pernikahan. Hanya saja, mereka sedikit berbeda mengenai status saksi ini, entah syarat, rukun, atau wajib

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

                     

https://tigawarnacatering.com/pengertian-akad-nikah)/

 

http://alfuisme.blogspot.com/2016/03/fiqih-munakahat-dalam-perspektif empat.html#:~:text=Adapun%20syarat%2Dsyaratnya%20adalah%20beragamaIslam,dan%20qabul%20antara%20kedua%20mempelai

 

https://www.slideshare.net/xsannudin/ppt-nikah-4-mazhab

 

://bincangsyariah.com/kalam/ulasan-tentang-saksi-nikah-menurut-empat-mazhab

 

Abdurrahman, Hariri. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-A’rabi. 1969.

 

Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Basriepress. 1994.

 

Nur, Drs. H. Djamaan. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993.

 



[1] Hariri Abdurrahman . Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. (Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 1969) hal 3-4

[2] Drs. H. Djamaan Nur. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993. Hal 3-4

[3] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta: Basriepress. 1994). Hal 13-20

[4] https://www.slideshare.net/xsannudin/ppt-nikah-4-mazhab

[5] https://bincangsyariah.com/kalam/ulasan-tentang-saksi-nikah-menurut-empat-mazhab/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Sponsor

Close Button
CLOSE ADS
CLOSE ADS