HUKUM TALAK DALAM KEADAAN MABUK (Studi Perbandingan Mazhab Maliki Dan Mazhab Hanbali) - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Selasa, 14 Mei 2019

HUKUM TALAK DALAM KEADAAN MABUK (Studi Perbandingan Mazhab Maliki Dan Mazhab Hanbali)








2.3.   Macam-Macam Talak dan Dasar Hukumnya

Mengawali sub bahasan ini, penting dikemukakan bahwa setiap peristiwa hukum yang ditetapkan oleh syara’ mempunyai tujuan pensyari’atannya. Tujuan


utama hukum Islam itu yaitu untuk menciptakan kemaslahatan dunia akhirat, dan membuang jauh-jauh kemudharatan yang ada dan menghindarinya.17  Tidak terkecuali pensyari’atan  talak, ia juga mempunyai tujuan untuk menghadirkan kemaslahatan bagi kedua pasangan. Yusuf as-Subki menggambarkan bahwa adakalanya hubungan suami isteri mengalami keretakan, keduanya saling membenci, bahkan kebencian bisa saja menjadi bertambah antara isteri dengan suami yang dapat membahayakan hubungan keluarga, maka syara’ memberikan toleransi untuk memutuskan ikatan, khususnya dengan jalan talak.18 Karena talak diambil sebagai langkah untuk menggapai kemaslahatan bagi kedua pasangan yang sukar untuk disatukan lagi.

Talak merupakan peristiwa hukum, dan salah satu langkah pemutusan hubungan suami isteri yang dibenarkan dalam Islam. Suami isteri yang diliputi konflik dan pertikaian tentu akan susah mempertahankan tali nikah yang sifatnya suci dan kuat. Talak di sini dapat dijadikan jalan yang dipilih suami untuk mengurangi kerusakan hubungan keluarga. Bertalian dengan itu, Ahmad Kuzari seperti  dikutip  Amiur  Nuruddin,  menyebutkan  bahwa  putusnya  perkawinan

adalah hal yang wajar, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau



17Tujuan pembentukan dan pensyariatan hukum berlandaskan kaidah: ﺪﺳﺎﻔﻤﻟا أرد  و ﺢﻟﺎﺼﻤﻟا ﺐﻠﺟ, artinya, menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat, dimuat dalam Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm.

135: Dalam teori maqāṣid al-syari’ah, terciptanya kemaslahatan manusia tercapai ketika terjaga lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kaitan dengan ini, al-Syathibi dalam kitab “al-Muwāfaqat”, seperti dikutip oleh Mustafa Sa’id al-Khin, menyatakan bahwa syariat menjaga hal-hal pokok seperti agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Tanpa kelima hal pokok ini, maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan lurus, sehingga hilanglah kemaslahatan akhirat. Lihat dalam Mustafa Sa’id al-Khin, Abhas Haula ‘Ilm Uṣul al-Fiqh: Tarikhuh wa Taṭawwuruh, ed. In, Sejarah Ushul Fiqih, (terj: Muhammad Misbah), (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2014), hlm.

304: tentang kelima unsur pokok tersebut juga dapat dilihat dalam A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, cet. 8, edisi revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 27-28.

18Ali Yusuf, as-Subki, Niẓām al-Usrah fī al-Islām, ed. In, Fiqh Keluarga, (terj: Nur

Khozin), (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 346.













kontrak. Konsekuensinya tentu akad nikah tersebut bisa saja lepas yang kemudian dapat disebut dengan talak.19 Talak merupakan hak suami.20 Sebagai sebuah hak, talak bisa saja terjadi kapan saja, di mana saja, karena ia adalah hak prerogatif suami. Tetapi, hak istimewa ini tentu dibatasi dan cara pelaksanaannya harus berdasarkan ketentuan dalam hukum Islam. Pemutusan ikatan nikah dengan cara

talak ini didasari oleh dalil al-Qur’an, yaitu surat al-Ṭalāq ayat 1:21



Artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui, barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS. Al-Ṭalāq/65: 1).





19Ahmad Kuzari, “Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan”, dalam Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Pekembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 hingga KHI, cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2012), hlm. 206.

20Ibnu Qayyim menyebutkan talak itu hak istimewa (prerogatif) yang diberikan kepada pihak suami. Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mukhtaṣar Zād al-Ma’ād, ed. In,  Zadul Ma’ad: Bekal Perjalanan ke Akhirat, (terj: Kathur Suhardi), cet. 6, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm.

398.

21Seperti yang dituturkan oleh al-Suyuthi, sebab turun surat al-Ṭalāq ayat 1 ini paling tidak ada empat riwayat. Salah satunya disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim yang riwayatnya didapatkan dari Qatadah dan dari Anas ibn Malik terkait dengan Rasulullah menjatuhkan talak kepada Hafsah, dan ia kembali kepada kelurganya. Berkenaan dengan hal ini, kemudian turun ayat tersebut. lihat dalam Jalaluddin al-Suyuthi, Libāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, ed. In, Asbabun

Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, (terj: Tim Abdul Hayyie), cet. 5, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2011), hlm. 582.















Kandungan  ayat  di  atas  terdiri  dari  beberapa  ketentuan  hukum.  Di antaranya tentang cara penjatuhan talak, kewajiban isteri melaksanakan iddah dan anjuran   suami   agar   menghitung   masa   iddah   tersebut,   larangan   suami mengeluarkan  isteri,  serta larangan  isteri  untuk  keluar rumah.  Terkait  dengan ketentuan hukum pertama, bahwa suami yang menceraikan isteri harus melihat keadaan isteri yang akan diceraikan. Meski talak sebagai hak suami, tetapi hak tersebut dibatasi dengan adanya ketentuan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Mengenai macam-macam talak, para ulama setidaknya membaginya ke dalam dua kategori umum, yaitu talak dilihat dari boleh tidaknya suami untuk rujuk kepada isteri, dan talak dilihat dari sesuai tidaknya talak yang dijatuhkan suami berdasarkan ketentuan hukum. Sedangkan dasar hukumnya akan dijelaskan bertalian dengan macam-macam talak.

1. Dilihat dari boleh tidaknya suami kembali kepada isteri.

Talak dalam kategori ini dibedakan lagi ke dalam dua macam, yaitu talak raj’i dan talak bā’in. Menurut Amir Syarifuddin, talak raj’i yaitu talak yang masih memungkinkan suami untuk rujuk kembali kepada isteri, tanpa memerlukan akad dan mahar yang baru.22 Sementara itu, rumusan lainnya seperti dikemukakan oleh Tihami,  talak  raj’i  yaitu  talak  di  mana  suami  masih  mempunyai  hak  untuk



















22Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Pekawinan, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 260.













merujuk kembali isterinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan isteri benar-benar telah digauli.23

Berdasarkan rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak raj’i yaitu talak yang di dalamnya masih memungkinkan suami untuk rujuk. Artinya, isteri masih dalam masa iddah, baik dalam talak satu atau talak yang kedua. Kemudian, talak raj’i terjadi hanya pada wanita yang telah digauli. Bagi wanita yang belum pernah digauli maka tidak ada iddah dan rujuk di dalamnya.

Dalam Islam, talak yang memungkinkan adanya rujuk itu hanya dua kali



saja.24 hal ini berangkat dari ketentuan surat al-Baqarah ayat 229:





Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi  kamu  mengambil  kembali  sesuatu  dari  yang  telah  kamu  berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus  dirinya.  Itulah  hukum-hukum  Allah,  maka  janganlah  kamu









23H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., hlm. 232: dalam fikih disebutkan bahwa talak raj’i hanya terjadi pada dua keadaan, yaitu talak satu dan talak yang kedua kalinya. Talak yang pertama dan talak yang kedua kali ini disyaratkan pula masih dalam iddah wanita. Ketika iddah talak pertama atau talak yang kedua telah habis, maka masuk talak bā’in. Artinya suami tidak bisa lagi merujuk isterinya, kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, atau dalam kasus talak yang ketiga harus ada pekawinan yang kemudian dilakukan oleh isteri.

24Abdul Aziz Dahlan, Eksiklopedi Hukum Islam, cet. 2, jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 2000), hlm. 1784.













melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah/2: 229).

Pada awal potongan ayat tersebut jelas dikatakan bahwa talak yang dapat dirujuk itu hanya ada dua kali. Karena, hak talak suami hanya diberikan tiga kali saja, dua kali talak ra’ji dalam masa iddah dan dua kali talak bā’in ṣughrā setelah habis masa iddah, dan talak yang ketiga sebagai talak bā’in kubrā. Setelah talak yang ketiga, mantan isteri sepenuhnya tidak bisa lagi dirujuk atau dinikahi, meski ada akad dan mahar yang baru. Mantan isteri dalam kasus tersebut hanya bisa dinikahi kembali ketika bekas isterinya telah menikah dengan laki-laki lain.25



Adapun dasar hukum talak raj’i dalam Kompilasi Hukum Islam dimuat dalam Pasal 118, yaitu: “Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah”.

Pembagian  talak  selanjutnya  yaitu  talak  bā’in.  Menurut  Sayyid  Sabiq, talak bā’in yaitu talak yang ketiga kalinya, dan talak yang jatuh sebelum suami isteri berhubungan serta talak yang dijatuhkan isteri kepada suaminya atau dalam fikih disebut dengan khulu’.26  Talak bā’in dibedakan menjadi dua macam, yaitu bā’in ṣughrā dan bā’in kubrā. Talak bā’in ṣughrā berarti talak di mana suami



masih  bisa  melanjutkan  perkawinan  dengan  bekas  isterinya,  namun  harus



















25Dimuat dalam Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhāj al-Muslim..., hlm. 837: Lihat juga dalam Sayyid Sabiq, Al-Fiqh al-Sunnah, ed. In, Fikih Sunnah, (terj: Asep Sobari), jilid 2, cet. 5, (Jakarta: Al-I’Tishom, 2013), hlm. 439.

26Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah..., hlm. 460: Istilah khulu’ sebagaimana maksud di atas yaitu talak tebus yang di dalamnya ada keharusan bagi isteru untuk membayar ganti rugi atau tebusan atau kompensasai (iwadh) kepada bekas suaminya. Lihat dalam Abdul Majid Mahmud

Mathlub, Al-Wajīz fī Aḥkām..., hlm. 408: dimuat jjuga dalam Abdul Aziz Muhammad Azzam dan

Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Al-Usrah wa Aḥkāmuhā..., hlm. 297.













dilakukan akad nikah baru dan mahar yang baru.27  Ini berarti talak bā’in ṣughrā



kebalikan dari talak raj’i.

Adapun talak bā’in kubrā yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang ketiga kalinya,28 sehingga ia (suami) tidak bisa melanjutkan hubungan perkawinan, kecuali bila isteri telah menikah lagi dengan laki-laki lain, maksudnya bukan pernikahan tahlil.29  Terkait dengan dasar hukum talak bā’in kubrā yang mengharuskan mantan isteri menikah lagi dimuat dalam surat al- Baqarah ayat 230, yaitu:



Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali  jika  keduanya  berpendapat  akan  dapat  menjalankan  hukum- hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS. Al-Baqarah/2: 230).



Secara umum, maksud ayat yang menjelaskan kalimat “hingga dia kawin dengan suami yang lain”, artinya laki-laki  yang menikahi mantan isteri tidak





27Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, ed. In, Fikih Keluarga, (terj: Abdul

Ghofar, EM), cet. 5, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 252.

28Perlu ditegaskan, talak yang disyariatkan yaitu talak yang dilakukan secara bertahap. Talak tiga yang dimaksudkan yaitu talak yang ketiga kalinya. Artinya talak yang dijatuhkan

setelah sebelumnya talak pertama dan kedua. Adapun talak yang diucapkan secara sekaligus, juga

dianggap berlaku menurut pendapat jumhur, namun pelakunya berdosa. Dalam masalah talak tiga sekaligus, masuh menuai kontroversi pendapat. Selengkapnya lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hlm. 217.

29Mengenai keharaman nikah tahlil ini, telah dikupas secara panjang lebar oleh Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya “Mawārid al-Amān fī Ighāśatul Lahfān mim Maşāyid al- Syaiṭān, ed. In, Menyelamatkan Hati dari Tipu Daya Setan, (terj: Hawin Murtadho & Salafuddin Abu Sayyid), (Cet. V, Surakarta: al-Qowam, 2012), hlm. 483-492.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot