Di Tulis Oleh:
Arief Raihandi Azka
A.
Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan
penggalan ka-ta Poli atau Polus yang artinya
banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang
berarti kawin atau perkawinan. Maka poligami adalah perkawinan banyak dan bisa
jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Poligami adalah, perkawinan dengan dua
orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.
Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia di berbagai
belahan dunia sudah mengenal poligami. Nabi Ibrahim AS beristri Sarah dan
Hajar, Nabi Ya’qub AS beristri Rahel dan lea. Kemudian, pada bangsa Arab
sebelum Islam kegiatan poligami sudah sering dilakukan. Akan tetapi, ketika
Islam datang, Islam membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Islam memberi petunjuk
untuk berpoligami yang berkeadilan dan sejahtera.
B.
Syarat-Syarat Berpoligami
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan
persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebagai berikut:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang ini harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya
persetujuan dari istri/ isteri-isteri
b. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
c. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun,
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan
Agama.
Adapun selain di dalam Undang-Undang, Islam juga mengatur
syarat-syarat untuk berpoligami bagi setiap umatnya yang ingin berpoligami.
Adapun syarat-syarat berpoligami didalam Islam adalah sebagai berikut:
a.
Seorang yang mampu berbuat adil
Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap
adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu
istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang
lain. Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah
satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu
adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain.
b.
Aman dari lalai beribadah kepada Allah
Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia
bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika
setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka
poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam
melakukan poligami.
c.
Mampu
menjaga para istrinya
Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk
menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika
seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun
lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus
dalam keburukan dan kerusakan.
d.
Mampu
memberi nafkah lahir
Hal ini sangat jelas, karena seorang yang
berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia
ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup?
Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Maka
dari beberapa syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya agama
tidak memerintahkan suami untuk meminta izin terlebih dahulu kepada istri
sebelum berpoligami. Akan tetapi hal tersebut diatur dalam Undang-Undang di
karenakan beberapa alasan yang di lihat dapat merugikan salah satu pihak hingga
diaturlah peraturan yang sedemikian rupa.
C.
Dampak Psikologis
Poligami Terhadap Istri Yang di Poligami Tanpa Izin Darinya.
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya
berpoligami tanpa izin darinya adalah dampak psikologis. Dampak psikologis yang
di alami oleh istri karena si istri mengetahui secara mendadak bahwa suaminya
telah berpoligami.
Pada awalnya Islam berjaya, poligami yang dilakukan oleh
sahabat-sahabat yang melakukan hijrah ke Madinah ialah tanpa izin dari istri
pertama yang ditinggalkannya di kota Mekkah. Akan tetapi pada masa itu tidak
konflik yang terjadi di antara para pasangan tersebut. Mengapa demikian?
Mengapa para istri tersebut tidak merasa terzalimi dan tidak mempersoalkan apa
yang di lakukan oleh suami mereka?.
Jawabannya adalah, pada masa itu, iman seseorang melebihi
segalanya. Pada hakikatnya, kita cinta sebenarnya itu ialah cinta kepada Sang
Khaliq. Sehingga ketika kita menikah pun, kita mencintai pasangan kita karena perintah
dari Allah untuk mencintai pasangan kita tersebut. Oleh karena itu, setiap
wanita juga menyadari bahwa poligami juga bagian dari ibadah yang bisa di
lakukan oleh suaminya. Maka di karenakan cinta sang istri kepada Allah, maka
ketika sang suami ingin menambah istrinya guna ingin mendekatkan dirinya kepada
Allah sang istri pun rela dan ikhlas karena dia menyadari bahwa cinta
sebenarnya ialah cinta kepada Allah.
Oleh karena itu, persoalan izin untuk berpoligami tidak
menjadi sebuah pembahasan baik pada zaman sahabat ataupun zaman-zaman
berkembangnya kitab-kitab fiqh. Pada masa sekarang, permasalahan poligami
menjadi lebih rumit apalagi budaya kita di Indonesia bukanlah budanya poligami.
Kemudian media-media juga ikut campur dalam mengkeruhkan praktek poligami
hingga poligami menjadi momok yang menakutkan bagi para wanita sehingga ketika
suaminya tiba-tiba berpoligami tanpa izin darinya, maka dia akan syok sehingga
dia akan mengalami stress.
Dampak syok yang di alami istri ini merupakan sebuah wujud
kekerasan suami yang di akibatkan oleh perbuatannya. Apabila sudah syok, maka
akan ada timbul stress setelah itu dan lain sebagainya. Kemudian apabila
batinnya tidak sanggup menahan perasaan yang di tahan karena suaminya
berpoligami diam-diam, maka istri tersebut bisa saja mengajukan cerai gugat
kepada pengadilan.
Maka kesimpulannya adalah, poligami merupakan sunnah
Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam yang apabila kita ingin melakukannya
maka lakukanlah dengan sebaik mungkin. Jangan sampai apa yang kita lakukan
merugikan salah satu pihak dan dampak berdampak besar baginya dan bagi
anak-anak kita kelak.