MAKALAH SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH





Suatu hal yang menarik bagi penelitian dan pengembangan agama adalah proses interaksi antara keagamaan dengan kebudayaan lokal, bahkan dewasa ini juga dengan kebudayaan nasional Indonesia. Interaksi antara dua lingkungan budaya tentu menimbulkan proses saling mempengaruhi dan saling menyerap atau disebut akulturasi. Sebagaimana sebelum agama-agama datang, penduduk Nusantara mempunyai kepercayaan bahwa bukan hanya manusia yang berjiwa, tumbuh-tumbuhan dan hewan pun berjiwa. Mereka juga mempercayai dan menyembah arwah orang yang sudah meninggal karena ada anggapan bahwa orang yang sudah meninggal mempunyai pengaruh yang kuat dan langsung terhadap orang-orang yang masih hidup.[1]
Gerakan pembaharuan (modernisme) yang terjadi di Indonesia, lahir akibat kondisi umat Islam Indonesia mengalami kemunduran secara sistematis, yang di tandai dengan hilangnya semangat untuk menangani permasalahan yang terjadi dalam hidup keseharian, seperti kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan. [2] Untuk mengatasi fenomena tersebut terbentuklah Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak di bidang sosial-keagamaan pada tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta.[3]
Persyarikatan ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai respon terhadap kenyataan sosial-budaya dan sosial-keagamaan bangsa Indonesia saat itu. Penghayatan yang mendalam terhadap sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an, telah memberikan inspirasi dan juga semangat baginya untuk  berdakwah.[4]

Ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan ini, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, gagasan pembaharuan islam Timur Tengah yang dikembangkan oleh Jamaludin al-Afghani, Syeikh M. Abduh dan penerusnya Rasyid Ridha berkaitan dengan aliran “skrituralisme” yaitu aliran yang menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam menentukan hal yang merupakan ajaran dan praktik Islam yang sesungguhnya.[5]
Sedangkan faktor internal, berkaitan dengan kondisi kehidupan keagamaan kaum Muslim Indonesia, yaitu Pertama, umat Islam tidak memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, kultur setempat yang bertentangan dengan agama, yaitu mencampuradukkan antara tradisi dan hukum agama, akibatnya banyak yang percaya tahayul, kufarat, dan bid’ah. Kedua, kondisi politik bisa menjadi pemicu berdirinya Muhammadiyah. Pada saat itu PKI berusaha merebut pengaruh dalam kehidupn masyarakat, buruh-buruh dan pedagang, karena itu masyarakat Islam Jakarta Timur mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Ketiga, kemiskinan menimpa rakyat Indonesia.Keempat, pendidikan juga menjadi pemicu lahirnya Muhammadiyah di wilayah ini. Sekolah swasta Islam yang ada pada waktu itu cukup minim jumlahnya, sedangkan kondisi masyarakat membutuhkan sekolah yang memuat jam pelajaran agama Islam yang lebih banyak.[6]
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetahui lebih jauh eksistensi Muhammadiyah, berawal dari sejarah terbentuknya, pengaruh keberadaannya terhadap masyarakat, kegiatan Muhammadiyah, serta peran Muhammadiyah bagi masyarakat Islam.

BAB II
RIWAYAT HIDUP


2.1.      Profil KH. Ahmad Dahlan
Kiyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, pada tanggal 1 Agustus 1868, meninggal di Yogykarta pada tanggal 23 Februari 1923 pada usia 54 tahun dan dimakamkan di KarangKajen. Ia adalah seorang pahlawan Nasional Indonesia. KH. Ahmad Dahlan adalah putra keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. dari keluarga KH. Abu Bakar yang seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu pula.[7]
Ketika lahir, KH. Abu Bakar memberi nama si anak dengan Muhammad Darwis yang kemudian menjadi Ahmad Dahlan setelah ia kembali dari Mekah. Diusia balita, Darwis sudah diperkenalkan dengan pendidikan agama. Yang pertama kali menggemblengnya adalah ayahnya sendiri, lalu para kiyai di sekitar Yogyakarta.[8]
KH. Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran islam di jawa[9]. Silsilahnya ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djuru Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[10]
Sebagaimana umumnya anak-anak kyai, KH. Ahmad Dahlan belajar ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Dengan bekal bahasa arab dan ilmu-ilmu agama yang diperolehnya di Yogyakarta itu, pada usia 15 tahun ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1888 dan tinggal di Mekkah selama 5 tahun.
Keinginannya yang dalam untuk memajukan Islam, membuat Ahmad Dahlan aktif mencari ilmu diberbagai jamiah dan organisasi. Seperti di jamiah Khoir (kumpulan keturunan Arab), Budi Utomo, dan Serikat Islam.[11]
Di bumi Mekah inilah ia memperdalam ilmu-ilmu keislamannya seperti ilmu qiraat, fiqih, tasawuf, ilmu mantiq, ilmu falaq, aqidah dan tafsir. Pada periode ini KH. Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibn Taimiyah. Pada tahun 1902 ia kembali ke kampung halamannya.[12]
Sepulang dari Mekah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[13]
Disamping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. Kemudian ia juga pernah menikah dengan Nyai Aisyah Cianjur, yaitu adik Adjengan Penghulu, ia mempunyai seorang putera dari perkawinannya ini yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan beristrikan lebih dari satu, tentu ini menimbulkan tanda tanya. Namun pada kenyataannya, pada masa KH. Ahmad Dahlan hidup, banyak para lelaki yang beristrikan lebih dari satu dan hal ini bukan merupakan suatu kejanggalan, tetapi hal yang lumrah sering terjadi. Kini konteks dan cara pikirnya berbeda, sehingga poligami dapat menjadi kontroversi di sebahagian kalangan kaum muslim. Bahkan di kecamatan Tanggulangin, kabupaten Siduarjo, Jawa Timur ada sebuah jalan yang bernama Jalan Wayoh yang berarti Jalan Poligami. Jalan ini sebelumnya bernama Jalan KH. Ahmad Dahlan yang kemudian di ubah oleh warga menjadi Jalan Wayoh.

2.2       Profesi dan Perjuangan
Sepulang belajar dari Mekah, Ahmad Dahlan menjadi staf pengajar agama di kampungnya, Kauman. Ia juga mengajar di sekolah negeri, seperti Kweek School (Sekolah Raja) di Jetis (Yogyakarta) danOpleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), sekolah pendidikan untuk pegawai pribumi di Megelang.
Profesi Ahmad Dahlan selain mengajar ia juga bertabligh dan berdagang. Ia berdakwah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia juga seorang pedagang yang pernah berniga di Jakarta dan Surabaya, bahkan sampai ke Medan. Ia juga tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama. Mula-mula ia menjabat sebagai pegawai mesjid Sultan, kemudian ia mengajar di pesantrennya sendiri. Ilmu dan ketokohannya menjadikan pesantrennya dikunjungi oleh pelajar-pelajar dari berbagai tempat.[14]
Nama KH. Ahmad Dahlan cukup termahsyur sebagai tokoh pendiri Muhammadiyah, sehingga organisasi ini menjadi organisasi kemasyarakatan kedua setelah NU. Organisasi yang dipimpinnya ini kemudian lebih banyak mengembangkan sektor pendidikan modern di seluruh Indonesia.

2.3.      Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan islam dan pendidikan, maka pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1.      KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat
2.      Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan islam
3.      Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha social dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran islam
4.      Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita indonesi untuk mengecap pendidikan dan berfungsi social, setingkat dengan kaum pria.

2.4.      Film
Kisah kehidupan dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotism anak muda dalam mempresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1.      Latar Belakang Lahirnya Muhammadiyah
Nama Muhammadiyah secara etimologi, berasal dari bahasa Arab  Muhammad, yakni Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, mendapatkan ya nasabiyah berati menjeniskan. Muhammadiyah berarti umat Muhammad SAW atau pengikut Nabi Muhammad. Semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah SWT yang terakhir. Dengan demikian, siapapun yang mengaku beragama Islam maka mereka orang Muhammadiyah, tanpa harus dilihat adanya perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis dan sebagainya.
Secara terminologi, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam,dakwah amar ma’ruf nahi munkar, didirikan oleh KH Amad Dahlan 18 November 1912 di Yogyakarta, berazaskan Islam, bersumber pada Al Qur’an dan Sunah. Pemberian nama Muhammadiyah dengan maksud berpengharapan baik (bertafa’ul), mencontoh dan menteladani jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Semua ditujukan demi terwujudnya kejayaan Islam, sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas.[15]
Ditinjau dari faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua :
Pertama, faktor subyektif. Yaitu pendalaman Ahmad Dahlan menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isi Al Qur’an. Dahlan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan firman Allah sebagaimana tersimpul dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yakni melakukan taddabur atau memperhatikan, mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat. Sikap ini sama ketika Ahmad Dahlan mengkaji surat Ali Imran ayat 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$#tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
Artinya: “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran: 104)

Kedua, faktor obyektif. Faktor ini diklasifikasikan menjadi faktor internal, faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan faktor eksternal, faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Indonesia.
Faktor obyektif bersifat internal disebabkan oleh dua hal,pertama, ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al Qur’an dan Sunah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Tidak dipungkiri masuknya Islam di Indonesia sudah didahului berbagai aliran dan agama lain, baik  Hindu maupun Budha. Sehingga, seringkali ajaran-ajaran tersebut tidak sengaja menempel pada tubuh ajaran Islam. Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan hidup), agama Islam mengajarkan untuk memilih tauhid yang murni, bersih dari bermacam syirik, bid’ah dan khurofah.
Namun dalam prakteknya banyak orang Islam percaya pada benda-benda keramat, sesajian, meminta berkah di kuburan, ramalan dukun, bintang serta berbagai ritual yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam urusan doa, banyak umat Islam yang menggunakan perantara (washilah) yang menghubungkan dirinya dengan Allah SWT, seperti bertawasul pada Syaikh Abdul Qodir Jaelani, Nabi, Malaikat, Wali dan lainnya. Padahal ini tidak ada dalam ajaran Islam, lihat Qur’an Surat Az Zumar, ayat 3.
Ÿwr& ¬! ßÏe$!$# ßÈÏ9$sƒø:$# 4 šúïÏ%©!$#ur (#räsƒªB$#ÆÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uŠÏ9÷rr& $tB öNèdßç6÷ètR žwÎ)!$tRqç/Ìhs)ãÏ9 n<Î) «!$# #s"ø9ã ¨bÎ) ©!$# ãNä3øtsóOßgoY÷t/ Îû $tB öNèd Ïm‹Ïù šcqàÿÎ=tGøƒs 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw“Ïôgtƒ ô`tB uqèd Ò>É»x. Ö‘$¤ÿŸ2 ÇÌÈ  
Artinya: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”.

Kedua, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah  di muka bumi “. Ahmad Dahlan memandang Pondok Pesantren sebagai satu lembaga pendidikan khas umat Islam Indonesia masih ada kekurangan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren hanya membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu agama, maka penyempurnaannya dengan memberikan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan  demikian akan lahir dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah, cerdas dan terampil. Dalam  terminologi Al Qur’an disebut “ Ulul Albab “.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal diakibatkan oleh tiga hal, yaitu:
1.      Semakin meningkatnya kristenisasi di tengah masyarakat Indonesia.[16] Masa penjajahan baik, Spanyol, Portugal dan Belanda sama-sama mengibarkan panji-panji gold, glory dangospel. Untuk gospel sendiri, misionaris Kristen yang disebar bertujuan mengubah agama penduduk yang Islam ataupun yang bukan menjadi Kristen. Tingginya arus kristenisasi terjadi pada pemerintahan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg, (1909-1916), Idenburg melancarkan program yang lebih popular dengan sebutan “Kristenisasi Politik”.
2.      Penetrasi bangsa-bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda di Indonesia. Masuknya kebudayaan, peradaban dan keagamaan Eropa setidaknya berpengaruh buruk pada bangsa Indonesia. Lahirnya sifat Individualistik, diskriminatif dan dasar-dasar agama yang sekuler menjadikan generasi baru bangsa Indonesia yang acuh tak acuh pada ajaran Islam. Simbol ke-Islaman yang mereka pakai dirasa sebagai sesuatu yang tidak modern.
3.      Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam. Muhammadiyah dibangun dari mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan Islam. Dimulai dari Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Muhammad Abdul, Jamaludin Al Afghani dan Rasyid Ridha. Lewat merekalah dan tokoh-tokoh lainnya yang sepaham, Ahmad Dahlan mendapatkan arah pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam.[17]
Syaifullah mengklasifikasikan latar belakang lahirnya Muhammadiyah menjadi empat. Pertama, aspirasi Islam Ahmad Dahlan. Untuk mengetahui hal ini bisa dilihat dalam dua fase. (a).setelah Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama (1889).(b). setelah menunaikan haji yang kedua (1903).  Kedua, realitas sosial-agama di Indonesia. Munculnya kepercayan dan agama-agama sebelum Islam di Indonesia menyebabkan proses masuknya Islam melalui akulturasi dan sinkretisme. Ketiga, realitas sosio-pendidikan. Muhammadiyah lahir sebagai penengah antara pendidikan pesantren dan pendidikan sekelur. Keempat, realitas politik Islam Hindia Belanda. Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar pribumi beragama Islam, sehingga perlawanan penduduk yang timbul, seperti perang Diponegoro, Padri, Aceh dan lain-lain, tidak lepas dari ajaran Islam.[18]
Perjalanan dakwah Muhammadiyah, dalam pasang surut sejarah Indonesia dari tahun 1912 (setelah Ahmad Dahlan) sampai sekarang, telah melalui dua belas kali pergantian pucuk pimpinan. Untuk menggambarkan perkembangan dan prestasi dakwah mereka dalam Muhammadiyah bisa dilihat sebagai berikut.
1.      Periode K.H Ahmad Dahlan (1912-1923). Semasa menjadi pendiri dan ketua Muhammadiyah prestasi-prestasi Dahlan antara lain, mendirikan macam-macam sekolah-madrasah, meningkatkan derajat kaum wanita, mendirikan Hizbul Wathon, menerbitkan majalah “Sworo Muhammadiyah”, menganjurkan kesederhanaan, persatuan Islam Indonesia, dan kepekaan terhadap kehidupan sosial.
2.      Periode KH. Ibrahim (1923-1932). Selama sembilan tahun memimpin Ibrahim telah menggalang “Fond Dahlan”, khitanan massal, badan perbaikan perkawinan, mengirim putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah keseluruh pelosok tanah air. Seperti, HAMKA ke Makasar (1928) R.Z. Fanani ke Sumatera Selatan, A.R. Fakhrudin ke Medan, Badilah Zuber ke Palembang, dan meyelenggarakan konggres Muhammadiyah ke XV sampai XX dan terakhir konggres XXI di Makassar 1932.
3.      Periode KH. Hisyam (1932-1936). Ia telah mengadakan konggres Muhammadiyah ke XXIII 1934, dan menghasilkan keputusan-keputusan diantaranya, pergantian nama-nama Belanda menjadi nama Indonesia, konggres Muhammadiyah XXIV 1935 dan XXV 1936, memutuskan berdirinya Perguruan Tinggi atau Sekolah Tinggi.
4.      Periode Mas Mansur (1936-1942). Prestasi dakwah  Mas Mansur diantaranya, pengaktifan majelis tarjih, sehingga mampu merumuskan masalah lima, (dunia, agama, qiyas, sabilillah, dan ibadah). Kemudian lahirnya 12 langkah gerak Muhammadiyah, mengadakan konggres XXVI-XXIX, dengan keputusan membentuk Bank Muhammadiyah.
5.      Periode Ki Bagus Hadi Kusuma (1942-1953). Beliau mampu menyusun muqodimah AD Muhammadiyah dengan 7 pokok idiologi Muhammadiyah, mengadakan Muktamar Darurat (1944), silaturrahmi cabang-cabang Muhammadiyah se-Jawa dan sidang tanwir yang memutuskan diperbolehkannya anggota Muhammadiyah masuk partai politik yang beridiologi Islam dan menjadi DPR untuk kepentingan Muhammadiyah.
6.      Periode A.R.Sutan Mansur (1952-1959). Dakwah kepemimpinannya lebih menekankan pada ruh tauhid yang ditanamkan kembali (Khittah Pelembang). Sidang tanwir 1955, membicarakan pokok-pokok konsepsi negara Islam, dan penegasan kembali bahwa Muhammadiyah bergerak dalam bidang kemasyarakatan, sedang masalah aspirasi politik dianjurkan masuk Mashumi, sebagaimana hubungan baik Muhammadiyah dan Mashumi.
7.      Periode H.M. Yunus Anis (1959-1968). Sembilan tahun memimpin Yunus telah merumuskan pedoman keputusan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang kemasyarakatan.
8.      Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968). Fatwa dakwahnya yang terkenal, membubarkan PKI merupakan ibadah karena menyelamatkan Muhammadiyah dari kehancuran, akibat perkawinan PKI dan PNI pada Masyumi.
9.      Periode kepemimpinan K.H Faqih Usman  dan H.A.R Fakhrudin (1968-1971). Faqih Usman meninggal dunia setelah satu minggu diangkat menjadi ketua PP Muhammadiyah, sehingga pejabat sementara dipegang A.R Fakhrudin. Selama periode pertama Fakhrudin, melahirkan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah.
10.  Periode A.R Fakhrudin (1971-1990). Bisa dikata Ia memimpin Muhammadiyah selama dua periode dan paling lama. Prestasi dakwah A.R. Fakhrudin antara lain, melakukan pendekatan denganpenguasa Orde Baru, membidani lahirnya Partai Muslimin Indonesia, perubahan Anggaran Dasar Muhammadiyah dan terkonsolidasinya berbagai majelis yang ada di tubuh Muhammadiyah.
11.  Periode KH. Azhar Basyir, MA (1990-1995). Prestasi dakwah Azhar diantaranya, perumusan tiga program persyarikatan jangka panjang (25 tahun) Muhammadiyah yang meliputi, pertama, bidang konsolidasi gerakan, kedua, bidang pengkajian dan pengembangan organisasi dan ketiga, bidang dakwah pendidikan dan pembinanan kesejahteraan umat.
12.  Periode Prof. Dr.Amin Rais (1995–2000). Prestasi dakwah yang dikembangkan dan dihasilkan oleh Amin diantaranya, memajukan manajemen Muhammadiyah, pendidikan, pengkaderan, dakwah masyarakat diberbagai bidang dan peningkatan dana organisasi. Kepemimpinan  Amin Rais hanya tiga tahun, meski dulu beliau pernah berkomitmen untuk membawa Muhammadiyah sampai tahun 2000. Namun pada 23 Agustus 1998, sehari setelah Rapat Pleno PP Muhammadiyah, Amin Rais diberi izin untuk memimpin Partai Amanat Nasional (PAN) dan melepaskan jabatan Ketua PP Muhammadiyah.[19]
13.  Periode Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif. (2000-2005). Syafi’i tampil sebagai Pejabat Ketua PP Muhammadiyah dari hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang tahun 1998, setelah lengsernyaAmin Rais. Kemudian diangkat menjadi Ketua PP Muhammadiyah pada periode lima tahun selanjutnya melalui Muktamar Muhammadiyah. Prestasi dakwah beliau pada dasarnya melanjutkan program kerja periode sebelumnya. Iklim reformasi dan euforia politik yang muncul di Indonesia, mengharuskan beliau mengerem, agar anggota-anggota Muhammadiyah tidak terjebak pada demam partai, tapi mengarahkan pada aturan main organisasi[20]
Perjalanan panjang dakwah Muhammadiyah sebagaimana paparan di muka telah melahirkan berbagai tanggapan dan komentar dari berbagai pihak. Pendeknya, gerakan Muhammadiyah masuk kedalam kombinasi berbagai penamaan dan pensifatan. Muhammadiyah sebagai gerakan puritan, modernis, salafi dan sosial–politik, yang  lebih memfokuskan kepada berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Ia tidak membatasi diri kepada dakwah dalam pengertian sempit, tetapi mengambil peran dalam segala aspek perkembangan masyarakat. Alfian memberi komentar, Muhammadiyah sedikitnya memiliki peran dalam tiga dataran, sebagai gerakan pembaharuan, sebagai agen perubahan sosial dan sebagai kekuatan politik.[21]
3.2.            Sejarah Singkat Dakwah Muhammadiyah
3.2.1.            Alur Pertama
Gagasan dakwah Ahmad Dahlan muncul dan diilhami dari semangat pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (reformasi) ajaran agama serta pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an.
Semangat purifikasi Dahlan lahir setelah menunaikan haji yang pertama  (1889) dan reaksi terhadap fenomena degredasi tauhid dan moral yang terjadi pada masyarakat Islam, khususnya Jawa. Umat dilanda praktek-praktek keagamaan yang mengarah pada syirik, khurafat, tahayul, dan bid’ah,seperti pergi kedukun, tempat keramat, meramal bintang, memakai jimat, menyembah pepohonan dan lain-lain.
Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan meliputi lima hal.Pertama, pembetulan arah kiblat, yang biasanya menghadap arah barat diubah menjadi arah barat laut sesuai dengan perhitungan ilmu falaq. Kedua, penghitungan 1 Syawal atau hari raya Idhul Fitri. Masyarakat sering menggunakan sistem ABOGE, yaitu sistem perhitungan Jawa, yang menggabungkan tiga kata, A-alif (huruf pertama Hijaiyah) , BO-Rebo (nama hari Jawa) GE-Wage (pasaran hari Jawa). Setelah itu Dahlan mengubahnya berdasarkan perhitungan ilmu hisab dan disetujui oleh Sultan. Ketiga, penolakan sagala praktek bid’ah dan khurafat. Keempat, mensintesiskan pendidikan Islam dengan pendidikan Barat yang sesuai jiwa Islam. Kelima, peka terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana digariskan dalam surat Al Maun 1-7.[22]
3.2.2.            Alur Kedua
Secara eksplisit maupun implisit, gagasan Dahlan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai khotib Masjid Kauman, guru di KweekSchool, anggota jamiah Al Khoir, penasehat agama Budi Utama maupun  Serikat Islam.
Dari sini kemudian muncul reaksi dari berbagai pihak untuk menyatukan gagasan-gagasan dakwah Dahlan yang tercecer dan belum terorganisir. Saran-saran muncul paling banyak dari murid-muridnya di Kweek school Jetis,dari keluarga, rekan-rekan sesama guru, seperti Sosro Sugondo dan Mas Raji dan beberapa anggota Budi Utomo. Mereka berkeinginan  agar sekolah yang didirikan di rumah Ahmad Dahlan dan ide-ide pembaharuannya bisa berkesinambungan di esok hari. Oleh karena itu perlu adanya organisasi permanen yang menaungi semuanya, makaberdirilah Muhammadiyah dan secara otomatis menyatulah gagasan-gagasan dakwah Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah.[23]
Rumusan awal organisasi, tujuan dan maksud berdirinya Muhammadiyah mencakup dua hal. Pertama, menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Bumi Putera di dalam residen Yogyakarta. Kedua, memajukan hal-hal agama Islam kepada Anggota-anggotanya. Uraian sejarah dakwah Muhammadiyah di atas pada dasarnya tidak bisa lepas dari semangat purifikasi, pembaharuan  Islam dan telaah normatif Ahmad Dahlan, sebagai pendirinya.
3.3.            Corak Dakwah Muhammadiyah
Pengertian dakwah Islam Muhammadiyah sesuai dengan artian terminologi dan etimologi dakwah itu sendiri. Da’a, yad’u, da’watanyang berarti seruan, ajakan atau panggilan. Dalam mendiskripsikan terminologi dakwah, Muhammadiyah mempunyai beberapa definisi yang telah dirumuskan.
1.      Dakwah adalah segala aktifitas dan usaha untuk mengubah satu situasi tertentu kearah situasi lain yang  lebih baik sesuai dengan ajaran Islam.
2.      Dakwah merupakan usaha menyeru dan menyampaikan kepada perorangan dan seluruh umat. Konsepsi Islam tentang pandangan dantujuan hidup di dunia yang meliputi amar ma’ruf nahi munkar, dengan berbagai media dan cara yang diperbolehkan Allah SWT. Membimbing, mengamalkan dalam peri kehidupan perorangan, rumah tangga (urwah), masyarakat dan peri kehidupan bernegara.
3.      Dakwah adalah mengajak dan menyeru manusia atau masyarakat kepada ajaran Islam, dengan memberikan pengertian dan kesadaran akan kebenaran ajaran Islam, sehingga manusia atau masyarakat dapat menginsyafi akan kebaikan, kelebihan dan keutaman Islam bagi pembentukan pribadi utuh.[24]
Perjalanan dakwah purifikasi Islam pertama kali dilakukan oleh Hanbali yang dipelopori oleh Abu Muhammad Al Barbahari. Beberapa penyimpangan yang terjadi pada pada masa itu antara lain : pertama, penyimpangan aqidah, akibat pengaruh filsafat Yunani, sehingga muncul penyimpangan dalam masyarakat Islam dalam bentuk ilmu kalam dan filsafat. Penyimpangan ini dilakukan oleh Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kedua, menjamurnya bid’ah dan khurafat dalam ritual umat Islam. Penyimpangan ini dilakukan oleh Syiah. Kedua tokoh abad 10 ini menyerukan untuk melakukan perlawanan terhadap penyimpangan dan kembali pada aqidah salaf.
Tokoh purifikasi kedua adalah Ibnu Taimiyah. Dia memandang Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep wali, wasilah, dan karamah yang mengandung unsur khurafat dan syirik. Oleh karena itu Taimiyah mengajak umat menghilangkan penyimpangan-penyimpangan yang ada dan kembali kepada tauhid.
Corak dakwah lebih diartikan sebagai keseluruhan pola, warna atau kecenderungan dakwah Muhammadiyah. Adapun corak dakwah puritan  Muhammadiyah diharapkan akan tampak dan mewarnai  berbagai pola dakwah yang ada. Corak dakwah Muhammadiyah  meliputi aspek teologi, fiqh, gerakan sosialnya, respon terhadap misionaris Kristen dan komparasi dakwah dengan organisasi Islam Indonesia lainnya.
Awal pertumbuhan organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan lebih berorientasi pada ulama salaf yang ortodok dengan gerakan purifikasinya.[25] Sejalan kemudian Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada salah satu aliran yang ada, baik Mu’tazilah, Asy’ariyah maupun Maturidiyah. Meski sebagian besar umat Islam Indonesia secara teologis bermadzhab Asy’ariyah. Organisasi ini lebih memilih memotong garis madzhab dan bebas untuk menentukan jalan pikirannya sendiri (berijtihad) sebagai gerakan pemikiran yang dinamis.[26]
Perbedaan dakwah Muhammadiyah dengan Serikat Islam (SI) terletak pada bentuk dan cara berkompromi dengan Belanda. Kalau Muhammadiyah dengan cara mendirikan sekolah-sekolah model Belanda, menerima bantuan dari pemerintah Kolonial dan melakukan pendekatan budaya terhadap masyarakat. SI malah sebaliknya, melakukan pendekatan politik, tidak kooperatif dengan Belanda dan lebih terfokus pada masalah perdagangan dan perekonomian.[27]
Muhammadiyah dengan NU sama-sama sebagai gerakan kelas menengah. Dimana NU sebagai gerakan dan ortodok, yang menerima respons dari kalangan haji-haji kaya di desa. Sedang Muhammadiyah sebagai gerakan puritan dan reformis, mendapat respon dari kalangan pedagang dan pegawai.[28] Dalam dimensi keIslaman Muhammadiyah tidak bermazhab, sedang NU mempertahankan salah satu dari empat madzahab fiqh (Syafi’iyah). Untuk masalah I’tiqad NU berpegang pada Ahlus Sunah Waljama’ah.[29]
Sumatera Thawalib (ST) dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi berbasis pendidikan. Sumatera Thawalib lahir sebagai respon para santri madrasah, surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parabek Bukit Tinggi. ST bercorak nasionalis dan radikal, karena berusaha meneruskan perjuangan Paderi yang terbengkalai. Gerakan ini kemudian berpindah haluan menjadi partai politik, Partai Muslim Indonesia (PERMI), yang bertujuan meciptakan kemerdekaan Indonesia dan Islam jaya.[30]
Persatuan Islam (PERSIS) lebih radikal dalam berdakwah daripada Muhammadiyah. Dia menyerang kelompok tradisonalis, nasionalis dan sekuleris. Gaya pemikirannya mirip dengan Ibnu Taimiyah. Dari sisi pemurnian tauhid dan fiqh, hampir sama dengan Muhammadiyah.[31]



3.4.            Cakupan Dakwah Muhammadiyah
Kajian cakupan dakwah Muhamadiyah bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, doktrin Aqidah (teologi), kedua, Fiqh dan ketiga, sufisme-filsafat. Pembagian ini dilakukan untuk mensamakan pokok-pokok ajaran yang ada pada Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.
3.4.1.      Doktrin Aqidah
Secara total dakwah Muhammadiyah memerangi penyimpangan ajaran Islam seperti, syirik, bid’ah khurafat dantaklid. Semua merupakan benalu yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang. Dalam hal lain dakwah purifikasi Muhammadiyah juga mengalami perkembangan tidak hanya memurnikan ajaran Islam saja tetapi melakukan pembaharuan diberbagai sektor kehidupan, semacam penyantunan fakir miskin, pengelolaan Rumah Sakit, Qurban dan sebagainya.[32]
Adapun doktrin aqidah Muhammadiyah dibagi dalam tiga hal;
1.      Membahas tentang perbuatan manusia
“Adapun segala yang dilakukan manusia itu segalanya atas qadla danqadarNya. Sedang manusia sendiri hanya dapat berikhtiar. Dengandemikian segala ketentuan adalah dari Allah dan usaha adalah bagianmanusia. Perbuatan manusia ditilik dari segi kuasanya dinamakan hasilusaha sendiri. Tetapi dilihat dari segi kekuasaan Allah perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah.”
2.      Membahas tentang qadha dan qadhar
“Kita wajib percaya bahwa Allahlah yang telah menciptakan segalasesuatu dan Dia telah menyuruh dan melarang. Dan perintah Allah adalah kepastian yang telah ditentukan. Bahwasannya Allah telah menentukansesuatu sebelum Dia menciptakan segala kejadian dan mengatur segala yang ada dengan pengetahuan, ketentuan, kebijaksanaan dan kehendak. Adapun segala yang dilakukan manusia itu semua atas Qadla dan Qadar-Nya.”

3.      Membahas tentang sifat-sifat Tuhan
“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai akal dalam hal kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang zat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau bicarakan hal itu. Tidak ada kesangsian tentang adanya. Adakah orang ragu tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi?”[33]
3.4.2.      Doktrin Fiqh
Muhammadiyah tidak bermazhab fiqh manapun meski umat muslim Indonesia kebanyakkan Syafi’iyah.
Arah bidikan fiqh Muhammadiyah tentu tidak bisa lepas dari syariah (Al Syariat), yaitu peraturan-peraturan, hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah dan terdapat dalam Al Qur’an serta Sunah. Untuk masalah syariah Muhammadiyah juga menyerahkan fiqh pada ijtihad majelis tarjih. Berbagai masalah yang dikaji seputar syariah dan fiqh sebagai produk antara lain masalah kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam dan metode istinbath yang diterapkan.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang mutlak bagi Muhammadiyah. Sedang dalam masalah hadits majelis tarjih Muhammadiyah bersifat selektif. Ia mengambil hampir semua jenis hadits untuk dijadikan dalil, baik yang daif mursalmauquf dan sebagainya, meskipun dengan persyaratan tertentu.
Metode istinbath mencakup hukum antara lain qiyas, istihsan dan al maslahat wal mursalat. Tiap-tiap madzhab mempunyai perbedaan tersendiriterhadap metode ini, khususnya untuk mencari kepastian hukum. Muhammadiyah dalam masalah ini menyerahkan sepenuhnya pada majelis tarjih dengan ijtihadnya.[34]


3.4.3.      Doktrin Tasawuf dan Filsafat
Ahmad Dahlan tumbuh dalam lingkungan intelektual dan kultural yang berakar pada tradisi sufi. Menurutnya, dalam tasawuf kita harus bisa membuat perbedaan tegas antara ritual ekstatis, tarekat-tarekat, dan sufi popular. Pada sisi lain karakteristik tasawuf yang sehat, lebih banyak dipraktekkan oleh beberapa kelompok dan elit tertentu. Dari gambaran ini Dahlan lebih mencari jalan tengah dalam menyikapi masalah tasawuf.[35]
Untuk pandangan Muhammadiyah tentang tasawuf, bisa melihat pada pendapat  DR. Simuh dan DR Amin Abdullah. Menurutnya ada tiga hal yang melandasi Muhammadiyah cenderung menolak tasawuf.
Pertama, spiritualitas sufis memembawa ekstrimitas pada spiritualitas kasfyi, yakni kontemplasi spiritual-religius yang seringkali berakhir pada wahdat alwujud. Sedang spiritualitas Islam sejati berdasar pada syar’i.
Kedua, spiritualitas sufisme tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan Allah. Dalam spiritualitas Islam sejati ada keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Ketiga, tasawuf dahulunya adalah praktek zuhud yang bersifat terbuka, kemudian dilegalkan secara eksklusif menjadi lembaga dan tarekat. Muhammadiyah melihat tasawuf bukanlah bentuk spiritualitas yang representatif dari ajaran Islam (Al Qur’an dan sunah).[36]

3.5.            Visi dan Misi Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama beserta masyarakat Islam yang sebenarnya. Hal itu dapat terlihat dari Visi Muhammadiyah yang berbunyi;
“Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang berlandaskan l-Qur’an dan Hadis dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di segala bidang, sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi umat, bangs dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang di-ridhai Allah SWT dalam kehidupan di dunia ini.”[37]
Adapun yang menjadi Misi Muhammadiyah yaitu:
1.      Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang di bawa oleh Rasulullah SAW yang di syariatkan sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad SAW.
2.      Memahami agama dengan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi.
3.      Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir untuk umt manusia sebagai penjelasannya.
4.      Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.[38]



BAB IV
KESIMPULAN


Amal Muhammadiyah yang dikomandoi oleh KH. Ahmad Dahlan, tak pernah lepas dari tiga unsur, yaitu rumah yatim dan fakir miskin, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Dan ini terus dilakukan oleh organisasi-organisasi penerus Muhammadiyah, sampai kini.
Usaha keras yang telah dirintis ini akhirnya berbuah jua,. Muhammadiyah menjadi pelopor organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasiskan agama, mempunyai corak pembaruan yang dinamis. Sebelas tahun setelah Muhammadiyah berdiri, tepatnya pada 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Kauman, Yogyakarta, tempat dimana ia pernah dilahirkan pada tahun 1868.
Kehadiran KH. Ahmad Dahlan di pentas dakwah Indonesia memberi warisan tidak hanya berupa bengunan-bangunan fisik seperti panti asuhan, rumah sakit, sekolah. Dalam sejarah hidupnya kita bisa mengetahui bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat terbuka untuk menerima masukan, bahkan kritikan.
Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan meliputi lima hal.Pertama, pembetulan arah kiblat, yang biasanya menghadap arah barat diubah menjadi arah barat laut sesuai dengan perhitungan ilmu falaq.Kedua, penghitungan 1 Syawal atau hari raya Idhul Fitri. Masyarakat sering menggunakan sistem ABOGE, yaitu sistem perhitungan Jawa, yang menggabungkan tiga kata, A-alif (huruf pertama Hijaiyah) , BO-Rebo (nama hari Jawa) GE-Wage (pasaran hari Jawa). Setelah itu Dahlan mengubahnya berdasarkan perhitungan ilmu hisab dan disetujui oleh Sultan. Ketiga, penolakan sagala praktek bid’ah dan khurafat.Keempat, mensintesiskan pendidikan Islam dengan pendidikan Barat yang sesuai jiwa Islam. Kelima, peka terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana digariskan dalam surat Al Maun 1-7.[39]

Rumusan awal organisasi, tujuan dan maksud berdirinya Muhammadiyah mencakup dua hal. Pertama, menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Bumi Putera di dalam residen Yogyakarta. Kedua, memajukan hal-hal agama Islam kepada Anggota-anggotanya.[40]
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang lahir untuk merespon dan menjawab tantangan kemajuan zaman guna kemashlahatan umat Islam Indonesia. Ciri-ciri perjuangan Muhammadiyah meliputi tiga aspek penting, yaitu: Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Ketiga, muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.



DAFTAR PUSTAKA


Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung : Mizan, 1998
Andi Wahyudi .1999.Muhammadiyah dalam Gonjang Ganjing Politik. Yogyakarta: Media Presindo
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Studi Perbandingan, Jakarta : BulanBintang, 1993
Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Sumatera Thawalib. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990
Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta : Pustaka
Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarta; Pustaka Panjimas, 1990
Haedar Nasir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta : Biograf, 2000
Herry Mohammad, dkk, TOKOH-TOKOH ISLAM yang Berpengaruh ABAD 20, Jakarta; Gem Insani Press, 2006
Ismah Salman, Strategi dan Politik Dakwah Muhammadiyah (Suatu Pengajian Pengantar), Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002
Jazim Hamidi dan Husnu Abadi. Intervensi Negara terhadap Agama. Yogyakarta : UII Press, 2001
M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta; Rajawali 1986
Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhamadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Idiologis). Yogyakarta : LPPI, 2000
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2000, Yogyakarta: Rajawali, 1986
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta; Intimedia Ciptanusantara, 2003
Sujarwanto & Haedar (Ed.). Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Dialog Intelektual. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Syafiq. A Mughni. Nilai–Nilai  Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001
TPA dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta : UMM, 1990
Weinata  Sairin. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 1995
W. Van Houve. Indonesia Di bawah Kekuasaan Jepang. Jakarta : Dunia Pustaka, 1987
Yusro.M.Asrofie. KH Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya. Yogyakarta : Yogyakarta Offset, 1983
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta; Pustaka Antara, 1989





[1] Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 37
[2] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2000, (Yogyakarta: Rajawali, 1986), hlm 2-3
[3] M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, (Jakarta; Rajawali 1986), hlm 98
[4] Ismah Salman, Strategi dan Politik Dakwah Muhammadiyah (Suatu Pengajian Pengantar), Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.1 (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), hlm 29
[5] Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok, (Jakarta; Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 35-40
[6] Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, (Jakarta; Pustaka Antara, 1989), hlm 116
[8] Herry Mohammad, dkk, TOKOH-TOKOH ISLAM yang Berpengaruh ABAD 20,(Jakarta; Gem Insani Press, 2006), hlm. 7-8
[9]Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Studi Perbandingan, (Jakarta : BulanBintang, 1993), hlm.14.
[10] Di akses dari situs web: ibid
[11] TPA dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Yogyakarta : UMM, 1990) hlm. 68-70 dan  Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,(Bandung : Mizan, 1998),  hlm. 112-113.
[12] Herry Mohammad, dkk, ibid, hlm. 8
[13] Di akses dari situs web: ibid
[14] Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta; Intimedia Ciptanusantara, 2003), hlm. 22
[15]Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhamadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Idiologis). (Yogyakarta : LPPI, 2000), hlm. 70-71
[16] Di Yogyakarta sendiri pada tahun 1889 kesultanan Yogyakarta merasa dikecewakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kesultanan yang lemah memaksa Belanda membuka kegiatan-kegiatan misionaris Kristen. Pada kesepakatan awal pemerintah kolonial dan Sultan mengizinkan beroperasinya misi Kristen  tidak lebih dari  satu tahun, namun secara sewenang-wenang dilanggar
Belanda. Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. (Jakarta : Pustaka), hlm. 172.
[17] Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby.  Muhammadiyah Sebagai…, hlm. 71-77.
[18] Syaifullah. Gerak Politik Muhammadiyah…. hlm. 25-27.
[19] Syafiq. A Mughni. Nilai–Nilai  Islam. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 117-
126  dan  Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby. Muhammadiyah Sebagai…. hlm. 79-110. Untuk  lebih jelas dalam melihat tipe, peran dan prestasi K.H..A. Azhar Basyir dan Prof. Dr .Amin
Rais. Baca : Andi Wahyudi. Muhammadiyah dalam Gonjang Ganjing Politik. (Yogyakarta: Media Presindo, 1999), hlm. 87-116.
[20] Andi Wahyudi.Muhammadiyah dalam…, hlm. 137 – 138.
[21] Alwi Shihab. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 107.
[22] Weinata  Sairin. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 1995), hlm. 44-50
[23] Alwi Shihab.Membendung Arus…, hlm. 113 dan  Deliar Noer.Gerakan Modern…hlm. 84
[24] Mutofa Kamal Pasya dan Ahmad Adaby. Muhammadiyah Sebagai…, hlm. 186
[25] Yusro.M.Asrofie. KH Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya. (Yogyakarta : Yogyakarta Offset, 1983). hlm. 33
[26] Jazim Hamidi dan Husnu Abadi. Intervensi Negara terhadap Agama.  (Yogyakarta: UII Press, 2001),  hlm.84 dan Syafiq. A .Mughni, Nilai-nilai Islam. (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 12
[27] Sujarwanto & Haedar (Ed.). Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Dialog Intelektual. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990). hlm. 421-422 dan Mustofa Kamal Pasha. Muhammadiyah Sebagai…, hlm.56
[28] W. Van Houve. Indonesia Di bawah Kekuasaan Jepang. (Jakarta : Dunia Pustaka, 1987), hlm.70
[29] Mustofa Kamal Pasha. Muhammadiyah Sebagai…, hlm.58
[30] Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Sumatera Thawalib. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hlm 93 dan 369-370
[31] Syafiq A. Mughni. Nilai-Nilai…,hlm.132
[32] Mustofa Kamal Pasha & Adaby. Muhammadiyah sebagai…, hlm. 115
[33] Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammadiyah…, hlm. 74-78
[34] Ibid, hlm. 84-89
[35] Alwi Shihab. Membendung Arus…, hlm 134-135
[36] Haedar Nasir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta : Biograf, 2000), hlm 22-23
[37] Diakses dari situs: www.muhammadiyah.or.id/content-44-det-tentang- muhammadiyah.html
[38] Ibid.
[39]Weinata  Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 44-50
[40] Alwi Shihab. Membendung Arus…, hlm. 113



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Sponsor

Close Button
CLOSE ADS
CLOSE ADS