BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan Agama sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 termasuk di dalamnya menyelesaikan perkara voluntair (penjelasan pasal 2 ayat (1) tersebut). Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya menerima pengajuan Gugatan atau Permohonan bagi orang-orang beragama Islam.
Dalam
pengajuan perkara di Pengadilan Agama, Penggugat atau Pemohon dapat
mendaftarkannya ke Kepaniteraan Pengadilan Agama melalui Meja I untuk menaksir
panjar biaya perkara serta membayarnya di kasir sekaligus menyerahkan surat
gugatan atau permohonan, kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan
surat Gugatan atau Permohonan untuk diserahkan kepada wakil Panitera untuk
disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
Menariknya,
sebagian masyarakat yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai beracara
di pengadilan. Bagi masyarakat yang berekonomi rendah, mereka juga enggan untuk
beracara di pengadilan dikarenakan biayanya yang sedikit tinggi sehingga tidak
sedikit perceraian yang tidak memiliki akta cerai yang sah.
Berlandaskan
permasalahan tersebut menarik perhatian penulis untuk membahas bagaimana
pedoman beracara di Pengadilan Agama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Permohonan.
Permohonan
adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh
suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan
yang bukan sebenarnya. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama di
tempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau
kuasanya yang sah (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) akan
tetapi apabila pemohon tidak dapat
membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan
Ketua Pengadilan Agama, permohonan tersebut dicatat oleh Ketua atau Hakim yang
ditunjuk hal tersebut berdasarkan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 RBg.
Adapun jenis-jenis permohonan yang
dapat di ajukan di pengadilan agama antara
lain:
a)
Permohonan
pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal
50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
b)
Permohonan
pengangkatan waliataupengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau
orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun
(Pasal 229 HIRatauPasal 262 RBg).
c)
Permohonan
dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita
yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974).
d)
Permohonan
izin kawin bagi calaon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (5)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
e)
Permohonan
pengangkatan anak (Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
f)
Permohonan
untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) oleh karena para
pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13
dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa).
g)
Permohonan
sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari
suami istri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam).
h)
Permohonan
izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita untuk
kepentingan keluarga (Pasal 95 ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam)
Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf (b)
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
B. Pengertian Gugatan
Gugatan
adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama
yang erwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu
sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian
kebenaran suatu hak. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh
Penggugat atau kuasanya dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama hal
tersebut di atur dalam Pasal 118 ayat (1) HIRatau Pasal 142 ayat (1) RBg). Sama
halnya dengan permohon, apabila penggugat tidak dapat membaca dan menulis dapat
mengajukan gugatannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama,
selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Agama mencatat gugatan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 120 HIRatau
Pasal 144 RBg.
C. Tata Cara Beracara Secara Prodeo
Dalam
proses beracara dalam pengadilan, pemerintah memberikan kemudahan bagi
masyarakat yang memiliki ekonomi rendah dengan menggratiskan proses mereka
selama beracara dalam pengadilan. Adapun cara untuk bisa beracara secara prodeo
antara lain:
1. Bagi
penggugat atau Pemohon yang tidak mampu, dapat mengajukan permohonan berperkara
secara prodeo bersamaan dengan surat gugatanatau permohonan, baik secara
tertulis atau lisan.
2. Apabila
Tergugatatau Termohon selain dalam bidang perkawinan juga mengajukan permohonan
berperkara secara prodeo, maka permohonan itu disampaikan pada waktu
menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat atau Pemohon. (Pasal 238 ayat (2)
HIR atau Pasal 274 ayat (2) RBg).
3. Pihak yang tidak mampu harus melampirkan
surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa atau Kelurahan atau yang
setingkat (Banjar, Nagari dan Gmpong) (Pasal 60 B Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009) atau surat keterangan sosial lainnya.
4. Majelis Hakin yang telah ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk menangani perkara tersebut
melakukan sidang insidentil dan membuat putusan sela tentang dikabulkan atau
tidak dikabulkannya permohonan perkara secara prodeo setelah sebelumnya
memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk menanggapi permohonan tersebut.
5. Putusan Sela tersebut dimuat secara lengkap
di dalam Berita Acara Persidangan.
6. Dalam hal permohonan berperkara secara prodeo
tidak dikabulkan, Penggugat atau Pemohon diperintahkan membayar panjar biaya
perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkan putusan Sela yang jika
tidak dipenuhi maka gugatan atau permohonan tersebut dicoret dari daftar
perkara.
7. Contoh amar Putusan Sela:
a) Permohonan berperkara prodeo dikabulkan:
- Memberi izin kepada Pemohonatau Penggugat
untuk berperkara secara prodeo.
- Memerintahkan kedua belah pihak untuk
melanjutkan perkara.
b) Permohonan berperkara secara prodeo tidak
dikabulkan:
- Tidak memberi izin kepada Pemohon atau
Penggugat untuk berperkara secara prodeo.
- Memerintahkan kepada Pemohonatau Penggugat
untuk membayar panjar biaya perkara.
8. Dalam hal berperkara secara prodeo dibiayai
negara melalui DIPA Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, maka jumlah biaya
beserta rinciannya harus dicantumkan dalam amar putusan. Contoh : Biaya yang
timbul dalam perkara ini sejumlah Rp....... dibebankan kepada negara.
9. Perihal pemberian izin beracara secara prodeo
ini berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan secara sendiri-sendiri dan
tidak dapat diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus.
10. Permohonan
beracara secara prodeo dapat juga diajukan untuk tingkat banding dan kasasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Berperkara
secara prodeo adalah berperkara secara
cuma-cuma atau tampa biaya didepan pengadilan, dalam berperkara secara prodeo,
maka pihak yang ingin berperkara secara
prodeo harus membuktikan bahwa
dirinnya benar- benar tidak
mampu, sehinnga pihak pengadilan
memberikan surat penetapan berperkara secara prodeo.
2. Prosedur permohonan
berprodeo atau berperkara
cuma-cuma ini pada prinsipnnya harus melampirkan surat
permohonan untuk berperkara secara prodeo
harus melampirkan surat
keterangan tidak
mampu pada saat mengajukan gugatan dipengadilan yang
ditujukan kepada ketua pengadilan dan selanjutnya dlakukan pemeriksaan secara
prodeo. Dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan, apakah perkara tersebut dapat
dilakukan secara prodeo.
3. Syarat-syarat dari
permintaan secara cuma-cuma
itu adalah harus
disertai dengan surat keterangan tidak mempu, berasal dari kepala desa,
yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal, si peminta dan menerangkan bahwa
orang tersebut benar-benar tidak mampu.