BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya. Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kegunaan Metodologi
Sejak
kedatangan islam pada abad ke-13 M. Hingga saat ini, fenomena pemahaman
keislaman umat islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif.
Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai
negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan
sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil
hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan
diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga
walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta sejalan dengan data data
historis yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Kita
meliahat bahwa Ilmu Fiqih misalnya pernah menjadi primadona dan mendapatkan
perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian, segala masalah yang
ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari paradigma Ilmu Fiqih. Ketika kepadanya
ditanyakan tentang bagaimana caranya mengatasi masalah pelacuran misalnya, maka
jawabannya adalah dengan cara memusnahkan tenpat-tempat pelacuran tersebut,
karena dianggap tempat maksiat. Padahal dengan cara tersebut tidak akan
memecahkan masalah, karena masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan
yang memerlukan ketetapan hukumnya melainkan masalah ketenaga kerjaan ,
kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perokonomian, dan sebagainya, yang
dalam cara mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.
Pada
tahun berikutnya, pernah juga menjadi primadona masyarakat adalah ilmu kalam
(Teologi), sehingga setiap masalah yang dihadapinya selalu dilihat dari
paradigma Teologi. Lebih dari itu Teologi yang dipelajarinyapun hanya berpusat
pada paham Asy’ari dan Maturidiah (Sunni), sedangkan paham lainnya dianggap
paham sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog,
keterbukaan, saling menghargai, dan sebagainya.
Setelah
itu muncul juga paham keislaman bercorak tasauf yang sudah mengambil bentuk
tarikat yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara
duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasauf ini, kehidupan dunia terkesan
diabaikan. Umat terlaau mementingkan urusan akhirat, sedangkang urusan dunia
terbengkalai. Akiat keadaan umat menjadi mundur dalam bidang kedunia, materi
dan fasilitas hidup lainya.
Dari
beberapa contoh pemahana keislaman di atas, kita dapat memperoleh kesan bahwa
hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat bercorak parsial,
belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai adanya
pemahan Islam yang sudah utuh dan komprehensif, namun semua itu belum
tersosialisasikan secara merata keseluruh masyarakat islam. Pemahaman islam baru
diserap oleh sebagian sarjana yang secara kebetulan membaca karya-karya mereka
dengan sikap terbuka.
Pemahaman
keislaman tersebut jelas tidak membuat yang bersangkutan keluar dari islam dan
daoat kita maklumi, karena sebagai akibat dari proses pengajaran islam yang
belum tersusun secara sistematik dan belum disampaikan menurut prinsip,
pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun, untuk kepentingan
akademis dan untuk mebuat islam lebih responsif dan fungsional dalam memandu
perjalanan umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini,
diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan
komprehensif. Dalam hubungan ini Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi
adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.
Kita
mengetahui bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu tahun
dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Tetapi stagnasi dan masa bodoh itu lalu
menjadi kebangkitan revolusioner yang multifaset dalam bidang sains, seni, sastra,
dan semua wilayah hidup dan kehidupan manusia dan sosial. Revolusi yang
mendadak dan energi yang meledak dalam pemikiran manusia itu menghasilkan
peradaban dan kebudayaab dewasa ini. Kita harus bertanya pada diri kita mengapa
orang mandeg sampai seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang
menyebabkan perubahan mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam wakru
seribu tahun Eropa menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh
dalam seluruh waktu seribu tahun. Mengapa keadaan terjadi, telah dicarikan
jawaban oleh para ahli.
Al-syari’ati
(1933-1977), seorang sarjana Iran meninggal di rantau yaitu di Inggris
menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandengan dan stagnasi dalam
pemikiran, peradaban, dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di
Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles.
Di kala cara melihat objek itu berubah, maka sains, masyarakat, dan dunia juga
berubah, dan sebagai akibatnya kehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian
kita dapat mengetahui dan memahami pentingnya metodologi sebagai faktor
fundamental dalam renaissans.
Oleh
karena itu, metode memiliki peranan yang sangat penting dalam kemajuan dan
kemunduran. Demikian pentingnya metodologi ini, Mukti Ali mengatakan bahwa yang
menetukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena
ada atau tidak adanya orang-orang yang jenius, melainkan karena metode
penilitian dan cara melihat sesuatu. Untuk itu kita dapat mengabil contoh yang
terjadi pada abad keempat belas, lima belas, dan enam belas Masehi. Aristoteles
(384-322 SM.) sudah barang tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon
(1561-1626), dan Plato (366-347 SM.) adalah lebih jenius dari Roger Bacon
(1214-1294). Pertanyaannya apakah penyebab yang menyebabjan dua orang Bacon itu
menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih
rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan
orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan
menyebabkan stagnasi dan kemandegan? Dengan perkataan lain, mengapa orang-orang
jenius menyebabkan kemandegan dan stagnasi di dunia, sengakan orang-orang yang
biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dab kebangkitan rakyat? Mukti
Ali menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu
menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa,
mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius besar,
apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan
masalah-masalahnya maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya.
Selain
itu penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu
yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan
menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Para lulusan Perguruan
Tinggi Islam, khususnya pada jenjang strata 1 masih dinilai lemah dalam
menguasai metodologi. Hal demikian terlihat pada saat yang bersangkutan menulis
karya ilmiah secara skripsi.
Sementara
itu kita mengetahui bahwa secara teoritis pada mahasiswa telah diberikan
berbagai teori dan metode yang berkaitan dengan pemahaman dan pengembangan
suatu ilmu , namun teori dan metode tersebut hanya sebagai pengetahuan dan
bahan hafalan. Tak ubahnya dengan seseorang yang diajarkan teknik dan metode
bermain bola yang baik mulai dari cara menendang, menyerang, bertahan, dan
menggolkan. Namun sayang mereka tidak pernah diajak ke lapangan untuk bermain
bola dan menerapkan teknik dan metode bermain bola tersebut. Demikian pula kita
melihat para mahasiswa mempelajari usul fiqh yang didalamnya memuat kaidah dan
metode dalam menetapkan suatu hukum, namun mahasiswa tidak pernah dilatih
menetapkan suatu hukum, walaupun pada tingkat yang sederhana.
B.
Studi Islam
Di
kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah
studi Islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan,
mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Pembahasan di sekitar permasalah ini banyak dikemukan oleh para pemikir islam
belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan
penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah hanya mendengar dakwah
keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah
yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen
tersebut, menurut Amin Abdullah, pangkal otak kesulitan pengembangan scope
wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar dari kesukaran
seorang agamawan untuk membedakan agama yang normativitas dan historisitas.
Pada daratan normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai
disiplin ilmu, sedangkan untuk daratan historitas nampaknya tidaklah sah.
Pada
daratan normativitas studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi
keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan
analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah
teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu
ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat
terbatas.
Dengan
demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi
normatif sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan hadist, maka islam lebih
merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu
pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan
empiris. Sebagaimana agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis,
dan subjektif, sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni islam dalam
arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuhan dan berkembang dalam sejarah
kehidupan manusia, maka islam dapat dikatakan sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu
Keislaman atau Ilsam Studies.
Perbedaan
dalam melihat islam yang seperti itu dapat menimbulkan perbedaan dalam
menjelaskan islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, islam
merupaka agama yang dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan
akidah dan muamalah, sedangkan Islam ketika dilihat dari sudut historis atau
sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, Islam tampil sebagai sebuah disiplin
ilmu (Islamic Studies).
Selanjutnya,
studi Islam sebagaimana dikemukakan di atas berbeda pula dengan apa yang
disebut sebagai sains Islam. Sains Islam sebagaimana dikemukanan Hussein Nasr
adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak abad Islam kedua, yang
keadaanya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban
Islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua hingga
kesembilam Masehi, peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling
produktif dibandingkan peradaban mana pun di wilayah sains, dan sains Islam
berada pada garda depan dalam kegiatan, mulai dari kedokteran sampai astronomi.
Dengan
demikian saisn Islam mencangkup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran,
astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun atas arahan
nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan
dari ajaran Islam dan dipraktikkan dalam sejarah dan kehidupan manusia,
sedangkan pengetahuan agama dalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari
ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah,
seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca Alquran, dan akhlak.
Dari
tiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan
Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan
pengetahuan agama, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Institut Agama
Islam yang didalamnya diajarkan studi Islam yang meliputi Tafsir, Hadis,
Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, dan pendidikan Islam, kemudian muncul pula
Universitas Islam yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang
bernuansa Islam yang disebut sains Islam.
C.
Metode
Memahami Islam
Dalam
buku berjudul Tentang Sosiologi islam, karya Ali Syariati, dijumpai
uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya islam harus dilihat
dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, ia mengatakan jika kita meninjau
islam dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi
saja dari gejalanya yang sangat banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara
tepat, namun tidak cukup jika kita ingin memahaminya secara keseluruhan.
Buktinya ialah Al-Quran sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagiannya
telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi,
misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Al-Quran. Para sarjana
satra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas
tema-tema filosofis dan keimanan Al-Quran yang menjadi bahan pemikiran bagi
para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi Al-quran lainnya lagi yang
belum dikenal ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis,
sosiologis dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal karena sosiologi,
psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda dibandingkan ilmu-ilmu
alam. Apalagi ilmu sejarah yang merupakan ilmu termuda di dunia. Namun, yang
dimaksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah identik dengan data historis
ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam buku-buku tua.
Ali
Syariati lebih lanjut mengatakan ada berbagai cara memahami islam. Salah satu
cara ialah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama
lain. Caranya ialah dengan mempelajari Al-Quran dan membandingkannya dengan
kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi ) lainnya.
Dengan kata lain ini menggunakan metode perbandingan (komparasi). Dapat
dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekurangan
yang terdapat di antara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana
diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan
tertentu. Perbandingaan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan dan
semacamnya. Hal ini biasanya sulit dilakukan oleh seseorang yang meyakini
kebenaran suatu agama. Dalam dirinya masih terdapat pemihakan pada agama yang dianutnya.
Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan
oleh orang yang baru mau beragama.
Ali Syariati juga menawarkan cara
memahami islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini ia mengatakan
bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami islam sebagai
aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun
masyarakat. Dan bahwa sebagai seorang intelek ia memikul amanah demi masa depan
umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas
pribadi dan apapun bidang studinya ia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman
yang segar tentang islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Karena islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek, maka
setiap orang dapat meemukan sudut pandangan yang paling tepat sesuai dengan
bidangnya. Dengan kata lain Syariati mengajak kepada seluruh intelektual muslim
dengan disiplin ilmu yang dimilikinya masing-masing agar digunakan untuk
memahami ajaran islam dengan berpedoman pada Al-Quran. Para sosiolog,
sebagaimana halnya Ali Syariati sendiri, sejarawan, budayawan, sastrawan dan
sebagainya dapat menggunakan keahliannya untuk memahami ajaran islam yang
bersumber pada Al-Quran dan Sunnah.
Kemudian
Nasruddin Razak juga menawarkan metode memahami islam versinya, ia juga
menawarkan metode secara menyeluruh. Menurutnya bahwa memahami islam secara
menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling
minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk
agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama
lainnya. Cara tersebut juga di tempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman
yang dapat menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah pula. Untuk
memahami islam secara benar ini, Nasruddin Razak mengusulkan empat cara.
Pertama, islam harus
dipelajari dari sumber yang asli yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kekeliruan memahami
islam, karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang
telah jauh dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah, atau melalui pengenalan dari
sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Mempelajari islam dengan cara demikian akan menjadikan orang
tersebut sebagai pemeluk islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan
khurafat
Kedua, islam harus dipelajari
secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia dipelajari secara
menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat tidak secra sebagian saja.
Memahami islam parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan
penuh keraguan.
Ketiga, islam perlu
dipelajari melalui kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar dan
sarjana-sarjana islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman islam yang
baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap
Al-Quran dan Sunnah dengan pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang
dilakukan setiap hari.
Keempat, islam hendaknya
dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada di dalam Al-Quran, baru
kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang
ada pada masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian
atau kesenjangan antara islam yang berada pada dataran normatif teologis yang
ada dalam Alquran dengan islam yang ada pada
dataran historis, sosiologis dan empiris. Kesalahan sementara orang
mempelajari islam menurut Nasruddin Razak, ialah dengan jalan mempelajari
kenyataan umat islam an sich, bukan agama islam yang dipelajarinya. Sikap
konservatif sebagai golongan islam, keterbelakangan di bidang pendidikan,
keawaman, kebodohan, disintegrasi dan kemiskinan masyarakat islam itulah yang
dinilai sebagai islamnya sendiri. Mengambil kesimpulan tentang citra islam
berdasarkan sampel yang tidak valid dan tidak representatif dapat menyebabkan
wajah islam tampil kurang pas atau bahkan tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan. Untuk mencitrakan islam misalnya, mengapa tidak pula menyertakan
sampel dari kalangan islam yang maju, berpendidikan tinggi, penuh kedamaian,
memiliki kekayaan, dan sebagainya.
Bagaimanapun juga, kajian yang
bersifat empiris, historis dan sosiologis tentang islam tetap diperlukan,
karena tanpa kajian semacam ini kita tidak akan pernah tau secara pasti, apakah
ajaran islam yang diperintahkan untuk diamalkan oleh Alah dan Rasul-Nya sudah
benar-benar diamalkan atau belum.
Metode lain yang diajukan oleh Mukti
ali dalam memahami islam adalah metode tipologi. Metode ini oleh para ahli
sosiolog di anggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan
tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama.
Pendekatan ini digunakan oleh sarjana barat untuk menimba ilmu-ilmu manusia.
Dan menurut Mukti Ali metode ini juga dapat digunakan untuk memahami agam
islam. Dalam hal agama islam, juga agama-agama lain, kita dapat
mengidentifikasikan lima aspek atau ciri dari agam itu, alu dibandingkan dengan
aspek dan ciri yang sama dari agama lain, yaitu aspek ketuhanan, aspek
kenabian, aspek kitab suci,dan aspek keadaansewaktu munculnya nabidan
orang-orang yang di dakwahinya serta individu-individu terpilih yang di
hasilkan oleh agama itu.
Agar
kita dapat memahami dengan betul ciri-ciri tuhan kita harus kembali kepada
Al-qur’an dan hadist nabi serta keterangan para pemikir muslim dalam bidang
itu. Hal ini di lakukan karena sifat-sifat tuhan dengan jelas telah diterangkan
dalam Al-qur’an oleh Nabi Muhammad, dan para ulama pun telah membahas dengan
teliti masalah ini. Lalu kita bandingkan konsep tentang Allah dengan tuhan
agama-agama lain, seperti Ahuramazda, Yahweh dan sebagainya.
Metode
berikutnya dalam memahami islam dengan mempelajari pribadi muhammad bin
abdullah .Mengetahui dan memahami Nabi Muhammad Saw. sangat penting bagi ahli
sejarah, karena tidak ada seorang pun dalam sejarah umat manusia yang mempunyai
peranan yang begitu besar seperti nabi Muhammad.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian tersebut kita melihat bahwa metode yang dapat digunakan untuk memahami
islam secara garis besar ada dua macam. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu
cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agam
islam tersebut dengan agama lainnya,dengan cara demikian akan dihasilkan
pemahaman islam yang objektif dan utuh. Kedua, metode sintesis, yaitu suatu
cara memahami islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya
yang rasional, objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis
normatif. Metode ilmiah digunakan untuk memahami islam yang tampak dalam
kebanyakan historis, empiris, dan sosiologis, sedangkan metode teologis
normatif digunakan untuk memahami islam yang terkandung dalam kitab suci.
Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulainya dari meyakini islam
sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama
berasal dari tuhan dan apa yang berasal dari tuhan mutlak benar, maka agama pun
mutlak benar. Setelah itu di lanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma
ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara
kesuluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normatif yang
tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat,
kokoh, dan militan pada islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai
sebagai tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan islam
yang diyakini dan dicintai itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban
terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.
Metode-metode
yang digunakan untuk memahami islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak
cukup lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang terus digali oleh para
pembaru.
Perjalanan
sejarah islam sampai kini telah melampaui kurun waktu lima belas abad dan
dipeluk oleh dua puluh satu miliar orang serta berada dimana-mana. Pemikiran
islam dapat diibaratkan sebagai sungai yang besar dan panjang. Lumrah jika
sumber mata airnya yang semula bening dan jernih serta mengalir pada alur
sempit dan deras dalam perjalanannya menuju muara kian melebar, berliku-liku
dan bercabang-cabang, airnya kian pekat karena mengangkut pula lumpur dan
sampah. Riam-riam ini berfungsi sebagai sumber energi. Riam-riam inilah yang
dimisalkan sebagai mujaddid (pembaru) yang bukan saja berperan membersihkan
kembali pemahaman islam, tetapi juga menyuntikkan semangat dan kekuatan baru
yang berangkat dari spirit ajaran islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata,
Abuddin, metodologi studi islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).