A.
SEJARAH KEBIJAKAN MONETER ISLAM
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan,
sistem keuangan inilah yang paling banyak dilakukan studi empiris maupun
historis bila dibandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi yang lain. Sistem
keuangan pada zaman Rasulullah digunakan bimetalic standard yaitu emas
dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah
dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perka pada masa Rasulullah ini
relatif stabil dengan nilai kurs dinar-dirham 1:10. Namun demikian, stabilitas
nilai kurs pernahmengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply
dan demand. Misalkan, pada masa pemerintahan Umayyah (41/662-132/750) rasio
kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa Abbasiyah (132/750-656/1258)
berada pada kisaran 1:15.[1]
B.
MANAJEMEN MONETER ISLAM
Sebuah
pertanyaan awal yang mesti dijawab adalah apakah keberadaan fiduciary money dalam
ekonomi Islam diperbolehkan? Adakah mekanisme yang memungkinkan untuk mencapai
kestabilan nilai tukar fiduciaty money dengan menghilangkan penggunaan
suku bunga dan instrumen lain yang dilarang dalam syari’ah?
Dalam
Alqur’an maupun sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk
mengguanakn dinar (emas) dan dirham (perah) sebagai standar nilai tukar uang (full-bodied
monometallic standard). Khalifah ‘Umar bin Khatab (23/644), telah mencoba
untuk memperkenalkan jenis uang fiducier ini juga mendapat dukungan seperti
Ahmad ibn Hamball (241/855), Ibn Hazm (456/1064) dan Ibn Taimiyah (505/1328).
Merujuk dari pendapat para fuqaha ini tidak ditemukan akan keharusan memakai
emas dan perak sebagai alat pembayar, walaupun pada masa itu keberadaan full-bodied money merupakan sebuah
kezaliman. Namun di samping memperbolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah
mengingatkan bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar
dan emas dari peredaran karena adanya hukum Gresham. Imam Al-Ghazali
memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak
selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
Secara
umum, para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa saja
yang berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali
mensyaratkan pemerintah untuk menyatakan uang fiducier yang dicetak sebagai
alat pembayaran yang resmi, wajib
menjaga nilainya dengan mengatur jumlah uang beredar sesuai dengan
kebutuhan dan memastikan tidaknya perdagangan uang. Penekanan Alqur’an mengenai
uang adalah jaminan adanya keadilan dalam fungsinya sebagai alat tukar, alat
ukur dan alat penyimpan daya beli.
Keberadaan
uang dalam sebuah perekonomian
memberikan arti yang terpenting, ketidakadilan dari ukur yang diakibatkan
adanya instabilitas nilai tukar uang akan mengakibatkan perekonomian tidak
berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini akan semakin memprsulit untuk
merealisasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ibn
Khaldun mengatakan bahwa suatu negeri tidak akan mungkin mungkin mampu
melakukan pembangunan secara berkesinambungan tanpa adanya keadlian dalam
sistem yang dianutnya.[3]
Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya sehingga
perekonomian akan relatif berada dalam kondisi yang memungkinkan teralokasinya
sumber daya secara merata, terdistribusinya pendapatan, optimum growth, full
employment dan stabilitas perekonomian.
Pada
dasarnya, kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu perlu serta
mendesak dan tidak perlu serta kurang bermanfaat. Komponen pertama dapat
dimasuki sebagai permintaan uang untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan dan
investasi produktif. Sedangkan jenis kedua meliputi konsumsi yang berlebihan,
investasi yang tidak produktif dan spekulasi.
Dengan
kata lain, upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga
sebagai instrumen moneter malah akan mengakibatkan penyalahgunaan sumber dana
untuk tujuan yabg tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan
peranan suku bunga dalam sektor makro telah membawa permintaan uang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan yang kurang perlu, investasi yang kurang produktif dan
tingginya spekulasi. Oleh karena itulah para ekonom Islam lebih mengandalkan
pada tiga variabel-variabel penting di dalam manajemen permintaan uang, yaitu:
a.
Nilai-nilai moral
b.
Lembaga-lembaga sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme
harga
c.
Tingkat keuntungan rill sebagai pengganti keberadaan suku bunga.
Ketiga variabel ini akan saling mendukung dalam mengendalikan
permintaan uang. Meskipun nilai-nilai moral kurang mampu secara langsung dalam
menentukan seberapa besar jumlah uang yang diminta namun variabel ini akan
mengurangi sikap konsumsi yang boros dan tidak perlu, juga akan mengurangi
tindakan penggunaan uang yang bersifat spekulatif. Mekanisme harga juga akan
membantu mengalokasikan sumber daya pada tujuan yang lebih efesien. Keberadaan
suku bunga sebagai instrumen intermediary dalam sistem keuangan dapat
menjadikan pola konsumsi masyarakat di luar batas kemampuannya dan mengarahkan
investasi pada bidang yang kurang produktif atau spekulatif, disebabkan sistem
bunga telah gagal sebagai mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana pinjaman.
Dengan adanya tingkat keuntungan sebagai pengganti dari keberadaan suku bunga
diharapkan akan lebih mampu untuk mengarahkan pada pola permintaan uang yang
ditujukan untuk konsumsi yang tidak berlebihan dan investasi yang berorientasi
keuntungan di sektor rill. Berkorespondensinya ketiga variabel dalam satu
sistem ini akan dapat menciptakan pola permintaan uang yang relatif stabil.
C.
APLIKASI INSTRUMEN MONETER ISLAM DI INDONESIA
Peraturan perbankan syari’ah yang dikeluarkan pada tahun 1998 yang
menggantikan peraturan perbankan syari’ah 1992 telah memungkinkan perkembangan
perbankan syari’ah dengan sangat cepat. Berkembangnya jumlah cabang dari bank
syari’ah baik dari bank umum yang berdasarkan syari’ah maupun divisi syari’ah
dari bakn umum konvensional, serta meningkatnya kemampuan dalam menyerap dana
masyarakat yang terlihat dari dana simpanan pihak ketiga yang tertera di neraca
bank-bank syari’ah tersebut. Hal tersebut mengharuskan Bank Indonesia sebagai
bank sentral untuk lebih menaruh perhatian dan lebih berhati-hati dalam
menjalnkan fungsi pengawasannya sebagai bank sentral yang bertugas mengawasi
bank-bank umum yang ada di bawahnya sekaligus dengan tidak mengganggu momentum
pertumbuhan bank-bank syari’ah tersebut.
BI dalam menjalankan fungsi-fungsi bank sentralnya terhadap
bank-bank yang berdasarkan syari’ah mempunyai instrumen-instrumen sebagai
berikut:[4]
a.
Giro Wajib Minimum (GMW), biasanya dinamakan Statutory Reserve Requirment, yaitu
simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya
ditetapkan oleh BI berdasarkan persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GMW
ini adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip
kehati-hatian perbankan (prudential banking) serta juga mempunyai peran sebagai
instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.
Dalam pelaksanaannya GMW ini besarnya adalah 5% dari dana pihak
ketiga yang berbentuk IDR (Rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk
mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa
laporan untuk periode dua masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga
yang dimaksud di sini adalah bentuk:
·
Giro wadiah
·
Tabungan mudharabah
·
Deposito Investasi Mudharabah
·
Kewajiban lainnya
Daba pihak ketiga bank dalam IDR ini tidak termasuk dana yang
diterima oleh bank dari Bank Indonesia (BI) dan BPR. Sedangkan dana pihak
ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban dalam mata uang asing kepada
pihak ketiga termasuk bank dan Bank Indonesia (BI) yang terdiri dari:
·
Giro Wadiah
·
Deposito Investasi Mudharabah
·
Kewajiban lainnya
Adapun kesalahan dan keterlambatan dalam penyampaian laporan
mingguan yang digunakan untuk menentukan GMW ini dikenakan denda oleh Bank
Indonesia (BI). Sedangkan untuk bank yang melakukan pelanggaran GMW ini
dikenanakn sangsi baik kekurangan dari minimum maupun kekurangan negatif;
b.
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Syari’ah (Sertifikat IMA), sertifikat IMA adalah suatu instrumen yang
digunakan oleh bank-bank syari’ah yang kelebihan dana untuk mendapatkan
keuntungan dan dan di lain pihak sebagai sarana penyedia jangka pendek bagi
bank-bank syari’ah yang kekurangan dana.
Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor
pusat bank syari’ah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia (BI). Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh
bank penanam dana pertama saja, sedangkan bank penanam dana kedua tidak
diperkenankan memindahtangankan kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka
waktu. Pembayaran akan dilakukan oleh bank syari’ah penerbit sebesar nilai
nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya
dengan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia (BI), atau
transfer elektronik)
c.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), SWBI adalah instrumen Bank Indonesia (BI) yang sesuai
dengan syari’ah Islam yang digunakan dalam OMO. Selain itu, SWBI ini juga dapat
digunakan oleh bank-bank syari’ah yang mempunyai kelebihan likuiditas sebagai
sarana penitipan dana jangka pendek.
Dalam operasionalnya, SWBI ini mempunyai suatu nilai nominal
minimum Rp.500 juta dengan jangka waktu yang dinyatakan dalam hari (misalnya: 7
hari, 14 hari, 30 hari). Pembayaran dan pelunasan SWBI adalah melalui
debet/kredit rekening giro bank yang ada di Bank Indonesia (BI). Jiak jatuh
tempo dana akan dikembalikan beserta bonus yang ditentukan berdasarkan
parameter Sertifikat IMA.
Ekonomi Makro Islam, Adi Warman A. Karim, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007
[1] Muh Diya al-Din al-Ris (1961),
Al-kharaj wa al-Nuzum al-Maliyya li al-Dawlah al-islamiyyah, Cairo: Al Maktabah
al Angelo al Misriyah, hlm 369
[2] Misri, Rafiq al- (1990),
Al-Islam wa al-Nuqud, Jeddah: Markaz al-Nashr al-Ilmi King Abdul Aziz
University.
[3] M. Umer Chapra. (2000).:Why
has Islamic Prohibited Interest? Review of Islamic Economics, No.9,
hlm:5-20
[4] Hlmn: 233
Tags:
MAKALAH