153
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Untuk mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah penting adalah meluruskan kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar masalah uang. Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama, yang semuanya terkait dengan masalah uang.
a. Pertama, persoalan mata
uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat dengan mata
uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS), tidak pada dirinya
sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil karena bila nilai mata
uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang
tersebut.
b. Kedua, kenyataan
bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai
komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan
(interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau
penyimpanan uang.[1]
Pengaturan
jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu:
Kebijakan
moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu
kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
Kebijakan
Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu
kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy). [2]
Berkenaan dengan mata uang, Islam memiliki pandangan yang khas. Abdul QodimZallum mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah sekumpulan kaidah
pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting dalam
setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al-wahdatu
al-naqdiyatu alasasiyah) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh
nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah
emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang emas. Apabila
satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya
terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam.
Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau
perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas),
sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam sistem dua
logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat
maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa
diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai
tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham
perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW. Ketika itu
kendati menggunakan sistem uang dua logam, Rasulullah SAW memang tidak mencetak
dinar dan dirham emas sendiri, tapi menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia
(ini juga menunjukkan bahwa sistem uang dua logam tidak eksklusif hanya
dilakukan oleh ummat Islam). Demikian seterusnya, sistem dua logam itu
diterapkan oleh para khalifah hingga masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
(79H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan dirham khusus dengan corak Islam
yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang
dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku
akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas
atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka,
seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan
mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1
dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang
memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang
ini Insya Allah juga tidak akan terjadi. Penurunan nilai dinar atau dirham
memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai
nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas).
Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil
sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya
memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi
besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu
akan segera disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke
pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas
di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin.Disinilah pentingnya ketentuan emas
sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar'i pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan
sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab
zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu
al-mal,bukan idzkar atau saving) dimana
harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam
Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya
diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal
pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua
menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam
sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Abdul Qodim Zallum menyarankan sejumlah
hal. Diantaranya, menghentikan pencetakan uang kertas dan menggantinya dengan uang dua
logam dan menghilangkan hambatan dalam ekspor dan impor emas[3]. Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu
akan mendorong eksplorasi dan eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran)
untuk mencukupi kebutuhan transaksi yang semakin meningkat.
2. Sejarah Kebijakan Moneter
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak
perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak di lakukan studi
empiris maupun historis bila di bandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi
lainnya.sistem keuangan pada zaman Rosulullah di gunakan bimatalic standard
yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran
yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa
Rosulallah ini relative stabil dengan nilai kurs dirham-dinar 1:10, namun
demikian, setabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan karena adanya
disequilibrium antara supply dan demand. Misalkan pada masa bani umayyah
(41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa
abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada kisaran 1:15.
Pada masa yang lain nilai tukar dirham-dinar mengalami
fluktuasi dengan nilai oaling rendah pada level 1:35-1:50. Instabilitas dalam
nilai tukar yang ini akan mengakibatkan terjadinya bad coins out of
circulations atau kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik, dalam
literature konvensional peristiwa ini di sebut hukum Gresham. Seperi yang
pernah terjadi pada masa pemerintahan bany mamluk (1263-1328), dimana mata uang
yang beredar tersebut dari fulus (tembaga) mendesak keberadaan
uang logam emas dan perak . oleh ibnu taimiyah di katakana bahwa
uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik.
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar
mengalami tiga kali evolusi yaitu:
a. The gold
cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran
b. The gold
bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam
menentukan nilai tukar uang yang beredar.
c. The gold
exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas moneter
menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang mampu di
back-up secara penuh oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan
sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit
money) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak
3. Tujuan
Bank
Indonesia memiliki
tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini
sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang
dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap
harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter
dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting
Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan
sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan
nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan
untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau
suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter
tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di
pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto,
penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank
Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan
Prinsip Syariah. [4]
4. Instrumen-instrumen Kebijakan
Moneter dalam Konvensional dan Syari’ah.
Ada tiga instrument utama yang digunakan untuk
mengatur jumlah uang yang beredar:
a. Operasi
pasar terbuka (Open Market Operation)
Adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual
atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government security)
b. Fasilitas
diskonto (Discounto Rate)
Yadyang dimaksud dengan tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang
ditetapkan pemerintah atas bank-bak umum yang menjamin ke bank sentral.
c. Rasio
cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasoio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang
beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan
kredit akan lebih kecil disbanding sebelumnya.
d. Imbauan
Moral (Moral Persuasion)
Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau
mengendalikan jumlah uang beredar. [5]
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak
berbeda dengan tujuan kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas
dari mata uang (baik secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan
ekonomi yang merata yang diharapkandapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan
keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini disebutkan AL Qur’an dalam
QS.Al.An’am:152
…………وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ…….
“……. Dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. …”
Mengenai stabilitas nilai
uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra (Al Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter dalam perekonomian Islam adalah
stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa pengembangan moneter yang tidak
berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya dapat mengeksploitasi kapasitas
perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa bagi kesejahteraan sosial umum.
Walaupun pencapaian tujuan akhirnya tidak berbeda,
namun dalam pelaksanaannya secara prinsip, moneter syari’ah berbeda dengan yang
konvensional terutama dalam pemilihan target dan instrumennya.
Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrumen tersebut adalah prinsip
syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun rate
return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan target
pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan kebijakan
moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga sebagai
target/sasaran operasionalnya. [6]
Adapun instrumen moneter syariah adalah
hukum syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadiunderlying-nya mengandung
unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional
yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market
operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat
digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi
sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar
ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti
Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and
change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak
ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan
discount rate tersebut. Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang
bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi
Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang dapat
digunakan oleh bank sentral untuk meningkatkan atau menurunkan uang
beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk
mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat
beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain :[7]
a. Reserve Ratio
Adalah suatu presentase
tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh
banksentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang
beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang
dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit,
begitu sebaliknya.
b. Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk
bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit
sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan
depresi.Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam
ekonomi.
c. Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah
Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan
(pinjaman kebaikan).
d. Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi
dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio meningkat, pembiayaan
yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
e. Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing
ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank sentral
dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika
bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan
untuk nasabah akan ditingkatkan.
f. Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana
ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga
uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan
tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau
menurunkan jumlah uang beredar.
g. Government Investment
Certificate
Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam
kerangka komersial, disebut sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank
sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga
meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam
Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan
sistem bebas bunga, yang disebut GIC: Government Instrument Certificate.
Beberapa mazhab instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara
lain :
1. Mazhab
pertama (Iqtishaduna)
Pada masa awal islam tidak diperlukan suatu kebijakan
moneter karena system perbankan hampir tidak ada dan penggunaan uang sangat
minim. Jadi, tidak ada alasan yang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan
terhadap penawaran akan uang melalui diskresioner. Tambahan pula, kredit tidak
memiliki peran dalam penciptaan uang karena kredit hanya digunakan diantara
para pedagang. Selain itu, peraturan pemerintah tentang surat peminjaman
(promissory notes) dan instrument negosiasi (negotiable instruments) dirancang
sedemikin sehingga tidak memungkinkan penciptaan uang.
Promissory notes atau bill exchange dapat diterbitkan
untuk membeli barang dan jasa atau mendapatkan sejumlah dana segar, namun tidak
dapat dimanfaatkan untuk tujuan kredit. Aturan-aturan tersebut mempengaruhi
keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang berdasarkan transaksi tunai.
Dalam nasi’a atau aturan transaksi lainnya, uang yang dibayarkan atau diterima
bertujuan mendapatkan komoditas atau jasa.
Instrument lain yang pada saat ini digunakan untuk
mengatur jumlah peredaran uang serta mengatur tingkat suku bunga jangka pendek
adalah OMO (jual-beli surat berharga pemerintah) yang belum dikenal pada masa
awal pemerintahan islam. Selain itu, tindakan menaikkan atau menurunkan tingkat
suku bunga bertentangan dengan ajaran islam yang melarang praktek riba.
2. Mazhab Kedua
(Mainstream)
Tujuan kebijakan moneter pemerintah adalah maksimisasi
alokasi sumber daya untuk kegiatan ekonomi produktif. Alquran melarang praktek
penumpukan uang (money hoarding) karena membuat uang tersebut tidak memberikan
manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, mazhab
ini merancang sebuah instrument kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi
besar kecilnya permintaan akan uang (MD) agar dapat dialikasikan
pada peningkatan produktivitas perekonomian secara keseluruhan.
Permintaan dalam islam dikelompokkan dalam dua motif
yaitu motif transaksi (transaction motive) dan motif berjaga-jaga
(precautionary motive). Semakin banyak uang yang menganggur (iddle) berarti
permintaan akan uang untuk berjaga-jaga (MDprec)semakin
besar, sedangkan semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap uang yang
menganggur berbanding terbalik dengan permintaaan akan uang untuk
berjaga-jaga. Dues of iddle fund adalah instrument kebijakan
yang dikenakan pada semua asset produktif yang menganggur.
3. Mazhab
ketiga (alternative)
System kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab
ini adalah syuratiq process yaitu kebijakan yang diambil berdasarkan musyawarah
bersama otoritas sector riil. Menurut pemikiran mazhab ini, kebijakan moneter
adalah repeated games in game theory. Dalam hal ini, bentuk kurva
penawaran dan permintaan akan uang mirip tambang yang melilit dengan kemiringan
(slope) positif akibat knowledge induced processI dan informant
sharing yang baik.
Menurut mazhab ini, keseimbangan di sector moneter
adalah derivasi keseimbangan di sector riil, sedangkan kebijakan sector moneter
adalah harmonisasi dengan kebijakan sector riil.
Menurut Dr M.A. Choudhury, harmonisasi antara sector
riil dan sector moneter menghasilkan kurva jangka panjang dari MS dan
MD yang berbentuk jalinan tambang, yang mendukung pertumbuhan
nasional (Y).[8]
PENUTUP
Kebijakan
Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian
melalui pengaturan jumlah uang beredar. Kebijakan moneter dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu: Kebijakan moneter ekspansif (Monetary
expansive policy)dan Kebijakan
Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar
mengalami tiga kali evolusi yaitu:
a. The gold
cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran
b. The gold
bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam
menentukan nilai tukar uang yang beredar.
The gold exchange standard (bretton woods system): di mana
otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign
currency yang mampu di back-up secara penuh oleh cadangan emas yang di miliki.
Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang
fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas
dan perak.
Ada tiga instrument utama yang digunakan untuk
mengatur jumlah uang yang beredar: Operasi pasar terbuka (Open Market
Operation), Fasilitas diskonto (Discounto Rate), Rasio cadangan
wajib (Reserve Requirement Ratio), Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Bank
Indonesia memiliki
tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini
sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Secara mendasar, terdapat
beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain : Reserve Ratio. Moral Suassion, Lending Ratio, Refinance Ratio,Profit Sharing Ratio, Islamic Sukuk, Government Investment
Certificate
REFERENSI
1. Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Makro Islam
2. Anita
Rahmawati, Ekonomi Makro Islam
3. Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal
dan Moneter Dalam Ekonomi Islami
4. Paul A.
Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
Diposkan