1.1 Definisi HAM Secara
Global
HAM, apakah maksud sebenarnya ? jika kita berbicara tentang HAM, akan kita jumpai ,permulaannya, namun tidak ada batas akhirnya. HAM memang banyak. Minimal, kita rinci dalam 4 macam hak asasi yang prinsipil. Antara lain, (a) Hak Asasi yang bersifat Natural, (b) Hak-hak Sipil (umum), (c) Hak-hak keperdataan (private), (d) Hak Asasi Manusia (moderen). Hak asasi yang bersifat Natural, seperti hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak medapatkan kehormatan. Hak-hak tersebut yang menyebabkan manusia memperoleh kebebasan, pada kurun waktu yang panjang. Kemerdekaan dan kebebasanya muncul dalam beberapa hal, adakalanya karen pertumbuhan golongan tertindas di masyarakatnya, bangkitnya para budak, bahkan karena mereka yang punya mata rantai etnis yang direndahkan oleh masyarakatnya.mungkin juga adanya para pendatang asing (yang disingkirkan), bahkan dapat disebabkan perbedaan agama yang dipeluknya dengan agama mayoritas warga negara.
Suatu kebanggaan agama islam, yang telah
mengungkapkan sebab-sebab pembebasan itu kemudian mendeklarasikan HAM yang
bersifat natural secara mendasar. Ini dilakukan sejak menculnya Islam, bukan
hanya untuk bangsa Arab, namun meliputi seluruh umat manusia.
Hak-hak sipil (umum), adalah sebagaiman
hak pemilikan dan pengembangannya menurut seleranya masing-masing. Dalam
persamaan hak ini tidak terdapat sifat diskriminasi golongan, jenis, bahasa,
agama, pandangan politik,asal negara, tingkat sosial, kesejahteraan, kelahiran,
kedudukan, politik, perundang-undangan, atau diskriminasi internasional
terhadap suatu negara, bahkan terhadap negeri, dimana individu itu berkembang[1].
Dewasa ini, banyak kita jumpai di
negara-negara maju ataupun negara terbelakang, yang saling mengingkari hak-hak
sipil ini, hanya karena perbedaan etnik, warna kulit, bahasa dan agama mereka.
Bagi para wanita, anak-anak, penduduk kampung, mayoritas terhalangi haknya
secara mendasar, yang berhubungan dengan deklarasi internasional tentang HAM
itu.
Hak-hak keperdataan (private); sejak
munculnya orientasi kebangsaan (nasionalisme) ke permukaan sejarah moderen;
yang menjadia asas berdirinya negara moderen dengan batas-batas geografisnya,
serta upaya mempertahankanya; maka para penduduknya dibebani oleh nilai
kebangsaannya, dan norma negaranya.
Akibatnya, negara tersebut
memberikan hak yang tidak diberikan pada negara tetangga, termasuk juga
pendatang asing, sepanjang syarat-syarat kebangsaan tidak dipenuhi.
Kita semua tahu hak-hak warga Prancis di
negaranya, telah menumbuhkan lembaga-lembaga, biro kerja, lapangankerja,
jaminan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan dan kebudayaan. Hak yang serupaa
juga kita saksikan di Jerman, Inggris, dan Amerika. Namun, hak-hak warga
pribumi yang dihormati, justru banyak terampas para pendatang asing. Sebagian
negara ada yang tidak peduli dengan warganya, atau menahan mereka, kecuali atas
izin hakim dan pengadilan. Namun, ada juga beberapa negara yang memberikan
distribusi kesehatan dan pelayanan medis secara gratis.
Hak keperdataan ini, banyak diterapkan
oleh sebagian negara, terutama negara-negara maju, sehingga Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaganya, pada mulanya lebih tertuju pada
negara-negara maju untuk memilih batas geografis, sehubungan dengan penerapan
hak ini, kemudian mengakui bahwa hak tersebut sebagai hak perdata umum yang
meliputi semua negara. Selanjutnya, PBB dengan lembaganya (terutama UNESCO)
ditunjukkan kepada negara-negara yang sedang berkembang, untuk mendapatkan
bantuan dengan mengumandangkan hak-hak ini agar dimasukkan dalam
undang-undangnya, hingga sejajar hak perdata (private)nya dengan negara-negara
maju. Dari sinilah dasar kegiatan kerja yang dimulai dari hasil kawasan
geografis sebagai proses yang cukup berhasil dalam kategori negara berkembang,
untuk penaggulangan HAM secara global dalam bidang keperdataan yang umum.
Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (moderen),
HAM yang bersifat natural itu tidak akan berubah, tetapi sebaliknya hak-hak
keperdataan yang bersifat khusus maupun umum senantiasa mengalami perubahan dan
perkembangan, bertambah dan berkurang, menurut kondisi lingkungan, taraf sosial
kebudayaan. Di samping itu pula kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi, syariat hukum, hukum sipil, dan struktur politik turut pula mewarnai
perkembangan dan perubahan ini.
1.2
Hakekat, Konsepsi, dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia menjadi pembahasan
penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah HAM mengantikan istilah Natural Rights. Hal
ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu
konroversial. Hak asasi manusia yang dipahami sebagai natural rights merupakan
suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal.
Semula HAM berada di negara-negara maju.
Sesuai dengan perkembanagan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas,
maka negara berkembang sepreti Indonesia, mau tidak mau sebagi anggota PBB,
harus menerimanya untuk melakukan ratifiksi istrumen HAM internasional sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa
Indonesia[2].
Perkembangan HAM di Indonesia,
sebenarnya dalam UUD 1945 telah tersurut, namun belum terancam secara
transparan. Setelah dilakukan Amandemen I s/d IV Undang-Undang Dasar 1945,
ketentuan tentang HAM tercantum pada Pasal 28 A s/d 28 J. Sebenaranya pada UUDS
1950 yang pernah berlaku dari tahun 1949-1950, telah memuat pasal-pasal tentang
HAM yang lebih banyak dan lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun Konstituante
yang terbentuk mulai pemilihan umum tahun 1955 dibubarkan berdasarkan Keppres
Nomor 150 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini
mengakibatkan kita kembali lagi pada UUD 1945.
1.3
HAM Dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat
Pemunculan, perumusan dan
institusionalisai Hak Asasi Manusia (HAM) memang tak dapat dilepaskan dari
lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu sendiri di
mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam korespondensi antara HAM dan
perkembangan masyarakat. Kita juga dapat mengatakan, bahwa HAM itu memiliki
watak sosial dan struktur sosial sendiri.
“institusi dalam masyarakat
berkorespondensi dan berkelindang dengan lingkungan sosialnya”. Oleh karena itu
kehadiran suatu institusi ingin dijelaskan dari konteks sosial dan historisnya.
Kita coba melacak HAM dari segi
perkembangan historisnya dan meneliti dalam konteks sosial yanga bagaimana ia
muncul. Dokumen-dokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris,
1688), Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (Prancis,
1789), dan Bill of Rights (Amerika, 1791). Benar, seperti dikatakan oleh
Behr, bahwa HAM itu berasal dari rumusan di Barat. Dokumen-dokumen tersebut
mewakili pikiran yang ada di belakangnya yang mendorong dokumen tersebut.
Dengan demikian dokumen tersebut kita baca sebagai isyarat (sign) adanya
atau kelahiran gagasan yang ada di belakangnya.
Kemudian sejak kemunculannya sampai hari
ini HAM telah mengalami perkembangan dan perubahan yang dikenal dengan sebutan
generasi HAM. Generasi pertama meliputi
hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hak-hak sosil, ekonomi dan
budaya. Akhirnya generasi ketiga memuat sejumlah hak-hak kolektif, seperti: hak
ats perkembangan/ kemajuan (development); hak atas kedamaian, hak atas
lingkungan yang bersih hak atas kekayaan alam dan hak ats warisan budaya.
Kita sudah berbicara panjang lebar
tentang mainstream HAM di dunia. Tetapi dunia tidak sama dengan Eropa
atau Barat, melainkan jauh lebih luas dan besar dari pada itu. Yang dikatakan
disinia adalah, bahwa masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia ada beraneka ragam.
Beraneka ragam dalam habitat fisiknya, tradisi kultural, nilai-nilainya,
kosmologinya serta pandangannya tentang manusia dan dunia.
Selanjutnya perkembangan yang sehat dari
usaha pemajuan HAM adalah melalui ‘pengakuan terhadap kemajemukan di dunia ini.
Tanpa mengakui kemajemukan tersebut, maka alih-alih memajukan HAM dunia malah
akan terjebak ke dalam suasana konflik yang bisa memuncak pada pelanggaran HAM
sendiri, terutama sejak HAM sudah memasuki generasi ketiga, yang antara lain
memuat hak atas warisan budaya.
Dalam model pemjuan HAM yang demikian
itu tidak ada tempat bagi pemaksaan dan dominasi dari satu konsep HAM tertentu
di atas yang lain. Apalagi sejak munculnya aliran pemikiran yang
kontra-rasional dan kontra-individual di dunia sebagaimana diuraikan dimuka.
Yang ada adalah suasana saling penghormatan dan saling memberi tahun serta
saling memperkaya satu sama lain. Konferensi-konferensi HAM Internasional hanya
akan menjadi medan pertukaran pengalaman dan forum pembelajaran, bukan menjadi
tempat untuk menggiring bangsa dan negara di dunia ini kearah pemahaman HAM
secara seragam menurut satu standar mutlak[3].
1.4
Instrumen HAM Nasional
Pada masa pemerintahan orde baru,
demokrasi belum berjalan baik. Terlihat misalnya seperti kebebasan mengemukakan
pendapat di muka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam organisasi dan
sebagainya. Hanya kepentingan-kepentingan politik yang menonjol pada saat itu,
sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh ketentuan politik dan
meliterisme. Demi nama baik bangsa dan masyarakat di Indonesia sebagai anggota
PBB, maka untuk menghormati Piagam PBB, dan Deklarasi Universal HAM, serta
untuk perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM sesuai dengan
prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan
atas hukum telah menetapkan[4] :
a.
Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segal
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;
b.
Keputusan
Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Hak-Hak Anak;
c.
Keputusan
Presiden No 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.
2.1
Karakterisktik Hak Asasi Manusia
a. HAM merupakan sesuatu yang otomatis telah ada pada
diri manusia tanpa harus membeli, meminta ataupun hasil variasi dari orang lain
karena HAM mutlak ada pada diri manusia sejaka lahir sebagai anugerah dari
tuhan YME.
b.
HAM berlaku untuk siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama,
status sosial, assl-usul/daerah kelahiran, warna kulit, etni, pandangan politik
ataupun budaya yang dianutnya.
c.
Hak asasi tidak bisa dan tidak boleh dilanggar. Karena HAM mutlak dimiliki oleh
setiap orang sebagai anugerah dari tuhan YME maka tidak boleh satu orang pun
mengabaikan hak asasi orang lain apalagi untuk mempertahankan haknya sendiri.
Meskipun negara telah membuat hukum dan tatanan nilai serta norma yang telah
disepakati, manusia yang ada di dalamnya masih memiliki kesempatan untuk
mempertahankan haknya selama tidak melanggar jauh dari hukum dan norma yang
telah ditetapkan tersebut.
Adapun karakteristik dari Hak-Hak Asasi Manusia
adalah universal, berlaku umum di mana saja tetap sama, mutlak tidak dapat
ditawar-tawar, tak terpisahkan dari hidup manusia, langgeng, kekal-abadi, tidak
boleh dilecehkan oleh siapapun. Hak-Hak Asasi Manusia itu sungguh-sunggu
merupakan hak yang dasar, fundamental dalam kehidupan manusia itu sendiri.
HAM di dalam Islam salah satunya diabadikan di dalam
Al-Qur’an dan tradisi kenabian. Rasulluallah Muhammad SAW bersabda: “Hidupmu,
milikmu, dan martabatmu sesuci hari ini (sewaktu naik haji).” [5]
3.1 Sejarah Perkembangan Hak Asasi
Manusia[6]
Setelah
dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh kawasan dunia, dimana
hak-hak asasi manusia diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak
asasi manusia itu didalam suatu naskah internasional. Usaha ini baru dimulai
pada tahun 1948 dengan diterimanya Universal
Declaration of Human Right (pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi
manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan kata lain, lahirnya deklarasi HAM Universal merupakan reaksi atas
kejahatan keji manusia yang dilakukan oleh kaum sosialis nasionalis di Jerman
selama 1933-1945.
Terwujudnya Deklarasi Hak Asasi
Manusia Universal yang deklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948 harus
melewati proses yang cukup panjang. Dalam proses ini telah lahir beberapa
naskah HAM yang mendasari kehidupan manusia, dan yang bersifat universal dan
asasi. Naskah-naskah tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen
yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja Jhon dari Inggris kepada
beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus
membatasi kekuasaan Raja Jhon itu.
2.
Bill of Rights (Undang-undang hak 1689): Suatu
undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun
sebelumnya, mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi
hak berdarah yang dikenal dalam istilah The
Glorious Revolution of 1688.
3.
Declaration des Droids de
I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789): Suatu naskah yang
dicetuskan pada permulaan revolusi Prancis, sebagai perlawan terhadap
kewenangan regim lama.
4.
Bill of Rights (undang-undang hak): Suatu naskah yang di susun
oleh rakyat Amerika pada tahun 1769 dan kemudian menjadi bagian dari
undang-undang dasar pada tahun 1791.
Hak-hak manusia yang dirumuskan
sepanjang abad ke-17 dan 18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum
Alam (Natural Law), seperti yang dirumuskan oleh John Luck (1632-1714) dan Jean
Jaques Rousseau (1712-1778) dan hanya membatasi pada hak-hak yang bersifat
palitis saja, seperti kesamaan hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan
sebagainya.
Akan tetapi, pada abad ke-20 hak-hak
politik ini dianggap kurang sempurna. Dan mulailah dicetuskan hak-hak lain yang
lebih luas cakupannya. Satu diantara yang sangat terkenal ialah empat hak yang
dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat F.D.Roosevlelt pada awal PD II; The Four Freedom (empat kebebasan) itu.
Sejalan dengan pemikiran ini maka PBB
memprakasai berdirinya sebuah komisi HAM untuk pertama kali yang diberi nama Comission on Human Rights pada tahun
1946. Komisi inilah yang kemudian menetapkan secara terperinci beberapa hak-hak
ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politis yaitu:
1.
Hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (pasal
3).
2.
Larang perbudakan (pasal 4).
3.
Larangan peraniaan (pasal 5).
4.
Larangan penangkapan, penahanan, atau pengasingan
yang sewenang-wenang (pasal 9).
5.
Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (pasal
10).
6.
Hak atas kebebasan bergerak (pasal 13).
7.
Hak atas harta dan benda (pasal 17).
8.
Hak atas berfikir, menyuarakan hati nurani dan
beragama (pasal 180).
9.
Hak atas mengemukakan pendapat dan menyurahkan
pemikiran (pasal 19).
10. Hak atas
kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 200).
11. Hak untuk
turut serta dalam pemerintahan (pasal 21).
Deklarasi
sedunia ini juga menyebutkan beberapa hak sosial dan ekonomi yang penting:
1.
Hak atas pekerjaan (pasal 23).
2.
Hak atas taraf hidup, termasuk makanan, pakaian,
perumahan dan kesehatan (pasal 25).
3.
Hak atas pendidikan (pasal 26).
4.
Hak kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam
kehidupan kebudayaan masyaraka, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan
dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil
karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, kesusastrakkan, dan seni (pasal 27).
3.2 Sejarah Perkembangan Hak Asasi
Manusia di Indonesia
Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup
di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama.
Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di
Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ),
periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
3.2.1 Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo,
dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya
kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang
dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat
kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan
Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis
Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada
hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan
alat produksi.
• Indische
Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
3.2.2 Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945
– 1950
Pemikiran HAM
pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam
hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode
awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950
– 1959
Periode 1950 –
1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi
Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal
atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti
dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode
ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya
menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak
tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing.
Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi
berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat,
parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol
yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang
HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959
– 1966
Pada periode ini
sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini
( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden.
Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional
baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur
poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat
yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966
– 1998
Setelah terjadi
peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan
HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM,
pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada
tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya
hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu
pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad
Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak –
hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu,
pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM
mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan
ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang
dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap
defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran
barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin
dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM
sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan
dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini
berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara –
Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia. Meskipun
dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM
nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang
dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang
concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui
pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang
terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di
Irian Jaya, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang
periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi
pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi
akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu
sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun
1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki
pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada
pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998
– sekarang
Pergantian rezim
pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan
dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan
dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan
yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan
banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan
penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi
penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status
penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan
telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti
amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP
MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang –
undangam lainnya.[7]
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Menurut
hemat penulis, sesungguhnya HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang
berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga
negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa
membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya
“Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah
hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak
asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit
akan ditegakkan.
Daftar
Pustaka
Hasbullah, Afif. Politik
Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia. 2005. UNISDA: Lamongan.
Hiarieji, Eddy. Pengadilan
atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM. 2010. Erlangga: Jakarta.
Hakiem, Luqman. Deklarasi
Islam tentang HAM.
Muzaffar, Candra, dkk. Human’s Wrong. 2007. Pilar Media: Yogyakarta.
Muladi. Hak
Asasi Manusia. 2009. Refika Aditama: Bandung.
[1] Luqman Hakiem, Deklarasi Islam Tentang HAM, (Jombang: Risalah
Gusti) hal 63-66
[2] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep Dan Implikasinya Dalam
Persepektif Hukum Dan Masyarakat,(Bandung: PT Refika Aditama, 2009) hal 3
[3] Muladi, Hak Asasi Manusia.., hal 217-226
[4] Muladi, Hak Asasi Manusia.., hal 4
[5] Candra Muzaffar dkk, Human’s
Wrong, hal 426
[6] A. Ubaidillah dkk, Pendidikan
Kewarganegaraan...., hal 210
[7] Widjaya, Pancasila dan Hak Asasi
di Indonesia, hal 256
Tags:
MAKALAH
makasih makalah hamnya ngebantu saya buat tugas, makasih ya
BalasHapusSAMA SAMA BANG
Hapus