HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan,
terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad’afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan
dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral
pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan
terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM
menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai
makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis
kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang
wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropolitik, hak berkumpul, serta hak
beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar
yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip
persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak
boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia,
termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
ISU
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM DOKUMEN HAM
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen
historis tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of
Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM
menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian
apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak
pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang
dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau
hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan
perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain mernuat
hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan
nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya
dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan
beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil
dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan,
persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan
berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan
budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan
dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin,
gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati
hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk
memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk
membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas
dari kelaparan.
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM
internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir,
berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau
kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah
diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12
Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1)
Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun
bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan
pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya
untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan
pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia
dasar), yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai
hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan
kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia
dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan
non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia
yang utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara
eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang
hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut
mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari
penyiksaan, dan kebebasan beragama. Hak-hak itu, dan juga secara
keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu
penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori
hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang
merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable. Artinya, hak yang
secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak
yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi
apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi
militer. Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak
asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati
oleh negara pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan,
mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang,
seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan
tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan
beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur
atau ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan
pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan
undang-undang. Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan
pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan
atas lima hal, yaitu: public safet; public order; public helth; public morals;
dan protection of rights and freedom of others. Dengan demikian tujuan utama
tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan itu adalah untuk
menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik mereka.
Prisip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen
hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan
kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya,
kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan
komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion,
non-discrimination, hak orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status
legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat
non-derogability.
Masalahnya kemudian, apakah yang dimaksud dengan agama dalam dokumen HAM
tersebut? Menarik diketahui bahwa dokumen hak asasi manusia tidak memberikan
definisi yang konkret tentang apa itu agama. Alasannya, sangat jelas. Untuk
menghindari kontroversi filosofis dan ideologis serta polemik yang
berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat beragam dan amat problematik
menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum hak asasi manusia
internasional menemukan istilah yang tepat untuk melindungi hak-hak itu di
bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir, berkesadaran dan
beragama. Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan
mengarah pada upaya melindungi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dengan
ungkapan lain, yang dilindugi dan dihormati adalah hak dan kebebasan manusia
untuk memilih atau tidak memilih beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap diperlukan manusia? Sebab, dalam menghadapi realitas
hidup yang serba kompleks ini, manusia secara fisik maupun psikis selalu
terhadang oleh berbagai situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi krisis
yang abadi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan. Agama
dengan wawasan supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi yang
dapat membantu manusia menyesuaikan diri dengan situasi krisis eksistensial
tersebut. Agama dapat memberikan kepada manusia kebebasan untuk mencapai
niai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Karena itu,
agama adalah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh sosial. Dalam
realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan
dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci yang
mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim (1912).
Agama juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada dilema
keberadaan manusia, berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang membuat
dunia bermakna, seperti diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, praktik
empiris yang terjadi di Indonesia adalah bahwa pemerintah Indonesia merumuskan
pengertian sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh pemerintah
(sedikitnya sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat
diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab
suci, dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan
sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar
pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah
agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak akhir
2006 termasuk Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang merugikan
masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal yang dalam pendekatan
sosiologis termasuk dalam kategori agama. Kerugian tersebut, antara lain dalam
wujud tiadanya perlindungan negara terhadap hak-hak sipil mereka sebagai warga
negara. Agama dan kepercayaan mereka tidak diakui sebagai agama yang sah dan
oleh karena itu pengikutnya mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif,
terutama dari institusi negara.
AGENDA INTERNASIONAL
PERLINDUNGAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA
Hal-hal apa saja sesungguhnya yang ingin dilindungi melalui agenda internasional
perlindungan hak kebebasan beragama? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini,
perlu terlebih dahulu menjelaskan makna kebebasan dalam perspektif HAM.
Menurut Groome, kebebasan adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan
penghalang atau hambatan; kekuasaan untuk memilih. Lebih jauh Groome membagi
kebebasan dasar ke dalam dua kategori, yaitu hak-hak dan perlindungan pribadi; dan hak-hak dan
perlindungan di dalam sistem keadilan. Kelompok hak dan perlindungan
pribadi mencakup: kebebasan beragama; kebebasan
berfikir; kebebasan berekspresi; kebebasan pers; kebebasan berserikat;
kebebasan bergerak; hak untuk kehidupan pribadi; hak untuk berkumpul; hak untuk
berserikat; hak atas pendidikan; dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah.
Dari sini kemudian dikenal istilah four freedom (empat kebebasan) oleh F.D.
Roosevelt, yaitu: kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan
berkeinginan dan kebebasan dari perasaan ketakutan.
Esensi
dari kebebasan beragama atau berkeyakinan tercakup dalam delapan komponen
utama, sebagai berikut.
1. Kebebasan Internal: Setiap orang mempunyai kebebasan
berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk
berpindah agama dan keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan,
apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi
untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan: Tidak seorangpun dapat menjadi
subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau
mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif: Negara berkewajiban untuk menghormati
dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam
wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang,
serta asal usulnya.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali: Negara berkewajiban untuk
menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin
bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya
sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal: Aspek yang vital
dari kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah untuk
berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas
keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di
dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal:
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi
keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta dalam
rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability: Negara tidak boleh mengurangi
kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan
apapun.
Bagaimana
Seharusnya Bentuk Perlindungan Hak Kebebasan Beragama di Indonesia?
Prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu kepada
instrumen internasional mengenai HAM, seperti dipaparkan sebelumnya, juga harus
mengacu kepada konstitusi dan sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan
dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12
Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak
sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari
pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e)
ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu
selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan
disini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat
individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan
persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara
dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan
menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus
dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak
mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan
mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak menentukan mana agama induk dan
mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak mengklaim kebenaran agama dari
kelompok mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas. Bahkan, negara juga
tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya
diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Bahkan, menurut
Agus Salim, salah satu tokoh penting the Founding Fathers Indonesia, Pancasila
menjamin setiap warga negara memeluk agama apapun, bahkan juga menjamin setiap
warga negara untuk memilih tidak beragama sekalipun.
Kebebasan beragama, adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa sehingga harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik
oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip ini perlu diwujudkan ke
dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini diperlukan untuk
memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan
berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak
menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan),
ibadah, dan syari’at agama (code) pada umumnya. Tujuan lain adalah menyadarkan
seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat
dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta potensi-potensi yang
terkandung di balik hak-hak tersebut. UU semacam itu harus mendefinisikan
kebebasan beragama secara lebih operasional.
Apa saja
yang harus dicakup dalam prinsip kebebasan beragama? Mengacu kepada dokumen HAM
internasional, konstitusi dan sejumlah undang-undang tersebut, maka kebebasan
beragama harus dimaknai sebagai berikut.
Pertama, kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan
agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut
agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau
berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan
cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau
bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan
pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau
dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan
gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Ketiga, kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah
agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap
warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya
dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama
hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru
dalam beragama.
Anehnya sikap umum pemerintah dan masyarakat terhadap orang-orang yang
pindah agama tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, jika
seseorang itu berpindah ke dalam agama yang kita anut, kita cenderung
menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya. Sebaliknya, jika
seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya (keluar dari agama
kita), kita cenderung marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir,
musyrik dan sebagainya. Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat
menerima perpindahan seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama.
Sebab, orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika
bisa menerima orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya mudah pula
menerima orang kita masuk ke agama lain. Mengapa dalam beragama ada semacam
pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan
antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan
sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi.
Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan
anak perempuan (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi
isu global.
Yang penting dilindungi adalah hak warga negara untuk mencatatkan
peristiwa penting tersebut, baik kepada lembaga pencatatan sipil maupun KUA.
Negara berkewajiban mencatatkan peristiwa sipil warga, seperti kelahiran,
perkawinan, dan kematian, sebaliknya warga negara berhak menerima pelayanan
registrasi. Dalam hal ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan
berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon mempelai berhak
melangsungkan pernikahan berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama. Otoritas
agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang mengharamkan perkawinan
lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan
antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau keputusan tersebut tidak
mengikat negara dan masyarakat.
Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari
ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga
pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak
memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh
dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan
untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga
pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi
pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi
pembentukan karakter warganegara yang baik.
Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte,
paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum
dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti perilaku
kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan
untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan
emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak
mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat.
Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat
fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir,
murtad atau berdosa. Atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran
keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.
Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil
pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara
tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat
diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada
istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi
dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan agama
sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan
tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam
menentukan pilihan agamanya.
Pengaturan
Hak Kebebasan Beragama Dalam RUU KUHP
Mengamati RUU KUHP,
khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang memuat soal tindak pidana terhadap
agama terkesan tiga hal.
Pertama, bahwa RUU
ini sangat ambisius mengatur soal agama. Pada UU KUHP sebelumnya masalah agama
hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 156 a tentang tindak pidana terhadap
tindakan penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia. RUU sekarang
merumuskan soal agama dalam suatu bab khusus yang dinamakan Tindak Pidana
terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, terdiri dari dua bagian. Pertama, soal
tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; dan kedua, soal tindak
pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Seluruhnya tercakup dalam
8 pasal, yakni pasal-pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348.
Kedua, RUU ini sangat rinci mengatur soal kehidupan beragama. Mungkin tujuan
semula dari para penyusun RUU tersebut adalah agar ketentuan dalam pasal-pasal
Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama itu tidak menjadi pasal
karet. Dapat ditafsirkan sesuai keinginan siapa saja sehingga menyulitkan bagi
hakim atau pengambil keputusan untuk menetapkan keputusan yang adil dan
diterima semua pihak. Akan tetapi, meskipun semakin rinci bunyi pasal-pasal
tersebut tetap saja multi tafsir. Sebab, agama adalah hal yang sangat abstrak
karena berada di wilayah yang paling privat dalam kehidupan manusia.
Sebaliknya, agama sangat terbuka untuk penafsiran, tergantung siapa yang
menafsirkan dan motivasi apa yang bermain di balik penafsiran itu.
Ketiga, RUU ini sangat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi
atau kelompok minoritas sehingga dapat menjadi pembenaran bagi munculnya
kekerasan atas nama agama. Sebab, ada kesan mendalam bahwa pasal-pasal dalam
RUU itu hanya melindungi agama, masyarakat, negara dalam konteks peraturan yang
berlaku saat ini di tanah air. Dengan demikian, perlindungan dan proteksi yang
dibangun dalam RUU ini hanya ditujukan kepada agama-agama yang diakui secara
resmi oleh pemerintah melalui berbagai peraturan, yaitu 6 agama saja: Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu . Tambahan lagi, yang diproteksi
dan dilindungi itu pun terbatas pada kelompok mainstream dari masing-masing
agama tadi. Jadi, Ahmadiyah, meskipun termasuk rumpun Islam, yakni agama yang
diakui, tetaqp tidak berhak dilindungi karena menyempal dari mainstream. Demikian,
pula sekte dan aliran agama lainnya yang bukan mainstream. Fatalnya nanti, RUU
ini dapat menjadi pembenaran bagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama yang
bukan dari 6 agama dimaksud atau terhadap kelompok minoritas atau kelompok
sempalan dari keenam agama tersebut.
Berikut
ini akan dipaparkan analisis kritis terhadap pasal-pasal dalam RUU KUHP yang
berbicara soal tindak pidana terhadap agama dari perspektif HAM.
Pertama, pasal 341:
“Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan
yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“. Pertanyaan penting dalam
pasal ini adalah apa yang dimaksudkan dengan penghinaan terhadap agama? Pasal
ini mengesankan bahwa yang dilindugi adalah agama, dan tentu saja yang
dikehendaki adalah terbatas pada enam agama yang “diresmikan“ pemerintah. Ini
menyalahi ketentuan HAM, karena yang harus dilindungi adalah manusia yang
menganut agama itu, bukan agama itu sendiri. Setiap manusia harus dilindungi
dari semua bentuk penghinaan. Agama tidak perlu diberikan perlindungann dan
memang bukan subyek yang butuh perlindungan.
Kedua, pasal 342:
“Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak
Kategori IV“. Apa yang dimaksud dengan menghina keagungan Tuhan, firman dan
sifat-Nya? Pasal inipun mengesankan hal yang sama dengan pasal sebelumnya,
yakni perlindugan terhadap Tuhan, firman dan sifat-Nya. Menggelikan sekali
mengapa Tuhan harus dilindungi, bukan sebaliknya. Justru Tuhan yang harus
melindungi manusia, makhluk ciptaan-Nya sendiri. Prinsip HAM berakar dari
penghormatan dan penghargaan kepada manusia sebagai makhluk bermartabat,
sehingga manusialah yang berhak mendapatkan perlindungan. Yang diperlukan dalam
hal ini adalah perlindungan terhadap hak manusia, pilihan manusia, dan
kebebasan manusia. Terserah pada manusia, agama atau kepercayaan apa yang
dipilihnya sepanjang hal itu dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa, ditekan
atau diintimidasi.
Ketiga, pasal 343:
“Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama,
Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Apa
yang dimaksud mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab
Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan? Apakah melakukan kajian kritis, dalam
bentuk kajian teologis, atau psikologis terhadap konsep agama, Rasul, Kitab
Suci dan sebagainya juga termasuk dalam hal ini? Demikian pula, seirama dengan
dua pasal sebelumnya, pasal inipun tidak relevan karena perlindungan disediakan
bagi agama Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, bukan
terhadap manusia yang memilih keyakinan atau agama tersebut.
Keempat, pasal 344:
(1) “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan, suatu rekaman
sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 341 atau pasal 343 dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau
rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2)
“Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat
2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.“ Pasal ini
sangat berbahaya karena multi tafsir, bisa dimafaatkan oleh oknum tertentu untuk
mencelakakan seseorang atau kelompok yang tidak sefaham dengannya.
Kelima, pasal 345:
“Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud
meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Pasal
ini aneh sekali, karena tidak jelas apa yang diinginkan dengan kata menghasut
dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang
dianut di Indonesia. Sekilas pasal ini melarang upaya-upaya dakwah dan
missionaris agama yang sering dianggap sebagai kegiatan menghasut penganut
agama lain yang ujungnya akan meniadakan atau menukar agama seseorang. Dokumen
HAM menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan agamanya, menyebarkan
ajaran agamanya sepanjang tidak melakukan upaya-upaya pembodohan secara nyata
atau terselubung, tidak menggunakan pemaksaan, kekerasan dan intimidasi.
Keenam, pasal 346:
(1) “Setiap orang yang menganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan
dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jemaah yang sedang
menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Kategori IV;
(2) “Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan
ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda
paling banyak Kategori II“. Sekilas pasal 346 ini sangat memberikan pengharapan
terhadap pemeluk agama yang selama ini sudah trauma dan putus asa karena tidak
jelasnya sistem hukum yang berlangsung di negeri ini. Pasal ini secara konkret
memberikan perlindungan dan proteksi terhadap siapa pun yang sedang menjalankan
ibadahnya. Namun, dalam banyak kasus selama ini realisasinya, perlindungan dan
proteksi adalah monopoli kelompok agama mayoritas dan mainstream.
Ketujuh, pasal 347:
“Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah
atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“.
Sulit sekali melakukan kontrol atau memonitor perilaku mengejek orang yang
sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan
tugasnya. Sebab, perilaku mengejek sulit diidentifikasi secara jelas,
tergantung siapa yang mendefinisikannya.
Kedelapan, pasal
348: “Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar
bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori
IV“. Sepintas, pasal ini amat berguna bagi penegakan hak kebebasan beragama di
tanah air. Sebab, setiap orang yang melakukan penodaan dan keonaran akan
dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Namun, dalam implementasinya, pasal ini
hanya ditujukan kepada kelompok penganut agama resmi dan kelompok mainstream.
Mengapa? Karena logika yang umum dipakai aparat negara adalah bahwa penganut
agama di luar agama resmi dan pengikut kelompok minoritas adalah orang-orang
yang menyalahi hukum sehingga mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum,
bahkan pantas dihukum.
Secara umum
pasal-pasal yang bicara soal penghinaan terhadap agama (pasal 341, 342, 343,
dan 344) dan yang mengungkap soal penghasutan untuk meniadakan keyakinan
terhadap agama (pasal 345), serta yang menyatakan tentang gangguan terhadap
penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan (pasal 346-347-348) sangat jauh
dari spirit perlindungan hak kebebasan beragama seperti ditegaskan dalam DUHAM,
konstitusi, dan sejumlah UU nasional tentang HAM. Perlindungan hak kebebasan
beragama dalam berbagai dokumen tersebut menekankan pada perlindungan hak asasi
manusia, yaitu hak untuk menganut dan tidak menganut agama atau keyakinan tertentu,
hak untuk melaksanakan ibadah atau ritual sesuai keyakinan dan agama, dan hak
untuk menyiarkan atau mengajarkan tanpa mengancam kebebasan orang lain. Jadi,
yang dilindungi adalah manusia, bukan agama, bukan Rasul, bukan Tuhan
sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut.
Kebebasan individu
adalah prisip dasar perlindungan manusia. Dalam konteks ini, harus dipastikan
bahwa pemaksaan kehendak dan kekerasan apapun alasannya adalah penghinaan
terhadap kebebasan individu dan karena itu harus diberangus atas dasar hak
asasi manusia. Oleh karena itu, harus dicatat bahwa pengutamaan individu dalam
hak asasi manusia bukalah pengutamaan yang egoistik, melainkan selalu diikuti
dengan tuntutan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya, pemenuhan hak asasi
manusia selalu mempertimbangkan prasyarat-prasyarat sosial, tidak boleh
diselenggarakan dengan cara-cara kekerasan apa pun alasannya. Kebebasan
individu sealu berujung pada penghormatan kebebasan individu lain.
Dalam konteks
perlindungan terhadap hak kebebasan beragama ini, seharusya negara bersipat
netral dan tidak memihak kepada siapa pun dan kepada golongan agama manapun.
Negara harus menjamin penyeleggaraan agama atas alasan sosial, yaitu sebagai
hak individu dan sebagai pilihan bebas individu. Negara tidak menjamin isi
sebuah agama atau keyakinan, Negara hanya menjamin hak manusia untuk beragama
dan berkeyakinan secara bebas dan damai.
Mungkinkah
Pembatasan Hak Kebebasan Beragama?
Hak kebebasan beragama tentulah bukan hak mutlak tanpa batas, melainkan
dibatasi oleh kewajiban dan tanggung jawab
seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, apapun agamanya.
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi
pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan
pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan. Akan tetapi, harus diingat
bahwa semua bentuk pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan
undang-undang. Alasan pembatasan tersebut harus terkait dengan upaya-upaya
perlindungan atas lima hal yang akan dijelaskan nanti.
Pembatasan kebebasan beragama hanya diperlukan jika mengarah kepada
pembatasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan ajaran
agama atau keyakinan seseorang yang termasuk kebebasan bertindak (freedom to
act). Jadi, pembatasan tidak mencakup hak kebebasan beragama dan berkeyakinan
dalam pengertian freedom to be. Sebab, segaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
kebebasan untuk mengimplementasikan ajaran agama atau keyakinan bersifat
derogable, boleh dibatasi, diatur, atau ditangguhkan pelaksanaannya. Dengan
demikian tujuan utama pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap
keselamatan orang (kehidupan, integritas, kesehatan mereka) atau kepemilikan
mereka. Pembatasan itu semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan
seluruh masyarakat.
Oleh karena itu,
regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud
dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan
intervensi. Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu
agar para pemeluk agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban
masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada
siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap
pengikut agama lain.
Pertanyaannya,
elemen-elemen apa saja yang dapat dimuat di dalam pengaturan pembatasan
tersebut? Pembatasan dimaksud sebagaimana terbaca dalam pasal 18, ayat (3):
mencakup lima elemen berikut: keselamatan masyarakat (public savety),
ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health),
etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak dan kebebasan
mendasar orang lain (the fundemental rights and freedom of others). Secara
lebih rinci diuraikan di bawah ini.
1. Restriction For
The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan
Masyarakat). Dibenarkan pembatasan dan larangan terhadap ajaran agama yang
membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim,
misalnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal.
Atau ajaran agama yang melarang penganutnya memakai helm pelindung kepala dalam
berkendaraan.
2. Restriction For
The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban
Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga
ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan
mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat; keharusan
mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum; keharusan mendirikan tempat ibadat
hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum; dan aturan pembatasan
kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.
3. Restriction For
The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan
Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi
guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan
vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk
menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC.
Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang
melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya.
Demikian pula, misalnya larangan terhadap ajaran agama yang mengharuskan
penganutnya berpuasa sepanjang masa karena dikhawatirkan akan mengancam
kesehatan mereka.
4. Restriction For
The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat).
Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya
bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
5. Restriction For
The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan
untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain).
(1) Proselytism
(Penyebaran Agama): Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism,
pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama
mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar
kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.
(2) Pemerintah
berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang
membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup,
hak kebebasan dari kekerasan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga
eksploitasi hak-hak kaum minoritas.
Penutup
dan Rekomendasi
Dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah
undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi
manusia yang paling mendasar dan tidak boleh dikurangi sedikitpun
(non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan
kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia,
maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.
Upaya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak kebebasan beragama di
Indonesia yang masyarakatnya dikenal sangat heterogen dalam hal agama dan keyakinan
menjadi sangat relevan dan signifikan. Sebab, akan membawa kepada tumbuhnya
rasa saling menghargai dan menghormati di antara warga negara yang berbeda
agama, dan pada gilirannya membawa kepada timbulnya sikap toleransi dan cinta
kasih di antara mereka. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan
faktor dominan bagi terwujudnya keadilan sosial seperti diamanatkan dalam
Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia,
sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
Cita-cita luhur dan ideal inilah yang mendasari para pendiri republik
ini (the founding fathers) ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD
1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama. Spirit kebangsaan mereka
hendaknya menjadi acuan dalam membangun peradaban bangsa ini ke depan sehingga
tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan oleh para
pendiri republik tercinta ini.
Akhirnya, sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, penulis mengajak
seluruh elemen bangsa, seluruh unsur civil society: kelompok akademisi,
korporasi, agamawan, dan budayawan agar membangun sinergi, bergandeng tangan,
bahu membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini
melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
Pertama, melakukan
upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang
seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu
sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang
kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis.
Kedua, merevisi
sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya
kebebasan beragama di tanah air, seperti RUU KUHP, khususnya bab tentang Tindak
Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
Ketiga,
mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan
hak kebebasan beragama. Itulah ajaran agama yang hakiki, ajaran yang membebaskan
manusia dari belenggu tirani dan kebencian, ajaran yang akomodatif terhadap
nilai-nilai kemanusiaan. Wa Allah a’lam bi as-shawab.
PASAL YANG MENGATUR
KEBEBASAN BERAGAMA:
1. Pasal 2 DUHAM
menyatakan:
2.
PBB tahun 1948
3. dokumen HAM
internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18:
4. UU No. 12 Tahun 2005.
Prisip kebebasan
beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri
melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran
dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan
mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal,
kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang tua dan wali,
kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan
eksternal dan bersifat non-derogability.
Hak dalam HAM
Hak seketika:
non-derogabl race: hak seketika dan tidak boleh ditunda seperti hak
bernafas, hak hidup dll. Sebenarnya hak pendidikan termasuk dalam hak tersebut
namun pemerintah belum bisa merealisasikan.
Hak yang dapat ditunda:
hak ekonomi, hak politik.
Tags:
MAKALAH