Pengertian dan Jenis-Jenis Qiraatul Qur'an - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Selasa, 25 September 2018

Pengertian dan Jenis-Jenis Qiraatul Qur'an





A.    Pengertian Qira’atul Qur’an
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an, tetapi tidak banyak orang tertarik kepadanya, keculali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya adalah ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari.

Ilmu ini sangat rumit untuk dipelajari karena banyak hal yang harus dikuasai, antara lain penguasaan bahasa Arab secara mendalam, pengusaan ilmu ini sangat berjasa dalam menggali, menjaga, dan mengajarkan berbagai cara membaca al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Secar etimologi kata qiraah merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari kata qara-a yang berarti membaca. Sedangkan secara terminologi qiraat ialah: suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan imam qiraat lainnya dalam membaca al-Qur’an, baik perbedaan dala  hal pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan keadaan-keadaanya.[1]
Dalam buku lainnya dijelaskan. Qiraat secara etimologi berarti “bacaan”. Sedangkan secara teminologi umumnya berarti “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qurra’ 9ahli bacaan al-Qur’an) yang berbeda dengan  yang lainnya dalam pengucapan, periwayatan dan metodenya”. Walaupun merupakan sisi bacaan al-Qur’an, qiraat berimplikasi pada makna dan penafsiran yang harus dipertanggungjawabkan. Itulah sebabnya, banyak terjadi perbedaan diantara imam qurra’.[2]
            Para imam qiraat menyandarkan jalur sanad riwayat qiraat mereka kepada Nabi melalui para sahabat yang masyur di bidang qiraat. Diantara para sahabat yang termasyur dibidang ini adalah Ubay ibn Ka’ab, Ali ibn abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, abu Musa al-Asy’ary, dan lain-lainnya. Dari sahabat-sahabat Nabi inilah para tabi’in di pusat kota-kota besar mempelajari qiraat dan kemudian mengembangkannya di tempat mereka masing.
            Menurut Az-zarqani, al-qira’at adalah :
“Madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.”
Shihabuddin al-Qusthalani
Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli Qira’at (tentang cara mengucapkan lapal-lapal Al-Quran)seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, I’rob,  hazf, isbat, fashl, washl, yang di peroleh dengan cara periwayatan.
Jadi dari defenisi yang di kemukakan oleh Al-Dimiyathi dan Al-Qusthalani di atas tanpak bahwa Qira’at  Al-Quran itu di peroleh melalui mendengar langsungdari bacaan Nabi SAW, atau sebagai mana di ucapakan oleh para sahabat di hadapan Nabi SAW, lalui beliau men taqrir kannya.
Ibn Al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melapalkan kalimat-kalimat Al-Quran dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
Mana’Khalil Al-Qattan
Qira’at adalah jamak dari Qira’ah yang berarti bacaan,dan ia adalah masdar dari qara’a menurut istilah ilmiyah Qira’at adalah salah satu mashab atau (alirannya)pengucapan Quran yang di pilih oleh salah seorang imam qara’a sebagai suatu mashab yang berbeda dengan mashab lainnya
Menurut Az-zarkasyi :
“Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan) tatsqil (memberatkan) atau yang lainnya.”
            Muhammad Ali Ash-Shabuny memberikan definisi qiraat sebagai berikut:
            “Qiraat adalah suatu mazhab cara pelafalan al-Qur’an yang dianut oleh seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang besambung kepada Rasulullah”.[3]
            Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ).

B.     Macam-Macam Qira’atul Qur’an
a.      Qira’ah Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .

b.      Qira’ah Syazzad
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
            Ditinjau dari kualitas sanadnya, menurut sebagian ulama, secara umum qiraat itu terbagi menjadi tiga macam:
1.      Qiraat Mutawatir
Yakni qiraat yang sanadnya mutawatir. Para ulama memasukkan qiraat al-sab’I (qiraat tujuh) ke dalam kelompok ini. Qiraat tujuh yang dimaksudkan disini adalah qiraah yang dinisbatkan kepada para imam qiraah yang berjumlah tujuh orang. Mereka adalah: Abu ‘Amru ibn ‘Ala (w. 154 H), Ibn Katsir (w. 261 H), Nafi’ ibn ‘Abdirrahman ibn abi Nu’aim (w.197 H), Ibn ‘amir (w. 118 H), ‘Ashim ibn abi al-Nujud (w. 128 H), Hamzah ibn Hubaid ibn ‘Ammarah al-Ziyat (w. 156 H), dan Kisa’I (w. 189).


2.      Qiraat Ahad
Yakni qiraat yang meskipun sanadnya shahih namun ia berstatus ahad. Para ulama mengelompokkan tiga imam qiraat kedalam kelompok ini, yaitu: Abu Ja’far Yazid ibn al-Qa’qa’ (w. 132 H), Ya’qub ibn Ishak al-Hadhramy (w. 205 H), dan khalifah Hisyam (w. 229  H). Penggabungan antara qiraat tujuh diatas dengan qiraat ini selanjutnya dikenal dengan sebutan al-qiraat al-‘asyar (qiraat yang sepuluh).
3.      Qiraat Syaz
Yakni qiraat yang jalur sanadnya dipandang dhaif (lemah), sehingga ia tidak bisa dijadikan pegangan dalam membaca al_qur’an. Qiraat yang syaz ini tidak dibenarkan dipakai dalam shalat maupun diluar shalat, karena pada hakikatnya ia bukan al-Qur’an. menurut para ulama, selain dari qiraat sepulauh diatas maka termasuk kedalam qiraat syaz seperti qiraat al-Yazidy, al-Hasan, al-A’masy, Ibn Jarir, dan lain-lain.
Para ulama menetapkan berbagai criteria yang mereka pakai untuk menerima keabsahan suatu qiraat. Dalam hal ini mereka menetapkan tiga persyaratan untuk qiraat yang shahih, yaitu:
Pertama: Qiraat tersebut harus sesuai dengan salah satu kaedah bahasa Arab.
Kedua: Harus sesuai dengan salah satu mushaf Usmany walaupun hanya secara tersirat. Karena sahabat telah bersungguh-sungguh dalam menulis mushaf Usmany yang sesuai dengan pengetahuan mereka tentang bahasa qiraat.
Ketiga: Qiraat itu harus shahih sanadnya, karena ia merupakan sunnah yang diikuti sehingga harus shahih riwayatnya.
Dengan demikian, jika ketga persyaratan diatas terpenuhi maka qiraat tersebut adalah qiraat yang shahih. Namun jika salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat tersebut dinamakan yang lemah, syaz atau bathil.[4]

C.    Perkembangan Qira’atul Qur’an
Qira’at sebenarnya sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad namun pada masa itu qira’at belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada permulaan abad pertama hijriah pada masa tabi’in, muncullah seorang ulama yang konsen terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sehinggga mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya[5]
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa qira’at memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan  karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Untuk mengurai persoalan ini ada beberapa pembahasan yang patut dikemukakan di sini yaitu :
1.      Qira’at Pada Masa Nabi
Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mempunyai puak-puak atau kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah tersebut ada yang bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur Jazirah Arabiyah dan adapula yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah Barat Jazirah Arabiyah yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa’d dan lainnya mempunyai tradisi dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam, seperti : Imâlah, atau mengucapkan huruf ‘a menjadi huruf ‘ê’ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan sebutan “Idghâm”.
Ibnu al-Jazari menambahkan dari apa yang dikatakan Ibnu Qutaibah tentang bentuk-bentuk dialek suku-suku Arab:
Sebagian kabilah membaca lafazh : ( عَلَيْهِمْ و فِيْهِمْ ) yang berkasrah Ha’,  dengan men-dlammah-kan Ha’, suku lain membaca : ( عَلَيْهِمُوْ و مِنْهُمُوْ )(sementara lainnya men-sukun-kan Mim), satu kabilah membaca : ( قَدْ أَفْلَحَ . قُلْ أُوْحِيَ . وَخَلَوْا إِلَى ) dengan membaca “naql” ( mengalihkan harakat hamzah kepada huruf mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak membaca demikian). Satu kabilah membaca : ( مُوْسَى ، وعِيْسَى ، و دُنْيَا )  dengan Imalah ( huruf “a” dibaca “ê”) . Ada yang membaca : خَبِيْرًا بَصِيْرًا dengan membaca tarqîq (menipiskan) bunyi Ro’nya. Ada juga yang membaca : الصَّلَاةُ , الطَّلَاقُ  dengan menebalkan bunyi lamnya.”
Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, nabi langsung naik banding kepada malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi sampai tujuh huruf atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:
عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِى غِفَارٍ - قَالَ - فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْرُفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا. (رواه مسلم)[10]
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan kepadaNya, umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan bahwa Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab seperti diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf.  Huruf manapun yang mereka baca, mereka sudah benar.”
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab’atu Ahruf” sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh, apakah berarti bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak.  Berikut ini pendapat para ulama tentang makna Sab’atu Ahruf :
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini terbagi lagi menjadi dua bagian:
1. Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-Qur’an. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû ‘Ubaid, Ahmad bin Yahyâ, Tsa’lab, dan masih banyak yang lainnya.[12] Menurut pendapat ini, Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. dengan tujuh bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap sebagai bahasa Arab paling fashih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan Yaman Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud adalah Quraisy, Hudzail, Tamîm, Azd, Hawâzin, Rabî’ah, dan Sa’ad bin Bakr.[14]
2. Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di dalam Al-Qur’an  terkumpul dalam sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-Thabari. Al-Thabari menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara ‘Umar bin al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm tentang qira’at Al-Qur’an.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’atu ahruf adalah tujuh wajah lafal kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama. Pendapat ini diungkapkan oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, seperti Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Wahb, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan al-Thahawi. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat hadis, di antaranya adalah hadis berikut:[17]
ورَوَى وَرَقَاء عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيْحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أُبَي بْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ {لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا} : لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَمْهِلُونَا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَخِّرُونَا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا ارْقُبُونَا
Artinya: “Waraqâ’ telah meriwayatkan dari Ibnu Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbâs, dari Ubai bin Ka’b bahwa dia telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan beberapa versi bacaan sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû akhkhirûnâ, lilladzîna âmanû urqubûnâ.”
c. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), wa’îd (janji), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halâl, harâm, muhkam, mutasyâbih, dan amtsâl.
d. yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah  tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa kenabian tersebut karena al-qur’an memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap kata dalam al-qur’an dapat dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan al-qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada ummat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca al-qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka.[6]
e. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak dapat diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan masyarakat Arab.[20]
f. Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah Qira’at Sab’ah.
Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai pengetian Sab’atu Ahruf sebagaimana tertera di dalam hadis Muslim di atas, namun yang jelas makna yang tersirat dalam hadis tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama: Bahwa Allah swt. memperbolehkan kepada umat nabi Muhammad saw. dalam hal membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam bacaan. Bacaan manapun yang mereka pilih adalah benar.
Kedua: Semua bacaan tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad.
Ketiga: Tujuan diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka memberikan keringanan kepada umatnya nabi Muhammad dalam membaca Al-Qur’an mengingat latar belakang budaya dan struktur masyarakat yang beragam.
Setelah nabi Muhammad diberikan keringanan oleh Allah untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf, nabi mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga pernah terjadi kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang lainnya jika terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang sempat tertegun dan tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur’an. Namun nabi memberikan penjelasan kepada mereka tentang  pokok persoalan, sehingga mereka dapat memahaminya. Pengajaran nabi kepada para sahabatnya dengan beragam bacaan terus berlangsung hingga nabi meninggal. Para sahabat yang mendapatkan pelajaran Al-Qur’an dari nabi terus memegang bacaan mereka dan mengajarkan cara pembacaan tersebut kepada para murid-murid mereka.
2.      Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur’an kepada para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur’an kepada murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka’b (w 30 H), Utsmân bin ‘Affân (w 35 H), Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w 59 H), ‘Abdullâh bin ‘Ayyâsy (w 64 H), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (w 68 H), ‘Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun diantara sahabat nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain. Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan ‘Umar bin Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur’an di negeri lain seperti negeri Iraq adalah ‘Abdullah bin Mas’ûd (w 32 H)  yang diperintahkan oleh sahabat ‘Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur’an  di negeri Kufah.  Di Iraq juga ada  sahabat ‘Alî bin Abî THâlib (w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy’ari (w 44 H) yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua’dz bin Jabal (w 18 H) yang mengajarkan Al-Qur’an di Palestina. ‘Ubadah bin SHamit al-Anshâri (w 34 H) mengajarkan Al-Qur’an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda’ (w 32 H) mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran qira’at di negeri-negeri tersebut diatas.[23]
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah” sebagaimana dijelaskan diatas.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya generasi baru dalam bidang Qira’at.
3.      Munculnya Komunitas Ahli Qira’at
Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur’an dari generasi sahabat dan Tabi’in adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari dalam kitabnya “Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr”  menyebutkan tentang komunitas tersebut. Ibnu al-Jazari menyebut komunitas ahli Qira’at di negeri-negeri Islam  tersebut sebagai berikut :
Madinah : Ibnu al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Sulaimân bin Yasar, ‘Atha’ bin Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, ‘Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
Mekah : ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha’, THawus, Mujâhid bin Jabr, ‘Ikrimah, Ibnu Abî Mulaikah.
Kufah : ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda’, ‘Abidah, ‘Amr bin Syurahbil, dan lain lain.
Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Âshim, Nashr bin ‘Âshim, Yahya bin Ya’mur dan lain lainnya.
4.      Kodifikasi Ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang  ilmu qira’at adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
 Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
 Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
 Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.[24]
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).[25]
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah kegiatan penulisan qira’at semakin marak. Diantara mereka adalah : Ahmad bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun bacaan Imam Lima, Ismâ’îl bin Ishâq  al-Maliki ( w 282 H)  yang menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu Qira’at semakin meningkat dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.
5.      Terbentuknya Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama : harus mutawâtir, masyhur dikalangan ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.[26]
Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi  Ibnu Mujâhid (w 324 H) untuk  menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili bacaan pada setiap negeri Islam. Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim al-Ashfihâni (w 127 H)
2. Dari Mekah : ‘Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin Habib al-Zayyat (w 156 H) , dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus ahli dalam bidang qira’at, mengetahui qira’at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :
Diantara para ahli Al-Qur’an ada yang tahu tentang seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat, tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri kaum muslimin.”[27]
Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang terkenal yaitu “Al-Sab’ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan (hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa Qiraat Sab’ah adalah sab’atu ahruf  yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.[28]

6.      Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah
Pada kitab “al-Sab’ah” Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada periode berikutnya, muncul seorang ahli qira’at kenamaan dari Andalus yang bernama Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî  (w. 444 H) menyederhanakan para perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada setiap Imam. Al-Dânî berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan menghafal materi qira’at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah bisa mewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap Imam bisa kita lihat pada  kitabnya “al-Taisir”. Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam adalah sebagai berikut :
Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu Katsîr
Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu ‘Âmir
Syu’bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âshim
Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.[29]
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para ahli qira’at pada masa setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâthibiyyah”. Syair-syair Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazham al-Syâthibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazham ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia  yang ingin mendalami ilmu qira’at.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Secar etimologi kata qiraah merupakan bentuk masdar (kata dasar) dari kata qara-a yang berarti membaca. Sedangkan secara terminologi qiraat ialah: suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan imam qiraat lainnya dalam membaca al-Qur’an, baik perbedaan dala  hal pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan keadaan-keadaanya.
2.      Macam-macam qiraat terbagi menjadi dua yaitu:
a.       Qiraat sab’ah
b.      Qiraat syazzad
Ditinjau dari kualitas sanad tebagi menjadi tiga yaitu:
a.       Qiraat Mutawatir
b.      Qiraat Ahad
c.       Qiraat Syaz
3.      Perkembanga Qiraatul Qur’an terbagi menjadi enam periode yaitu:
a.       Pada masa Nabi.
b.      Pada masa Sahabat dan tabi’in.
c.       Munculnya komunitas ahli qiraat.
d.      Kodifikasi ilmu qiraat.
e.       Terbentuknya qiraat sab’ah.
f.       penyederhanaan perawi imam qiraat sab’ah.

B.     Saran-Saran
1.      Makalah Ulumul Qur’an ini diharapkan menjadi masukan dan bahan tambahan dalam memahami perkara-perkara Qira’atul Qur’an.  Penulis juga mengharapkan makalah ini dapat dikembangkan oleh para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, Banda Aceh: Pena, 2005.

Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, Banda Aceh: Pena, 2012.
Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Baidan, Nashruddin,  Wawasan Baru Ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.




[1]  Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena, 2005), hal. 87.
[2]  Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal.134.
[3] Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Pena, 2012), hal. 101.
[4]  Muhammad Zaini, Ulumul Qur’an,… hal. 105-107.
[5]  Manna al-Qattan, Mabaahitsu fi ulumil a-Qur’an, trj Aunnur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2006), hal. 212.
[6]  Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot