BAB II
PEMBAHSAN
A.
Pengertian
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Jika kita melihat dari kata “islamisasi” akan menimbulkan makna
“mengislamkan”. Jangan pernah membayangkan Islam mengambil ilmu pengetahuan
dari bangsa Non-Muslim kemudian ilmu
tersebut dijadikan sebagai ilmu yang islami. Sebenarnya Islamisasi hanyalah mengembalikan
pemahaman kepada Islam. Karena jika kita teliti dengan seksama bahwa semua ilmu
pengetahuan telah diatur di dalam Islam yang di termaktub dalam Al-Qur’an dan
Sunnah.
Secara istilah Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu proses pengembalian pemahaman yang antagonistik terhadap Islam dan ilmu pengetahuan kepada pemahaman yang akomodatif antara Islam dan ilmu pengetahuan. sehingga, tidak terdapat kesan pemisahan antara kelompok klasik dengan kelompok modern. Karena pemahaman yang berbeda terhadap pengkhususan ilmu agama dan ilmu umum.
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan
respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan
Islam yang terlalu religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan
integral tanpa pemisahan di antaranya. Sebagai panduan untuk usaha tersebut,
al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka
Islamisasi ilmu yaitu, Pertama, Penguasaan disiplin ilmu modern. Kedua,
penguasaan khazanah warisan Islam. Ketiga, Membangun relevansi Islam
dengan masing-masing disiplin ilmu modern. Keempat, Memadukan
nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
dan Kelima, Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan
pola rencana Allah.
Seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama
menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Ada yang pro
dan ada yang kontra. Menurut Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi ilmu pengetahuan
merupakan naturalisasi sains (ilmu pengetahauan) untuk meminimalisasikan dampak
negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan dengan begitu agama
menjadi terlindungi.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha "untuk
mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan
rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan
tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu
sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan
bermanfaat bagi cause (cita-cita).
Sejumlah kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan, Mulyanto misalnya mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
sering dipandang sebagai suatu proses perapan etika Islam dalam pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan criteria pemilihan suatu ilmu pengetahuan yang akan
dikembangkannya. Dengan kata lain, Islam hanya berlaku sebagai criteria etis
diluar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasar adalah, bahwa ilmu pengetahuan
adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil munculnya
ilmu pengetahuan islami, sebagaimana mustahil munculnya ilmu pengetahuan
Marxisme. Dan Islam beserta ideologi-ideologi lainnya, hanya mampu merasuki
subjek ilmu pengetahuan dan tidak pada ilmu itu sendiri. Islam hanya berlaku
sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan bereaksi; lalu menyerahkan kedaulaan
mutlak pada metodelogi ilmu bersangkutan. Lebih lanjut Mulyanto mengatakan
bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan, tidak lain dari proses pengembalian atau
pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni: tauhid,
kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.
Senada dengan Mulyanto, Haidar Bagir, sungguhpun secara eksplisit
tidak menjelaskan pengertin Islamisasi ilmu pengetahuan, namun secara inplisit
melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu penting. Dalam kaitan ini, ia
misalnya mengemukakan tentang perlunya dibentuk sain yang islami. Hal ini
didukung oleh tiga argumentasi sebagai berikut, pertama, umat Islam
butuh sebuah sistem sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya material dan
spiritual. System sains yang kini tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Ini
disebakan ilmu sains modern mengangdung nilai-nilai khas Barat yang melekat
padanya; nilai-nilai ini banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam selin
telah terbukti menimbulkan ancaman-ancaman bagi keberlangsungnya hidup umat
manusia di muka bumi. Kedua, secara sosiologis, umat Islam yang tinggal
di geografis dan memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dari Barat-sains modern
dikembangkan-jelas butuh system yang berbeda pula, karena sains barat
diciptakan untuk memenuhi masyarakat sendiri. Ketiga, kita umat Islam,
pernah memiliki peradaban islami dimana sains berkembang sesuai dengan nilai
dan kebutuhan-kebutuhan umat Islam. Jadi sebetulnya, jika syarat-syarat itu
mampu dipenuhi, kita punya harapan untuk berharap menciptakan kembali sebuah
sains Islam dalam peradaban islami pula.
Berdasarkan uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
sungguhpun terdapat perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam melihat masala
Islamisasi ilmu pengetahuan, namun hakikatnya sama. Yaitu mereka sepakat bahwa
umat Islam perlu memilki pengetahuan yang dibangun dari dasar-dasar ajaran
Islam, yaitu, Al-Qur’an yaitu ilmu yang didasarkan tauhid, yang melihat bahwa
antara ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam harus bergandengan tangan.
Ilmu pengetahuan adalah hasil teoresasi terhadap gejala-gejala alam
dengan mengunakan metode dan pendekatan ilmiah. Sedangkan ajaran Islam juga
hasil Ijtihad terhadap ayat-ayat Allah yang terdapat didalam Al-Qur’an dan
Al-Sunnah. Ayat-ayat Allah yang terdapat di jagat raya berasal dari Allah.
Demikian pula ajaran agama juga berdasarkan pada ayat-ayat Allah. Dengan
demikian antara keduanya adalah ayat-ayat Allah. Satu dan lainnya bearsal dari
satu kesatuan (tauhid).
Perbedaan di antara mereka yang berbeda pendapat itu hanya pada
soal pendekatan. Kelompok yang menganggap tidak perlu melakukan Islamisasi ilmu
pengetahuan, terkesan adanya sedikit rasa gengsi mengambil ilmu pengetahuan
dari barat dan kemudian mengislamkan. Bagi mereka bahwa Islam perlu memiliki
ilmu pengetahuan yang islami sebagaimana telah tercatat di zaman klasik. Namun,
caranya bukan dengan mengambil ilmu dari barat dan mengislamkan, melainkan
langsung saja membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
corak dan ajaran Islam.
Sementara itu bagi yang setuju membentuk Islamisasi ilmu
pengetahuan, bukan berarti tidak setuju engan membentuk ilmu pengetahuan dengan
corak Islam secara mandiri, melainkan bersamaan dengan itu tidak ada salahnya
apabila mengambil ilmu pengetahuan dari Barat lalu mengislamkannya, sebagaimana
halnya Barat juga pernah mengambil ilmu pengetahuan Islam di zaman klasik
dahulu, lalu menyesuaikn dengan ajarannya.
B.
Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Dalam hubungan ini terdapat sejumlah pendekatan yang dapat
digunakan yaitu:
Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan Islam sebagai
landasan penggunaan ilmu pengetahuan, tanpa mempersalahkan aspek ontologism dan
epistemlogi ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dan
teknologinya tidak dipermasalahkan, yang dipermasalahkan adalah orang yang
mempergunkannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan hanya
sebagai penerapan etika Islam dalam pemamfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria
pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata
lain, Islam hanya berlaku sebagai criteria etis diluar struktur ilmu
pengetahuan.
Kedua, islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan
cara memasukkan nilai-nilai islami kedalam konsep ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut. Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan tersebut tidak
netral, melainkan penuh muatan nilai-nilai yang dimasukkan oleh orang yang
merancangnya. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu
sendiri. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini antara lain dianut oleh Naquib
Al-Attas, Ziauddin Sardar, Deliar Noer, A.M. dan lain-lainnya.
Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui
penerpan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid bukan hanya dipahami
secar teo-centris, yaitu mempercayai dan meyakini adanya Tuhan dengan segala
sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya serta jauh dari sifat-sifat yang tidak sempurna,
melainkan yang melihat bahwa antara manusia dengan manusia lain, manusia dengan
alam, dan manusia dengan mahkluk ciptaan lainnya adalah merupakan satu kesatuan
yang saling membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan semua itu merupakan wujud
tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
Selanjutnya ilmu-ilmu alam (sains) yang bertumpu pada kajian
ayat-ayat yang ada di jagat raya menggunakan metode kajian ekperimen di
laboratorium dengan syarat-syarat dan langkah-langkahnya yang teruji oleh para
ahli. Melalui metode eksperimen ini maka dihasilkan ilmu-ilmu alam seperti
biologi, fisika, kedokteran, kehewanan, perhutanan, perairan dan ilmu sains
lainnya.
Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula dilakukan melalui inisiatif
sendiri melalui proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang dan
berkesinambungan. Dalam praktiknya tidak ada ilmu agama dan ilmu umum
disatukan, atau ilmu umum yang diislamkan lalu diajarkan kepada seseorang. Yang
terjadi adalah sejak kecil ke dalam diri seseorang sudah ditanamkan jiwa agama
yang kuat, praktik pengalaman tradisi keagamaan dan sebagainya. Setelah ittu
kepadanya diajarkan dasar-dasar ilmu agama yang kuat, diajarkan Al-Quran dengan
baik dari segi membaca maupun memahami isinya. Selain itu diajarkan pula
hubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya secara umum. Selanjutnya ia
mempelajari berbagai bidang ilmu dan keahlian dengan bidang yang diminatinya.
Kelima, Islamisasi ilmu pengetahuan juga dapat dilakukan dengan cara
melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu yang seolah-olah
memperhatikan perbedaan. Pandangan ini terlihat pada pemikiran Usep Fathuddin.
Ia misalnya mengatakan bahwa sejauh saya membaca bahwa semangat Islamisasi itu
didasari suatu anggapan tentang keilmuan dan Islam. Agama melihat problematika
dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksperimen dan
rasio manusia. Anggapan yang memperbesar jurang pemisah antara sains dan agama
yang dikembangkan Barat ini hingga sekarang belum tuntas diatasi oleh para
pakar Islam.
Keenam, Bahwa ilmu pengetahuan berbicara empiris sedangkan agama berbicara
yang ghaib. Namun demikian, Islamisasi disini mencoba mengaitkan atau
menghubungkan yang ghaib dengan ilmu-ilmu atau eksperimen dalam kehidupan
nyata. Sehingga ilmu tersebut tidak ada garis pemisah.
C.
Langkah-Langkah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan,
terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya,
islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali
diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan
erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.
Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah
mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi
satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini
menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama
kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan
tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya
yang berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan
kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa
perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur.
Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada
perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan
lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk
norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan
termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang
dikatakan berkembang.
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan
pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata,
melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka
istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah
Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski
istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw.
Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama
Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam
telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada
peluang untuk terjadinya perubahan.
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh
al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
A.
Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur
tersebut terdiri dari:
1.
Akal diandalkan untuk membimbing
kehidupan manusia.
2.
Bersikap dualistik terhadap realitas
dan kebenaran.
3.
Menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup sekuler.
4.
Membela doktrin humanism.
5.
Menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu
pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora.
Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga.
Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup
metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris
dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas
ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia,
rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta,
klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta
hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
B.
Memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih
unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut
yaitu:
1.
Konsep Agama (ad-din)
2.
Konsep Manusia (al-insan)
3.
Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan
al-ma’rifah)
4.
Konsep kearifan (al-hikmah)
5.
Konsep keadilan (al-‘adl)
6.
Konsep perbuatan yang benar
(al-‘amal)
7.
Konsep universitas (kulliyyah
jami’ah).
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam
dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan.
Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh
membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi
keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan,
keadilan, dan kekuatan iman.
Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar
pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan
pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur
metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu
(revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).
Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan
empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang
sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi
meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam
Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara
mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan
dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan
unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua,
memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya.
D.
Sejarah dan
Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan
A.
Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara substansial proses islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa
Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui
ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah
seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam
kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup
mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia.
Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan
ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Pada “zaman
pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim
seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain.
Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno
untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari
filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu,
islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau
dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah islamisasi
ilmu baru dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu
muslim pada tahun 70-an.
Dalam konteks modern, istilah "islamisasi ilmu" pertama
kali digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad
Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism"
(1978). Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung
dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling
besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern
telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu,
peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun
peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban
tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam
pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Naquib Al-Atas bercita-cita ingin menjadikan peradaban Islam
kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat
manusia. Karena itu, seluruh hidupnya ia persembahkan bagi upaya-upaya
revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi
dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini
kehidupan kaum Muslim sekarang ini.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of
man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition,
and then from secular control over his reason and his language.” (Islamisasi
adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme,
kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari
pengaruh sekularisme).
Gagasan Al-Attas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina
bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul
"Islamization of Knowledge", dalam rangka merespon gerakan di
Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah". Dia mengatakan bahwa
jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil
murni dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan
ekologi dan realitas sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi
dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu
sendiri. Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama tradisional
dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern
dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha
keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena
itu, dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan
menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan
nilai-nilai Islam.
Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi ilmu juga mendapatkan
kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, terutama para pemikir Muslim
kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam Soroush, Bassam
Tibbi dan sebagainya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa
diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan.
Permasalahannya hanya dalam hal penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu
pengetahuan memiliki dua fungsi ganda, seperti “senjata bermata dua” yang harus
digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab, sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya. Menurutnya, ilmu pengetahuan
sangat tergantung kepada cara menggunakannya. Jika orang yang menggunakannya
baik, maka ilmu itu akan berguna dan bermanfaat bagi orang banyak, tetapi jika
orang yang memakainya tidak baik, maka ilmu itu akan membawa kerusakan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis,
proses islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri,
yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan
ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga mendapatkan kritik di
sana-sini. Akan tetapi, gagasan islamisasi ilmu suatu “revolusi epistemologis”
yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya
dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular.
B.
Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
1.
Naquib al-Attas
Nama lengkap al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas yang
lahir di Jawa Barat, pada 5 september 1931. Pada usia 5 tahun al-Attas dibawa
ke Johor, Malaysia untuk dididik oleh saudara ayahnya Encik Ahmad kemudian
Ny.Azizah yaitu seorang mentri Besar Johor. Ketika penjajahan Jepang, al-Attas
pulang ke Sukabumi, Jawa Barat dan masuk pesantren al-Urwah al-Wusta, belajar
bahasa arab dan agama islam. Pada tahun 1946 Attas kembali ke malaysia, ia
masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern, English College, di Johor baru
dan kemudian masuk dinas militer di
Easton Hall, Chester, Inggris pada tahun 1952-1955. al-Attas keluar dari
kemiliteran dengan pangkat letnan karena ia lebih tertarik dengan dunia
akademik.
Pada tahun 1957-1959 al-Attas masuk ke University of Malay, Singapura
dengan fokus kajian pada teologi dan metafisika alam. al- Attas telah menulis
dua buah buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk
diantara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi karya
klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among the
Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada tahun
1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui
“Canada Counsel Fellowship” memberi al-Attas beasiswa untuk melanjutkan
studinya di McGill University, Kanada untuk kajian islamnya sampai memperoleh
gelar master pada tahun 1963, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang
berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.” Selanjutnya al-Attas menempuh program doktor
pada shool of Oriental and African Studies, Universitas London. Selama kurang
lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas
menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam
bidang filsafat islam dan kesusastraan melayu islam dengan disertasi yang
berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi tersebut
telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Al-Attas setelah kembali dari London mengabdi sebagai dosen di
University of Malay, Singapura. Pada tahun 1970 al-Attas termasuk dalam pendiri
Universitas Kebangsaan Malaysia, 2 tahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar dan diangkat sebagai dekan Fakultas Sastra
dan Kebudayaan Melayu di Perguruan Tinggi Malaysia tahun 1975. Pada tahun 1991
didirikannya ISTAC (The Internasional Institut of Islamic Thaught and
Civilization) al-Attas ditunjuk sebagai direkturnya. al-Attas memiliki 26 karya
yang terkenal dan juga mendapatkan beberapa penghargaan atas semangat dan
prestasi dalam pemikirannya.
2.
Ismail Raji al-Faruqi
Pada 1 januari 1921 di Jaffa, Palestina, Ismail Raji al-Faruqi
dilahirkan. Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak
1926 sampai 1936 yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya.
Kemudian al-Faruqi melanjutkan ke American University, Beirut jurusan Filsafat
dengan gelar BA (Bachelor of Arts) pada tahun 1941, pada umur 24 tahun
al-Faruqi bekerja sebagai pemerintahan (PNS) yang kemudian diangkat menjadi
gubernur di propinsi Galelia, Palestina. Tahun 1949 al-Faruqi mendapat gelar
master dalam bidang filsafat di Universitas Indiana. Pada tahun 1952 al-Faruqi
mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard dengan
desertasinya berjudul “On Justifying the Gos: Metaphysic and Epistemology of
Value”.
Pada tahun 1959, al-Faruqi pergi ke Mesir untuk memperdalam ilmu
keislaman di Universitas Al-azhar, Kairo kemudian mengajar di McGill, Kanada
dan akhirnya al-Faruqi kembali ke Amerika pada tahun 1963 dan mengajar di
Scholl of Devinity, Universitas Chicago. Pada tahun 1968, al-Faruqi menjadi
guru besar pemikiran dan kebudayaan islam pada Temple University, disini
al-Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies hingga akhir hanyatnya. Dalam
Zaenul (2002; 179) untuk mengenang jasa-jasa al-Faruqi maka, Organisasi
Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) berusaha mendirikan The Isma’il and
lamnya’ al-Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita
islamisasi ilmu pengetahuan yang telah dicetuskannya. Karya al-Faruqi menurut
Ensiklopedia Islam Indonesia ada 20 buku dan 100 artikel yang ditulisnya.
3.
Sayyed Hossein Nasr
Sains Islami menurut Nasr tidak akan dapat diperoleh kecuali dari
intelek yang bersifat Ilahiyah dan bukan akal manusia. Kedudukan intelek adalah
di hati, bukan di kepala, karena akal tidak lebih dari pantulan ruhaniyah.
Selama hierarki pengetahuan tetap dipertahankan dan tidak terganggu dalam Islam
dan scientia terus dibina dalam haribaan sapienta, beberapa pembatasan di
bidang fisik dapat diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan dan
keinsafan di bidang ruhani. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk mengakses
yang sakral dan ilmu pengetahuan sakral (scientiasacra) tetap sebagai jalan
kesatuan utama dengan realitas, dimana kebenaran dan kebahagiaan disatukan.
Untuk mewujudkan sains Islami, Nasr menggunakan perbandingan dengan
apa yang telah diraih Islam pada zaman keemasannya (zaman pertengahan). Menurutnya,
pada saat itu dengan teologi yang mendominasi sains, sains telah memperoleh
kecerahan dan dapat menyelamatkan umat dari sifat destruktif sains.
4.
Maurice Bucaille
Bucaille merupakan seorang dokter ahli bedah bangsa prancis yang
beralih menjadi spiritualis. Ia menjadi orang terkenal di dunia Islam dengan
diterbitkannya buku La Bible La Coran at La Science (The Bible, The Qur’an and
science/Bibel, Qur’an dan Sains Modern).
Bucaille mengawali pembahasan dari bukunya tersebut dengan menelaah
keoentikan teks suci al-Qur’an. Kemudian dia mengkonfrontasikannya dengan
Bibel, dan dia mengambil suatu kesimpulan akhir bahwa al-Qur’an dalam hal
keotentikan teksnya lebih mutawatir dibandingkan dengan Bibel. Sedangkan dalam
kaitannya dengan perkembangan sains di dunia kontemporer, metode yang
digunakannya cukup sederhana. Dengan merujuk beberapa ayat al-Qur’an dan juga
Bibel, dia mengaitkannya dengan sains modern, dengan faktailmiah yang telah
ditemukan. Dalam komparasi ini, kemudian dia juga mengambil suatu kesimpulan
bahwa al-Qur’an memiliki kesesuaian dengan fakta ilmiah sains modern, sementara
Bibel banyak kelemahan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses Islamisasi sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Banyak kita dapati ayat Al-Qur’an dan Hadits yang membicarakan tentang Mu’amalah, Sain, ekonomi, social, politik dan berbagai ilmu lainnya. Rasulullah mengubah pola pikir ilmu pengetahuan jahiliah menuju pengetahuan Islamiah. Sehingga Islam tidak hanya terpaku pada hal ibadah dan akidah saja. Tetapi mencakupi berbagai aspek kehidupan.
Pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali.
Pada abad kedua puluh Masehi, keadaan dunia ditandai oleh kemajuan yang dicapai oleh Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai implikasianya, yaitu berupa penjajahan mereka atas dunia Islam. Negara-negara yang dulunya masuk kedalam hegemmoni Islam seperti Spanyol,India,Sisilia, dan sebagainya sudah mulai lepas dari Islam dan berdiri sendiri sebagi Negara spenuhnya. Demikian pula Negara-negara yang secara ideologis sepenuhnya Islam sudah banyak yang menjadi jajahan bangsa-bangsa lain. Seperti Mesir,Turki, Indonesia, dan Malaysia.
Sekularisme yang dikembangkan oleh peradaban Barat membawa dampak yang kurang baik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Sekularisasi yang memisahkan agama dari politik serta penghapusan nilai-nilai agama dari kehidupan, tidak hanya bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi juga memutuskan ilmu dari pondasinya dan mengalihkan dari tujuan ilmu yang sebenarnya. Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan konsep yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu dan konsep Tuhan, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Pemasalahan ini tidak hanya untuk melawan sekuler di barat, tetapai juga untuk memberikan pemahan terhadap masyarakat awam atau masyarakat klasik bahwa adanya pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Perbedaan pemahaman ini telah banyak menimbulkan perpecahan internal Islam sendiri. Tetapi pada awalnya pemahaman ini juga dibawakan oleh bangsa Barat untuk menghancurkan kaum Islam.
Di Indonesia telah mereka tinggalkan pemahaman sekuler yang sangat berdarah daging oleh para penjajah Belanda untuk memudahkan mereka memasuki wilayah yang akan dijajahnya. Sekuler telah menyebabkan banyak perbedaan yang dapat mengahancurkan kekuatan Islam karena persatuan telah hancur. Dengan cara ini sangat memudahkan bangsa Non-Muslim memasuki Islam.
Dengan adanya Islamisasi pengetahuan akan dapat mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah, yaitu tanpa pemisahan antara ilmu agama dan ilmu politik, pemerintahan, ekonomi, social dan ilmu lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana Islamisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaiman langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan?
4. Bagaimana sejarah dan Siapa tokoh-tokoh Islamisasi ilmu pengetahuan?
C. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan.
2. Menjelask Islamisasi ilmu pengetahuan.
3. Menjelasan langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan.
4. Menjelaskan sejarah dan tokoh-tokoh Islamisasi ilmu pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
suatu proses pengembalian pemahaman yang antagonistik terhadap Islam dan ilmu
pengetahuan kepada pemahaman yang akomodatif antara Islam dan ilmu pengetahuan.
2.
Islamisasi bisa dilakukan dengan
enam cara.
3.
Langkah-langkah Islamisasi ilmu
pengetahuan menurut Al-Attas:
a.
Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat.
b.
Memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih
unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut.
4.
Tokoh-tokoh Islamisasi:
a.
Naquib al-Attas
b.
Ismail Raji al-Faruqi
c.
Sayyed Hossein Nasr
d.
Maurice Bucaille
B. Saran-Saran
1.
Makalah Metodelogi Study Islam ini diharapkan
menjadi masukan dan bahan tambahan dalam memahami perkara-perkara Islamisasi
Ilmu Pengetahuan. Penulis juga mengharapkan makalah ini dapat dikembangkan oleh
para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodelogi
Study Islam,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Amsal, Bakhtiar, Filsafat
ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu:
Persfektif Pemikian Islam, Malang: Bayu
Media, 2003.
Tes
BalasHapus