HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN SAINS DAN AGAMA (MAKALAH)



A.    Pengertian dan karakteristik sains
       Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman yang disusun dalam satu system untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.[1]

Ilmu pengetahuan itu ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu system mengenai hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.
Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu.
Ilmu alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana objeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapanpun dan dimana pun.
            Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbridge merumuskan bahwa sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. “Real Science is both product and process, inseparably Joint” (Agus. S. 2003 :11)
      Secara etimologis (asal-usul kata) filsafat berasal dari kata yunani philia (=love, cinta) dan sophia (=wisdom, kebijaksanaan). Jadi ditinjau dari pada arti etimologis istilah ini berarti cinta pada kebjaksanaan.[2]
Pengertian filsafat menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut :
1.      Plato (428-348 SM) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
2.      Aristoteles (384-322 SM) : bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
3.      Cicero (106-43 SM) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni”, ia juga mendefinisikan filsafat sebagai arts vitae (seni kehidupan).
4.      Johann Gotlich Fickte (1762-1814) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang menjadi dasar segla ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluuruh jenis ilmu mencari kebenaran dari sleuruh kenyataan.
5.      Paul Nartorp (1854-1924) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukkan dasar akhir yang sama, yaitu memikul sekaliannya.
6.      Imanuel Kant (1724-1804) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tecakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan ? jawabannya (metafisika)
Apakah yang seharusnya kita kerjakan ? jawabannya (etika)
Sampai dimanakah harapan kita ? jawabannya (agama)
Apakah yang dinamakan manusia ? jawabannnya (antropologi)


B.     Karakteristik umum sains
Ilmu pengetahuan mempunyai sifat, antara lain :
a.       Sistematik
b.      Konsisten (antara teori satu dengan yang lain tak bertentangan)
c.       Eksplisit (disepakati dapat secara universal, bukan hanya dikalangan kecil)
d.      Ilmiah, benar (pembuktian dengan metode ilmiah)
Disamping itu suatu ilmu pengetahuan mempunyai ciri lain yaitu :
a.       Bukan satu, melainkan banyak (plural)
b.      Bersifat terbuka (dapat dikritik)
c.       Berkaitan dalam memcahkan
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan yang tidak dapat diingkari meskipun oleh para ilmuan adalah bahwa ia tidak mengenal kata “kekal”. Apa yang dianggap salah dimasa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern. Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikategorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini terdapat psikologi yang membahs mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dalam redaksi lain dikatakan ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri umu yaitu :
a.       Objek ilmu pengetahuan adalah empiris
b.      Ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu mempunyai sistematika
c.       Ilmu dihasilkan dari pengatamatan, pengalaman studi dan pemikiran
d.      Sumber segala ilmu adalah Tuhan, karena Dia yang menciptakannya.
Fungsi ilmu adalah untuk keselamatan kebahagiaan, pengamanan manusia dari segala sesuatu yang menyulitkan.
Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang memadai ilmu, sebagaimana yang dikutip Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, yaitu :
1.      Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai keseluruhan yang secara logis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) maupu harus (susunan logis)
2.      Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggungjawab ilmuan
3.      Universalitas ilmu pengetahuan
4.      Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif
5.      Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan
6.      Progresifitas, artnya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sunguh, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi
7.      Kritis, artinya tidak ada teori ilmiah yang difinitif, setiap teori terbuka bagi setiap peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru
8.      Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis

C.    Hubungan filsafat dengan sains
            Filsafat sering disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dan berkembang dari filsafat. Sebelum ilmu pengetahuan lahir, filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Para filsuf Yunani Klasik seperti Demokritos sampai tiga serangkai guru dan murid yang sangat terkenal yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom, naluri, emosi, bilangan dan ilmu hitung (matematika), demokrasi, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, yang kemudian dikembangkan oleh fisika, biologi, kedokteran, matematika, biologi, ilmu budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.
            Lalu, setelah ilmu-ilmu pengetahuan melepaskan diri dari filsafat dan dengan tegas menyatakan kemandiriannya, bagaimana bentuk hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan kedudukan dan kegunaan filsafat selanjutnya? Kedudukan filsafat dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut.
1.      Tujuan filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu obyek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan, tetapi informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa dipertanggungjawabkan  bukan hanya secara rasional (logis), tetapi juga secara faktual (dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu, filsafat (harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak informasi atau teori-teori terbaru darinya, dan mengembangkannya secara filosofis. Inilah yang telah dilakukan misalnya oleh Bergson, Cassirer, Husserl, Foucault, dan para filsul modern serta kontemporer lainnya. Pemikiran filsafati yang dikembangkan oleh mereka sangat kaya dengan ilustrasi-ilustrasi yang berasal dari temuan-temuan ilmiah yang berkembang pada zamannya.
2.      Tujuan filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu obyek tetap dipertahankan. Hal ini pun dilakukan filsafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya, temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (dan juga ketuhanan), diberi kritik atau dikoreksi. Ingat misalnya, masalah kloning dan euthanasia. Filsafat memberikan evaluasi dan kritik terhadap dampak moral dan kemanusiaan  kedua masalah tersebut bagi hidup manusia.
3.      Filsafat pun melakukan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodologi ilmu pengetahuan. Ini misalnya dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan. Kritik filsafat atas cara kerja dan metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya menguntungkan, karena dapat menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan. Kajian positivisme Auguste Comte (1798-1857), neo-positivisme (positivisme logis), falsifikasionisme Karl Popper (1902-1994), dan bahkan fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkaya khazanah ilmu, khususnya ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan (humaniora). Kritik-kritik mereka terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora melahirkan paradigma-paradigma baru dalam ilmu sosial yakni yang bersifat humanistik dan kritis, di samping positivistik.
Filsafat mengajukan pertanyaan yang intinya dimaksudkan untuk mengetahui “apa” (essensi atau sifat dasar) dari suatu masalah, kejadian atau obyek, sedangkan ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan “bagaimana” (dinamika atau proses) dari suatu masalah atau obyek itu berjalan. Ilmu pengetahuan mengajukan pertanyaan mengenai kuantitas, baik dari jumlah obyek (frekuensi) maupun signifikasi pengaruh atau hubungan (taraf signifikansi). Meski sama-sama mengajukan pertanyaan mengenai “mengapa”, kedua disiplin itu berbeda sama sekali kedalamannya. Jawaban yang dituntut dalam ilmu pengetahuan untuk pertanyaan “mengapa” terbatas pada sejumlah variabel yang terukur, sehingga dapat dijawab melalui metode-metode empiris seperti eksperimen.
            Sedangkan, pertanyaan filsafat berkaitan dengan sebab-musabab yang terdalam (ultimate causation), sehingga jawabannya tidak dapat ditemukan melalui penggunaan metode-metode empiris. Misalnya, mengapa ada kehidupan jika pada akhirnya mendatangkan penderitaan? Mengapa yang ada itu ada? Mengapa saya hidup di dunia ini saat ini, bukan di kehidupan di abad-abad yang akan datang? Mengapa manusia memerlukan moralitas?
            Ruang lingkup masalah kedua disiplin ilmu itu pun berbeda. Filsafat tidak membatasi diri pada obyek-obyek atau masalah-masalah yang dapat dialami atau dibuktikan secara empiris, tetapi pada obyek-obyek atau masalah-masalah sejauh dapat dipikirkan secara rasional. Maka, ruang lingkup masalah filsafat bisa sangat luas, misalnya mengenai keberadaan Tuhan, jiwa, moralitas, dan lain-lain. Ini berbeda dengan ilmu pengetahuan. Obyek atau masalah ilmu pengetahuan adalah gejala-gejala yang dapat diobservasi dan dialami secara empiris, bahkan terukur secara kuantitatif.
            Fokus kajian filsafat bukan hanya pada fakta sebagaimana adanya tapi juga nilai, yaitu sesuatu yang seharusnya ada atau melekat pada fakta tersebut. Oleh sebab itu, banyak filsuf yang merasa tidak puas hanya dengan menggambarkan suatu obyek, keadaan, atau masalah apa adanya, melainkan secara kritis menjelaskan bagaimana seharusnya atau idealnya obyek, keadaan atau masalah tersebut. Atas dasar itu dapat dipahami kenapa sebagian filsuf bukan hanya memiliki keberpihakan pada nilai kebenaran, tetapi juga pada nilai kemanusiaan (humanisme); pada kelompok masyarakat tertindas (Marxisme dan teori kritis); dan lain-lain. Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan kurang memperma-salahkan nilai, karena fokusnya pada deskripsi dan penjelasan serta prediksi fakta atau gejala.
            Karena berbeda dalam pertanyaannya, ruang lingkup dan fokus kajian-kajiannya, maka metode kedua disiplin itu pun masing-masing memiliki perbedaan. Dalam filsafat tidak ada penelitian eksperimental atau studi korelasional, misalnya. Filsafat tidak mengukur dan membuktikan hubungan antarvariabel. Meski ada beragam metode dalam filsafat, tetapi ciri utamanya adalah rasional dan kritis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan menggunakan metode ilmiah, yang bukan hanya rasional, tetapi juga empiris, mengukur fakta-fakta dan saling hubungan antara fakta atau variabel yang satu dengan fakta atau variabel yang lain.
            Hasil atau produk filsafat dan ilmu pengetahuan berbeda karena metode dan area masalahnya pun berbeda. Hasil pemikiran filsafat berupa pemikiran-pemikiran filsafat yang isinya atau ruang lingkupnya berupa pemikiran-pemikiran filsafat yang isinya atau ruang lingkupnya relatif luas, kritis, intensif atau dalam. Sebaliknya, hasil ilmu pengetahuan adalah berupa teori-teori ilmu pengetahuan yang isinya relatif lebih detil dibandingkan pemikiran filsafat, tetapi relatif terbatas pada fakta-fakta empiris, atau gejala-gejala yang dianggap termasuk ke dalam populasi obyek yang diteliti oleh ilmu pengetahuan.

D.    Pengertian dan karakteristik agama
      Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.[3]
Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan gama. A berati ‘tidak’ dan gama berarti 'kacau'.
Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.
Pengertian agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari rahmat dan kasih Tuhan. Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya. Asal dari segala sesuatu. Pengasal yang tidak berasal. Penggerak yang tidak digerakkan.
Agama bisa dibedakan antara agama wahyu dan agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang dijadikan rujukan dan tuntunan tentang baik dan buruk. Sedangkan pada agama yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi.

E.     Karakteristik Agama Islam
a.      Agama yang Tauhid
Islam didasarkan pada tauhid (ke-esaan Tuhan. Kata tauhid adalah konsep dalam Islam yang mempertegas keesaan Allah, atau mengakui bahwa tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dzat, Sifat, dan Asma Allah. Tauhid dapat dipecah dalam 3 aspek, yakni bertauhid dalam kekuasaan Tuhan (rububiyyah), ibadah (uluhiyyah), dan dalam nama dan sifat Allah (Asma wa Sifat).
Rububiyyah memiliki arti mempercayai dan mengakui bahwa hanya Allah dengan menggunakan nama Rabb satu-satunya yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara serta menjaga seluruh Alam Semesta Uluhiyyah memiliki pengertian bahwa hanya kepada Allah setiap ibadah dialamatkan, dan hanya Allah semata yang layak disembah. Jadi, tauhid rububiyyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyyah. Asma wa Sifat memiliki pengertian bahwa sesuai nama dan sifat (karakteristik) Allah yang tercantum dalam Asmaul Husna adalah hanya berhak disandang oleh Allah itu sendiri dan kita wajib untuk meyakininya.
b.      Agama yang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Agama Islam mempunyai empat sendi yang kokoh yaitu tauhid (keesaan Tuhan), ibadah (shalat dan puasa serta haji), Muamalah (cinta sesama manusia, sosialis yang merata), dan akhlak (budi luhur manusia). Selain keempat sendi tersebut, Islam juga mewajibkan umatnya untuk “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”.Maksudnya, Islam menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf (baik) dan melarang dari yang munkar (buruk).
c.       Agama Rahmatan Lil’alamin
Islam itu rahmatan lil’alamin Maknanya ialah bahwa kehadiran Islam di dunia membawa rahmat, berkah, kedamaian, dan keadilan bagi seluruh umat manusia di dunia.
Ciri-ciri Islam sebagai rahmatan lil’alamin adalah sebagai berikut:
1.      Orang lain ikut menikmatinya.
2.      Orang lain merasakan faedahnya,
3.      Orang lain terangkat martabatnya,
4.      Siapapun sangat membutuhkannya,
5.      Tak satu pun orang merasa tidak terbantu olehnya.

d.      Agama yang Sempurna
            Agama Islam adalah agama yang sempurna. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana Islam mengatur segala aspek dari yang terkecil sampai yang terbesar dalam kehidupan manusia sehari-harinya dalam menjalani kehidupanya.Aturan-aturan yang Islam adakan bagi semua umatnya sangatlah mendetail, sehingga tidak memungkinkan untuk semua umatnya untuk terjadi kesalah pahaman, dan membuat umatnya berada di jalan yang diridhai oleh Allah SWT.Sesungguhnya semua perintah dari Allah yang tertera di Al Quran tidak ada yang merugikan, melainkan sangat membuat kita menjadi orang yang lebih baik dan mempertebal keimanan kita yang sangat penting untuk kita semua di akhirat nanti.
Kita wajib meyakini yang ada di dalam Al Quran, karena Al Quran adalah Al Furqon (pembeda), Al Huda (petunjuk), As Syifa (penawar), dan Adz Zikru (peringatan).
e.       Rukun Islam  &  Rukun Iman
Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk memegang Lima Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas. Tambahan dari Lima Rukun, hukum Islam (syariah) telah membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan.Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktikal seperti kehalalan, perbankan, jihad dan zakat.
Isi dari kelima Rukun Islam itu adalah:
1.      Mengucapkan dua kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah.
2.      Mendirikan salat wajib lima kali sehari.
3.      Berpuasa pada bulan Ramadan.
4.      Membayar zakat.
5.      Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu.
Muslim juga mempercayai Rukun Iman yang terdiri atas 6 perkara yaitu:
1.      Iman kepada Allah.
2.      Iman kepada malaikat Allah.
3.      Iman kepada Kitab Allāh (Al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur dan suhuf).
4.      Iman kepada nabi dan rasul Allah.
5.      Iman kepada hari kiamat.
6.      Iman kepada qada dan qadar.

F.     Hubungan Filsafat dengan Agama
Ada beberapa asumsi berkaitan dengan jalinan filsafat dengan agama. Asumsi itu didasarkan pada anggapan manusia sebagai makhluk budaya. Asumsi pertama, sebagai makhluk budaya manusia mampu berspekulasi dan berteori filsafat yang akan menentukan kebudayaannya, bahkan sampai sadar dan jujur mengakui kenyataan Tuhan dan ajaran agama.
Asumsi kedua dinyatakan oleh Dewey dengan pikiran meliorisme-nya. Maksud pemikirannya adalah: dunia ini diciptakan oleh Tuhan sebagai suatu potensi yang dapat diperbaiki, diperindah dan diperkaya, sehingga hidup dan penghidupan ini bisa lebih ditingkatkan nilai harganya untuk dihidupi dan dinikmati. Secara ringkas bisa dijelaskan hubungan agama dengan filsafat sebagai berikut:
1.      agama adalah unsur mutlak dan sumber kebudayaan, sedangkan filsafat adalah salah satu unsur kebudayaan;
2.      agama adalah ciptanya Tuhan, sedangkan filsafat hasil spekulasi manusia;
3.      agama adalah sumber-sumber asumsi dari filsafat dan ilmu pengetahuan (science), dengan filsafat menguji asumsi-asumsi science;
4.      agama mendahulukan kepercayaan daripada pemikiran, sedangkan filsafat mempercayakan sepenuhnya kekuatan daya pemikiran;
5.      agama mempercayai akan adanya kebenaran dan kenyataan dogma-dogma agama, sedangkan filsafat tidak mengakui dogma-dogma sebagai kenyataan tentang kebenaran.
Dengan memperhatikan spesifikasi dan sifat-sifat di atas, tampak jelas bahwa peran agama terhadap filsafat ialah meluruskan filsafat yang spekulatif kepada kebenaran mutlak yang ada pada agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama ialah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan pemikiran yang kritis dan logis. Hal ini didukung pernyataan yang menyatakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan agama, malahan filsafat yang sejati itu adalah terkandung dalam agama (Hamzah Abbas, 1981: 29).
Baik ilmu, filsafat maupun agama bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan satu hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenarantentang alam dan manusia Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula dengan agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan.[4]

            Jalinan Filsafat, Agama, dan Sains
Sejarah umat manusia sesungguhnya tidak pernah lepas dari usaha pencarian Tuhan. Umat manusia melakukan pencarian demi pencarian Tuhan yang sebenarnya. Bagi sebagian orang, agama memang menjadi jawaban. Namun demikian, sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam, dunia telah diramaikan oleh para filsuf yang selalu terlibat dalam pembicaraan ketuhanan (teologi), bahkan dalam wacana tentang asal-usul alam semesta (ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi).
Manusia menjalani liku-liku perjalanan dalam upaya mencari Tuhan. Sebagian besar dari mereka benar-benar menemukan Tuhan. Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam impian yang tak jelas ketika mencoba memaksakan diri untuk menjangkau hakekat Tuhan yang sesungguhnya. Mereka terlalu jauh mengembara di belantara metafisisme, sehingga tak sedikit yang masuk ke dalam perangkap skeptisisme, bahkan ateisme. Dalam konteks agama sikap ini tentu saja kontraproduktif, sekaligus kontraproduktif dengan semangat keagamaan yang selalu memerintahkan manusia untuk memikirkan hal-hal yang indrawi dan rasional ketika berbicara tentang eksistensi, bukan esensi Tuhan sebagai Pencipta.
Namun demikian, konstribusi filsafat dan ilmu dalam mengantarkan keimanan kepada Tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batas tertentu, filsafat dan ilmu bisa mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi dan kekuasaan Tuhan yang telah banyak diungkap oleh agama.

1.      Titik Persamaan
            Baik ilmu, filsafat, maupun agama bertujuan sekurang-kurangnya sama-sama mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri, mencari kebenaran tentang alam, termasuk tentang manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan, yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena di luar atau di atas jangkauannya. Agama dengan karakteristiknya sendiri pula memberikan jawaban atas segala persoalan mendasar yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, tentang manusia maupun tentang Tuhan.

2.      Titik Perbedaan
            Baik ilmu maupun filsafat, keduanya merupakan hasil dari akal budi atau rasio manusia. Sedangkan agama bersumberkan dari wahyu Allah.
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset), pengalaman (empiris), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menulangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar), integral (menyeluruh) dan universal (alami atau mengalam) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Filsafat itu ialah rekaman petualangan jiwa dalam kosmos.
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimen). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat, keduanya nisbi (relatif). Sedangkan
kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna. Baik ilmu maupun filsafat, keduanya berangkat dari sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama mulai dengan sikap percaya atau beriman.

3.      Persamaan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama
Yang paling pokok persamaan dari ketiga bagian ini adalah sama-sama bertujuan mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan melalui metode ilmiahnya berupaya untuk mencari kebenaran. Metode ilmiah yang digunakan dengan cara melakukan penyelidikan atau riset untuk membuktikan atau mencari kebenaran tersebut. Filsafat dengan caranya tersendiri berusaha menemukan hakikat sesuatu baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Sementara agama, dengan karakteristiknya tersendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi tentang alam, manusia, dan Tuhan.

4.      Perbedaan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama
Terdapat perbedaan yang mencolok antara ketiga aspek tersebut, di mana ilmu dan filsafat bersumber dari akal budi atau rasio manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Tuhan. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dangan cara penyelidikan (riset), pengalaman (empiri), dan percobaan (eksperimen). Filsafat menemukan kebenaran atau kebijakan dengan cara penggunaan akal budi atau rasio yang dilakukan secara mendalam, menyeluruh, dan universal. Kebenaran yang diperoleh atau ditemukan oleh filsafat adalah murni hasil pemikiran (logika) manusia, dengan cara perenungan (berpikir) yang mendalam (radikal) tentang hakikat segala sesuatu (metafisika). Sedangkan agama mengajarkan kebenaran atau memberi jawaban tentang berbagai masalah asasi melalui wahyu atau kitab suci yang berupa firman Tuhan.
Kebenaran yang diperoleh melalui ilmu pengetahuan dengan cara penyelidikan tersebut adalah kebenaran positif, yaitu kebenaran yang masih berlaku sampai dengan ditemukan kebenaran atau teori yang lebih kuat dalilnya atau alasannya. Kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif, berupa dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimen. Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat, keduanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena ajaran agama adalah wahyu yang diturunkan oleh yang maha benar, yang maha mutlak.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Secara etimologis (asal-usul kata) filsafat berasal dari kata yunani philia (=love, cinta) dan sophia (=wisdom, kebijaksanaan). Jadi ditinjau dari pada arti etimologis istilah ini berarti cinta pada kebjaksanaan.
            Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman yang disusun dalam satu system untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.
            Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
            Baik ilmu, filsafat, maupun agama juga mempunyai hubungan lain. Yaitu ketiganya dapat digunakan untuk memecahkan masalah pada manusia. Karena setiap masalah yang di hadapi hadapi oleh manusia sangat bermcam-macam. Ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan agama seperti contohnya cara kerja mesin yang dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Ilmu dan filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.

B.     Saran
            Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khasanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua. Dalam pembuatan makalah pasti ada kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Filsafat Barat. 2011. Jakarta: Rajawali Pers
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat, dan Agama. 1979. Jakarta: Bulan Bintang
Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi. 2011. Jakarta: PT Bumi Aksara
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua.
Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung :   Rosdakarya, 1994.
H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986.







[1]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, 1979, Jakarta: Bulan Bintang, hal: 15
[2] Zainal Abidin, Filsafat Barat, 2011, Jakarta: Rajawali Pers, hal 9
[4] Op. cit, Endang Saifuddin Anshari, hal: 59

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Sponsor

Close Button
CLOSE ADS
CLOSE ADS