BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal Mula
Penerjemahan Al-Qur’an
Terjemah berasal dari bahasa Arab, tarjamah
atau turjumah, yang berarti (a) menyampaikan perkataan kepada orang yang
belum mengetahuinya, (b) menjelaskan perkataan dengan bahasa aslinya, (c)
menjelaskan perkataan dengan bahasa lain, (d) mengalihkan bahasa satu kepada
bahasa lain. Tetapi secara kebiasaan terjemah biasa dipahami dengan makna yang
keempat yakni mengalihkan bahasa satu ke bahasa lain. Dengan demikian, terjemah
secara terminologi dapat didefinisikan dengan, mengungkapkan makna sebuah perkataan dari bahasa
asal ke bahasa lain dengan tetap memerhatikan semua makna dan maksud yang
terkandung dalam bahasa asalnya.[1]
Syarat penerjemahan yang benar ialah
mendekati makna asalnya dengan sempurna. Terjemah ialah menjelaskan apa yang
diinginkan oleh kalimat dalam bahasa asalnya, bahkan detail-detail teks
aslinya, untuk dialihbahasakan ke dalam teks penerjemah.
Dibandingkan dengan menerjemahkan
teks-teks lainnya, menerjemahkan teks al-Qur’an sangat sulit karena nilai
mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi kesalahan
dalam terjemahan-terjemahan al-Qur’an.
Pada dasarnya terjemah (tarjamah) memiliki dua bentuk yang berbeda,
terjemah harfiyah dan terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah).
Terjemah harfiyah adalah mengubah pembicaraan atau perkataan atau
kalimat dari satu bahasa ke bahasa yang lain secara leterlek, dengan tetap memerhatikan struktur bahasa asal.
Sedangkan terjemah tafsiriyah adalah menerjemahkan pembicaraan atau
perkataan atau kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain tidaqk secara leterlek,
tanpa terikat dengan struktur bahasa asal.[2]
Terjemah bisa dibedakan menjadi dua model; model terjemah harfiyah
dan terjemah tafsiriyah. Terjemah harfiyah dibagi dua macam yaitu
terjemah harfiyah yang sangat leterlek, ketat dan apa adanya, dan model
terjemah harfiyah yang meskipun leterlek, tetapi sangat tergantung
kemampuan bahasa sang penerjemah.[3]
Untuk mendapatkan penjelasan secara komprehensif berikut akan diterangkan satu
per satu.
1. Terjemah harfiyah yang leterlek dan
ketat, di mana bahasa penerjemahan sama persis susunannya dan strukturnya
dengan bahasa asal, letak kata per katanya pun sama, juga uslubnya juga
sama, keindahan balaghanya juga sama. Terjemah harfiyah jenis ini
jelas tidak mungkin dilakukan untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an
diturunkan Allah Swt. Untuk dua tujuan:
a. Al-Qur’an sebagai tanda dan bukti kebenaran
Nabi Muhammad Saw. dan apa yang disampaikannya adalah dari Allah Swt. Ini
adalah keberadaan dan fungsi Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang dapat melemahkan
para penentangnya. Dan ini artinya tidak bisa dihadirkan oleh manusia, meski
manusia bekerja sama dengan jin sekali pun.
b. Al-Qur’an diturunkan Allah Swt. sebagai hidayah
bagi kebaikan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Terkait dengan tujuan yang pertama di atas, di mana Al-Qur’an sebagai
mu’jizat dan pembenar ajaran yang di bawah Nabi Saw., maka jelas bahwa
Al-Qur’an tidak bisa dihadirkan terjemahnya yang sama persis. Karena
kemu’jizatan Al-Qur’an tidak terlepas dari konteks keindahan balaghah
dan uslub Al-Qur’an yang berbahasa Arab, yang tentu ini berarti
menyangkut spesifikasi bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan Al-Qur’an.
Spesifikasi ini tentu tidak akan sama dengan spesifikasi bahasa lainnya. Meski
mungkin bahasa lain itu memiliki keindahan balaghahnya sendiri, tetapi
tidak akan sama dengan keindahan dan keelokan bahasa yang digunakan Al-Qur’an.
Jika Al-Qur’an diterjemahkan secara harfiyah, secara leterlek
sekali, maka akan hilang keistimewaan balaghah Al-Qur’annya, dan akan
menurunkan derajat bahasa Al-Qur’an yang penuh mu’jizat menjadi sekadar bahasa
yang dalam jangkauan akal manusia. Dengan demikian, tujuan diturunkannya
Al-Qur’an sebagai mu’jizat menjadi terhalang.[4]
Sedangkan tujuan kedua, turunnya Al-Qur’an menjadi hidayah bagi hidup
manusia. Agar hidayah bisa sampai kepada manusia maka Al-Qur’an harus
dimengerti maksud dan kandungannya. Karena itu perlu dilakukan pengambilan dan
penetapan hukum (istinbath al-ahkam), mencari petunjuk (irsyadat)
dari Al-Qur’an. Dalam melakukan proses penetapan hukum dan mengambil
petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an ini, biasanya para mutajahid tidak hanya
berpegangan pada makna harfiyah, tetapi juga acapkali menggunakan
makna-makna kedua, seperti makna dilalah an-nash, isyarah an-nash
dan seterusnya. Sedangkan penerjemahan harfiyah
secara leterlek akan menghilangkan makna kedua yang sangat penting digunakan
untuk memahami kandungan Al-Qur’an itu. Dengan demikian, terjemah harfiyah yang
leterlek dan ketat akan menyebabkan fungsi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk
dapat menjadi terhalang.
2. Terjemah harfiyah yang meski leterlek,
tetapi lebih tergantung pada kemampuan bahasa sang penerjemah. Penerjemahan
jenis ini, meski dibenarkan untuk diguanakan pada umumnya, tetapi tidak
dibenarkan untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Karena akan membahayakn dan dapat
merusak struktur bahasa Al-Qur’an dan bisa merendahkan kewibawaannya.
Kedua jenis terjemah harfiyah
di atas, tidak bisa dikatakan sebagai tafsir Al-Qur’an kepada selain bahasa
Arab. Karena, terjemah harfiyah yang leterlek dan sangat ketat, jelas tidak
mungkin dilakukan. Sementara terjemah harfiyah yang meski leterlek,
tetapi tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah, juga adalah penerjemahan
yang tidak dibenarkan dilakukan terhadap Al-Qur’an.
3.
Sementara model
terjemah yang ketiga adalah terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah),
yakni menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, dengan memahami makna
bahasa asal, lalu mengungkapkannya kembali dalam bahasa terjemahan, sesuai
dengan susunan, struktur dan uslub bahasa yang digunakan untuk
menerjemahkan.
Terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah)
bisa dilakukan terhadap Al-Qur’an. Dan bagaimana para ulama sepakat
memperbolehkan kegiatan penafsiran Al-Qur’an, maka para ulama juga sepakat
memperbolehkan kegiatan menerjemahkan Al-Qur’an secara tafsiriyah.[5]
B.
Metode
Terjemahan
Penerjemahan dapat dilakukan melalui
tiga metode, metode tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;
1.
Penerjemahan
tekstual
Adalah
menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa
penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah
hingga akhir.
Terjemahan
seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan
kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak mudah.
Kebanyakan penerjemah, karena alasan ini, mengalami banyak kesulitan. Selain
itu, dalam banyak kasus, terjemahan-terjemahan seperti ini tidak bisa
menjelaskan makna dengan sempurna. Hal ini disebabkan oleh ketidaksepadanan
makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata bahasa penerjemah.
2.
Penerjemahan bebas
Dalam metode ini, penerjemah berusaha
memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain. Tujuannya adalah
mencerminkan makna awal dengan sempurna. Maksud dari kalimat awal bisa
diartikan tanpa harus mengurangi makna dengan sedapat mungkin menyesuaikan
dengan makna dalam bahasa terjemah. Terjemahan ini disebut dengan terjemahan
maknawi karena usahanya tercurah untuk mengalihbahasakan
pengertian-pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya. Terjemahan seperti
ini, selama tidak merusak makna tidak harus mengikuti susunan kata dalam teks
aslinya.
3.
Penerjemahan dengan metode penafsiran
Penerjemahan dengan metode tekstual sama
sekali tidak bagus karena tidak mungkin digunakan dalam pembahasan panjang dan
buku-buku ilmiah. Demikian juga dengan penerjemahan dengan metode penafsiran
yang keluar dari batas, juga tidak dianggap sebagai terjemahan yang baik. Penerjemahan
yang bagus adalah penerjemahan bebas. Sejak dahulu hingga kini
terjemahan-terjemahan Al-Qur’an, jika tidak diterjemahkan secara tekstual, maka
diterjemahkan dengan metode penafsiran.[6]
C.
Hukum Penerjemahan Al-Qur’an
Hukum Terjemah
Harfiyah
Atas dasar pertimbangan di atas maka
tidak seorang pun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan Qur’an dengan
terjemah harfiyah. Sebab Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, merupakan mukjizat dengan lafaz dan maknanya, serta membacanya
dipandang sebagai suatu ibadah. Di samping itu, tidak seorang manusia pun
berpendapat, kalimat-kalimat Qur’an itu jika diterjemahkan, dinamakan pula
Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan Qur’an yang kita baca
dalam bahasa Arab, dan kemukjizatan pun tidak akan terjadi dengan terjemahan,
karena kemukjizatan itu hanya khusus bagi Qur’an yang diturunkan dalam bahasa
arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah dengan membacanya ialah Qur’an
berbahasa arab yang jelas, berikut lafaz-lafaz, huruf-huruf dan tertib
kata-katanya. Dengan demikian, penerjemah Qur’an dengan terjemah harfiyah,
betapapun penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan
kalimatnya, dipandang telah menurunkan Qur’an dari keadaannya sebagai Qur’an.
Hukum Terjemah
Maknawiyah
Menerjemahkan makna-makna sanawi
Qur’an bukanlah hal mudah, sebab tidak terdapat satu bahasapun yang sesuai
dengan bahasa Arab dalam dan ( petunjuk ) lafaz-lafaznya dan makna-makanya oleh
ahli ilmu bayan dinamakan khawassut-tarkib,
(karakteristik susunan).
Hal demikian tidak mudah didakwahkan seseorang. Dan itulah yang dimaksudkan
dengan zamakhsyari’. Dalam pernyataan diatas. Segi-segi balaghah Qur’an
dalam lafaz dan sususan baik nakhirah dan makhrifahnya taqdim
dan ta’khirnya disebutkan dengan dihilangkan maupun hal-hal lain adalah
yang menjadi keunggulan bahasa Qur’an, dan ini mempunyai pengaruh tersendiri
terhadap jiwa.
Adapun makna-makna asli, dapat
dipindahkan ke dalam bahasa lain. Kemudian ia menjelaskan, menerjemahkan Qur’an
dengan cara pertama, yakni dengan memperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari
segi inilah dibenarkan menafsirkan Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada
kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk mengetahui
makna-maknanya. Cara demikian diperbolehkan berdasarkan konsensus ulama islam.
Dan konsesus ini menjadi hujjah bagi dibernarkannya penerjemahan makna asli
Qur’an.
Namun demikian, terjemahan
makna-makna asli itu tidak terlepas dari kerusakan karena satu buah lafaz di
dalam Qur’an terkadang mempunyai dua makna atau lebih yang diberikan oleh ayat.
Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya meletakkan satu lafaz
yang hanya menunjukkan satu makna, karena ia tidak mendapatkan lafaz serupa
dengan lafaz arab yang dapat memberikan lebih dari satu makna itu.
Terkadang Qur’an menggunakan sebuah
lafaz dalam pengertian majaz (kiasan), maka dalam hal demikian penerjemah hanya
mendatangkan satu lafaz yang sama dengan lafaz arab dimaksud dalam
perngertiannya yang hakiki. Karena hal ini dan hal lain maka terjadilah banyak
kesalahan dalam penerjemahan makna-makna Qur’an . sebagian ulama membatasi
kebolehan penerjemahan seperti itu dengan kadar darurat dalam menyampaikan
dakwah. Yaitu yang berkenan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah, tidak lebih
dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuannya, diperintahkan
untuk mempelajari bahasa Arab.[7]
D. Syarat-syarat orang yang menerjemahkan
Al-Qur’an
1. Penerjemah Al-Qur’an adalah seorang Muslim,
maka penerjemah non-Muslim tidak dibenarkan menerjemahkan Al-Qur’an, karena ia
tidak beriman pada kebenaran Al-Qur’an dan kebenaran Islam
2. Penerjemahan Al-Qur’an adalah orang yang
adalah (adil) dan tsiqah (bisa dipercaya). Orang yang fasiq tidak dibenarkan
menerjemahkan Al-Qur’an
3. Penerjemah adalah orang yang menguasai dan
mahir dalam bahasa penerjemahannya, memiliki pengetahuan luas akan pernik-penik
bahasa tersebut.[8]
E. Pentingnya Terjemahan Al-Qur’an
Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain dengan
tujuan mengenalkan bahasa Arab dan hakikat pengetahuan Qurani kepada
bangsa-bangsa asing harus menjadi salah satu alasan keharusan berdakwah. Hingga
saat ini tak ada satupun ulama yang melarang penerjemahan Al-Qur’an ke dalam
bahasa-bahasa lain. Tujuannya adalah berdakwah tentang agama Islam dan
memperkenalkan syari’at dan hakikat Al-Qur’an pada semua orang.
Penerjemahan
Al-Qur’an sejak dulu hingga sekarang sudah menjadi bagian sejarah yang digeluti
para ilmuwan muslim bahkan non muslim. Meskipun Al-Qur’an bukan untuk bangsa
Arab saja, tidak ada paksaan bagi bangsa-bangsa lain selain Arab untuk belajar
bahasa Arab. Meskipun mereka mau belajar hal itu adalah suatu keutamaan.
Oleh karena itu
Al-Qur’an sangat perlu diterjemahkan ke semua bahasa-bahasa dunia untuk bisa
mereka miliki agar mengambil manfaat dari Al-Qur’an secara langsung. Tentunya
pekerjaan ini harus mendapat bimbingan orang-orang ahli dan sholeh.[9]
Tags:
MAKALAH