BAB II
PEMBAHASAN
A.
Imam
Bukhari (194 H-256 H)
1.
Nama Lengkap dan Tanggal Kelahirannya
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al Ju’fi (al-Ja’fai)
al-Bukhari adalah ulama hadits yang sangat masyhur, kelahiran Bukhara, suatu
kota di Uzbekistan, wilayah Uni Sovyet, yang merupakan simpang jalan antara
Rusia, Persi, Hindia dan Tiongkok. Beliau dilahirkan selesai salat Jum’at, pada
tanggal 13 Syawwal 194 H. Lebih dikenal dengan nama Al-Bukhari.
2.
Sejarahnya
dalam Ilmu Hadits
Bukhari
mulai mempelajari Hadis sejak usianya masih muda sekali, bahkan sebelum
mencapai usia 10 tahun. Meskipun usianya masih sangat muda, dia memiliki
kecerdasan dan kemampuan menghafal yang luar biasa. Muhammad bin Abi Hatim
menyatakan bahwa dia pernah mendengar Bukhari menceritakan bahwa dia
mendapatkan ilham untuk mampu menghafal Hadits. Ketika ditanya sejak usia
berapa dia memperoleh ilham tersebut, dijawab oleh Bukhari sejak berumur 10
tahun atau bahkan kurang dari itu. Menjelang usia 16 tahun dia telah mampu
menghafal sejumlah buku hasil karya Ulama terkenal pada masa sebelumnya, seperti
Ibn al-Mubarak, Waki’, dan lainnya. Dia tidak hanya menghafal Hadits-hadits dan
karya para Ulama terdahulu saja, tetapi juga mempelajari dan menguasai biografi
dari seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan setiap Hadits yang
dihafalnya, mulai dari tanggal dan tempat lahir mereka, juga tanggal dan tempat
mereka meninggal dunia, dan sebagainya.[3]
Dalam rangka memperoleh informasi yang
lengkap mengenai suatu Hadits, baik matan
maupun sanadnya, Bukhari banyak
melakukan perlawatan ke berbagai daerah, seperti ke Syam, Mesir, dan Al-Jazair,
masing-masing al-Nabawi di Madinah. Imam Bukhari mulanya mengarang ketika
beliau pergi ke Madinah, beliau banyak bermusafir mencari hadits di merata-rata
tempat dan mendapat hadits lebih dari 1000 orang guru dan menghafal lebih dari
100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih serta menghabiskan
waktu selama 16 tahun untuk menulis kitab Shahih, sewaktu berada di Mekah dan
menyelesaikannya waktu berada di Masjid Nabawi Madinah.[4]
Disela-sela kesibukannya sebagai ulama
dan pakar hadits, Bukhari juga seorang yang ahli dalam Fiqh, bahkan tidak lupa
dengan kegiatan-kegiatan olahraga dan rekreatif, seperti belajar memanah sampai
mahir. Menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah, kecuali
dua kali.[5]
Kebesaran akan keilmuan Imam Bukhari
diakui dan dikagumi sampai ke seantero dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal
Imam Muslim, seorang ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari dan menerbitkan
kitab Shahih Muslim, kedatangan Imam
Bukhari pada tahun 250 H disambut meriah. Ia juga disambut oleh guru-gurunya,
Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab Shahih
Muslim, Imam Muslim menulis, “Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya
tidak melihat kepala daerah, para ulama, dan warga kota memberikan sambutan
luar biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari.”[6]
Bukhari sangat selektif dalam menerima
Hadits, terutama ketika akan memasukkannya kedalam kitab Jami’-nya tersebut. Dia hanya memasukkan Hadis-hadits Shahih saja ke dalam kitabnya itu,
bahkan dalam rangka kehati-hatiannya dia terlebih dahulu mandi dan menunaikan
shalat dua rakaat sebelum menuliskan suatu Hadits ke dalam kitabnya tersebut.
Hal ini terlihat dari pernyataan Bukhari sendiri, sebagai berikut :
Ibrahim menceritakan,
“Saya mendengar dia (Bukhari) berkata, Saya tidak masukkan ke dalam kitab Shahihku
kecuali Hadits yang Shahih.”
Muhammad ibn Islma’il
al-Bukhari berkata, “Aku tidak akan memasukkan satu Hadits pun ke dalam kitabku
Al-shahih, kecuali
setelah aku mandi dan shalat dua rakaat sebelumnya.”
Bukhari
menetapkan syarat yang ketat dalam menerima suatu Hadits. Diantaranya
persyaratan yang disebutkan oleh Bukhari adalah :
-
Perawinya harus Muslim
-
Jujur dan berkata benar
-
Berakal sehat
-
Tidak mudallis
-
Tidak mukhtalith
-
Adil
-
Dhabith (kuat
hafalannya)
-
Sehat pancainderanya
-
Tidak ragu-ragu
-
Memiliki etika yang
baik dalam meriwayatkan Hadis
-
Sanad-nya
berasambung sampai ke Nabi SAW
-
Matan-nya
tidak syadz dan tidak mu’allalah
Mengenai persambungan sanad, Bukhari juga memberikan
pesyaratan yaitu selain berada pada suatu masa,
juga diperlukan adanya informasi yang positif tentang pertemuan antara
suatu perawi dengan perawi berikutnya, dan perawi berstatus murid benar-benar
mendengar langsung Hadits yang diriwayatkan dari gurunya.
Selain pengakuannya sendiri mengenai
kelebihan dan kewara’annya dalam penyeleksian Hadits, para Ulama dan kritikus
Hadits juga memberikan penilaian yang positif terhadap Bukhari. Diantaranya
Ahmad bin Hanbal melalui pernyataannya yang diungkapkan oleh anaknya. ‘Abd
Allah bin Hanbal yang mengatakan, “Aku mendengar ayahku mengatakan bahwa daya
hafal yang paling tinggi dimiliki oleh empat orang penduduk Khurasan, dan satu di
antaranya adalah Muhammad bin Isma’il ( Al-Bukhari).” Shalih bin Muhammad
al-Asadi berkomentar bahwa Muhammad bin Isma’il adalah orang yang paling
mengetahui tentang Hadits Nabi Saw.
3.
Karya-karyanya
Meskipun Hadits-hadits yang berhasil dikumpulkan
oleh Bukhari sangat banyak, yaitu 600.000 Hadits, yang didapatnya melalui
pertemuannya dengan sekitar 1.080 orang guru, hanya sebagian kecil yang
dimuatnya ke dalam kitab Shahih-nya.
Menurut penelitian Azami, ada sejumlah 9.082 Hadits yang dimuat Bukhari ke
dalam kitab Shahih-nya, dan apabila
dihitung tanpa memasukkan Hadits yang berulang, maka jumlahnya adalah 2.602
Hadits. Jumlah ini tidak termasuk di dalamnya Hadits Mawquf (perkataan sahabat) dan Hadits Maqthu’ (perkataan Tabi’in). Sedangkan menurut Ibn Shalah,
terdapat di dalam kitab Shahih al-Bukhari
tersebut sejumlah 7.275 Hadits yang sebagiannya disebutkan secara berulang
itu, namun apabila tidak dihitung yang disebutkan secara berulang itu, maka
jumlahnya adalah 4.000 Hadits, dan jumlah ini termasuk di dalamnya atsar Shahabat dan Tabi’in.
Imam Bukhari banyak menghasilkan
karya-karya, diantaranya : Al- Jami’ Ash-Shahih yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari, Al-Adab
Al-Mufrad, Adh-Dhu’afa Ash-Shaghir, At-Tarikh Ash-Shaghir, At-Tarikh Al-Ausath,
At-Tarikh Al-Kabir, At-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Mazaya Shahabah wa
Tabi’in, Kitab Al-Ilal, Raf’ul Yadain fi Ash-Shalah, Birr Al-Walidain, Kitab
Ad-Du’afa, Asami Ash-Shahabah, Al-Hibah, Khalq Af’al Al-Ibad. [7]
Di antara karya Imam Bukhari yang paling
terkenal adalah Al-Jami’ Ash-Shahih, yang
judul lengkapnya adalah Al-Jami’
Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtasar min Umar Rasul Allah wa Sunanih wa Ayyamih. Jumlah
hadis dalam kitab ini adalah 9.082 buah, bila tanpa yang diulang jumlahnya
2.602 buah. Jumlah ini tak termasuk hadis mauquf
dan ucapan para tabiin.
4.
Tanggal
Wafatnya
Imam
Bukhari meninggal di Khartand pada hari
Sabtu, tanggal 31 Agustus 870 M (256 H)
malam Idul Fitri, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas
shalat Dzuhur pada hari raya Idul Fitri.[8]
B.
Imam
Muslim (204 H-261 H)
1.
Nama
Lengkap dan Tanggal Kelahirannya
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi.
Dia lahir pada tahun 204 H. Beliau dinisbatkan kepada Nisabury karena beliau
adalah putra kelahiran nisabur, pada tahun 204 H. Yakni kota kecil di Iran
bagian Timur Laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qusyair bin Ka’ab
bin Rabi’ah bin Sha-sha’ah suatu keluarga bangsawan besar.
Tidak ditemukan literatur yang dapat
memberikan informasi tentang keluarganya dan kehidupan masa kecilnya. Namun
tidak diragukan bahwa dia memulai studinya dengan mempelajari Al-Quran dan bahasa
Arab, sebelum ia menuntut ilmu lainnya.[9]
2.
Sejarahnya
dalam Ilmu Hadits
Imam
Muslim rahimahullah, salah seorang muhadditsin, hafidh lagi terpercaya,
terkenal sebagai ulama yang gemar bepergian mencari hadits. Beliau kunjungi
kota Khurasan untuk berguru hadits kepada Yahya bin Yahya dan Is’haq bin
----Rahawaih.
Dia mulai mempelajari Hadits sejak tahun
218 saat berusia 16 tahun. Diawali dengan mempelajari Hadits dari guru-guru
yang ada di negerinya, selanjutnya melakukan perlawatan ke luar daerah. Perjalanan
pertamanya adalah ke Mekkah untuk melakukan ibadah Haji pada tahun 220 H. Dalam
perjalanan ini dia belajar dengan Qa’nabi dan Ulama lainnya. Pada tahun 230 H,
dia kembali melakukan perjalanan ke luar daerah ia pergi ke Irak, Hijaz, Siria,
dan Mesir.
Pada tahun 259 H dia pergi ke Baghdad
untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir
pada 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, ia sering datang kepadanya
untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Diantara para guru yang
ditemuinya dalam perjalanan lawatan ilmiahnya tersebut adalah Imam Bukhari,
Imam Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Zuhair ibn Harb, Sa’ib ibn Manshur,
Ibn Ma’in, dan lainnya yang jumlahnya mencapai ratusan orang.
Imam Muslim, sebagaimana halnya Imam
Bukhari, juga adalah seorang yang sangat ketat dalam menilai dan menyeleksi
Hadits-hadits yang diterimanya. Dia tidak begitu saja memasukkan hadis-hadis
yang diperolehnya dari para gurunya ke dalam kitab Shahih-nya. Dalam hal ini Imam Muslim mengatakan :
Saya
tidak meletakkan sesuatu ke dalam kitab (Shahih)-ku ini kecuali dengan menggunakan
hujjah (dalil, argumentasi), dan aku tidak menggugurkan (membuang) sesuatu pun
dari kitab itu kecuali dengan hujjah. (selanjutnya) dia berkata. “Tidaklah setiap (Hadits)
yang Shahih menurut pernilaianku aku masukkan ke dalam (Kitab Shahih-ku), sesungguhnya baru aku masukkan sesuatu
Hadits (ke dalamnya) apabila telah disepakati oleh para Ulama hadits atasnya.
Yang
dimaksud dengan ijma’ oleh Imam Muslim di atas adalah syarat-syarat ke-shahih-an suatu Hadits yang telah
disepakati oleh para Ulama Hadits.
Tentang persyaratan ke-shahih-an suatu Hadits, pada dasarnya Imam Muslim, sebagaimana halnya
Imam Bukhari, tidak menyebutkan secara eksplisit di dalam kitab Shahih-nya, namun para Ulama
menyimpulkan dan merumuskan persyaratan yang dikehendaki oleh Imam Muslim
berdasarkan metode dan cara dia menerima serta menyeleksi Hadits-hadits yang
diterimanya dan berbagai perawi dan selanjutnya memasukkannya ke dalam kitab Shahih-nya. Persyaratan tersebut pada
dasarnya tidak berbeda dari syarat-syarat ke-Shahih-an suatu hadis yang telah disepakati oleh para Ulama, yaitu
: sanad-nya bersambung, para
perawinya bersifat adil dan dhabith (kuat
hafalannya dan terpelihara catatannya), serta selamat dari syadz dan ‘illat. Dalam
memahami dan menerapkan persyaratan di atas, terdapat sedikit perbedaan antara
Imam Muslim dan Imam Bukhari, yaitu dalam masalah ittishal al-sanad (persambungan sanad).
Menurut Imam Muslim, persambungan sanad cukup dibuktikan melalui hidup semasa (al-mu’asharah) antara seorang guru
dengan muridnya, atau antara seorang perawi dengan perawi yang menyampaikan
riwayat kepadanya. Bukti bahwa keduanya pernah saling bertemu (al-liqadh), sebagaimana yang disyaratkan
oleh Imam Bukhari, tidaklah dituntut oleh Imam Muslim, karena menurut Imam
Muslim seorang perawi yang tsiqat tidak
akan mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu Hadits dari seseorang kecuali
dia telah mendengar langsung dari orang tersebut, dan dia tidak akan
meriwayatkan sesuatu dari orang yang didengarnya itu kucuali apa yang telah dia
dengar.[10]
3.
Karya-karyanya
Imam
Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, diantaranya : Al-Asma’wa al-Kuna, Ifrad al-Syamiyyin,
Al-Aqran, Al-Intifa’ bi Julud al-Siba’, Aulad al-Shahabah, Awham
al-Muhadditsin, Al-Tarikh, Al-Tamyiz, Al-Jami’, Hadits ‘Amr ibn Syu’aib,
Al-Shahih al-Musnad, dainl lain-lain.[11]
Di antara karya-karya tersebut, yang
termasyhur adalah Ash-Shahih, yang
berjudul lengkapnya adalah Al-Musnad
Ash-Shahih Al-Mukhtasar min As-sunan bi Naql Al-‘Adl ‘an Rasul Allah. Menurut
perhitungan M. Fuad ‘Abd Al-Baqi, kitab ini berisi 3.033 hadis.[12]
4.
Tanggal
wafatnya
Imam
Muslim meninggal dunia pada Minggu sore tanggal 25 bulan Rajab tahun 261 H (5
Mei 875 M) dalam usia 55 tahun dan dikebumikan pada hari Senin di kampung Nasr
Abad, Naisaburi.[13]
[1] Fatchur Rahman. Ikhtisar
Mushthalahul Hadits. Bandung: PT. Alma’arif. 1974. hlm. 376.
[2]Agus Solahudin. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia. 2008. hlm. 230.
[3] Nawir Yuslem. Ulumul Hadis. Jakarta:
Mutiara Sumber. 1998. hlm. 473.
[4] Damanhuri Basyir. Ulumul Hadits. Banda Aceh. 2000. hlm. 25-26.
[5]Agus Solahudin. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia. 2008. hlm. 232.
[6]Agus Solahudin. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia. 2008. hlm. 232.
[7]Agus Solahudin. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia. 2008. hlm. 233.
[8]Agus Solahudin. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia. 2008. hlm. 233
[9]Nawir Yuslem. Ulumul Hadis. Jakarta:
Mutiara Sumber. 1998. hlm. 479
[10] Nawir Yuslem. Ulumul Hadis. Jakarta:
Mutiara Sumber. 1998. hlm. 483
[11] Nawir Yuslem. Ulumul Hadis. Jakarta:
Mutiara Sumber. 1998. hlm. 480
[12] M. Agus Solahudin. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia. 2008. hlm. 235
[13] M. Agus Solahudin. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia. 2008. hlm. 235
Tags:
MAKALAH