Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Kamis, 27 Oktober 2016

Makalah Pengertian Metodologi Islam (Metodologi Pemahaman Islam)

Oktober 27, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya. Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kegunaan Metodologi
Sejak kedatangan islam pada abad ke-13 M. Hingga saat ini, fenomena pemahaman keislaman umat islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta sejalan dengan data data historis yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Kita meliahat bahwa Ilmu Fiqih misalnya pernah menjadi primadona dan mendapatkan perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian, segala masalah yang ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari paradigma Ilmu Fiqih. Ketika kepadanya ditanyakan tentang bagaimana caranya mengatasi masalah pelacuran misalnya, maka jawabannya adalah dengan cara memusnahkan tenpat-tempat pelacuran tersebut, karena dianggap tempat maksiat. Padahal dengan cara tersebut tidak akan memecahkan masalah, karena masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan yang memerlukan ketetapan hukumnya melainkan masalah ketenaga kerjaan , kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perokonomian, dan sebagainya, yang dalam cara mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.
Pada tahun berikutnya, pernah juga menjadi primadona masyarakat adalah ilmu kalam (Teologi), sehingga setiap masalah yang dihadapinya selalu dilihat dari paradigma Teologi. Lebih dari itu Teologi yang dipelajarinyapun hanya berpusat pada paham Asy’ari dan Maturidiah (Sunni), sedangkan paham lainnya dianggap paham sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog, keterbukaan, saling menghargai, dan sebagainya.
Setelah itu muncul juga paham keislaman bercorak tasauf yang sudah mengambil bentuk tarikat yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasauf ini, kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlaau mementingkan urusan akhirat, sedangkang urusan dunia terbengkalai. Akiat keadaan umat menjadi mundur dalam bidang kedunia, materi dan fasilitas hidup lainya.
Dari beberapa contoh pemahana keislaman di atas, kita dapat memperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai adanya pemahan Islam yang sudah utuh dan komprehensif, namun semua itu belum tersosialisasikan secara merata keseluruh masyarakat islam. Pemahaman islam baru diserap oleh sebagian sarjana yang secara kebetulan membaca karya-karya mereka dengan sikap terbuka.
Pemahaman keislaman tersebut jelas tidak membuat yang bersangkutan keluar dari islam dan daoat kita maklumi, karena sebagai akibat dari proses pengajaran islam yang belum tersusun secara sistematik dan belum disampaikan menurut prinsip, pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun, untuk kepentingan akademis dan untuk mebuat islam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hubungan ini Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.
Kita mengetahui bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Tetapi stagnasi dan masa bodoh itu lalu menjadi kebangkitan revolusioner yang multifaset dalam bidang sains, seni, sastra, dan semua wilayah hidup dan kehidupan manusia dan sosial. Revolusi yang mendadak dan energi yang meledak dalam pemikiran manusia itu menghasilkan peradaban dan kebudayaab dewasa ini. Kita harus bertanya pada diri kita mengapa orang mandeg sampai seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam wakru seribu tahun Eropa menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun. Mengapa keadaan terjadi, telah dicarikan jawaban oleh para ahli.
Al-syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandengan dan stagnasi dalam pemikiran, peradaban, dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat objek itu berubah, maka sains, masyarakat, dan dunia juga berubah, dan sebagai akibatnya kehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami pentingnya metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaissans.
Oleh karena itu, metode memiliki peranan yang sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran. Demikian pentingnya metodologi ini, Mukti Ali mengatakan bahwa yang menetukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang yang jenius, melainkan karena metode penilitian dan cara melihat sesuatu. Untuk itu kita dapat mengabil contoh yang terjadi pada abad keempat belas, lima belas, dan enam belas Masehi. Aristoteles (384-322 SM.) sudah barang tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626), dan Plato (366-347 SM.) adalah lebih jenius dari Roger Bacon (1214-1294). Pertanyaannya apakah penyebab yang menyebabjan dua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan menyebabkan stagnasi dan kemandegan? Dengan perkataan lain, mengapa orang-orang jenius menyebabkan kemandegan dan stagnasi di dunia, sengakan orang-orang yang biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dab kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya.
Selain itu penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Para lulusan Perguruan Tinggi Islam, khususnya pada jenjang strata 1 masih dinilai lemah dalam menguasai metodologi. Hal demikian terlihat pada saat yang bersangkutan menulis karya ilmiah secara skripsi.
Sementara itu kita mengetahui bahwa secara teoritis pada mahasiswa telah diberikan berbagai teori dan metode yang berkaitan dengan pemahaman dan pengembangan suatu ilmu , namun teori dan metode tersebut hanya sebagai pengetahuan dan bahan hafalan. Tak ubahnya dengan seseorang yang diajarkan teknik dan metode bermain bola yang baik mulai dari cara menendang, menyerang, bertahan, dan menggolkan. Namun sayang mereka tidak pernah diajak ke lapangan untuk bermain bola dan menerapkan teknik dan metode bermain bola tersebut. Demikian pula kita melihat para mahasiswa mempelajari usul fiqh yang didalamnya memuat kaidah dan metode dalam menetapkan suatu hukum, namun mahasiswa tidak pernah dilatih menetapkan suatu hukum, walaupun pada tingkat yang sederhana.
B.     Studi Islam
Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalah ini banyak dikemukan oleh para pemikir islam belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah hanya mendengar dakwah keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tersebut, menurut Amin Abdullah, pangkal otak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar dari kesukaran seorang agamawan untuk membedakan agama yang normativitas dan historisitas. Pada daratan normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk daratan historitas nampaknya tidaklah sah.
Pada daratan normativitas studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan hadist, maka islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagaimana agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subjektif, sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuhan dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat dikatakan sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu Keislaman atau Ilsam Studies.
Perbedaan dalam melihat islam yang seperti itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, islam merupaka agama yang dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah, sedangkan Islam ketika dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Selanjutnya, studi Islam sebagaimana dikemukakan di atas berbeda pula dengan apa yang disebut sebagai sains Islam. Sains Islam sebagaimana dikemukanan Hussein Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak abad Islam kedua, yang keadaanya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua hingga kesembilam Masehi, peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif dibandingkan peradaban mana pun di wilayah sains, dan sains Islam berada pada garda depan dalam kegiatan, mulai dari kedokteran sampai astronomi.
Dengan demikian saisn Islam mencangkup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun atas arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam dan dipraktikkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama dalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca Alquran, dan akhlak.
Dari tiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan agama, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Institut Agama Islam yang didalamnya diajarkan studi Islam yang meliputi Tafsir, Hadis, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam,  dan pendidikan Islam, kemudian muncul pula Universitas Islam yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa Islam yang disebut sains Islam.
C.     Metode Memahami Islam
Dalam buku berjudul Tentang Sosiologi islam, karya Ali Syariati, dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, ia mengatakan jika kita meninjau islam dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang sangat banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup jika kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Al-Quran sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Al-Quran. Para sarjana satra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Al-Quran yang menjadi bahan pemikiran bagi para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi Al-quran lainnya lagi yang belum dikenal ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiologis dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal karena sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda dibandingkan ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah yang merupakan ilmu termuda di dunia. Namun, yang dimaksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah identik dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam buku-buku tua.
Ali Syariati lebih lanjut mengatakan ada berbagai cara memahami islam. Salah satu cara ialah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama lain. Caranya ialah dengan mempelajari Al-Quran dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi ) lainnya. Dengan kata lain ini menggunakan metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekurangan yang terdapat di antara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingaan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan dan semacamnya. Hal ini biasanya sulit dilakukan oleh seseorang yang meyakini kebenaran suatu agama. Dalam dirinya masih terdapat pemihakan pada agama yang dianutnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang baru mau beragama.
            Ali Syariati juga menawarkan cara memahami islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat. Dan bahwa sebagai seorang intelek ia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya ia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Karena islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek, maka setiap orang dapat meemukan sudut pandangan yang paling tepat sesuai dengan bidangnya. Dengan kata lain Syariati mengajak kepada seluruh intelektual muslim dengan disiplin ilmu yang dimilikinya masing-masing agar digunakan untuk memahami ajaran islam dengan berpedoman pada Al-Quran. Para sosiolog, sebagaimana halnya Ali Syariati sendiri, sejarawan, budayawan, sastrawan dan sebagainya dapat menggunakan keahliannya untuk memahami ajaran islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah.
Kemudian Nasruddin Razak juga menawarkan metode memahami islam versinya, ia juga menawarkan metode secara menyeluruh. Menurutnya bahwa memahami islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Cara tersebut juga di tempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah pula. Untuk memahami islam secara benar ini, Nasruddin Razak mengusulkan empat cara.
            Pertama, islam harus dipelajari dari sumber yang asli yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kekeliruan memahami islam, karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan khurafat
            Kedua, islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat tidak secra sebagian saja. Memahami islam parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
            Ketiga, islam perlu dipelajari melalui kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar dan sarjana-sarjana islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-Quran dan Sunnah dengan pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari.
            Keempat, islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada di dalam Al-Quran, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada pada masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara islam yang berada pada dataran normatif teologis yang ada dalam Alquran dengan islam yang ada pada  dataran historis, sosiologis dan empiris. Kesalahan sementara orang mempelajari islam menurut Nasruddin Razak, ialah dengan jalan mempelajari kenyataan umat islam an sich, bukan agama islam yang dipelajarinya. Sikap konservatif sebagai golongan islam, keterbelakangan di bidang pendidikan, keawaman, kebodohan, disintegrasi dan kemiskinan masyarakat islam itulah yang dinilai sebagai islamnya sendiri. Mengambil kesimpulan tentang citra islam berdasarkan sampel yang tidak valid dan tidak representatif dapat menyebabkan wajah islam tampil kurang pas atau bahkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Untuk mencitrakan islam misalnya, mengapa tidak pula menyertakan sampel dari kalangan islam yang maju, berpendidikan tinggi, penuh kedamaian, memiliki kekayaan, dan sebagainya.
            Bagaimanapun juga, kajian yang bersifat empiris, historis dan sosiologis tentang islam tetap diperlukan, karena tanpa kajian semacam ini kita tidak akan pernah tau secara pasti, apakah ajaran islam yang diperintahkan untuk diamalkan oleh Alah dan Rasul-Nya sudah benar-benar diamalkan atau belum.
            Metode lain yang diajukan oleh Mukti ali dalam memahami islam adalah metode tipologi. Metode ini oleh para ahli sosiolog di anggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Pendekatan ini digunakan oleh sarjana barat untuk menimba ilmu-ilmu manusia. Dan menurut Mukti Ali metode ini juga dapat digunakan untuk memahami agam islam. Dalam hal agama islam, juga agama-agama lain, kita dapat mengidentifikasikan lima aspek atau ciri dari agam itu, alu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama lain, yaitu aspek ketuhanan, aspek kenabian, aspek kitab suci,dan aspek keadaansewaktu munculnya nabidan orang-orang yang di dakwahinya serta individu-individu terpilih yang di hasilkan oleh agama itu.
Agar kita dapat memahami dengan betul ciri-ciri tuhan kita harus kembali kepada Al-qur’an dan hadist nabi serta keterangan para pemikir muslim dalam bidang itu. Hal ini di lakukan karena sifat-sifat tuhan dengan jelas telah diterangkan dalam Al-qur’an oleh Nabi Muhammad, dan para ulama pun telah membahas dengan teliti masalah ini. Lalu kita bandingkan konsep tentang Allah dengan tuhan agama-agama lain, seperti Ahuramazda, Yahweh dan sebagainya.
Metode berikutnya dalam memahami islam dengan mempelajari pribadi muhammad bin abdullah .Mengetahui dan memahami Nabi Muhammad Saw. sangat penting bagi ahli sejarah, karena tidak ada seorang pun dalam sejarah umat manusia yang mempunyai peranan yang begitu besar seperti nabi Muhammad.




BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian tersebut kita melihat bahwa metode yang dapat digunakan untuk memahami islam secara garis besar ada dua macam. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agam islam tersebut dengan agama lainnya,dengan cara demikian akan dihasilkan pemahaman islam yang objektif dan utuh. Kedua, metode sintesis, yaitu suatu cara memahami islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakan untuk memahami islam yang tampak dalam kebanyakan historis, empiris, dan sosiologis, sedangkan metode teologis normatif digunakan untuk memahami islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulainya dari meyakini islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama berasal dari tuhan dan apa yang berasal dari tuhan mutlak benar, maka agama pun mutlak benar. Setelah itu di lanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara kesuluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normatif yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militan pada islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan islam yang diyakini dan dicintai itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang terus digali oleh para pembaru.
Perjalanan sejarah islam sampai kini telah melampaui kurun waktu lima belas abad dan dipeluk oleh dua puluh satu miliar orang serta berada dimana-mana. Pemikiran islam dapat diibaratkan sebagai sungai yang besar dan panjang. Lumrah jika sumber mata airnya yang semula bening dan jernih serta mengalir pada alur sempit dan deras dalam perjalanannya menuju muara kian melebar, berliku-liku dan bercabang-cabang, airnya kian pekat karena mengangkut pula lumpur dan sampah. Riam-riam ini berfungsi sebagai sumber energi. Riam-riam inilah yang dimisalkan sebagai mujaddid (pembaru) yang bukan saja berperan membersihkan kembali pemahaman islam, tetapi juga menyuntikkan semangat dan kekuatan baru yang berangkat dari spirit ajaran islam.











DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, metodologi studi islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
Read More

Selasa, 18 Oktober 2016

Makalah Tatacara Beracara Secara Prodeo (Beracara di Pengadilan Agama)

Oktober 18, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Pengadilan Agama sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 termasuk di dalamnya menyelesaikan perkara voluntair (penjelasan pasal 2 ayat (1) tersebut). Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya menerima pengajuan Gugatan atau Permohonan bagi orang-orang beragama Islam.

Dalam pengajuan perkara di Pengadilan Agama, Penggugat atau Pemohon dapat mendaftarkannya ke Kepaniteraan Pengadilan Agama melalui Meja I untuk menaksir panjar biaya perkara serta membayarnya di kasir sekaligus menyerahkan surat gugatan atau permohonan, kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan surat Gugatan atau Permohonan untuk diserahkan kepada wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
Menariknya, sebagian masyarakat yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai beracara di pengadilan. Bagi masyarakat yang berekonomi rendah, mereka juga enggan untuk beracara di pengadilan dikarenakan biayanya yang sedikit tinggi sehingga tidak sedikit perceraian yang tidak memiliki akta cerai yang sah.
Berlandaskan permasalahan tersebut menarik perhatian penulis untuk membahas bagaimana pedoman beracara di Pengadilan Agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Permohonan.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama di tempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) akan tetapi apabila pemohon tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama, permohonan tersebut dicatat oleh Ketua atau Hakim yang ditunjuk hal tersebut berdasarkan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 RBg.
            Adapun jenis-jenis permohonan yang dapat di ajukan di pengadilan agama antara lain:
a)      Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
b)      Permohonan pengangkatan waliataupengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun (Pasal 229 HIRatauPasal 262 RBg).
c)      Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
d)     Permohonan izin kawin bagi calaon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
e)      Permohonan pengangkatan anak (Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
f)       Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
g)      Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari suami istri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).
h)      Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita untuk kepentingan keluarga (Pasal 95 ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam)
Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
B.     Pengertian Gugatan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama yang erwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama hal tersebut di atur dalam Pasal 118 ayat (1) HIRatau Pasal 142 ayat (1) RBg). Sama halnya dengan permohon, apabila penggugat tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat gugatan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 120 HIRatau Pasal 144 RBg.
C.    Tata Cara Beracara Secara Prodeo
Dalam proses beracara dalam pengadilan, pemerintah memberikan kemudahan bagi masyarakat yang memiliki ekonomi rendah dengan menggratiskan proses mereka selama beracara dalam pengadilan. Adapun cara untuk bisa beracara secara prodeo antara lain:
1.      Bagi penggugat atau Pemohon yang tidak mampu, dapat mengajukan permohonan berperkara secara prodeo bersamaan dengan surat gugatanatau permohonan, baik secara tertulis atau lisan.
2.      Apabila Tergugatatau Termohon selain dalam bidang perkawinan juga mengajukan permohonan berperkara secara prodeo, maka permohonan itu disampaikan pada waktu menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat atau Pemohon. (Pasal 238 ayat (2) HIR atau Pasal 274 ayat (2) RBg).
3.   Pihak yang tidak mampu harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa atau Kelurahan atau yang setingkat (Banjar, Nagari dan Gmpong) (Pasal 60 B Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009) atau surat keterangan sosial lainnya.
4.   Majelis Hakin yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk menangani perkara tersebut melakukan sidang insidentil dan membuat putusan sela tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan perkara secara prodeo setelah sebelumnya memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk menanggapi permohonan tersebut.
5.   Putusan Sela tersebut dimuat secara lengkap di dalam Berita Acara Persidangan.
6.   Dalam hal permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan, Penggugat atau Pemohon diperintahkan membayar panjar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkan putusan Sela yang jika tidak dipenuhi maka gugatan atau permohonan tersebut dicoret dari daftar perkara.
7.   Contoh amar Putusan Sela:
a)   Permohonan berperkara prodeo dikabulkan:
-     Memberi izin kepada Pemohonatau Penggugat untuk berperkara secara prodeo.
-     Memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara.
b)   Permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan:
-     Tidak memberi izin kepada Pemohon atau Penggugat untuk berperkara secara prodeo.
-     Memerintahkan kepada Pemohonatau Penggugat untuk membayar panjar biaya perkara.
8.   Dalam hal berperkara secara prodeo dibiayai negara melalui DIPA Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, maka jumlah biaya beserta rinciannya harus dicantumkan dalam amar putusan. Contoh : Biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp....... dibebankan kepada negara.
9.   Perihal pemberian izin beracara secara prodeo ini berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan secara sendiri-sendiri dan tidak dapat diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus.
10. Permohonan beracara secara prodeo dapat juga diajukan untuk tingkat banding dan kasasi.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Berperkara secara prodeo adalah   berperkara secara cuma-cuma atau tampa biaya didepan pengadilan, dalam berperkara secara prodeo, maka pihak yang ingin  berperkara  secara  prodeo  harus membuktikan  bahwa  dirinnya  benar- benar tidak mampu, sehinnga pihak pengadilan  memberikan surat penetapan berperkara secara prodeo.
2.      Prosedur   permohonan   berprodeo   atau   berperkara   cuma-cuma   ini   pada prinsipnnya harus melampirkan surat permohonan untuk berperkara secara prodeo   harus   melampirkan   surat   keterangan   tidak   mampu   pada   saat mengajukan gugatan dipengadilan yang ditujukan kepada ketua pengadilan dan selanjutnya dlakukan pemeriksaan secara prodeo. Dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan, apakah perkara tersebut dapat dilakukan secara prodeo.
3.      Syarat-syarat  dari  permintaan  secara  cuma-cuma  itu  adalah  harus  disertai dengan surat keterangan tidak mempu, berasal dari kepala desa, yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal, si peminta dan menerangkan bahwa orang tersebut benar-benar tidak mampu.






Read More

Senin, 13 Juni 2016

Makalah Perkawinan Campuran (Fiqh Munakahat)

Juni 13, 2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di Indonesia. Pengertian Perkawinan Campuran menurut undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 dalam pasal 57 adalah "Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia". Pengertian perkawinan campuran menurut Undang-undang Perkawinan adalah lebih sempit apabila dibandingkan dengan pengertian "perkawinan campuran" dalam GHR, karena kriteria perkawinan campuran menurut UUP hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.


Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP). Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri dan status kewarganegaraan ibunya. Akibat hukum yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 UUP.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian diatas penulis dapat merumuskan berbagai masalah diantaranya:
1.      Apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dan syarat-syarat perkawinan campuran?
2.      Bagaimana prosedur melaksanakan perkawinan campuran?
3.      Bagaimana Status Anak dari Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran.
2.      Untuk mengetahui bagaimana prosedur melaksanakan perkawinan campuran.
3.      Untuk mengetahui status anak dari perkawinan campuran beda kewarganegaraan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN PERKAWINAN CAMPURAN
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan (pasal 57). Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:
a.       perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
b.      di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda;
c.       karena perbedaan kewarganegaraan;
d.      salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia.
Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar warganegara Indonesia dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan.

B.     Syarat-Syarat dan Pelangsungan Perkawinan Campuran
Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut UU Perkawinan (pasal 59 ayat 2) yang menyatakan: “bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974”. Pasal 60 ayat 1 menyatakan: “Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak”. Pasal 60 ayat 2 menyatakan: “Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak ialah pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak”.
Pasal 60 ayat 3 menyatakan: Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan pengadilan itu menyatakan bahwa penolakkan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut.
Setelah surat keterangan Pengadilan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Bagi yang beragama islam, menurut hukum islam yaitu dengan upacara akad nikah, sedangkan bagi agama yang bukan islam dilakukan menurut hukum agamanya itu. Dengan kata lain supaya dapat dilakukan akad nikah menurut agama islam, kedua mempelai harus beragama islam. Supaya dapat dilakukan upacara perkawinan menurut catatan sipil, kedua pihak yang kawin itu harus tunduk ketentuan upacara catatan sipil. Pelangsungan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat.                                                                            
Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh surat keterangan atau putusan Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau putusan pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5).

C.     PROSEDUR DALAM MELAKSANAKAN PERKAWINAN CAMPURAN
Prosedur bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah di Indonesia dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan UU yang berlaku saat ini (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) adalah sebagai berikut.

1.      Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan campuran.
2.      Sesuai dengan UU Yang Berlaku
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belumberumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
3.      Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
4.      Surat-surat yang harus dipersiapkan
Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:
a.       Untuk calon suami harus meminta calon suami,  untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
o   Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)•Fotokopi Akte Kelahiran
o   Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
o   Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
o   Akte Kematian istri bila istri meninggal
o   Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
b.      Untuk calon istri, sebagai calon istri harus melengkapi diri anda dengan:
o   Fotokopi KTP
o   Fotokopi Akte Kelahiran
o   Data orang tua calon mempelai
o   Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan
5.      Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang.Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawaiPencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh PegawaiKantor Catatan Sipil.
6.      Legalisir Kutipan Akta Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami,maupun menurut hukum di Indonesia

7.      Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA,maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia.Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.
Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).

D.    STATUS ANAK DARI PERKAWINAN CAMPURAN
1.      Landasan Hukum dan Teori-teori yang Mengaturnya
Dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, anak yang lahir dari “perkawinan campur” hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Ketentuan dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, dianggap tidak memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi anak yang lahir dari perkawinan campur dan diskriminasi hukum terhadap WNI Perempuan. Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing.
Upaya memberikan perlindungan kepada warga Negara Indonesia yang melakukan pernikahan dengan warga asing serta menghilangkan diskriminasi bagi WNI perempuan, lahirlah Undang-undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006. Undang–undang ini memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil kawin campur. Hal ini merupakan ketentuan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan kewarganegaran dari perka-winan campuran.
Disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan) ini pada tanggal 1 Agustus 2006 oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, memberikan semangat dan harapan baru bahwa Negara benar-benar menjamin dan melindungi kepentingan dan hak dasar bagi perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA untuk bersama menurunkan kewarganegaraan kepada keturunan mereka
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, anak yang lahir dari perkawinan seorang Perempuan WNI dengan Pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang Pria WNI dengan Perempuan WNA, diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Kewarganegaraan merupakan salah satu unsur hakiki yang pada umumnya sangatlah penting dan merupakan unsur pokok bagi suatu negara yang menimbulkan hubungan timbal balik serta mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negara, khususnya anak yang dilahir di Indonesia dari suatu perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Penentuan sistem kewarganegaraan yang dianut di dunia pada umum yaitu kewarganegaraan tunggal berdasarkan suatu asas keturunan (ius sanguinis) atau tempat kelahiran (ius soli). Akan tetapi adakalanya bagi seseorang anak untuk dapat memiliki kewarganegaraan ganda (bipatride), hal tersebut disebabkan karena untuk mencegah adanya orang yang tanpa kewarganegaraan (apatride).
Penentuan Kewarganegaraan yang dianut di Indonesia menurut Undang-undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yaitu kewarganegaraan ganda terbatas yang pada pasal 6 dan 21 menjelaskan bahwa anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari suatu perkawinan campuran dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian atau putusnya perkawinan karena kematian maka anak tersebut masih memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak perlu lagi memelihara anak asing. Jadi, Undang–undang baru ini lebih memberikan perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara pearkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya, yang satu berkewarganegaraan Indonesia dan yang satu berkewarganegaraan asing. Perbedaan disini dibatasi pada perbedaan kewarganegaraan bukan pada perbedaan agama.
Sedangkan mengenai syarat-syarat perkawinan campuran sudah diatur dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Diantaranya ialah kelengkapan surat-surat baik dari negara Indonesia ataupun negara asal dari orang asing yang akan menikah tersebut. Seperti surat-surat yang menjadi syarat perkawinan di Indonesia dan yang menjadi syarat di negara asing tempat dia berdiam atau sebagai warga negara disana.
Dan mengenai status anak dari perkawinan campuran ini pun sudah diatur secara jelas dalam UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam UU ini, memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak hasil dari perkawinan campuran hingga dia berusia delapan belas tahun. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang menentukan bahwa anak tersebut bisa mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau ibunya sebelum ia berusia delapan belas tahun atau sudah menikah. Dan setelah ia berusia delapan belas tahun atau sudah menikah maka ia harus menentukan sendiri mengenai status kewarganegaraannya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Abdulkadir. 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Tim Pengajar Hukum Kekeluargaan Universitas Jambi, Bahan Ajar Hukum Kekeluargaan, Jambi, 2008
Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Undang-undang nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan


Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot