Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 27 Januari 2016

MAKALAH PENGERTIAN NIKAH MUTAH

Januari 27, 2016 0




A.    NIKAH MUT’AH
Nikah Mut’ah adalah akad yang di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafaz tamattu’,istimta’, atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah mut’ah di sebut juga kawin kontrak (muaqqad) dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu, atau tidak ada wali saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut’ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus karena laki-laki menikahi perempuan itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah mut’ah karena laki-lakinya, bermaksud untuk bersenang-senang secara temporer.


Nikah Mut’ah menurut Abdul Wahad merupakan perkawinan yang dilarang (bathil). Larangan tersebut telah di sepakati oleh jumhur ulama. Dengan menyatakan bahwa tidak ada yang mengakui perkawinan tersebut.
Seluruh Imam Mazhab mengharamkan nikah mut’ah dengan alasan sebagai berikut.
1.      Nikah Mut’ah tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi, hukumnya batal sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
2.      Banyak Hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya nikah mut’ah. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW. Mengharamkan nikah mut’ah dengan sabdanya:
يا ايها النا س اني كنت اذ نت لكم ف الا ستمتاع الا وان الله قد حر مها الى يوم القيا مة
Artinya:
wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
Zufar berpendapat nikah mut’ah di sebut dengan tegas dan jelas batas waktunya maka kawinnya sah, tetapi pembatasan waktunya yang batal. Hal ini apabila di dalam ijab qabulnya di gunakan kata-kata tazwij (kawin), tetapi kalau digunakan kata-kata mut’ah (sementara), hukumnya haram dan batal sebagaimana jumhur ulama.
Hadits lain yang di kemukakan oleh Ali bin Abi Thalib menyebutkan:
وعن علي رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهي عن متعة النساء يوم خيبر وعن لحوم الخمرالاهلية
Artinta:
Dari Ali, Rasulullah SAW. Telah melarang kawin mut’ah pada waktu perang khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya. (H.R.Imam Muslim)
3.    Ketika menjadi khalifah, Umar berpidato menyatakan keharaman nikah mut’ah. Ketika itu, para sahabat langsung menyetujuinya padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, jika pernyataan Umar tentang haramnya nikah mut’ah itu salah.
Nikah Mut’ah itu sebenarnya baru diharamkan pada tahun penaklukan kota Mekkah, sebagaimana diriwayatkan di dalam shahih Muslim, bahwa para sahabat pada penaklukan kota Mekkah masih ada diizinkan oleh Nabi melakukan nikah mut’ah. Jika benar pada perang khabar itu di haramkan, brarti terjadi nasakh (pembatalan hukum) dua kali. Padahal, tidak pernah terjadi pembatalan hukum samppai dua kali, karena itulah muncul ikhtilaf di kalangan ulama tentang hadits yang bersangkutan. Ada yang berpendapat bahwa Nabi pernah melarang memakan daging keledai penduduk Khaibar pada waktu Perang Khaibar dan melarang nikah mut’ah, tetapi tidak di sebutkan dengan tegas sejak kapan nikah mut’ah itu di larang, sedangkan hadits Muslim di atas menjelaskannya, yaitu pada tahun penaklukan Mekkah.
Imam Syafi’i tetap berpegang pada lahiriyah hadits itu. Ia berkata,”Tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang di halalkan Allah lalu di haramkann-Nya, lalu di halalkan-Nya kemudian di haramkan-Nya lagi, kecuali soal kawin mut’ah”. 
4.      Al-Khattabi menyatakan bahwa Nikah Mut’ah telah dispakati keharamannya oleh ulama mazhab, kecuali ulama Syi’ah Imam 12 yang membolehkannya. Dalil yang mereka rujuk adalah riwayat yang membolehkan perkawinan ini pada awal priodisasi munculnya Islam, sebelum turun dalil yang me-nasakh-nya. Dalil lain yang di jelaskan alasan adalah firman Allah An-Nisa’ ayat 24 :
فما استمتعتم به منهن فا تو هن اجورهن فريضةَ
Artinya:
Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban.
Ayat tersebut mewajibkan memberikan harta bagi perempuan sebagi ganti telah bersenang senang  dengannya. Ayat tersebut menyebutkan ajran (upah). ‘bersenang-senang‘ dengan seorang perempuan berarti tidak menikahinya. Upah di situ juga bukan berarti mahar. Hal itu menjadi dalil terhadap kebolehan mut’ah.
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa kelompok syi’ah Imamiyah jika menghadapi masalah ikhtilah selalu merujuk pada dalil-dalil yang dikeluarkan oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi kali ini, justru dalil yang menyatakan bahwa nikah mut’ah telah di hapus, adalah dalil yang dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib dengan hadits yang kedudukannya sahih. Bahkan, di perkuat oleh Baihaki yang meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia di tanya tentang nikah mut’ah. Baihaqi menjawab bahwa nikah mut’ah sama dengan zina.
5.      Nikah Mut’ah  sekedar bertujuan melampiaskan Syahwat, bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya. Nikah Mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu yang menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas laki-laki dengan mengatasnamakan kondisi darurat. Oleh karena itu, nikah mut’ah disamakan dengan zina, jika dilihat dari segi tujuan untuk semata-mata bersenang senang.
Selain itu, nikah mut’ah dapat membahayakan posisi perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan tempat tinggal dan tidak memproleh pemeliharaan serta pendidikan dengan baik.
Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi’in bahwa nikah mut’ah  itu halal, sebagaimana di sebut dalam riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitab Tahdzin Al-sunan bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah bila di perlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak. Akan tetapi, pendapat ini kemudian di cabut ketika banyak orang melakukannya secara berlebihan. Jadi, nikah mut’ah tetap haram bagi orang yang tidak memiliki alasan yang sah. 
Al-Khattabi menyebutkan pernyataan Said bin Jubair yang pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang fatwanya menegenai kebolehan nikah mut’ah, sehingga diikuti oleh para khalifah yang sedang berdagang di negeri orang. Para khalifah tersebut memanfaatkan pendapat Ibnu Abbas mengenai kebolehan nikah mut’ah. Mereka berkata, “Ibnu Abbas telah mmebolehkan nikah mut’ah maka bersenang senanglah sampai engkau kembali ke rumah”. Mendengar itu Ibnu Abbas kaget dan bersumpah dengan nama Allah, bahwa ia tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang kebolehan nikah mut’ah. Ia pun membaca Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Demi Allah saya tidak berfatwa begitu, dan tidak dan tidak pula bermaksud begitu. Kalaupun saya menghalalkan, itu seperti Allah menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi, yang semua itu tidak halal, kecuali bagi orang-orang yang terpaksa. Nikah mut’ah itu ibarat bangkai, darah, dan daging babi.
Jumhur fuqaha menyatakan bahwa nikah mut’ah itu batil dengan mengambil dalil dari Al-Qur’an surat Al-Mu’min yat 5-6:
والذين هم لفروجهم حفظون ّ الا على ازواجهم اوماملكت ايما نهم فانهم غير ملومين
Artinya:
Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
Pada dasarnya, orang-orang melakukakan nikah mut’ah bukan karena adanya pandangan Ibnu Abbasatau pandangan ulama Syi’ah Imamiyah dan Jumhur ulama. Menurut Sayyid Sabiq, kebanyakan yang nikah mut’ah adalah orang-orang yang tidak mau memberi harta pusaka bagi anak isttinya, sebagaimana pada zaman jahiliyah. Perempuan dan anak-anak hanyalah objek penderitaan yang selalu dikuasai raga dan hartanya oleh wali-wali mereka.
Kelompok Syi’ah memandang bahwa nikah mut’ah dibolehkan sepanjang kondisi darurat. Hal ini karena semenjak awal di perbolehkannya nikah mut’ah adalah karena keadaan emergensi, yaitu ketika para sahabat sedang berpereng, sedangkan mereka jauh dari istri-istrinya maka ketika itu Rasulullah SAW, membolehkannya. Akan tetapi, Umar bin Khattab melarangnya karena perajurit yang sedang berpereng dan melakukan nikah mut’ah akan mengalami kelengahan dan mengakibatkan kalah dalam berperang. Di samping itu, pembolehan nikah mut’ah hanyalah salah satu bagian dari proses penegakan syari’at Islam yang di sampaikan secara bertahap.
Orang-orang Jahiliyah telah lama menjadikan perempuan sebagai objek hawa nafsu, kemudian Islam membawa kebiasaan tersebut dengan menyodorkan salah satu syarat, yaitu “jika kondisi darurat”. Setelah itu, lahirlah hadits yang menyatakan keharaman nikah mut’ah. Hadits ini memancing Ikhtilaf di kalangan ulama, karena “kondisi darurat” dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, bagi kaum syi’ah, tidak ada nasakh dalam kaitannya dengan kedaruratan, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang menegaskan adh-dhararu yuzal dan adh-dharuratu tubih al-mahdurah, artinya kemudharatan memebolehkan sesuatu yang dilarang.
Rasulullah SAW, mengeluarkan larangan mut’ah sebanyak enam kali pada kesempatan yang berbeda untuk menguatkan pengharamannya bagi kaum muslim. Ketika para sahabat meminta Rasulullah SAW untuk memberikan rukhsah (keringanan) untuk pengendalian syahwat mereka, Rasulullah SAW, tidakmengabulkan permintaan tersebut. Seandainya nikah mut’ah itu halal, para sahabat tentu akan melakukannya pada saat peperangan, tetapi mereka tidak melakukannya. Hal ini menunnjukkan bahwa pada akhirnya nikah mut’ah hukumnya haram.
Dalam Al-Muhadzdzab di katakan bahwa nikah mut’ah itu tidak di perbolehkan, yaitu mngucapkan akad “Aku nikahkan engkau dengan putriku sehari atau sebulan” ini sesuai dengan hadits yang di riwayatkan oleh Muhammad bin Ali r.a yang mendengarkan ayahnya, Ali bertemu Ibnu Abbas. Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah dengan perempuan. Ali pun berkata, “Engkau orang yang bertindak gegabah, sesungguhnya Rasulullah SAW, telah melarangnya pada hari Khabir. Tidak boleh ada pembatasan dalam akad nikah, seperti jual beli. Nikah mut’ah tidak terkait dengan talaq, nafkah, waris-mewarisi, dan iddah wafat. Oleh karena itu, nikah seperti itu batal, seperti nikah batal lainnya.

B.     HIKMAH PENGHARAMAN NIKAH MUT’AH
Adapun hikamh pengharaman nikah mut’ah adaalah tidak terealisasinya tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng, serta tidak bertujuan untuk membentuk keluarga yang langgeng. Dengan diharamkannya tidak akan lahir anak-anak zina dan lelaki yang memanfaatkan nikah mut’ah untuk berbuat lacur.
Adapun ayat Al-qur’an yang di pakai oleh golongan Syi’ah bukanlah dalil untuk nikah mut’ah melainkan untuk nikah abadi, dengan dalil bahwa ayat sebelum dan sesudahnya, serta ungkapan dalam ayat dengan kata istamta’ makssudnya bukan mut’ah sebagaimana yang di yakini Syi’ah Imamiyah, melainkan istimta’ dengan istri yang sah menurut sayriat (bersenang-senang dengan istri). Kemudian yang di maksud dengan ‘ujur (upah) dalam ayat tersebut adalah mahar. Al-Qur’an menyatakan mahar dengan ‘ujur sebagai majaz (kiasan), seperti di jelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 25:
   فانكحو هن باذن اهلهن وا توهن اجورهن باالمعروف
Artinya:
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka mas kawin yang pantas  
  
Q.S An-Nisa 25
اذا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مسا فحين
Artinya:
Apabila kamu membayar maskawin mereka untuk manikahinya, tidak bermaksud berzina.

Ibnu Hazm dan sebagian ulama fiqh dari mazhab maliki berpendapat bahwa hadd (saksi hukum) wajib di tegakkan untuk orang yang bersetubuh dalam nikah mut’ah, padahal dia tau bahwa hukum mut’ah itu haram. Mereka mengatakan bahwa kesepakatan yang diambil setelah dan keharamanya. Hal ini seperti nikah yang kelima, atau menikahi orang yang dalam masa  iddah. Dengan demikian wajib menegakkan hadd bagi mereka yang mengakui keharamannya.
Banyak ulama fiqh mengingatkan adanya iijma’ tentang keharaman mut’ah setelah terjadinya berbedaan mengenai hukumnya. Al-Baji mengatakan keharaman nikah mut’ah itu berdasarkan perkataan umar. Ia melihat perkataan Umar tidak bertentangan dengan ijma’.  Ibnu Munzdir berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang membolehkan mut’ah pada hari ini, kecuali segelintir orang yang menolak pengharaman itu. Tidak ada artinya perkataan yang bertentangan dengan firman Allah dn sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian, pendapat yang datang dari para ulama salaf sudah menguatkan kebenaran adanya nasakh (menghapuskan) terhadap hukum bolehnya nikah mut’ah. Jadi, jelaslah bahwa nikah mut’ah haram berdasarkan ijma’ ulama. Itu berarti pula batallah nikah mut’ah, dan persetubuhan di dalamnya adalah zina, yang pelakunya wajib di hukum (rajam atau jillid), yakni bagi mereka yang  mengetahui hukumnya dan dengan sengaja melakukan persetubuhan.
  Golongan Syi’ah imamiyah Imamiyah membolehkannya dengan syarat-syarat berikut.
1.      Ucapan Ijab qabulnya dengan lafazh: Zawwaj atau unkihuka (saya kawinkan kamu) atau matta’tuka (saya kawinkan kamu sementara).
2.      Istrinya haruslah seorang muslim atau ahli kitab, tetapi di utamakan memilih perempuan mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3.      Membayar mahar/ maskawin: harus di sebutkan maskawinnnya dan boleh dengan membawa saksi dan perhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya segenggam gandum.
4.      Batas waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat di dalam pernikahan tersebut.
5.      Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing, misalnya sehari, sebulan, atau setahun, pokoknya harus ada pembatasan waktu.

Menurut golongan Syi’ah, hukum nikah mut’ah adalah sebagai berikut.
1.      Kalau maskawinnya tidak disebut, tetapi batas waktunya di sebutkan akad nikahnya batal. Akan tetapi, kalau maharnya di sebutkan, sedangkan batas waktunya tidak disebutkan, perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
2.      Anak yang lahir menjadi anaknya
3.      Tidak ada talak dan li’an
4.      Tidak ada hak pusaka-memusakai antara suami istri
5.      Anaknya berhak mewarisi ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi anaknya.
6.      Masa Iddah dua kali masa Haid, bagi yang masih berhaid. Bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya, masa iddahnya 45 hari.

Imam Syauqani berkata : “sepenuhnya kami hanya berpegang pada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami, nikah mut’ah itu di haramkan untuk selama-lamanya”. Adapun sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini berarti telah mencederakan hukum ini, dan kami pun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat di jadikan dasar untuk meringankan hukum nikah mut’ah. Bagaimana mungkin nikah mut’ah ini bisa di berikan keringanan, padahal sebagian besar sahabat telah mengetahui keharamannya dan mereka pun menjauhinya. Bahka mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits mengenai keharaman nikah mut’ah bahkan Ibnu Umar pernah berkata dalam hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanadnya sahih.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذن لنا فى المتعة شلاثا ثم حرمها والله لااعلم احد ا تمتع وهو محصن الا رجمتها با الحجا رة  


Read More

TAFSIR SURAT AL-QASHAS 27 TENTANG ANAK WANITA YANG MEMINTA AYAHNYA AGAR MEMINANGKAN ANAK LELAKI KEPADANYA

Januari 27, 2016 0



  Seorang anak perempuan meminta Ayahnya untuk meminang laki-laki
QS. Al-Qashas 27
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَىَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَآأُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِينَ {27}


Berkatalah dia (Syu'aib):"Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (QS. 28:27)



Tafsirannya :
ابنتي   : Dua orang anak perempuan
تأ جرنى : Kamu menjadi pekerjaan yang aku sewa untuk mengembala kambing ku
حجج : Tahun- tahun
Para mufassir berikhtilaf mengenai laki-laki ini ada yang mengatakan dia adalah Nabi Syuaib a.s ada pula yang mengatakan orang itu adalah saudara Syu’aib yang bernama Tsairun. Namun, pendapat yang masyhur di kalangan para ulama ialah yang pertama. Thabrani meriwayatkan dari Salamah bin Sa’ad al-Ghazi yang menjadi utusan untuk menghadap Rasulullah maka beliau bersabda kepadanya[1],
Selamat datang kaum syuaib dan dua orang saudara musa. Allah telah memberimu hidayah  
Firman Allah Ta’ala salah seorang di antara kedua wanita itu berkata “Hai bapak ku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya orang yang paling baik untuk engkau pekerjakan adalah orang yang kuat dan jujur” sang ayah berkata kepada anaknya ini” apa dasarnya kamu mengatakan demikian? “ Dia menjawab “Dia dapat mengangkat batu yang hanya dapat di angkat oleh sepuluh orang laki-laki. Dan ketika aku berjalan bersamanya, sedang aku berada di depannya, dia berkata kepadaku “ Berjalanlah di belakang ku. Jika aku salah jalan lemparkanlah batu krikil ke arah jalan yang benar agar aku tidak tersesat.
            Ayat ini menceritakan tentang pertemuan yang pertama kali antara Nabi dan Musa dengan Syua’ib di Mdyan. Pada waktu itu, langsung Nabi syuaib menawarkan salah seorang dari  dua putrinya kepada nabi musa untuk di jadikan istri. Dengan kata lain, pinangan di majukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki.
Pinangan seperti itu adalah suatu sunnah yang berlaku sejak zaman dahulu dan berlaku pada zaman nabi-nabi, seperti yang di kisahkan oleh ayat ini. Yakni terhadap laki-laki soleh dan baik, sunnah membolehkan pinangan itu datangnya dari pihak perempuan. Peristiwa seperti ini pernah dilakukan juga oleh sahabat-sahabat di zaman rasulullah SAW.
            Imam syafi’i berkata Allah menyebutkan bahwa seorang Nabi diantara para Nabi-Nya telah mempekerjakan dirinya selama beberapa tahun sebagai ganti dari mahar isrtinya. Lalu Allah menunjukkan kebolehan (kehalalan) sewa-menyewa. Dia juga menetapkan sewa-menyewa itu boleh di langsungkan beberapa tahun. Jika seseorang pekerjakan orang lain tanpa ada hitungan tahun, hal ini termasuk bentuk sewa-menyewa yang dibolehkan. Ada yang berpendapat bahwa dia (Nabi Syu’aib) mempekerjakan Nabi Musa sebagai pengembala kambing.
            Imam Syafi’i berkata “ Mahar itu adalah sesuatu yang berharga, dan setiap sesuatu yang berharga dapat di jadikan mahar. Allah swt membolehkan setiap mahar itu dalam bentuk sewa menyewa yang di jelaskan di dalam kitab-Nya. Kaun Nabi muslimin juga membolehkannya. Allah juga menuturkannya kisah Nabi Syu’aib dan Nabi Musa. Lalu kisah ini di tafsirkan dalam sebuah hadits tentang Umar bin Khattab yang menawarkan hafsah putrinya untuk Abu Bakar dan usman tapi keduanya menolak akhirnya hafsah di nikahi oleh Nabi Saw.
Hafshah binti ‘Umar. Ia merupakan salah seorang putri Umar bin Khaththab. Khunais bin Hudzafah, suami Hafshah syahid di medan perang Badar. Hafshah yang menjanda kemudian ditawarkan Umar kepada Utsman bin Affan yang kebetulan sedang ditimpa musibah kematian istrinya, akhirnya memutuskan minta maaf. Kemudian Umar menawarkan kepada Abu Bakar, namun ia tidak menjawab tawaran itu hingga membuat Umar tidak sabar karena menunggu keputusan yang tak kunjung datang. Riwayat lengkapnya seperti berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُحَدِّثُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِينَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السَّهْمِيِّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا تُوُفِّيَ بِالْمَدِينَةِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa dia mendengar Abdullah bin Umar ra, bercerita, bahwa Umar bin Khattab berkata ketika Hafshah binti Umar menjanda dari Khunais bin Hudzafah As Sahmi -ia termasuk  di antara sahabat Rasulullah Saw yang ikut serta dalam perang Badr dan meninggal di Madinah-, Umar berkata, Maka aku datangi Usman bin 'Affan dan kutawarkan Hafshah kepadanya.
عن ابن عمر لما تأ يمت حفصة بن خذافة خنيسس السهمى قال عمر لعثمان : إن شئت أنكحك حفصة بنت عمر وكذلك قال لأبي بكر , لكنهما امتنعا لأن النبي ص.م ذكرها بخير , فلم يفشيا سره وفهما أنه يريد الزواج بها  
Adapun kisah dari hafsah disini menggambarkan bahwa sanya seorang ayah itu sangat menjaga dan memperhatikan anaknya terutama anak perempuan di karena perempuan itu memiliki sifat yang dan lemah dan lembut sehingga butuh terhadap perlindungan. Dan dalam sudut pandang yang lain dalam mencarikan pasangan hidup orang tua terutama ayah itu memiliki peranan yang besar dalam memilih atau melihat calon suami untuk si anaknya.
Dan di dalam keriteria nya dalam melihat atau dalam memlihkan calon suami untuk anaknya yaitu seorang yang mampu menggantikan peranan si ayah yaitu untuk melindungi dan menjaga anaknya, maka di dalam surat Al-Qashas di atas seorang ayah yang bernama syu’aib berkata kepada seorang pemuda ia memiliki maksud untuk menikahkan pemuda tersebut dengan salah satu dari kedua anak perempuan beliau dan ayah tersebut memiliki ketentuan yaitu untuk mempekerjakan pemuda tersebut dalam artian disini ayah tersbut ingin melihat bagaimana sikap pemuda tersebut apakah ia bertanggung jawa, jujur, amanah dan mampu terpercaya untuk menjaga anak perempuannya tersbut. 







[1].  
Read More

RANGKUMAN MATERI KULIAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI ISLAM

Januari 27, 2016 0
  1. ASUMSI DASAR HUKUM EKONOMI ISLAM
  2. Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan pengaturan syariah untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya material agar memberikan kepuasan kepada manusia sehingga memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah SWT dan masyarakat. Ilmu ekonomi islam: Suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu metodologi ilmiah. Sisitem ekonomi islam: Salah satu aspek dalam sisitem nilai islam bagi seorang muslim.f
  1.  Asumsi dasar ekonomi islam
    • Naluri Manusiawi
    • Materi
    • Kepemilikan
    • Universalisme
  2. Arti dan hakekat ekonomi Islam
Ekonomi Islam: syarat Islam dalam aspek ekonomi yang menyangkut cara bagaimana kebutuhan hidup material manusia dapat terpenuhi.
  1. Etika ekonomi Islam
    a. Orientasi aktivitas kehidupan : IBADAH
    b. Kerja wajib hukumnya
    c. Membina nilai ukhuwah
    d. Menarik mashlahat dan menghindarkan modharat
    e. Hak kepemilikan pada hakekatnya adalah amanah Alloh
  2. Lima landasan ekonomi Islam
    1. Nilai dasar
      • Hakekat kepemilikan
      • Keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
    2. Nilai instrumental
      • Kewajiban 2 zakat
      • Jaminan sosial
      • Larangan riba
      • Peranan negara
      • Keislaman ekonomi
    3.  Nilai filosofis
      • Sistem ekonomi Islam terikat nilai; bersifat dinamik
    4. Nilai normatif
      • Landasan akidah; akhlak; syariah
    5. Nilai praktis
      • Azas manfaat
      • Keseimbangan antar kepentingan pribadi dan masyaraka


Read More

MAKALAH PENALARAN BAYANI DALAM USHUL FIQH

Januari 27, 2016 0




A.    PENALARAN BAYANI

Secara etimologi, bayan berarti penjelasan atau eksplanasi. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb–suatu kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.

Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metodepenemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni prosesmencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami(alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[1] Dalam ushul al-fiqh yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadis.[2]
Penulis akan mengambil satu ayat sebagai contoh dari penalaran bayani:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZƒÏŠ Ÿxsù öNèdöqt±øƒrB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøƒxC uŽöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b}   ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pernyataan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits terbagi menjadi empat yaitu:
1.      Jelas Tidaknya Pernyataan
a.       Pernyataan Jelas
·         Zhahir: lafal yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahaman lain.
Contoh:

·         Nash: suatu lafal yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung.
Contoh:
Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r&
·         Mufassar: suatu lafal yang dengan sighatnya sendiri member petunjuk kepada maknanya yang terperinci, tidak harus difahami dengan makna lain.
Contoh:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
·         Muhkam: suatu lafal yang yang jelas dengan lafalnya sendiri tidak berkemungkinan dibatalkan dan ditakwilkan.
Contoh:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r&
b.      Pernyataan Tidak Jelas
·         Khafi: suatu lafal yang samar, dalam sebagian penunjukan makna karena factor luer bukan dari sighatnya sendiri.
Contoh:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
·         Musykil: lafal yang samar dipengaruhi oleh factor dalam.
Contoh:
uä!#ypkà­
·         Mujmal: lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkandung di dalamnya.
Contoh:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$#
·         Mutasyabih: lafal yang samar artinya tidak ada cara untuk mendapatkan maknanya.
Contoh:
¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§
2.      Cara Penunjukan Makna
a.       Dalalah.
·         Ibarah: memahami makna kandungannya secara tektual.
Contoh:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
·         Isyarah: lafal yang terungkap tidak kepada makna tersebut.
Contoh:
Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r&
·         Ad-Dalalah: lafal yang kebenaran hukumnya terdapat pada lafal yang tidak disebutkan.
Contoh:
  žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºsŒ (#qßsn=ô¹r&ur
·         Iqtidha’: lafal yang kebenarannya tergantung pada yang tidak disebutkan disitu.
Contoh:
§NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
b.      Mafhum.
·         Muwafaqah: mafhum yang lafalnya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan yang disebutkan dalam lafal.
Contoh:
tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$#
·         Mukhalafah: mafhum yang lafalnya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.
Contoh:
žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºsŒ (#qßsn=ô¹r&ur
3.      Luas Atau Sempitnya Cakupan Makna.
·         ‘Am: lafal yang masih umum. Lawannya khas.
Contoh:
Î=ô_$$sù
·         Mutlak: lafal yang tidak dibatasi. Lawannya Muqayyat.
Contoh:
(#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­
·         Haqiqi: lafal yang jelas sesuai dengan lafal atau istilahnya. Lawannya majazi.
Contoh:
M»oY|ÁósßJø9$#
·         Musytarak: lafal yang satu kata mengandung dua makna. Lawannya muradif.
Contoh:
ä!#ypkà­
4.      Formula taklif
a.       Sighat amar: lafal yang berisi tentang perintah.
·         Contoh:
·           óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
b.      Sighat nahi: lafal yang berisi tentang larangan.
·         Contoh:
wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r&



DAFTAR PUSTAKA
Abd Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait : Dari al-Qalam, 1978.
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, Yogyakarta : UII Pres, 2004.




[1] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, (Yogyakarta : UII Pres, 2004), hal. 23.
[2] Abd Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Dari al-Qalam, 1978), hal. 34.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot