Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 31 Oktober 2015

Makalah Pengertian Iddah dan Ruju' Dalam Pernikahan

Oktober 31, 2015
091

RUJUK
1.      Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji (Ali, 2006: 90).
Menurut Al-Mahali dalam Syariffudin (2009: 337) mendefinisikan rujuk sebagai kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah.
Dari definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat dari perbuatan yang bernama rujuk itu:

·         Kata atau ungkapan “kembali” mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan perceraian, dan laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini,
·         Ungkapan atau kata “yang telah dicerai raj’i” mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk dan
·         Ungkapan atau kata “masih dalam masa iddah” mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad baru (Syariffudin, 2009: 337-338).

2.      Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in
Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam Mughniyah (2008: 483), berpendapat rujuk terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang di talak melalui khulu (tebusan), melainkan dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan merupakan talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.

Menurut (Rifa’i, Mas’udi, 1986: 275) mengatakan, seorang suami yang menceraikan istrinya tiga kali atau lebih, maka suami tersebut tidak boleh melakukan rujuk kepada istrinya, melainkan dengan beberapa syarat yaitu: telah selesai masa iddah perempuan tersebut darinya, perempuan tersebut menikah lagi dengan lelaki lain, telah bersetubuh dengan lelaki yang telah dikawininya lagi, telah dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan telah selesai masa iddahnya dari lelaki tersebut.


3.    Rukun dan Syarat Rujuk
Seseorang yang melakukan rujuk harus memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam rujuk.
a.       Rukun Rujuk
Menurut Ayub, (2001: 281-283) yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas kehendak sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau hanya sunnah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Imam Syafi’i berpendapat hal tersebut tidak sah, yang berlandaskan pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus dilakukan dengan dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya dengan sighat (perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan para ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah swt yang berbunyi: “Dan suami-suami berhak merujukinya.” Dalam ayat tersebut tidak ditentukan dengan perkataan atau perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat tersebut hanya sunnah, bukan wajib (Rasjid, 1994: 420).
    
b.      Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
a)       Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah sebagai berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnyadan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang dilakukannya. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
b)      Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu adalah: perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk, istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk talak ba’inistri itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya (Syariffudin, 2009: 341-343).

Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan (2004: 267-268) mengatakan bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu:

o    kerelaan istri, dalam rujuk tidak disyaratkan dalam kerelaan istri, karena hak rujuk itu adalah hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain,
o    tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya karena lagi-lagi rujuk merupakan hak suami, dan
o    saksi ketika rujuk, saksi tidak diperlukan bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi ulam sepakat mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan sekedar untuk berhati-hati belaka.

4.    Tata Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:

1)      suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
2)      rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah,
3)      pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
4)      setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk dan
5)      setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk (Ramulyo, 1996: 165-166)

Pasal 168 KHI:
Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari sesudah rujuk dilakukan danapabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya (Abdullah, 1994: 127).

Menurut Hakim, (2000: 213) tata cara mengenai rujuk dalam pasal 169 ialah sebagai berikut Pasal 169 KHI:
.
§   Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Mentri Agama,
§   Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
§   Catatan yang dimaksud berisi tempat terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.

5.    Hikmah Rujuk
Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya rujuk bagi suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melakukan percerain dan saling memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk mengembalikan kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah tangga sehingga keutuhan keluarga dapat dipelihara.

6.    Hukum Rujuk

§  Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
§  Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
§  Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
§  Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan
§  Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya (Rasjid, 1994: 418).

7.      Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan). Bekas suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i mempunyai batasan bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim (Djamal, 1983: 284)

IHDAD

1.    Pengertian Berkabung/Ihdad
Menurut Abu Zakaria al-Anshary, Bahwa ihdad berasal dari kata ahadda, dan  kadangbisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata hadda. Secara evitimologis (lughawi) ihdad berarti al-man’u(cegahan atau larangan)sedangkan menurut Abdul Mujib dan kawan-kawannya, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan dan sepuluh hari yang disertai dengan larangan-larangan, antara lain: bercelek mata,berhias diri,keluar rumah,kecuali dalam keadaanterpaksa.
Sedangkan menurut pandangan syara’ ihdad adalah meninggalkan pakaian yang dicelup warna yang dimaksud untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain itu ditenun atau kain tiu menjadi kasar
Tetapi menurut Sayyid Abu Bakar  al-Dimyati memberikan devinisi ihdad sebagaimana berikut.
Ihdad adalah menahan diri dari bersolek atau berhias diri dibadan.
Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah Zuhaili memberikan definisi sebagai berikut.
Ihdad adalah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak. minyak yang mengharumakan atau tidak.
Menurut pengarang kitab Hasyiyatani bahwa ihdad :
Yang artinya:”secara bahasa larangan, secara syara’ larangan yang ditentukan untuk berhias diri dan memakai pakain yang dicelup atau pakai pewarna dan sesasamanya
Imam Hanafi devinisi ihdad adalah:
Ihdad adalah suatu ungkapan yang didivinisikan dengan menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman, memakai celak, berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya.
Imam Maliki mendevinisikan ihdad adalah:
Ihdad adalah meninggalkan semua hiasan termasuk juga cincin, yang dibuat berhias oleh seorang perempuan seperti minter, celak wangi-wangian dan baju yang di warnai.


Menurut Imam Ahmad Bin Hanbal sebagaiman:
Ihda adalah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk menjahui berhias diri baik dari pakaian maupun dari wangi-wangian.

 2.      Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Ihdad

Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang melakukan ihdad dilarang melakukan perbuatan yang membikin orang laki-laki tertarik pada dirinya perempuan yang melakukan berkabung tersebut, seperti memakai perhiasan intan, celak, memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam.
Mengenai memakai celak ini masih ada perbedaan para fuqaha tentang tidak boleh dan bolehnya memakai celak ini. Satu golongan berpendapat bahwa seorang perempuan yang sedang melakukan ihdad diperboleh kan memakai celak dengan syarat pada siang malam hari, tetapi menurut pendata yang lainnya mengatakan tidak harus malam hari pada waktu siang haripun boleh dengan syarat bukan untuk berhias dir,tetapi karena ada darurat dan kebutuhan seperti sakit mata dan lainnya.
Ringakasnya mengenai pendapat-pendapat diatas bahwa seorang seorang perempuan yang sedang melaksanakan ihdad tentang larangan bagi seorang perempuan sangatlah berdekatan dan hamper sama pendapatnya, yaitu perempuan  harus menjauhi memakai pakaian atau sesuatu yang bisa menarik perhatian laki-laki. Yang mendorong para ulama mewajibkan ihdad bagi seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya adalah hadits Shahih dibawah ini:
            “Bahwa seorang perempuan datang kepada nabi kemudian berkata:yarasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karena sakit pada kedua matanya, bolehkan ia bercelak wahai rasulrasulullah?rasulullah menjawa, tidak boleh (2x)atau (3x)yang pada masing masing beliau tidak memperbolehkan. Kemudian beliau berkta:sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan dan 10 hari,dan sesungguhnya dulu ada yang melakukan ihdad selama satu tahun ”.
Abu Muhammad menyatakan hadits tersebut menunjukkan kita wajib berpegangan pada pendapat yang mengatakan bahwa berihdad itu hukumnya wajib.

3. Yang Tidak Terlarang Bagi Wanita Yang Sedang Berihdad

Tidak dilarang  baginya  untuk  memotong  kuku,  mencabut  rambut  ketiak,  mencukur
rambut  kemaluan,  mandi  dengan  daun  bidara,  atau  menyisir  rambut  karena  tujuannya  untuk kebersihan  bukan  untuk  berwangi-wangi/berhias.  (Al-Mughni,  Kitab  Al-‘Idad,  Fashl Ma).
          Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)


Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan pula  baginya  berbicara  dengan  laki-laki  sesuai  keperluannya,  selama  ia  berhijab

         Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159).


4. Hikmah Ihdad Oleh Wanita
Fadhilatusy  Syaikh  Muhammad  bin  Shalih  Al-‘Utsaimin  rahimahullahu  mengatakan, “Hikmahnya  adalah  untuk  menghormati  hak  suami  dalam  masa  ‘iddah  karena  meninggalnya, hingga tidak  ada  seorang  pun  yang  berkeinginan  untuk menikahi  si wanita  dalam masa  ‘iddah. Sebagaimana  Allah  subhanahu wata’ala  berfirman,
 “Dan  suami-suami  mereka  paling berhak  merujuki  mereka  dalam  masa  ’iddah  tersebut, jika  mereka menghendaki  ishlah.”  (Al-Baqarah: 228)



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah hukum syarak rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada nikah selepas perceraian kurang daripada tiga kali dalam masa iddah dengan syarat-syarat tertentu.
            Ihdad adalah kondisi wanita yang sedang menjalani masa iddahnya Karena ditinggal mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia harus menjauhi apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual dengannya atau tidak mengenakan perhiasan apa saja yang menyebabkan laki-laki lain yang dapat menyebabkan laki-laki lain tertarik melihatnya.
            Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadaan berihdad seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai farfum, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa, memakai pakaian yang berwarna yang pada intinya menjauhi perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.






Read More

Makalah Peran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Maknanya bagi Bangsa Indonesia

Oktober 31, 2015
090


1.1  Sejarah berdirinya keraton Surakarta
Kraton Surakarta Hadiningrat atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kraton Kasunanan Surakarta telah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Kraton ini adalah “penerus” dari Kerajaan Mataram Islam. Setelah berganti-ganti pusat pemerintahan mulai dari Kotagede, Pleret hingga Kartasura, pemberontakan kuning oleh etnis Tionghoa memaksa Mataram untuk memindahkan Kratonnya ke Desa Sala. Konflik internal dan campur tangan Belanda kemudian memaksa kerajaan ini pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755 melalui perjanjian Giyanti.
Perjalanan diawali dari gerbang Kraton paling utara yaitu gapura Gladag. Gapura ini dijaga oleh dua arca Dwarapala bersenjata gada. Menyusuri ruas jalan yang teduh dengan pohon beringin tua di kanan kirinya, sampai di Alun-Alun Utara. Layaknya gaya khas sebuah tata kota tua, Kraton Kasunanan Surakarta terletak dalam satu kompleks dengan Alun-Alun dan Masjid Agung. Sebuah pendapa terbuka besar berdiri megah tepat di seberang alun-alun, sementara bangunan utama kraton berada di belakangnya. Di dalam bangunan utama ini terdapat sebuah museum yang dulunya merupakan kompleks perkantoran pada jaman Paku Buwono X. Bangunan ini terbagi atas 9 ruang pameran yang berisi aneka macam benda dan pusaka peninggalan Kraton, hingga diorama kesenian rakyat dan upacara pengantin kerajaan lengkap dengan berbagai macam peralatannya.
            Sebuah lorong sempit menghubungkan museum dengan kompleks utama kraton. Untuk menghormati adat istiadatnya, kita tidak diperbolehkan mengenakan celana pendek, sandal, kaca mata hitam, dan baju tanpa lengan. Sandal juga dilepas dan kita harus berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pelataran yang konon diambil dari Pantai Selatan. Pohon Sawo Kecik yang menaungi pelataran membuat udara senantiasa sejuk. Secara jarwa dhosok, nama pohon itu dimaknai sebagai lambang yang artinya sarwo becik atau serba baik. [1]
           
1.2 Nilai-nilai yang terkandung dalam keraton Surakarta
            Telah kita ketahui bahwa kehidupan di Indonesia ini terdiri dari berbagai macam suku-suku dan budaya yang berbeda-beda, dan demi menuju negeri yang aman perbedaan ini pun tidak menjadi permasalahan yang menghambat kemerdekaan ini, Indonesia mampu menghantarkan rakyatnya kepadan pintu gerbang kemerdekaan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini. Sejarah juang inilah menjadi semangat kita untuk terus mengapresiasikan dalam rangka menanamkan rasa syukur kita dan ini tidak terlepas dari firman allah swt seperti halnya kehidupan kita sehari-hari yang bertetangga dengan berbeda agama, namun tetap menghargai kepercayaan mereka, tidak menyudutkan mereka karena keimanan yang berbeda. Namun tetaplah menanamkan sikap bahwa kita ini satu. Untuk terus menjunjung tinggi nilai kebersamaan, tidak terlalu fanatik akan perbedaan suku di Indonesia, karena hal ini dapat menyebabkan sikap yang buruk bagi kehidupan sosial.
            Seperti Firman Allah swt yang berbunyi, “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muda diantara kalian disisi allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kalian sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha mengenal” maknanya adalah allah memang sengaja menciptakan manusia ini dengan berbagai macam suku-suku, dan saling mengenal antara satu sama lain, dan amanah allah menyampaikan kepada hamba-hambanya untuk berlaku baik dan adil kepada setiap hamba-hambanya. Dan membentuk komunitas-komunitas yang memiliki sifat kedalaman spiritual yakni mengingat bahwa allah adalah pencipta seluruh apa-apa yang ada di alam ini, wujud rasa syukur kita dapat kita aprisiasikan melalui selalu bersyukur akan segala rizki dan nikmat yang telah ia berikan kepada kita.
            Karakter bangsa Indonesia merupakan kristalisasi nilai-nilai kehidupan nyata bangsa Indonesia yang bersuku-suku merupakan perwujudan dan pengamalan pancasila. Potensi kalbu / nurani / afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dapat dikembangkan. Kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius dapat dikembangkan. Jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa dapat ditanamkan. Kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan dapat dikembangkan.

1.3  Makna keraton bagi masyarakat Indonesia
            Budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar. Sedangkan budaya bangsa adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya yang dihasilkan dan menjadi karakteristik bangsa tersebut. Karakter adalah kebijakan akhlak dan moral yang terpatri yang menjadi nilai intrisik dalam diri manusia yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilakunya.
Lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan dapat dikembangkan. Kita sebagai generasi penerus bangsa kita harus menjaga budaya asli bangsa Indonesia dan menghormati budaya Indonesia. Karena sudah banyak budaya asli bangsa Indonesia di ambil oleh orang asing dan di akui bahwa itu  budaya asli bangsa mereka, maka kita harus mempertahankan dan menjaga budaya asli bangsa kita.[2]

            Sebagai masyarakat Indonesia untuk terus menjaga budaya kita, dan budaya khas kota Solo. Seperti menjaga bangunan Keraton, merawat bangunan Keraton dan lain-lain. Serta memasarkan wisata kota Solo tepatnya Keraton Solo kepada masyarakat luas. Agar semua masyarakat mengetahui akan makna sejarah keraton bagi negera Indonesia ini.



BAB III
PENUTUP
Dengan penelitian ini dapat kita simpulkan bahwa Keraton Solo mempunyai banyak sejarah, makna bagi bangsa Indonesia. Umur bangunan Keraton Solo sekitar 2,6 abad. Yang dibangun oleh Raja Pakubuwono ke 2 pada tanggal 17 Februari 1745. Keraton Solo bukan lagi bangunan asli karena Keraton Solo pernah mengalami musibah yaitu kebakaran yang di akibatkan karena adanya konsleting listrik pada tanggal 31 Januari 1985. Luas dari Keraton Solo adalah 5312 meter, terbagi menjadi 4 yaitu Pendopo Paligi, Pendopo Agung Sasonosewoko, Dalem Agung Probosuyoso, Sasono Gondroweno. Untuk itu kita sebagai rakyat Indonesia untuk selalu menjaga budaya kita, menjaga keraton sebagai tempat sejarah Indonesia.




[1] http://lifestyle.okezone.com/read/2013/12/28/408/918627/menelusuri-jejak-sejarah-berdirinya-keraton-kasunanan-surakarta-hadiningrat
http://solo.yogyes.com/id/see-and-do/historic-and-heritage-sight/kraton-kasunanan
Read More

Kamis, 29 Oktober 2015

Kewajiban Negara, Pemerintah dan Masyarakat Dalam Melindungi hak Anak

Oktober 29, 2015

  
A.    

Pengertian anak
Menurut Supriyadi W. Eddyono, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila hal terebut adalah demi kepentingannya.

Pengertian anak secara hukum, dimana pengertian anak diletakkan sebagai objek sekaligus subjek utama dalam suatu proses legitimasi, generalisasi dan sistematika aturan yang mengatur tentang anak. Perlindungan secara hukum inilah yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap eksistensi dan hak-hak anak.Dalam pengertian hukum Maulana Hasan Wadong memberikan pengertian anak dan juga pengelompokan anak didasari oleh adanya unsur internal dan eksternal dalam diri anak, adapun unsure internal tersebut adalah:

a.    Anak sebagai subjek hukum
Anak digolongkan sebagai makhluk yang memiliki hak asasi manusia yang terikat oleh peraturan perundang-undangan.
b.    Persamaan hak dan kewajiban anak
Seorang anak akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.
Unsur eksternal dalam diri anak ialah:
a.    Adanya ketentuan hukum dengan asas persamaan dalam hukum (equality before the law)
b.    Adanya hak-hak istimewa (privilege) dari pemerintah melalui Undang-Undang Dasar 1945.



B.     Pengertian perlindungan anak
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan pisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum,baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun tidak tertulis.Hukum merupakanjaminan bagi kegiatan perlindungan anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun. Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensip, maka Undang-undang tersebut meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas Nondikriminasi, asas kepentingan yang terbaik untuk anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak.
 Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu:
a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.
b. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan12





C.    Perlindungan hak anak di Indonesia
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang berisi 93 (Sembilan puluh tiga) pasal ini dibagi ke dalam XIV (empat belas) bab yang berisi mengenai :
Ketentuan Umum;
Asas dan Tujuan;
Hak dan Kewajiban Anak;
Kewajiban dan Tanggung Jawab;
Kedudukan Anak;
Kuasa Asuh;
Perwalian;
Pengasuhan dan Pengangkatan Anak;
Penyelenggaraan Perlindungan;
Peran Masyarakat;
Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
Ketentuan Pidana;
Ketentuan Peralihan; dan
Ketentuan Penutup.


Hak anak dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam ketentuan Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 yang antara lain meliputi hak :
-          Atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara;
-          Sejak dalam kandungan untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya ,
-          Sejak kelahirannya atas suatu nama dan status kewarganegaraannya
-          Untuk anak yang cacat fisik dan/atau mental untuk memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya Negara.
-          Untuk anak yang cacat fisik dan/atau mental untuk terjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
-          Untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan/atau wali;
-          Untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
-          Untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa;
-          Untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut
-          Untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbagik bagi anak;
-          Untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya;
-          Untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minta, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;
-          Untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya;
-          Untuk tidak dilibatkan di dalam peristiea peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan social dan peristiwa lain yang mengandung unsure kekerasan;
-          Untuk mendapat perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya;
-          Untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan ekslpoitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya;
-          Untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; dan
-          Untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia tidak mencantumkan ketentuan mengenai kewajiban anak secara terperinci. Ketentuan mengenai kewajiban yang terdapat dalam Undang_undang tersebut adalah kewajiban dasar manusia secara menyeluruh.
Bab III Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai hak dan kewajiban anak. Hak anak diatur dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 sedangkan kewajiban anak dicantumkan pada Pasal 19. Hak anak yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut antara lain meliputi hak :
-          untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
-          atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan;
-          untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berkreasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua;
-          untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
-          memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;
-          memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya;
-          memperoleh pendidikan luar biasa, rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat;
-          memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan;
-          menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;
-          untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;
-          mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya;
-          untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;
-          memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
-          memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;
-          mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatan yang dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, serta membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum, bagi setiap anak yang dirampas kebebasannya;
-          untuk dirahasiakan, bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum; dan
-          mendapatkan bantuan hokum dan bantuan lainnya, bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana.
Pasal-pasal yang memuat ketentuan mengenai hak anak dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mempunyai banyak kesamaan dengan ketentuan hak anak dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap anak. Ketentuan Pasal 19 menyebutkan bahwa setiap anak berkewajiban untuk :
-          menghormati orang tua;
-          mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
-          mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
-          menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
-          melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Perlindungan anak sebagaimana batasan pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dapat terwujud apabila mendapatkan dukungan dan tanggung jawab dari berbagai pihak. Dukungan yang dibutuhkan guna mewujudkan perlindungan atas hak anak di Indonesia diatur dalam ketentuan Bab IV Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. Pasal 20 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Negara dan Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Negara dan pemerintah juga berkewajiban serta bertanggungjawab untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pengaturan mengenai kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah tercantum dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai jaminan negara dan pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan anak. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah juga menjamin anak untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. Jaminan yang diberikan oleh negara dan pemerintah tersebut diikuti pula dengan pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat atas perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 25. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Ketentuan Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa peran masyarakat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.
Pasal 26 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua. Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan anak, bakan dan minatnya; dan c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Apabila orang tua tidak ada, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, atau tidak diketahui keberadaannya, maka kewajiban dan tanggung jawab orang tua atas anak dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak diatur dalam Bab IX Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. Perlindungan terhadap anak diselenggarakan dalam bidang agama, kesehatan, pendidikan, social, serta perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat.












D. Pelanggaran Hak anak di Indonesia
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat sepanjang Januari sampai Oktober tahun 2013 terdapat 2.792 kasus pelanggaran hak anak. Dari Jumlah itu 1.424 adalah kasus kekerasan , dimana 730 diantaranya adalah kekerasan seksual. Data Komnas Anak mencatat berdasar pengaduan masyarakat melalui program hotline service, pengaduan langsung, surat menyurat cetak dan pesan elektronik sepanjang Januari-Oktober 2013, Komnas Anak menerima 2.792 kasus pelanggaran hak anak, dari kasus itu 1424 kasus kekerasaan. Data tersebut menunjukan, Komnas Anak menerima pengaduan masyarakat sekitar 270 pelanggaran terhadap anak setiap bulannya. Angka ini meningkat 48 persen jika dibanding dengan pengaduan masyarakat yang diterima Komnas Anak tahun 2012 yakni 1.383.

               Jika menilik pada data – data di atas bisa di katakan negara telah gagal dalam urusan perlindungan hak anak. Negara pun telah mengabaikan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak Anak dimana Indonesia terikat secara yuridis dan politis untuk memberikan perlindungan bagi anak dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, diskriminasi dan eksploitasi yang telah diratifikasi Indonesia sejak tahun 1990.
Adanya UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pun belum diimbangi implementasi perlindungan terhadap anak dan sanksi bagi pelaku pelanggaran hak anak pun tidakmaksimal.

Terkait wilayah terjadinya kekerasan terhadap anak, wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi adalah tempat dimana kasus kekerasan terhadap anak meningkat. 
Bahkan DKI Jakarta menduduki tempat teratas. Dari 2637 kasus tahun 2012, 666 kasus terjadi di wilayah hukum DKI Jakarta,
sebagian besar kasus tindak kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. 




             Sebagai contoh , Kematian RI (11 tahun) seorang anak kelas lima sekolah dari keluarga miskin di awal tahun 2013, diduga mengalami kekerasan seksual berulang dan biadab. Bayi AL (9 bulan) juga meninggal dunia akibat kejahatan seksual yang dilakukan paman kandungnya. Bayi AL ini meninggal karena terjangkit virus yang mematikan yang ditularkan pamannya.
Selain itu pemenuhan terhadap hak – hak anak masih belum memadai di Indonesia hal hal ini umumnya masih sangat kentara di rasakan oleh anak – anak yang tingal di daerah pedalaman , pelosok dan areal terpencil di negeri ini di mana pemerintah sering melupakan diri dalam memenuhi hak mendapat pendidikan yang layak bagi anak – anak tersebut. Dan pula  dalam pasal 34: 1, UUD 1945 disebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Berdasarkan pada pasal ini maka anak-anak jalanan merupakan tanggung jawab negara. 

            Tapi ada yang ganjil. Anak jalanan justru mengalami peningkatan secara kuantitas di daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah sub urban. 
Fakta ini menunjukkan ada yang perlu diluruskan dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu kebijakan struktural yang belum menyentuh penanganan mereka secara serius. Pemimpin rakyat sibuk memperkaya diri seolah-olah tanggung jawab memenuhi janji-janji kampanye mereka dianggap selesai saat mereka mendapatkan kursi kekuasaan yang mereka inginkan. Nasib anak-anak jalanan di negeri ini berbanding lurus dengan nasib orang-orang miskin, ditelantarkan dan tidak pernah mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah.









                                                                  BAB III

                                                     PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi perserikatan bangsa – bangsa tentang hak anak , dan pula di sebutkan jika Indonesia menjamin terhadap pemenuhan dan perlindungan anak yang kemudian dalam pengimplementasiaanya pemerintah membuat kebijakan dengan mengeluarkan Undang – undang nomor 23 tahun 2002. Dalam pengawasan terhadap hal tersebut pemerintah juga mendirikan lembaga Komisi Nasional Perlindungan anak dan Komisi perlindungan Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ).
Akan tetapi realita yang terjadi sekarang adalah negara seolah melupakan terhadap pemenuhan dan pelindungan hak anak , hal ini terbukti dengan banyaknya anak yang mengalami kekerasan , menderita gizi buruk , busung lapar dan hingga meningkatnya jumlah angka anak putus sekolah yang akhirnya menjadi anak jalanan.
Hal ini menunjukan Indonesia telah gagal dalam memenuhi pemenuhan dan perlindungan terhadap anak.

B.    SARAN
Dari berbagai kenyataan yang terjadi , di harapkan kepada pemerintah agar lebih memperhatikan kesejahtraan anak – anak Indonesia , Perhatian yang di maksud adalah dengan memberikan pelayanan dan pengawasan terhadap setiap hal yang berkaitan dengan anak Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA
1.     Abdussalam. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung.
2.      Agus, Fadillah. 1997. Hukum Humaniter Suatu Perspektif. Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Tri Sakti.
3.     Ahsinin, Adzkar. 2011. Pekerjaan Terburuk Anak dalam Kerangka Hukum HAM Internasional. Jakarta: Yayasan Pemantau Hak Anak.
4.     Boven, Theo Van. 1997. The International System of Human Rights An Overview in Manual On Human Rights Re Porting: Under Six Major International Human Rights Instruments. OHCHR. UNITAR dan United Nation Staff College Project.
5.     http://www.unicef.org/crc/crc.htm.
6.     http://www.komnasham.go.id.
7.     http://www2.ohchr.org/english/law.



Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot