091
RUJUK
1. Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali,
sedangkan dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan
nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan
dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan
islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji (Ali, 2006: 90).
Menurut Al-Mahali dalam Syariffudin (2009: 337)
mendefinisikan rujuk sebagai kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai
yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah.
Dari definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata
kunci yang menunjukan hakikat dari perbuatan yang bernama rujuk itu:
·
Kata atau ungkapan “kembali”
mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam
perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan perceraian, dan
laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut
rujuk dalam pengertian ini,
·
Ungkapan atau kata “yang telah
dicerai raj’i” mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu
dalam bentuk yang belum putus atau ba’in , hal ini mengandung maksud bahwa
kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam
bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk dan
·
Ungkapan atau kata “masih dalam masa
iddah” mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selam istri masih berada
dalam iddah. Bila waktu telah habis mantan suami tidak dapat lagi kembali
kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk itu suami harus memulai lagi nikah
baru dengan akad baru (Syariffudin, 2009: 337-338).
2. Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in
Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah
dalam Mughniyah (2008: 483), berpendapat rujuk terhadap wanita yang ditalak
ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang di talak melalui khulu (tebusan),
melainkan dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya talaknya itu bukan merupakan
talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat hukum wanita seperti itu sama dengan
wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya
akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainya iddah
tidak dianggap sebagai syarat.
Menurut (Rifa’i, Mas’udi, 1986: 275) mengatakan,
seorang suami yang menceraikan istrinya tiga kali atau lebih, maka suami
tersebut tidak boleh melakukan rujuk kepada istrinya, melainkan dengan beberapa
syarat yaitu: telah selesai masa iddah perempuan tersebut darinya, perempuan
tersebut menikah lagi dengan lelaki lain, telah bersetubuh dengan lelaki yang
telah dikawininya lagi, telah dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan
telah selesai masa iddahnya dari lelaki tersebut.
3. Rukun dan Syarat Rujuk
Seseorang yang melakukan rujuk harus memenuhi
syarat-syarat dan rukun dalam rujuk.
a. Rukun Rujuk
Menurut Ayub, (2001: 281-283) yang termasuk dalam
rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya,
suami melakukan rujuk atas kehendak sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat
(lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan
hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi
itu merupakan rukun yang wajib atau hanya sunnah. Sebagian mengatakan wajib,
sedangkan yang lain mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan
perbuatan. Imam Syafi’i berpendapat hal tersebut tidak sah, yang berlandaskan
pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus dilakukan dengan dipersaksikan,
sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya dengan sighat (perkataan). Akan tetapi
menurut kebanyakaan para ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh). Mereka
beralasan kepada firman Allah swt yang berbunyi: “Dan suami-suami berhak
merujukinya.” Dalam ayat tersebut tidak ditentukan dengan perkataan atau
perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat tersebut hanya sunnah, bukan wajib
(Rasjid, 1994: 420).
b. Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama
ialah ucapan rujuk mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
a) Laki-laki
yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah sebagai
berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang
dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu
mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu
telah dewasa dan sehat akalnyadan bertindak dengan kesadarannya sendiri.
Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang
dilakukannya. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang
lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja
minum-minuman yang memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda
pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
b) Perempuan
yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu
adalah: perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk, istri
itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk
istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam
bentuk talak ba’in, istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i.
Laki-laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya secara
talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah
hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan
istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada
istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya, karena rujuk hanya
berlaku bila perempuan itu masih berada dalam iddah, istri yang
dicerai sebelum digauli tidak mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan
sebelumnya (Syariffudin, 2009: 341-343).
Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan
(2004: 267-268) mengatakan bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk
yaitu:
o kerelaan
istri, dalam rujuk tidak disyaratkan dalam kerelaan istri, karena hak rujuk itu
adalah hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain,
o tidak
disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya karena lagi-lagi rujuk merupakan
hak suami, dan
o saksi ketika
rujuk, saksi tidak diperlukan bagi suami yang akan kembali kepada istrinya.
Akan tetapi ulam sepakat mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan sekedar
untuk berhati-hati belaka.
4. Tata Cara
Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal
yang mengatur tata cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata
cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
1) suami yang
hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain
yang diperlukan,
2) rujuk
dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pencatat Nikah,
3) pegawai
Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu
memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya
itu adalah istrinya,
4) setelah itu
suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk dan
5) setelah
rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang
hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk (Ramulyo, 1996:
165-166)
Pasal 168
KHI:
Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan
ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi,
sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai
surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran
Rujuk dan yang lain disimpan, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk
oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas
hari sesudah rujuk dilakukan danapabila lembar pertama dari daftar rujuk itu
hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar
lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya (Abdullah,
1994: 127).
Menurut Hakim, (2000: 213) tata cara mengenai rujuk
dalam pasal 169 ialah sebagai berikut Pasal 169 KHI:
.
§
Pegawai Pencatat Nikah membuat surat
keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama
di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri
masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang
ditetapkan oleh Mentri Agama,
§
Suami istri atau kuasanya membawa
Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di tempat
berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah
masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
§
Catatan yang dimaksud berisi tempat
terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.
5. Hikmah Rujuk
Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya rujuk bagi
suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah,
diantaranya sebagai berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing pihak
untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melakukan percerain dan saling
memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk
mengembalikan kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi
perkawinan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan
ibadah kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah
tangga sehingga keutuhan keluarga dapat dipelihara.
6. Hukum Rujuk
§ Wajib,
terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan
pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
§ Haram,
apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
§ Makruh,
kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
§ Mubah, ini
adalah hukum rujuk yang asli dan
§ Sunnah,
apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih
berfaedah bagi keduanya (Rasjid, 1994: 418).
7. Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang
ditalak raj’i diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang
menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan). Bekas suami yang
merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i mempunyai batasan bahwa bekas suami
itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami
mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim
(Djamal, 1983: 284)
IHDAD
1. Pengertian
Berkabung/Ihdad
Menurut Abu Zakaria al-Anshary, Bahwa ihdad berasal
dari kata ahadda, dan kadangbisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari
kata hadda. Secara evitimologis (lughawi) ihdad berarti al-man’u(cegahan
atau larangan)sedangkan menurut Abdul Mujib dan kawan-kawannya, bahwa yang
dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal
mati oleh suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan dan sepuluh hari yang disertai
dengan larangan-larangan, antara lain: bercelek mata,berhias diri,keluar
rumah,kecuali dalam keadaanterpaksa.
Sedangkan menurut pandangan syara’ ihdad adalah
meninggalkan pakaian yang dicelup warna yang dimaksud untuk perhiasan,
sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain itu ditenun atau kain tiu
menjadi kasar
Tetapi menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati
memberikan devinisi ihdad sebagaimana berikut.
Ihdad adalah menahan diri dari bersolek atau berhias
diri dibadan.
Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah Zuhaili
memberikan definisi sebagai berikut.
Ihdad adalah meninggalkan harum-haruman, perhiasan,
celak mata, dan minyak. minyak yang mengharumakan atau tidak.
Menurut pengarang kitab Hasyiyatani bahwa ihdad :
Yang artinya:”secara bahasa larangan, secara syara’
larangan yang ditentukan untuk berhias diri dan memakai pakain yang dicelup
atau pakai pewarna dan sesasamanya
Imam Hanafi
devinisi ihdad adalah:
Ihdad adalah suatu ungkapan yang didivinisikan dengan
menjahuinya seorang perempuan dari memakai harum-haruman, memakai celak,
berhias, tidak boleh menyisir rambutnya dan lainnya.
Imam Maliki
mendevinisikan ihdad adalah:
Ihdad adalah meninggalkan semua hiasan termasuk juga
cincin, yang dibuat berhias oleh seorang perempuan seperti minter, celak
wangi-wangian dan baju yang di warnai.
Menurut Imam
Ahmad Bin Hanbal sebagaiman:
Ihda adalah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya untuk menjahui berhias diri baik dari pakaian maupun dari
wangi-wangian.
2. Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Ihdad
Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang
melakukan ihdad dilarang melakukan perbuatan yang membikin orang laki-laki
tertarik pada dirinya perempuan yang melakukan berkabung tersebut, seperti
memakai perhiasan intan, celak, memakai pakaian yang dicelup dengan warna,
kecuali warna hitam.
Mengenai memakai celak ini masih ada perbedaan para
fuqaha tentang tidak boleh dan bolehnya memakai celak ini. Satu golongan
berpendapat bahwa seorang perempuan yang sedang melakukan ihdad diperboleh kan
memakai celak dengan syarat pada siang malam hari, tetapi menurut pendata yang
lainnya mengatakan tidak harus malam hari pada waktu siang haripun boleh dengan
syarat bukan untuk berhias dir,tetapi karena ada darurat dan kebutuhan seperti
sakit mata dan lainnya.
Ringakasnya mengenai pendapat-pendapat diatas bahwa
seorang seorang perempuan yang sedang melaksanakan ihdad tentang larangan bagi
seorang perempuan sangatlah berdekatan dan hamper sama pendapatnya, yaitu
perempuan harus menjauhi memakai pakaian atau sesuatu yang bisa menarik
perhatian laki-laki. Yang mendorong para ulama mewajibkan ihdad bagi seorang
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya adalah hadits Shahih dibawah ini:
“Bahwa seorang
perempuan datang kepada nabi kemudian berkata:yarasulullah, sesungguhnya anak
perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karena sakit
pada kedua matanya, bolehkan ia bercelak wahai rasulrasulullah?rasulullah
menjawa, tidak boleh (2x)atau (3x)yang pada masing masing beliau tidak
memperbolehkan. Kemudian beliau berkta:sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan dan
10 hari,dan sesungguhnya dulu ada yang melakukan ihdad selama satu tahun ”.
Abu Muhammad menyatakan hadits tersebut menunjukkan
kita wajib berpegangan pada pendapat yang mengatakan bahwa berihdad itu
hukumnya wajib.
3. Yang
Tidak Terlarang Bagi Wanita Yang Sedang Berihdad
Tidak
dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut
rambut ketiak, mencukur
rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma).
Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma).
Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
Tidak
diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan
pula baginya berbicara dengan
laki-laki sesuai keperluannya, selama ia
berhijab
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159).
4. Hikmah Ihdad Oleh Wanita
Fadhilatusy Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan, “Hikmahnya
adalah untuk menghormati hak suami dalam
masa ‘iddah karena meninggalnya, hingga tidak
ada seorang pun yang berkeinginan untuk
menikahi si wanita dalam masa ‘iddah. Sebagaimana
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan suami-suami mereka paling berhak
merujuki mereka dalam masa ’iddah
tersebut, jika mereka menghendaki ishlah.”
(Al-Baqarah: 228)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang. Dari segi
istilah hukum syarak rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada nikah
selepas perceraian kurang daripada tiga kali dalam masa iddah dengan
syarat-syarat tertentu.
Ihdad adalah
kondisi wanita yang sedang menjalani masa iddahnya Karena ditinggal mati oleh
suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia harus menjauhi apa saja yang
mengarah kepada hubungan seksual dengannya atau tidak mengenakan perhiasan apa
saja yang menyebabkan laki-laki lain yang dapat menyebabkan laki-laki lain
tertarik melihatnya.
Banyak
hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadaan berihdad
seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai farfum, keluar rumah kecuali
dalam keadaan terpaksa, memakai pakaian yang berwarna yang pada intinya
menjauhi perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.
Tags:
MAKALAH