Knowledge Is Free: MAKALAH

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Januari 2021

Makalah Hadist Di Tinjau Dari Segi Kualitas Perawi (doc)

Januari 24, 2021 0



Pengertian Hadits di tinjau dari segi kualitas perawi

Dilihat dari segi kualitasnya, hadits dapat diklasifikasi menjadi hadits sahih, hasan dan dha’if. Pembahasan tentang hadits sahih dan hasan mengkaji tentang dua jenis yang hampir sama, tidak hanya keduanya berstatus sabagai hadits maqbul, dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat dari segi persyaratannya dan kriteria-kriterianya sama kecuali pada hadits hasan, diantara periwayatnya ada yang kurang kuat hapalannyanya, sementara pada hadits sahih diharuskan kuat hafalan. Sedang persyaratan lain, terkait dengan persambungan sanad, keadilan periwayat, keterlepasan dari syadz dan ‘illat. Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau sahih.
 

Pembagian hadits dari segi Kualitas 


Hadis dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis mardud ialah hadis yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud ialah ialah hadis yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya. Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya juga menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
Hadits shahih 


Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”. 
Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 

1) sanadnya bersambung, 
2) perawinya bersifat adil, 
3) perawinya bersifat dhabith,
4) matannya tidak syaz, 
5) matannya tidak mengandung ‘illat.

Hadsit Hasan

Pengertian
   Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
    “khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.”
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
“Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.”
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.[]
Contoh hadits Hasan 
    Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.”

Macam-Macam Hadist Hasan
    Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
    Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :

هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.”
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.”
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat. 
Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.

Kehujjahan Hadist Hasan
    Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
    Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan Hadits hasan ini, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memerikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal dengan Hadits hasan  ini. Agaknya Al-Khattabi lebih teliiti tentang penerimaan mereka terhadap Hadits ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan di sini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah Hadits hasan li dzatihi.[]    
    Sedangkan Hadits hasan li gharihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi  oleh banyaknya riwayat (riwayat lain), maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian, tidak sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatnya hasan li gharihi pun bisa dipergunakan sebagai hujjah.
    Kitab-kitab Hadits yang banyak memuat Hadits hasan ini adalah Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan Al-Daruquthny.
    Sementara para ulama yang membedakan kehujjahan Hadits berdasarkan perbedaan kualitas, Hadits hasan li dzatihi dengan li gharihi dan sahih li dzatihi dengan li ghairihi, maupun antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah Hadits-Hadits tersebut berdasakan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dan seterusnya.
    Penempatan hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan/tingkatan-tingkatan di atas, akan terlihat kegunaannya ketika terjadi atau terlihat adanya pertentangan (ta’arudh) antara dua hadits. Hadits-Hadits yang menempati urutan pertama dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau ketiga dinilai lebih kuat daripada Hadits-Hadits pada urutan keempat atau kelima.
Hadist Dhaif
Pengertian 
   Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.”
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ

“Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan”
    Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[]
Contoh Hadist Dhaif

    Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi MuhammadSAW.”
    Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
Hukum Periwayatan Hadist Dhaif

    Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

    Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :   رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).

Pemgalaman Hadist Dhaif
    Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :

Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam. 
Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama. 
Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :

Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar). 
Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

Tingkatan Hadist Dhaif
    Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.[]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
   Hadits di tinjau dari segi kualitasnya menjajadi hadits sahih, hasan dan dhaif. Perbedaan anatara hadits sahih dan hadits hasan terdapat pada hafalan perawinya. Sedangkan hadits dhif adalah hadits yang ditolak  (tidak dapat diterima) karena hadits ini tidak terdapat syarat-syarat hadits sahih dan hasan.
    Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
    Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
     dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

Saran
    Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari Dosen Pembimbing Bapak Burhanuddin, MA yang bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

[] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[2] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[3] Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RayaGrasindo Persada, 2002, hlm. 148
[4] Ibid. hlm. 164
[5] Ibid. Hlm. 91
http:/ /musicflashbqs .blogspot.com/2017/11/makalah-hadits-menurut-segi-kuanlitas.html
https://makalahnih.blogspot.com/2014/06/pembagian-hadits-ulumul-hadits.html?m=1
Read More

Kamis, 03 Desember 2020

Makalah Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Aspek Epistemologi Dan Aspek Aksiologi (Makalah Filsafat) (doc)

Desember 03, 2020 0




Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Aspek Epistemologi Dan Aspek Aksiologi

Dari Aspek Ontologi

Pada  dasarnya,  menurut  Jujun  S.  Suriasumantri  Filsafat  Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab bebrapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti : “obyek  apa  yang  ditelaah  ilmu  ?  bagaimana  wujud  yang  hakiki  dari  obyek tersebut  ?  bagaimana  hubungan  antara  obyek  tadi  dengan  daya  tangkap manusia  (seperti  berpikir,  merasa  dan  mengindera)  yang  membuahkan pengetahuan ?.
Konkritnya,  bidang  telaah  sebagaimana  konteks  diatas  merupakan bidang Ontologi. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu  Hukum  maka  bidang  Ontologi  Ilmu  Hukum  pada  hakikatnya  akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum. 
Sebagaimana  diketahui  bersama  bahwasanya  menurut  pandangan doktrina  seperti  E.  Ultercht,  Van  Apeldoorn,  Prof.  Van  Kant,  Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan  yang  harus  ditaati  oleh  anggota  masyarakat  dan  pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi.
Oleh  karena  itu,  menurut  penulis  dengan  titik  tolak  teoritik sebagaimana  pandangan  doktrina  dan  aspek  praktek  pada  dunia  peradilan maka  secara  Universal ada 3  (tiga) aspek  yang  dipelajari  dari  Ilmu  Hukum, yaitu :  
Nilai-nilai  hukum  seperti  ketertiban,  keadilan,  kepastian  hukum  dan lain-lain
Kaidah-kaidah  hukum  berupa  kaidah  tertulis  ataupun  tidak  tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret.
Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.
Dengan  3  (tiga)  bidang  dari  Ilmu  Hukum  tersebut  menimbulkan pertanyaan  tentang  apakah  titik  tolak  kajian  substansial  dari  Ilmu  Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu. 
Ternyata  dari  Optik  Ontologi  maka  kajian  substansial  Ilmu  Hukum terletak  pada  “Kaidah-kaidah  Hukum“.  Tegasnya,  Ilmu  Hukum  tidak mungkin  dapat  dipisahkan  dari  kaidah  Hukum.  Tetapi  dalam  korelasi demikian  ini  persoalannya  timbul  dalam  posisi  dan  situasi  kaidah  hukum yang  bagaimana  menjadi  perhatian  dari  Ilmu  Hukum.  Seperti  diuraikan konteks diatas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang  Ilmu  Hukum  ini  yaitu  sosiologi  Hukum  dan  Antropologi  Hukum tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  adanya  kriteria  bahwa  perilaku  atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi  menjadikan  suatu  hal  yang  akan  menjadi  kaidah  hukum  itu  bila dilanggar  menimbulkan  adanya  sanksi. Tanpa    terbagi-bagi  ke  dalam bidang-bidang  kajian,  Ilmu  Hukum  dengan  senirinya  sudah  mengkaji  nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang  dipentingkan  adalah  bidang  perilaku,  terhadap  nilai  atau  kaidah seperti  Sosiologi  Hukum  dan  Antropologi  Hukum  misalnya  lebih  menekankan  pengkajian  perilaku  hukum.  Akan  tetapi  yang  perlu  menjadi titik  tolak  bidang  kajian  Ilmu  Hukum  adalah  Kaidah  Hukum  yang berhubungan  dengan  nilai  dan  perilaku.  Kaidah  Hukum  dapat  ditentukan dalam dunia  nyata  sebagai  hukum  yang  hidup  berupa  perilaku  hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.  
Begitu  pula  kaidah  hukum  dapat  ditemukan  dalam  hukum  tertulis seperti  :  UU,  Yurisprudensi,  Keputusn  Pemerintah  Pusat/Daerah  dan  lain sebagainya.  Kaidah  hukum  dapat  pula  ditemukan  dalam  kitab-kitab  suci, ada  kemungkinan  hukum  yang  tercatat/tertulis  berasal  dari  kenyataan hukum,  tetapi  pembentukannya  bersifat  rasional.  Pembentuknya  (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai  pandangan  tertentu  yang  cukup  berperanan  dalam terbentuknya  hukum  tersebut.  Adanya  kepentingan/pandangan  tertentu turut  dipertimbangkan  mengakibatkan  fakta  empiris  akan  menjadai  hukum setelah  diolah  secara  rasional.  Dalam  pembentukan  hukum  yang  terbentuk tidak  berasal  semata-mata  dari  kebiasaan  tetapi  timbul  berdasarkan  suatu pertimbangan  dari  pihak  berwibawa  sehingga  anggota  masyarakat  patuh. Hukum  yang  hidup  (living  Law)  tidak  bisa  lepas  dari  pertimbangan  pihak yang  berwibawa.  Pihak  yang  berwibawa  sudah  tentu  mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah membiasa, serta sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.  
Dengan  demikian  ditinjau  dari  deskripsi  diatas  dapatlah  ditarik  2 (dua)  asumsi  dasar,  yaitu  :  Pertama,  bahwasanya  kaidah  hukum  dapat ditemukan  dalam  hukum  tertulis  dan  tercatat.  Kedua,  bahwasanya pembentukan  hukum  yang  hidup  tidak  lepas  dari  legitimasi  kewibawaan yang  mengakibatkan  adanya  pertimbangan  nilai,  maka  dapat  disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta  empiris  yang  alamiah  dan  fisik  serta  dapat  diserap  dengan  panca indera.  Hukum  bersangkutan  dengan  manusia  yang  secara  utuh  bersosok monodualistis  antara  jiwa  dan  badan,  individu  dan  masyarakat.  Kaidah hukum  berintikan  keadilan.  Adil  dan  tidak  adil  merupakan  pendapat mengenai  nilai  secara  pribadi.  Kaidah  hukum  bersangkutan  dengan martabat  manusia  (human  dignity),  bagaimana  manusia  terlindungi  dari kesewenang-wenangan,  bebas  dari  rasa  takut  dan  lain-lain  dan  ini merupakan  aspek  personal  dari  hukum.  Sedangkan  terhadap  pernyataan bahwa  kaidah  hukum  berlaku  bagi  siapapun  dan  kapanpun,  pedoman  bagi anggota  masyarakat  bertingkah  laku,  dan  untuk  memperhatikan  kaidah hukum  tersebut  dibentuklah  pranata  hukum  dan  lembaga  hukum,  adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum.

Dari Aspek Epistemologi

Bagaimanakah  Ilmu  Hukum  apabila  dikaji  dari  aspek  Epistemologi? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu  kiranya dibahas  selintas  pengertian  “Epistemologi”  ini.  Ditinjau  aspek  etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai  untuk  menunjukkan  adanya  pengetahuan  sistematik.  Sehingga secara  mudah  epistemologi  dapat  diartikan  sebagai  pengetahuan  sistematik mengenai pengetahuan. 
Selanjutnya,  menurut  A.M.W.  Pranarka  menyebutkan,  bahwa : “Webster  Third  New  International  Dictionary  mengartikan  epitemologi sebagai  “the  study  of  methol  and  grounds  of  knowledge,  especially  with reference  to  its  limits  and  validity”.  Pada  tempat  yang  sama  secara  singkat dikemukakan  bahwa  Runnes  didalam  “The  theory  of    knowledge”.  Dalam pada  itu    Runnes  didalam  Dictionary  of  Philosophy  memberikan keterangan  bahwa  epistemology  merupakan  the  bronch  of  philosophy  which investigates the origin, structure methode an validity of knowledge”. 
Selain  itu,  secara  terminologis  maka  Epistemologi  dikenal  dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”.  Di  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  istilah  “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”.
Dari  apa  yang  diuraikan  diatas  maka  ditinjau  melalui  aspek  Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum.
Pada  dasarnya,  apabila  ilmu  hukum  sebagai  ilmu  maka  bertujuan mencari  kebenaran.  Menurut  Theori  Korespodensi  kebenaran  merupakan persesuaian, antara  pengetahuan  dan obyeknya. Sehingga  dengan demikian pengetahuan  terletak  dalam  dimensi  mentalitas  manusia,  sedangkan  obyek dalam  dunia  nyata.  Untuk  menyatakan  adanya  hubungan  inilah  timbul pendapat  antara  faham  empiris  dan  rasionalisme.  Menurut  empirisme pengetahuan  adalah  segenap  pengalaman  manusia,  sedangkan  menurut faham  rasionalisme  maka  akallah/ratiolah  yang  dapat  mengetahui  obyek. Akan  tetapi,  terhadap  hakekat  hukum  tidak  selalu  berdasarkan empirisme/rasionalisme  saja  oleh  karena  gejala  hukum  bukan  saja  berupa pengalaman  manusia  saja  seperti  perilaku  hukum  akan  tetapi  diluar pengalaman  manusia  seperti  nilai-nilai  hukum.  Theori  Kebenaran korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu  guna    mencari  keadilan  yang  benar  digunakanlah  sebuah  metode.  Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan rasionalisme maka  secara  tradisional  dibedakan  dua  metode  ilmu  yakin  metode  deduksi dan  metode  induksi.  Selanjutnya,  dalam  perkembangannya  timbul  metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko – hipotetiko – verifikasi yang berdasarkan pandangan Karl R. Popper muncul theori  faksifikasi.  Dalam  metode  ini  maka  suatu  masalah  berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin baik yang termasuk deduktif atau induktif. Istilah  “  Logiko  –  hipotetiko  “  menempatkan  kaidah  hukum  sebagai  hal mentah  yang  perlu  dimasukkan  ke  dalam  proses  “Verifikasi”  cenderung menjadi justifikasi/pembenaran. Dengan mengadakan verifikasi, maka sebab itu  menurut  Popper  bukan  verifikasi  yang  menjadi  kretarium  demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah faksifikasi yakni kemampuan untuk menyangkal  kesalahan.  Dengan  demikian  Popper  mengganti  verifikasi bersifat induktif dengan falsifikasi deduktif. 
Konkretnya,  metode  ilmu  Hukum  ditentukan  oleh  aspek  Ontologis dan  Axiologis  dari  hukum.  Konsep  mengenai  metode  dan  ilmu  sifatnya universal.  Artinya,  untuk  bidang  apa  saja  atau  untuk  jenis  ilmu  manapun adalah  sama,  tetapi  pengaruh  dari  obyek  suatu  ilmu  tentu  tidak  dapat dihindarkan. Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana  telah  diuraikan  dari  aspek  Ontologi  maka  fokus  utama titik  kajian  substansial  Ilmu  Hukum  adalah  kaidah  hukum.  Tegasnya, eksistensi  hukum  ditentukan  adanya  kaidah  hukum.  Mungkin  kaidah hukum mempunyai nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum.  Ciri  pokok  dari  nilai  dan  perilaku  sebagai  hukum  ialah  sifat normatifnya.  Sudah  tentu  kaidah  hukum  berisi  nilai-nilai  dan  perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai  dan  perilaku.  Nilai  merupakan  turunan  dari  ide  dan  perilaku merupakan  turunan  realitas/fakta.  Apabila  kita  mencita-citakan  suatu  ilmu tentang  hukum/ilmu  hukum  maka  penentuan  metode  Ilmu  Hukum  harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan perilaku sehingga fokus  sentral  atau  fundamental  metode  Ilmu  Hukum  adalah  analisis  atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya bahan kajian sampingan dari  analisis  kaidah.  Maka  oleh  karena  itu  secara  ideal  dalam  Ilmu  Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-hipotetiko-verifikasi.

Dari Aspek Aksiologi

Menurut  Jujun  S  Suriasumantri  maka  ditinjau  dari  aspek  axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk  apa  pengetahuan  yang  berupa  ilmu  itu  dipergunakan  ?  Bagaimana kaitan  antara  cara  penggunaan  tersebut  dengan  kaidah-kaidah  moral  ? Bagaimana  penentuan  obyek  yang  ditelaah  berdasarkan  pilihan-pilihan moral  ?  Bagaimana    kaitan  antara  teknik  prosedural  yang  merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?”

Konkritnya,  dari  aspek  tersebut  Axiologi  Ilmu  Hukum  akan berkoleratif  terhadap  kegunaan  dari  Ilmu  Hukum  itu  sendiri.  Sebagaimana diketahui  bersama  bahwasanya  Ilmu  Hukum  bersifat  dinamis  dalam  artian mempunyai  pengaruh  dan  fungsih  yang  khas  dibanding  dengan  bidang- bidang hukum yang lain.
Apabila  dijabarkan  secara  intens,  detail  dan  terperinci  maka peran/pengaruh  Ilmu  Hukum  tersebut  dari  aspek  Axiologi  Ilmu  adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam proses  pembentukan  hukum  Ilmu  Hukum  melalui  hasil- hasil  penelitian,  kajian  teroritik  dari  para  doktrina  sebagai  bahan masukan  yang  penting  dalam  rangka  menjadi  masukan  untuk menyusun  RUU  (Rancangan  Undang-Undang)  sehingga diharapkan  nantinya  Undang-Undang  yang  diterapkan  dapat berfungsi  maksimal  karena  telah  memenuhi  analisis,  filosofis, yuridis dan sosiologis;


Kedua, dalam  praktek  hukum  lazim  pada  proses  peradilan  oleh  hakim, jaksa/Penuntut  Umum,  Penasehat  Hukum  dipergunakan pendapat  para  doktrina  untuk  menyusun  putusan,  tuntutan  dan pembelaan.  Dari aspek  ini  merupakan  perpaduan  antara  dunia teori dan dunia praktek;
Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan  berpengaruh  kepada  mutu  pendidikan  hukum  dan lulusannya dan;
Keempat, Bahwa  dengan  pesat  dan  majunya  Ilmu  Hukum  akan  menarik, memacu  dan  berpengaruh  kepada  perkembangan  bidang-bidang lainnya  diluar  hukum.  Peranan  Ilmu  Hukum  disini  nampak kepada  bidang-bidang  yang  memerlukan  suatu  kejelasan  dan pengaturan  dimana  suatu  sistem  hukum  berusaha  mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
Sedangkan fungsi Ilmu Hukum dari aspek Axiologi Ilmu nampak dalam: 
Pertama, Bahwa  Ilmu  hukum  berusaha  mensistemasi  bahan-bahan  hukum yang  terpisah-pisah  secara  komprehensif  dalam  suatu  buku hukum seperti: Kondefikasi, Unifikasi dan lain-lain;
Kedua,   Bahwa  adanya  fungsi  Ilmu  Hukum  yang  mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan  dan  diperlukan  oleh  bidang-bidang lain  serta  sehingga  sebagai  pencerahan  guna  mengatasi  kesulitan dan  kebuntuan  yang  meluas  dalam  dunia  hukum  khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legalitas.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Konkritnya,  bidang  telaah  sebagaimana  konteks  diatas  merupakan bidang Ontologi. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu  Hukum  maka  bidang  Ontologi  Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum. Ternyata dari Ontologi maka kajian substansial Ilmu  Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat  dipisahkan  dari  kaidah  Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian  ini  persoalannya  timbul  dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang  bagaimana  menjadi  perhatian  dari  Ilmu  Hukum.
Bagaimanakah  Ilmu  Hukum  apabila  dikaji  dari  aspek  Epistemologi? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu  kiranya dibahas  selintas  pengertian  “Epistemologi”  ini.  Ditinjau  aspek  etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai  untuk  menunjukkan  adanya  pengetahuan  sistematik.  Sehingga secara  mudah  epistemologi  dapat  diartikan  sebagai  pengetahuan  sistematik mengenai pengetahuan. Selain  itu,  secara  terminologis  maka  Epistemologi  dikenal  dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”.  Di  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  istilah  “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”. Dari  apa  yang  diuraikan  diatas  maka  ditinjau  melalui  aspek  Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum. Pada  dasarnya,  apabila  ilmu  hukum  sebagai  ilmu  maka  bertujuan mencari  kebenaran.  Menurut  Theori  Korespodensi  kebenaran  merupakan persesuaian, antara  pengetahuan  dan obyeknya. Sehingga  dengan demikian pengetahuan  terletak  dalam  dimensi  mentalitas  manusia,  sedangkan  obyek dalam  dunia  nyata.
Menurut  Jujun  S  Suriasumantri  maka  ditinjau  dari  aspek  axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk  apa  pengetahuan  yang  berupa  ilmu  itu  dipergunakan  ?  Bagaimana kaitan  antara  cara  penggunaan  tersebut  dengan  kaidah-kaidah  moral  ? Bagaimana  penentuan  obyek  yang  ditelaah  berdasarkan  pilihan-pilihan moral  ?  Bagaimana    kaitan  antara  teknik  prosedural  yang  merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?” Konkritnya,  dari  aspek  tersebut  Axiologi  Ilmu  Hukum  akan berkoleratif  terhadap  kegunaan  dari  Ilmu  Hukum  itu  sendiri.  Sebagaimana diketahui  bersama  bahwasanya  Ilmu  Hukum  bersifat  dinamis  dalam  artian mempunyai  pengaruh  dan  fungsih  yang  khas  dibanding  dengan  bidang- bidang hukum yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Jujun S.  Suriamantri. 1996. Filsafat  Ilmu  Sebuah  Pengantar. Jakarta: Pustaka  Sinar Harapan. 
J.J.H.  Bruggink. 1996. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Darmadi, Sugijanto. 1998. Kedudukan  Ilmu  Hukum  Dalam  Ilmu  dan  Filsafat  sebuah
Eksplorasi Awal Menuju Ilmu Hukum yang Intregalistik Dan Otonomi. Bandung: CV
Mandar Maju.
A.M.W.  Pranarka. 1987. Epistemologi Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Praklamasi
Centre For Strategic and International Studies.
Read More

Rabu, 02 Desember 2020

Makalah Hukum Shalat Jenazah dan Syarat-Syaratnya (doc)

Desember 02, 2020 0


SHALAT JENAZAH

Hukum Shalat Jenazah

Dalam Islam, orang Islam yang hidup disyariatkan dan dituntut untuk menshalati orang muslim yang meninggal dunia, baik masih anak kecil maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini, orang yang menshalati jenazah harus memenuhi syarat-syarata sebagaimana yang disyaratkan dalam shalat-shalat lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya nabi Muhammad saw dihadapkan seorang laki-laki yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan utang. Beliau pun akan bertanya, “Apakah ia meninggalkan sisa harta untuk melunasi utangnya?” Jika sampai terjadi ia meninggalkan harta untuk pelunasan utang tersebut, beliau akan menshalatinya, jika tidak maka beliau akan berkata kepada kaum muslimin, “Shalatilah rekan kalian!”


Hukum menshalati mayit atau jenazah adalah fardhu kifayah atas kerabat, teman-temannya atau atas orang-orang yang masih hidup. Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang bersifat kolektif, artinya jika dalam suatu wilayah tak ada seorangun yang menyelenggarakan shalat jenazah, maka seluruh penduduk wilayah itu akan menanggung dosa. Akan tetapi jika ada beberapa orang saja yang menyelenggarakannya maka penduduk yang lainnya bebas dari kewajiban itu. Jenazah yang boleh dishalati adalah jenazah orang islam yang bukan mati syahid (yaitu mati dalam peperangan melawan orang kafir atau orang musyrik).Sedangkan orang yang mati syahid dan bayi yang gugur dalam kandungan (atau sejak dilahirkan, sebelum mati, belum dapat bersuara atau menangis) tidak boleh dishalati, juga tidak boleh dimandikan. Shalat jenazah ini boleh dikerjkan setiap waktu, karena shalat ini termasuk shalat yang mempunyai sebab. Shalat boleh dikerjakan kaum wanita, beberapa jenazah boleh dishalati secara bersama-sama. 
Dikecualikan dalam hal ini dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati yaitu :
Anak kecil yang belum baligh karena nabi tidak menshalati putra beliau Ibrahim ketika wafatnya sebagaimana diberitakan Aisyah “Ibrahim putra nabi meninggal dunia dalam usia 18 bulan beliau tidak menshalatinya”
Orang yang gugur fi sabilillah (syahid) karena nabi tidak menshalati syuhada perang Uhud dan selain meraka, Anas bin Malik mengabarkan : “Syuhada perang Uhud tidak dimandikan dan mereka dimakamkan dengan darah-darah mereka juga tidak dishalati kecuali jenazah Hamzah”
Kedua golongan diatas kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hal ini disyariatkan. Namun persyariatannya tidaklah wajib, kenapa dikataka’n hal ini disyariatkan? Karena nabi pernah pula menshalati jenazah anak kecil seperti disebut dalam hadits Aisyah : “Didatangkan kepada Rasulullah jenazah anak kecil dari kalangan Anshar beliau pun menshaltinya “ sebagaimana nabi pernah menshalati jenazah seorang A’rabi (Badui) yanag gugur di medan jihad. 
Syarat-Syarat Shalat Jenazah
Shalat jenazah memiki syarat sahnya shalat sehingga salah satu syarat tidak terpenuhi maka shalat tersebut tidak sah atau tidak diterima. Syarat sahnya shalat jenazah sama dengan shalat fardhu biasa. Berikut ini adalah syarat sahnya shalat jenazah :
Menutup Aurat
Aurat laki-laki dan wanita berbeda, aurat wanita adalah semua tubuh kecuali tangan dan muka sehingga saat shalat bagian muka dan tangan saja lah yang tidak ditutupi. Sedangkan untuk aurat laki-laki adalah bagian bawah pusar sampai dengan atas lutut. Jika tidak menutup aurat maka shalat tersebut tidak sah dan tidak dapat diterima oleh Allah swt. Yang harus diperhatikan disini adalah bagi wanita tidak boleh ada selehai rambut yang kelihatan maka shalat tidak sah, selain itu ketika sujud bagian mukena tidak boleh menutupi muka sehingga muka bisa menyentuh lantai atau menyentuh sajadah
Suci
Suci disini adalah bebas dari hadast kecil dan bebas dari hadast besar. Kadang banyak umat muslim yang tidak bisa membedakan apa itu hadast dan apa itu najis. Najis adalah kotoran yang menghalangi sahnya shalat dan menempel pada pakaian ataupun tempat shalat. Sedangkan hadast adalah sesuatu yang menghalangi sahnya shalat dan menempel atau berasal dari badan manusia, untuk bisa suci dari hadast kecil umat muslim harus melakukan wudhu’ sedangkan untuk bisa suci dari hadast besar harus melakukan mandi besar


Menghadap Kiblat
Shalat jenazah harus menghadap kiblat, shalat tidak boleh dilakukan selain menghadap kiblat.
Jenazah Harus Sudah Suci Dan Dikafani
Syarat sahnya shalat jenazah adalah jenazah harus sudah disucikan atau dimandikan, jika jenazah belum dimandikan maka shalat jenazah tidak bisa dilaksanakan. Barulah ketika sudah dimandikan serta sudah dikafani maka jenazah siap untuk dishalatkan
Diletakkan Kiblat Atau Di Depan Orang Yang Menshalati
Jenazah yang akan dishalatkan sebaiknya dihadapkan kiblat atau diletakkan di depan orang yang menshalatinya. Untuk shalat gaib jenazah tidak perlu diletakkan di depan orang yang menshalatinya.
Rukun Shalat Jenazah
Rukun shalat jenazah sangat berbeda dengan rukun shalat pada umumnya, tidak ada persamaan sama sekali antara rukun shalat jenazah dengan rukun shalat wajib atau shalat lainnya. Berikut adalah rukun-rukun shalat jenazah yang harus kita lakukan saat melaksanakan shalat jenazah.
Niat 
Niat ini tempatnya di dalam hati masing-masing dalam hadist yang masyhur telah disebutkan bahwasanya segala amal ibadah itu amat bergantung kepada niatnya. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Mutaffaq Alaih yang artinya “sesunguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, setiap orang mendapatkan sesuai niatnya”.
Berdiri Bagi Yang Mampu 
Shalat jenazah harus dilakukan dengan berdiri tegak tidak boleh dan tidak sah jika dikerjakan dengan duduk. Baik itu duduk dilantai, di kursi, atau di dalam kendaraan akan berbeda bila seseorang memang tidak mampu untuk berdiri, misalnya saja karena sakit atau sebab lainnya.
Melakukan Takbir Empat Kali
Dalam shalat jenazah maka harus melakukan takbir sebanyak emapat kali.
Membaca Surat Al-Fatihah
Dalam melaksanakan shalat jenazah harus membaca surat Al-Fatihah tidak diperbolehkan membaca mengganti dengan surat yang lainnya.
Membaca Shalawat Nabi Muhammad saw
Bacaan shalawat dalam shalat jenazah sama dengan bacaan shalawat ketika duduk tahiyat awal maupun akhir.
Membaca Doa Untuk Jenazah
Baik jenazah tersebut laki-laki atau perempuan atau pun masih anak-anak
Salam
Ketika mengucap salam persis sebagaimana salam saat mengerjakan shalat wajib maupun sunnah.
Syarat Orang Yang Akan Memandikan Jenazah
Muslim
Berakal
Balig
Jujur dan saleh
Terpercaya, amanah, tahu hukum memandikan jenazah, tahu tata cara memandikan jenazah, dan mampu menutupi aib jenazah
Orang Yang Berhak Memandikan Jenazah
Jika jenazahnya laki-laki maka urutannya :
Laki-laki yang masih ada hubungan keluarga seperti kakak, adik, orang tua, atau kakek.
Istri, seorang istri diperbolehkan memandikan jenazahnya suaminya.
Laki-laki lain yang tidak ada hubungan kekerabatan.
Perempuan yang masih mahram (haram dinikahi oleh si jenazah semasa masih hidup).
Jika jenazahnya perempuan maka urutannya :
Suami, seorang suami paling berhak memandikan istrinya karena suami diperbolehkan melihat semua anggota tubuh istrinya tanpa terkecuali.
Perempuan yang masih ada hubungan keluarga, seperti kakak, adik, orang tua atau nenek
Perempuan yang tidak ada hubungan keluarga
Laki-laki yang masih mahram (haram menikah dengan si jenazah semasa masih hidup)

Yang Harus Dilakukan Sebelum Mulai Memandikan Jenazah 
Menyiapkan ruangan tertutup
Menyiapkan ruangan tertutup agar tidak ada orang lain yang melihat jenazah yang sedang dimandikan.
Menyiapkan peralatan 
Peralatan yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut :
Tempat atau alas untuk memandikan jenazah, usahakan agar tempat atau alas pemandian agak miring ke arah kakinya, tujuannya agar air dan semua yang keluar dari jasadnya bisa mengalir ke bawah dengan mudah.
Air secukupnya
Sabun
Air kapur barus
Wangi-wangian
Sarung tangan untuk memandikan
Potongan atau gulungan kain kecil-kecil
Kain basahan
Handuk
Tata Cara Memandikan Jenazah
Sebelum memandikan jenaazah harus berniat terlebih dahulu, bacaan niatnya adalah sebagai berikut : untuk jenazah laki-laki  “Usholli ‘ala hadzal mayyiti fardho lillahi taala” yang artinya “saya niat niat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari mayit (laki-laki) ini karena Allah Ta’ala” sedangkan untuk jenazah perempuan “Usholli ‘ala hadzal mayyitati farddho lillahi taala” yang artinya “saya niat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari mayit (perempuan) ini karena Allah Ta’ala.
Setelah berniat yang selanjutnya dilakukan ialah memeriksa kuku jenazah apabila kukunya panjang hendaknya kuku tersebut dipotong sehingga memiliki ukuran panjang yang normal.
Selanjutnya memeriksa bulu ketiaknya bila panjang hendaknkya dicukur. Khusus bulu kemaluan jangan dicukur karena itu termasuk aurat besar.
Selanjutnya kepala jenazah diangkat sampai setengah duduk lalu perutnya ditekan agar kotoran keluar semua.
Selanjutnya siram seluruh tubuh jenazah hingga kotoran yang keluar dari dalam perut tidak ada yang menempel di tubuh jenazah.
Setelah itu dibersihkan qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang) jenazah agar tidak ada kotoran yang menempel di sekitar bagian tersebut, dalam membersihkan qubul dan dubur jenazah pastikan menggunakan sarung tangan supaya tidak perlu kemaluan jenazah secara langsung.
  Setelah mengeluarkan kotoran dari dalam perut langkah selanjutnya ialah membasuh jenazah dalam membasuh jenazah mulailah dari anggota tubuh sebelah kanan, mulai dari kepala leher, dada, perut, paha sampai kaki paling ujung.
Saat membasuh jenazah, sambil dituangkan air ke tubuh jenazah, bagian tubuh jenazah juga digosok dengan menggunakan sarung tangan atau kain handuk yang halus. Pastikan saat menggosok badan jenazah tidak dilakukan dengan kasar atau keras melainkan dengan lembut. Memandikan jenazah boleh dilakukan lebih dari satu kali tergantung kebutuhan.
Setelah jenazah dimandikan kemudian mewudhui jenazah tersebut sebagaimana wudhu yang biasa dilakukan sebelum shalat. Dalam mewudhui jenazah tidak perlu memasukkan air ke dalam hidung dan mulut jenazah, tetapi cukup membasahi jari yang dibungkus dengan kain atau sarung tangan, lalu jari tersebut digunakan untuk membersihkan bibir jenazah, menggosok gigi dan kedua lubang hidung jenazah hingga bersih.
Selanjutnya menyela jenggot dan mencuci rambut jenazah menggunakan perasan air daun bidara, lalu sisa perasan daun bidara tersebut digunakan untuk membasuh sekujur tubuh jenazah. Setelah proses pemandian jenazah selesai dilakukan jenazah dikeringkan dengan handuk, Proses pemandian jenazah sudah selesai selanjutnya ialah mengkafani jenazah.
Tata Cara Mengkafani Jenazah
Untuk mendapatkan kain kafan didapatkan dari :
Jika meninggal suami, maka wajib diambilkan dari harta bendanya sebelum dibagi waris dan untuk melunasi hutang.
Jika meninggal istri atau anak, maka diambil dari harta suami atau bapaknya anak-anak.
Jika yang meninggal seorang yang faqir miskin atau menjadi tanggungan orang lain dan hartanya sendiri tidak mencukupi untuk membeli kain, maka orang yang menanggung dan keluarga dekatnya yang berkewajiban membelikan kain kafan. Jika orang yang menanggung dan keluarga dekatnya tidak mampu membelikan kafan maka kewajiban itu dibebankan kepada orang lain.
Apabila diantara mereka tidak ada yang mampu sama sekali maka diambilkan dari Baitul Mal. Jika Baitul Mal tidak ada seperti di kalangan kita, maka boleh diambilkan dari kas masjid hasil pengumpulan dari jama’ah Jum’at atau yang lainnya.
Jenis Kain Kafan Yang Digunakan Untuk Mengkafani Jenazah
Kainnya bersih.
Bisa menutup seluruh anggota tubuh, artinya bukan kain yang tenunannya jarang atau tipis, tetapi yang tenunannya rapat sehingga mampu menutupi tubuh.
Jenis kainnya adalah kain yang biasa dipakai oleh si jenazah ketika masih hidup.
Adapun mengenai ketipisan dan ketebalanannya maka untuk jenazah perempuan disunnahkan menggunakan kain kafan yang lebih tebal dibandingkan kain kafan untuk jenazah laki-laki. Adapun mengenai warnanya disunnahkan menggunakan kain kafan yang berwarna putih polos dan tidak bermotif.
Cara Mengkafani Jenazah 
Sebelum jenazah dikafani hendaklah kain kafan yang akan dipergunakan disiapkan terlebih dahulu, bisa satu, tiga, atau lima lembar/lapis. Kemudian ditaburi minyak khusus untuk mayat atau yang terbuat dari kayu gaharu, kayu cendana atau sejenisnya sehingga baunya melekat pada kain kafan tersebut. Jumlah kain kafan yang digunakan tergantung kondisi jenazah jika ia tergolong mampu maka yang lebih utama adalah tiga atau lima lembar, sedangkan jika jenazah itu tergolong tidak mampu atau memiliki tanggungan utang maka cukup dikafani dengan satu lembar kain kafan. Apabila si jenazah menjadi tanggungan orang lain maka yang menanggungnyalah yang berhak menentukan berapa lembar kain kafan yang harus digunakan.
Apabila si jenazah hanya mempunyai satu lembar kain yang tidak cukup menutup seluruh tubuh maka yang harus diutamakan adalah mengkafani dengan kain yang dapat menutup auratnya dan menutup bagian kepala serta anggota tubuh lain, sedangkan kaki bisa ditutup rumput boleh untuk menutup kekurangannya. Sebelum mengafani jenazah kain kafan hendaknya disiapkan dan digelar di samping jenazah yang akan dikafani sedangkan jumlah kain kafan yang akan digunakan bisa satu, tiga atau lima lapis, karena termasuk tindakan malempaui batas dan menghambur-hamburkan harta.
Cara mengakafani jenazah adalah sebagai berikut :
Menidurkan jenazah diatas dipan (keranda) yang telah disiapkan dengan membujurkannya sebagaimana ketika sakit dan dimandikan (yaitu kepala di arah utara dan kaki di arah selatan).
Semua anggota tubuh yang berlubang : dubur, hidung dan telinga disumbat dengan kapas atau kain yang halus (tidak kasar) utamanya adalah lubang dubur, kecuali mulut karena mulut sudah diikat dengan kain dari dagu sampai kepala.
Lembaran kain kafan yang pertama dilipatkan kepada si mayat sambil mengambil kain(handuk) yang menutup auratnya dengan mendahulukan anggota bagian kanan.
Melipatkan lembaran kedua dan seterusnya.
Setiap lipatan/lembar dilebihkan ke bawah kaki dan ke atas kepala untuk diutas dengan tali kelebihan di kepala lebih banyak dari pada kaki.
Setiap lipatan/ lembar kain kafan ditaburi minyak untuk mayar (hanuth) dan kapur barus agar kain kafan tidak cepat rusak.
Setelah selesai dari semua lembaran atau lapis maka diikat dengan seutas tali yang dibuat dari kain kafan agar kafan tidak gampang pudar.

Refrensi : 
Fiqh Ibadah
Prof. Dr. Abdul Azizz Muhammad Azzam
Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas
http://afifulikhwan.blogspot.com/2012/09/tata-cara-lengkap-shalat-jenazah.html?m=1
https://asysyariah.com/shalat-jenazah
https://www.google.com/amp/s/dalamislam.com/shalat/sholat-jenazah/amp
https://poskajian.blogspot.com/2019/03/rukun-shalat-jenazah-secara-berurutan-penjelasannya.html?m=1
https://alazharmemorialgarden.co/cara-mengafani-jenazah/
Read More

Minggu, 29 November 2020

Makalah Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam (doc)

November 29, 2020 0




Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam

Sejarah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata syajaratun, yang memiliki makna pohon kayu. Pengertian pohon kayu disini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan atau pertumbuhan tentang sesuatu hal atau peristiwa dalam suatu kesinambungan (kontinuitas).  
Hasbi ash-Shidieqy mendefinisikan hukum Islam sebagai hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 
Pengertian ini lebih dekat kepada syari’ah. Namun dalam kajian sejarah hukum Islam, pengertian hukum Islam lebih diarahkan kepada fiqh, karena fiqhlah yang memiliki karakter dinamis sebagai refleksi dari dinamika sejarah. 
Ada dua pandangan mengenai hukum Islam, yaitu pandangan keabadian dan pandangan keberubahan.
Pertama, pandangan keabadian sebagaimana yang dipegangi oleh sejumlah besar Islamisis seperti C.S. Hurgronje dan Josep Schacht, serta oleh kebanyakan juris muslim lain yang hadits oriented (tradisionalis). Mereka berpendapat bahwa dalam konsep dan perkembangannya serta metodologinya, hukum Islam bersifat abadi. Mereka mempertahankan pendapat bahwa hukum Islam mencari landasannya pada wahyu Tuhan melalui Nabi Muhammad sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits. Sehingga hukum bersifat statis, final dan tidak menerima perubahan.  
Kedua, pandangan keberubahan yang berpendapat bahwa hukum Islam memiliki ciri yang dinamis, fleksibel dapat berubah dan dalam 2 kenyataannya juga hukum selalu berubah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Yang menekankan aktivitas ijtihad. 
Tahap – tahap pertumbuhan dan perkembangan
Penulis – penulis sejarah hukum islam telah mengadakan pembagian tahap – tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam. Pembagian ke dalam beberapa tahap itu tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pertahapan itu. Ada yang membaginya ke dalam 5 atau 6  tahapan. Namun, pada umumya, tahap – tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam adalah 5 masa berikut ini:
1. Masa Nabi Muhammad ( 610 M - 632 M )
2. Masa Khulafa Rasyidin ( 632 M – 662 M )
3. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan ( VII – X M )
4. Masa Kelesuan Pemikiran ( abad X M – XIX M )
5. Masa Kebangkitan Kembali ( abad XIX M sampai sekarang )
Secara garis besar, sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dapat dibagi ke dalam enam periode , yakni periode Nabi, periode khulafaur rasyidin, periode tabi’in, periode keemasan, periode taqlid dan periode era kebangkitan kembali.

Masa Nabi Muhammad ( 610 M – 632 M)

Periode ini berlangsung pada waktu Nabi Muhammad SAW, masih hidup, yaitu pada masa 610 M – 632 M (tahun 1 – 10 H). pada masa ini masalah yang dihadapi umat islam, langsung diselesaikan oleh nabi, baik melalui wahyu yan diterimanya dari allah SWT, maupun melalui sunnah nya, yang selalu di bimbing oleh wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu.
Pada periode ini dalil hukum islam kembali kepada Al–Qur’an dan sunah rasulnya. Ijtihad sahabat yag terjadi waktu itu mempunyai nilai sunnah, yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari Nabi, baik berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang dilakukan sahabat tersebut.
Para ahli hukum Islam membagi periode ini menjadi dua bagian, yaitu Makkah dan  Madinah. 
  • Periode Makkah, berlangsung selama 13 tahun, sejak diangkatnya Nabi SAW. ketika itu umat Islam masih terisolir, minoritas, lemah dan belum terbentuk satu umat yang memiliki pemerintahan yang kuat. Karenanya, perhatian Rasulullah lebih diarahkan kepada dakwah tauhid, di samping membentengi diri dan pengikutnya dari gangguan dan tantangan orang-orang yang sengaja menghalangi dakwah islam., ada yang menilai tidak ada kesempatan ke arah pembentukan hukum-hukum amaliah dan penyusunan undang-undang keperdataan. Singkatnya, periode Makkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
  • Periode Madinah, pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur'an berubah menjadi spesifik.  Pada periode ini umat Islam bertambah banyak dan mampu membentuk pemerintahan yang gilang gemilang dan media dakwah pun semakin lancar. Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya atau dengan negara yang bukan Islam. Untuk kepentingan itulah, maka di Madinah disyari’atkan hukum, seperti hukum perkawinan, perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain. 
Dengan kata lain, periode Madinah dapat disebut periode revolusi sosial dan politik. 
Adapun sumber kekuasaan yang digunakan pada masa Rasulullah, adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah,  sehingga tidak ada ruang bagi perbedaan pendapat. Ini terjadi karena perbedaan pendapat dapat diatasi oleh wahyu yang otoritatif Kekuasaantasyri’ (pembuatan undang-undang) hanya dipegang oleh Rasulullah. Apabila ada ijtihad dari sahabat, itu juga dapat menjadi tasyri’ tetapi setelah mendapat pengakuan dari Rasul.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan perkembangan hukum Islam pada periode Nabi yaitu, pertama bahwa Nabi memegang kekuasaan penuh dalam menghadapi problem yang dihadapi masyarakat dengan berlandaskan terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Kedua, ayat-ayat hukum yang turun adalah untuk menjawab setiap peristiwa yang terjadi. Ketiga, hukum Islam diturunkan secara bertahap, tidak gradual.

Masa Khulafaur Rasyidin 

Periode ini berlangsung pada masa sahabat khulafaur  rasyidin ( 632 M – 662 M / 11 – 41 H ) yaitu pada masa :

1. Abu Bakar As-Shiddiq (632 – 634 M/11 – 13 H)
Setelah Nabi wafat maka diangkatlah Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah pertama. Abu Bakar adalah ahli hukum yang memimpin selama 2 tahun (9632-634 M) berikut adalah hal-hal penting dalam masa pemerintahannya adalah:
Cara penyelesaian masalah apabila timbul dalam masyarakat adalah dicari dalam wahyu Allah. Jikalau tidak ada maka dalam sunnah Nabi, kalau dalam sunnah pun tidak ada maka Abu Bakar bertanya kepada para sahabat yang dikumpulkannya d dalam satu majlis.sehingga keputusan yang di dapat dari situlah yang sering disebut ijmak sahabat.
   
2. Umar Bin Khattab, (634 – 644 M/13 – 23 H)
Setelah Abu Bakar wafat maka yang menjadi khalifah selanjutnya adalah Umar Bin Khattab. Beliau memerintah dari tahun 634-644 M. Selama beliau memimpin kekuasaan islam berkembang pesat karena beliau selalu 
turut aktif menyiarkan ajaran islam, yakni melanjutkan usaha Abu Bakar, beliau juga banyak sekali melakukan tindakan di lapangan hukum:
a. Tentang talak 3 diucapkan sealigus di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak dapat rujuk lagi sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak dalam bekas suami istri itu kawin lebih dulu dengan orang lain.
b. Mengharuskan membayar zakat 
c. Siapa yang mencuri dipotng tangannya sebagaimana dalam Al- Qur’an surah Al-Maidah ayat 38

3. Usman Bin Affan, (644 – 656 M/ 23 – 35 H)
Setelah Umar Bin Khattab di bunuh oleh Abu Lu’lu’ah pada tahun 644 dengan menikamnya maka khalifah yang memimpin setelah itu adalah Usman Bin Affan yang berlangsung dari tahun 644-656 M. Pada masa pemerintahannya standarisasi Al-Qur’an (kodifikasi) dilakukan karena wilayah islam sudah sangat luas yang di diami oleh berbagai suku yang dialek bahasanya berbeda-beda dan terjadi perbedaan pengungkapan ayat-ayat Al-Qur’an yang disebarkan memalui hafalan. 
4. Ali Bin Abi Thalib (656 – 662 M/ 35 – 41 H)
Beliau memerintah dari tahun 656-662 M. Beliau tidak dapat berbuat banyak dalam mengembangkan agama islam karena keadaan negara tidak stabil.
Pada masa periode ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasakan Al – Quran dan sunnah nabi. Sedangkan terhadap masalah yang belum ada dalam Al – Quran dan sunnah diseleasaikan dengan ijtihad para sahabat, dengan tetap berpedoman kepada Al –Quran dan sunnah nabi. Dengan demikian dalil hukum pada masa periode ini kembali kepada Al – Quran, sunnah nabi dan ijtihad sahabat. 

Masa Perkembangan dan Pembukuan

Periode ketiga ini merupakan perkebangan dan pembukuan yang belangsung sekitat 250 tahun  sejak akhir abad ke – 7 sampai awal abad 10 M. yaitu pada masa akhir pemerintahan khalifah umayyah dan masa pemerintahan abbasyiah. 
Periode ini merupakan periode keemasan umat islam, ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikian ilmu qalam, hukum, tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan dengan berkembangnya pemeritahan islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan islam kebelahan dunia barat dan timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat) sampai batasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban islam dari Granada di spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa khulafa rasyidin, khalifah Umayyah dan khalifah Abbasyiah.
Perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah – masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehigga permasalahan yang dihadapi umat islam pun makin banyak dan kompleks. Keadaan demkian memunculkan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah – masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam kitab – kitab fikih (hukum). Karena itu, masa ini merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fikih, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode ini merupaka puncak lahirnya karya – karya besar dalam berbagai peulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fikih (dari berbagai mazhab).
Dalam periode ini lahir mazhab – mazhab (aliran – aliran) dibidang fikih (hukum) yang kemudian menyebar dan diikuti oleh umat islam diberbagai belahan dunia sampai sekarang. Diantara pendiri mazhab – mazhab itu antara lain: 
1. Imam Ja’far Al Shadiq (699 – 765 M)
2. Imam Abu Hanifah ( 699 – 767 M )
3. Imam Malik bin Annas (712 – 795 M)
4. Imam Syafi’i (769 – 820 M)
5. Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 780 – 855 M )
Dan periode ini muncul usaha untuk menghimpun hadis Nabi, sebagai acuan dalam penetapan hukum setelah Al-Quran. Hasil dari usaha tersebut lahirlah kitab – kitab himpunan hadis, terutama 6 kitab hadis terkemuka ( al – kutub al – sittah. Yang termasuk ke dalamnya adalah:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Sunnah An-Nasa’i
4. Sunnah Abu Daud
5. Sunnah At-Tirmidzi
6. Sunah Ibnu Majah

Periode keempat masa Kemunduran

Periode keempat merupakan masa kemunduran, yang berlangsung dari abad 10/11 M – 19 M. Sejak abad 10 M, yaitu pada akhir khalifah Abbasyiah, hukum islam tidak lagi berkembang. Para ahli hukum islam tidak lagi menggali hukum islam dari sumber utamanya (Al-Quran), mereka lebih banyak sekedar pengikut dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam mazhabnya yang telah ada.
Pada masa ini berkembang sikap taklid (mengikuti pendapat atau suatu mazhab tanpa mengetahui alasan – alasan atau dasar – dasarnya) dan hilangnya semangat ijtihad. Malahan timbul suatu pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, akibatnya timbul gejala bid’ah khurafat yang merusak kemurnian agama karena kurangnya pengetahuan tentang hakikat islam yang sebenarnya. 

Kemunduran islam disebabkan oleh faktor internal dan eksternal : 
Faktor internal antara lain berkembangnya ke takhayulan dan mistik yang merusak kemurnian tauhid, munculnya penyelewengan, penyalah gunaan wewenang yang merugikan umat, serta munculnya kejuhudan (kebekuan) berpikir, meninggalkan semangat ijtihad dengan munculnya sikap taklid.  
Faktor eksternal antara lain disebabkan gencarnya opensif dunia kristen Eropa dan serbuan Mongol dari Tartar Asia Tengah untuk menguasai wilayah pemerintahan islam, di tengah – tengah umat islam sedang menghadapi kelesuan dalam bidang pemikiran. Opensif masyarakat Eropa untuk menguasai wilayah islam berlangsung pada saat memasuki masa renaisance, yaitu masa kebangkitan dan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. 

Periode Kelima Masa Pembeharuan dan Kebangkitan

Periode kelima pada abad ke 19 M, merupakan kebangkitan kembali umat islam, sebagai jawaban terhadap periode sebelumnya. Periode kebangkitan ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran islam. 
Angin pembaharuan ini sebenarnya sudah berhembus sejak awal abad ke – 14, dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu, yang terus berkembang sampai sekarang. Tokoh – tokoh yang muncul nsebagai pembaharu pemikiran islam antara lain :
1. Ibn Taimiyah ( 1263 – 1328);
2. Ibn Qoyyim Al – Zaujiyah (1292 – 1356);
3. Muhammad Ibn Abd. Wahab (1703 – 1787);
4. Jamaluddin Al – Afghani (1839 – 1897);
5. Muhammad Abduh (1849 – 1905);
6. Rasyid Ridla (1865 – 1935).
Gerakan pembaharuan pada intinya menyerukan untuk kembali pada sumber utama ajaran islam yaitu Al–Quran dan sunnah rasulnya. Pintu ijtihad dibuka kembali sebagaimana pernah dilaksanakan oleh para mujtahid pada periode ke – 3.
Resonalisi gerakan pembaharuan yang merupakan era kebangkitan umat islam menggema dan sampai juga kebelahan dunia lain, termasuk ke Indonesia (Hindia Belanda). Gerakan umat islam Indonesia ditandai antara lain dengan munculnya organisasi keagamaan seperti:  Jami’at Al–Khair di Jakarta pada tahun 1905, Sarekat Dagang Islam, di Solo tahun 1905 yang kemudian menjadi partai politik dengan nama Sarekat Islam pada tahun 1912, muhamadiyah di Yogyakarta tahun 1912, Al – Irsyad di Jakarta tahun 1914, Nahdatul Ulama di Surabaya tahun 1926, Persatuan Islam Bandung tahun 1930. 

Munculnya Madzhab
Mengenai madzhab Mohammad Abduh mengatakan bahwa aliran-aliran pikiran yang berbeda dalam suatu masyarakat adalah biasa. Namun kefanatikan terhadap salah satu aliran atau satu madzhab itulah yang keliru karena dapat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Kefanatikan terhadap suatu mazhab akan membuat meraka menganggap hanya pendapat madzhab merekalah yang yang benar menyebabkan terpecahnya ke dalam pecahan-pecahan (firkah-firkah) karena dalam masa ini diperbolehkan berijtihad dan banyak muncul hadist dhaif.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam itu dimulai pada masa Nabi Muhammad ketika beliau menyebarkan agama islam, kemudian setelah Nabi dilanjutkan oleh para sahabat dan tabi’in, hukum islam memiliki sumber Al-Qur’an dan sunnah dan juga kalau dari sunnah tidak ada maka para sahabat berkumpul dan mengeluarkan ijtihat sehinnga dapat keputusan hukum yaitu ijmak para sahabat.
Kemudian ketika para khulafaur rasyidin memimpin hukum islam juga mengalami kemajuan karena seperti pada masa Umar yang mencuri maka dipotong tangannya sesuai dengan yang tertera dalam Al-Qur’an, namun pada masa Ali telah muncul banyak maslah yaitu terpecahnya umat islam kepada beberapa golongan yang menyebabkan Ali tidak dapat berbuat banyak dalam menembangkan hukum islam.
Pada masa akhir Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah merupakan masa keemasan umat islam karena banyak berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan juga disebut masa perkembangan dan pembukuan, kemudian setelah masa keemasan umat islam mengalami kemunduran yang berlangsung dari abad 10/11 M – 19 M. Sejak abad 10 M, yaitu pada akhir khalifa Abbasyiah, hukum islam tidak lagi berkembang. Para ahli hukum islam tidak lagi menggali hukum islam dari sumber utamanya (Al-Quran), mereka lebih banyak sekedar pengikut dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam mazhabnya yang telah ada.
Setelah itu barulah umat islam bangkit kembali yaitu pada masa periode kebangkitan ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran islam. 
Pembaharuan ini sebenarnya sudah berhembus sejak awal abad ke – 14, dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu, yang terus berkembang sampai sekarang.  

B. Saran

Saran yang lahir dari pembahasan diatas adalah :

1. Dengan adanya berbagai tahap-tahap dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan hukum islam maka ada berbagai macam pula sumber hukum yang ada, yaitu dari masa Nabi hingga sekarang, walaupun yang paling utama adalah Al-Qur’an dan hadist akan tetapi semakin berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan mengharuskan untuk adanya ijma’ dan qiyas dari para sahabat dan para ulama, sehingga muncullah mazhab-mazhab yag sering kali menimbulkan hal-hal yang mengarah pada perdebatan yang membenarkan mazhabnya masing-masing, hal itu disebabkan oleh kefanatikan para pengikutnya sendiri bukan dari para ulamanya, jadi untuk terwujudnya suatu  umat yang bersatu dan kuat, maka kita harus menghilangkan kefanatikan kita terhadap anggapan bahwa mazhab kitalah yang paling benar sehingga dapat terciptanya kesatuan dalam umat islam.  
2. Bagi pembaca diharapkan agar dapat menambah wawasan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam.
3. Bagi penulis diharapkan juga agar dapat terus menggali informasi akan perkembangan hukum islam pada masa sekarang.
 

DAFTAR PUSTAKA

Usman, Suparman, H, Prof, Dr, S.H. Hukum Islam, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, cet ke 1, Tahun 2001
Sukardja, Ahmad, Prof. Dr. M.A, S.H, Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia, Makalah Pada Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial, Serang: Fakultas Syari’ah IAIN Serang, 1997
Hanafi,A,M.A, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, cet ke 1
Ali, Mohammad Daud, H, Prof, S.H : Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 
library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1
Wahhab Khallaf, Abdul, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Muhammad Ali Sayis, Tarikh al-fiqh al-Islamy, terj. Nurhadi, Sejarah Fikih Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003
Ali As-Sayis, Muhammad, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Akademia Pressindo, 1996
https://baehaqiarif.files.wordpress.com
Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa, Jakarta : Jayamurni, 1964
Ruslan Abd. Gani, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta : Pustaka Antar Kota, 1983
Muhammad Jawal Mugniyah, al-Fiqh ‘ala Madzhabi al-Khams, (terj.), Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996   
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
M. Hudhari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Mohammad Zuhri, Sejarah, Pembinaan Hukum Islam, Indonesia: Dar al-Ihya, 1980.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot