Knowledge Is Free: Filsafat

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 September 2018

Makalah Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat Barat (Yunani)

September 25, 2018 0



A.       Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat Di Dunia Barat (Yunani)
 Filsafat barat dapat dibagi menjadi 4 periodisasi yaitu[1] : yang pertama  zaman yunani kuno yang bercirikan pemikiran kosmosentris ( para filosof mempertanyakan kejadian semesta alam ). Kedua yaitu zaman abad pertengahan dimana pemikiran para filosof masih banyak dipengaruhi oleh dogma – dogma agama kristiani. Ketiga yaitu zaman modern dimana filosof menjadikan manusia sebagai obyek analisi filsafat sehingga bisa disebut sebagai zaman antroposentrisme. Keempat adalah abad kontemporer yang logosentris menjadi pemikiran zaman ini, teks menjadi sebuah tema sentral diskursus para filosof.
a.         Zaman Yunani Kuno (600 M - 400 M)
Periode Yunani Kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam seperti Thales menyimpulkan air sebagai Arche, Anaximander menyimpulkan bahwa sesuatu yang tidak terbatas ( apeiron ) sebagai asas mula kemudian Anaximenes bahwa udara adalah asas mula, dan Phytagoras menyatakan bahwa asas mula tersebut dapat diterangkan dengan menggunakan angka – angka, yang kemudian terkenal denga dalilnya tentang segitiga siku – siku. Puncak zaman Yunani  dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates, Plato dan Aristoteles. di mana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati di sekitarnya. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang sifatnya mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu yang serba berubah.
Orang-orang yunani memiliki sistem kepercayaan, bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai suatu kebenaran yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya, suatu kebenaran lewat akal pikir (logos) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber pada mitos (dongeng-dongeng).



Pengertian filsafat pada saat itu masih berwujud ilmu pengetahuan yang sifatnya masih sempit. Dari hal ini kemudian munculah beberapa ahli pikir yang menentang adanya mitos, antara lain :
NO
NAMA FILOSOF
NO
NAMA FILOSOF
1
2
3
4
5
6
7
Thales (625-545 SM)
Anaximandros (640 -546 SM)
Pythagoras (± 572 - 497 SM)
Xenophanes (570 - ? SM)
Heracitos (535 - 475 SM)
Parmenides (540 - 475 SM)
Zeno (±490 - 430SM)
8
9
10
11
12
13
Empedocles (490 - 435 SM)
Anaxagoras (± 499 - 420 SM)
Democritos (460 - 370 SM)
Socrates (469 - 399)
Plato (427 – 347 SM)
Aristoteles (384 - 322 SM)

b.        Abad Pertengahan (300 M - 1500 M)
Filsafat Barat, Pada Abad Pertengahan juga dapat dikataka sebagai “The Dark Age (Abad yang Gelap)”. Karena pada saat itu manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang yang terdapat dalam dirinya, karena pada saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Para ahli pikir saat itu juga tidak memiliki kebebasan berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, orang yang mengemukakannya akan dihukum berat.
Pada abad pertengahan ini dibagi menjadi tiga masa, yaitu masa Patristik, Skolastik dan Peralihan.[2]

1.         Masa Patristik
Patristik yang artinya para pemimpin gereja. Pada masa ini terdapat dua golongan dari para ahli pikir, yaitu ahli pikir yang menolak dan ahli pikir yang menerima filsafat yunani. Bagi mereka yang menolak beralasan karena telah memiliki sumber kebenaran dari firman Tuhan, sedangkan dari mereka yang menerima beralasan karena tidak ada salahnya mengambil keduannya asal tidak bertentangan dengan agama.

2.         Masa Skolastik
Skolastik berasal dari kata sifat yang artinya “school” atau sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran yang berkaitan dengan sekolah.
Filsafat skolastik merupakan suatu sistem yang termasuk jajaran pengatahuan alam kodrat, yang akan dimasukkan kedalam bentuk sintesis yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.

3.         Masa Peralihan
Masa yang berada dipenghujung abad pertengahan, yang mana pada masa ini terjadi peralihan yang diisi dengan gerakan kerohanian yang bersifat pembaharuan. Pada masa ini ditandai dengan munculnya Renaissance, Humanisme dan reformasi.

c.         Abad Modern (1500 M - 1800 M) 
Abad ini dimulai sejak adanya krisis pada abad pertengahan selama dua abad yang ditandai dengan munculnya gerakan renaissance (kelahiran kembali) yang tujuannya ditekankan pada bidang keagamaan, yakni merelisasikan kesempurnaan pandangan hidup kristiani dengan mengkaitkan filsafat yunani dengan ajran agama Kristen.
Dalam era filsafat modern ini kemudian diteruskan dengan era filsafat abad ke-20 ditandai dengan munculnya berbagai aliran pemikiran seperti Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materialisme, dan lain sebagainya.

d.        Abad Kotemporer (setelah 1800 M)
Pada abad ini terdapat dua aliran pemikiran filsafat yang dapat dikatakan masih baru, walaupun tergolong baru aliran pemikiran filsafat ini memiliki pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat pada abadnya. Filsafat kontemporer ini disebut juga sebagai filsafat abad ke-20. ciri-ciri filsafat pada abad ini yaitu desentralisasi manusia. Desentralisasi adalah perhatian khusus terhadap bahasa sebagai subjek kenyataan kita sehingga pemikiran filsafat sekarang ini disebut logosentris. Kedua aliran yang dimaksud adalah aliran Filsafat Analitis dan aliran Filsafat Strukturalis.[3]

1.         Filsafat Analitis
Filsafat ini dipelopori oleh Ludwig Josef  Johan Wittgenstein (1989 – 1951). Sumbangannya yang terbesar dalam filsafat adalah pemikiran tentang pentingnya bahasa. Ia mencita-citakan suatu bahasa yang ideal, yang lengkap dan dapat memberikan kemungkinan bagi penyelesaian masalah-masalah kefilsafatan.

2.         Filsafat Strukturalisme
J. Lacan merupakan pelopor dari filsafat ini. Menurut pemikirannya bahasa terdiri dari sebuah cermin yang ditentukan oleh posisi-posisinya satu terhadap yang lain.

B.            


[1] Russel, Bertrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka pelajar.hal.16-25.
[2] Ahmadi, Asmoro. 2007Pengantar Ilmu dan  Sejarah Filsafat. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal.63.
[3] Sonny Keraf, A. dan M ikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.hal.43.



Read More

MAKALAH ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

September 25, 2018 0




2.1. Pengenalan Filsafat Pendidikan

Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yang terdiri dari dua suku kata yaitu philos dan Sophia. Philos berarti cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan. Oleh sebab itu, secara etimologis filsafat berarti “love of wisdom.”[1] Rene Decrates mendefinisikan filsafat sebagai himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia.[2] Adapun makna pendidikan adalah upaya yang sengaja untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Pendidikan dapat dikatakan sebagai sebuah usaha yang dilakukan secara sadar untuk mengenalkan manusia terhadap realita kehidupannya. Dalam hal ini jelas bahwa pendidikan yang diberikan harus didasarkan atas landasan pelaksanaan pendidikan, kebutuhan peserta didik serta tujuan yang hendak dicapai lewat proses pendidikan tersebut. Dari kedua pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat dan isi yang ideal dari pendidikan.
Jadi berfikir filsafat dalam pendidikan adalah berfikir mengakar atau menuju akar atau intisari pendidikan. Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu?
Walaupun kenyataannya berbagai pemikiran yang hadir kemudian menjadi “mazhab” dalam penyelenggaraan pendidikan itu dicetuskan beberapa puluh tahun yang lalu, bahkan beberapa ratus tahun yang lalu, namun nampak nyata bahwasanya pemikiran tersebut sangat mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan pada masa kini. Pemikiran para ahli tersebut lazimnya dikatakan sebagai aliran pendidikan atau ada pula yang menamakan sebagai mazhab filsafat pendidikan. Namun, dari berbagai aliran yang ada dalam pendidikan, aliran yang utama digunakan di Indonesia ialah filsafat pendidikan Pancasila.
2.2. Pancasila Sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan Nasional
Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara yaitu pancasila sebagai falsafah negara. Pancasila merupakan dasar dan filsafat hidup bagi negara kita, Negara Republik Indonesia. Maka sesungguhnya negara kita memiliki filosofis pendidikan sendiri dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia perlu mengkaji nilai yang terkandung dalam pancasila untuk dijadikan titik balik untuk praktek pendidikan di Indonesia.
Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989 yang menegaskan bahwa pembangunan nasional termasuk di bidang pendidikan adalah pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan. Dengan kata lain, Pancasila berfungsi sebagai sumber sistem nilai dalam pendidikan.
Bangsa Indonesia meyakini bahwa adanya alam semesta ini tidak hanya ada begitu saja namun ada yang menciptakan yaitu Tuhan YME. Begitupun manusia, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Manusia diberi potensi oleh Tuhan untuk dapat beriman dan berbuat baik, akan tetapi manusia pun dapat melakukan kejahatan karena Tuhan pun memberikan hawa nafsu dalam diri manusia. Manusia bisa memperoleh pengetahuan melalui utusan Tuhan ataupun lewat alam semesta dan termasuk hukum-hukumnya. Tuhan merupakan sumber pengetahuan yang utama dan  sumber pertama segala nilai.
Menurut aliran ini, pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik dapat aktif mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik. Karena pendidikan merupakan usaha yang sadar, maka pendidikan pasti mempunyai tujuan yang jelas. Menurut aliran ini, tujuan dari pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, mandiri, menjadi warga negara yang baik. Tidak seperti aliran-aliran lainnya yang menerapkan kurikulum secara menyeluruh, namun di Negara kita Indonesia ini kurikulum disusun sesuai tingkatan jenjang pendidikan.
Maka untuk itu, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan bagi peserta didik dan pendidikpun harus bisa memberikan siswa kesempatan untuk dapat belajar mandiri. Pada hakikatnya, pendidikan diletakan pada usaha untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik agar tidak hanya bisa mencapai perubahan namun juga diharapkan para peserta didik dapat menjadi agen atau pelopor dari suatu perubahan.
Setiap aliran dalam filsafat pendidikan pasti berusaha untuk menghasilkan pemikiran yang  sempurna untuk diterapkan dalam sistem pendidikan, begitupun dengan aliran filsafat pendidikan pancasila, sistemnya sudah cukup baik namun mungkin penerapannya saja yang masih banyak kekurangan, karena pendidik terkadang masih sulit untuk bisa mengidentifikasi potensi yang terdapat dalam diri peserta didik sehingga pendidik belum dapat mengarahkan ataupun mengembangkan potensi yang masih terpendam dalam diri peserta didik.

2.3.   Masalah Seputar Pendidikan di Indonesia
Dari pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa untuk membentuk filsafat pendidikan yang khas Indonesia memamg bukan hal yang mudah dan membutuhkan usaha yang cukup besar dari semua pihak. Di lain sisi, disini kita juga perlu mengkaji hal-hal yang menjadi masalah dalam pendidikan kita saat ini, dimana masalah ini menunjukkan perilaku masyarakat, khususnya peserta didik yang kaitannya dengan pemikiran pendidikan yang ada di Indonesia saat ini.
Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, sebenarnya negara kita mempunyai tokoh pendidikan yang sangat kuat, yakni Ki Hajar Dewantara. Dengan konsep Tri-Pusat-nya (individu-sekolah-masyarakat), ia mengajarkan bahwa segala nilai dan norma yang baik yang didapatkan peserta didik di sekolah semestinyalah bisa merembes masuk ke dalam masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi, pasti ada sesuatu yang salah dalam proses pendidikan itu. Terjadinya diskontinuitas itu bisa jadi disebabkan oleh orientasi pendidikan itu. Misalnya, pendidikan sekarang lebih menekankan NEM (Nilai Ebtanas Murni) daripada aspek humanisasi. Jika kita bertanya pada anak SD, SMP, SMA, atau bahkan tingkat universitas sekalipun, tolak ukur keberhasilan mereka pastilah NEM. Jika ini yang dikejar, maka tidak mustahil mereka akan jatuh pada upaya mengejar hanya nilai saja dan lupa bahwa diri mereka yang harus dimekarkan.  Pemikiran seperti ini lambat laun akan merusak tatanan pendidikan kita, karena jika semua orang hanya mementingkan NEM tanpa melihat kualitas yang dimiliki oleh seseorang, maka hasilnya adalah Indonesia ”hanya” akan menghasilkan individu yang besar dengan kuantitas/nilai tanpa memiliki kualitas yang bisa dibanggakan.
Dalam sebuah makalah milik ketut Sumarta yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”, ia menggambarkan situasi Indonesia yang lebih ironis lagi. Ia memulai dengan memaparkan rintihannya mengenai masyarakat Indonesia yang sudah dikuasai oleh budaya kekerasan. Mungkin sebuah ironisme yang sangat menyakitkan ketika kita melihat para pelajar yang berhamburan keluar dari sekolah langsung tawuran. Bagaimana mungkin para mahasiswa yang dilatih untuk menjadi intelektual dalam suatu demonstrasi akhirnya  membalas tindakan kekerasan aparat dengan membakar mobil aparat? Di sinilah tugas pendidikan untuk memberi pengertian tentang demokrasi serta budaya santun berpolitik. Berdasarkan hal-hal itulah rancangan mengenai filsafat pendidikan yang khas Indonesia harus diletakkan. Apalagi jika kita melihat bahwa dasar filsafat pendidikan kita adalah pancasila, maka seharusnya hal-hal seperti itu tidaklah terjadi karena bertentangan dengan landasan pendidikan negara kita. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa pengamalan terhadap sila-sila tersebut belumlah berjalan semestinya sehingga masih terjadi penyelewengan dimana-mana. Jika begitu, dapat dikatakan bahwa sila itu hanya berdiri sendiri sebagai suatu landasan, tapi pengimplementasian terhadap silanya belum kita dapatkan.
2.4. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia
Secara umum, dapat dipahami bahwa tujuan dari filsafat ialah bermaksud untuk membangun sebuah sisitem berpikir dalam khazanah keilmuan. Dengan melihat keadaan Indonesia yang multikultural dengan berbagai karakter yang berbeda di setiap wilayahnya, serta  jika ditinjau dari segi politis, kata “Indonesia” baru menggumpal sebagai bangsa pada sumpah pemuda tahun 1928 dan sebelum itu Indonesia lebih dikenal sebagai nusantara. Oleh karena itu, jika ingin merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang khas Indonesia, kita harus memandang dua aspek yang cukup mendasar, yakni pluralitas (kebudayaan, bahasa, agama, suku, ras, dan geografi) dan aspek antropologis-historis yakni adanya “bangsa Indonesia” (sejarah nusantara, zaman kerajaan-kerajaan, pra-penjajahan, penjajahan, masa perjuangan kemerdekaan, transisis menuju kemerdekaan, masa kemerdekaan awal, dan seterusnya hingga sekarang ini).
Jika sekarang ini kita mengalami sebuah kesulitan besar dalam membuat sebuah sistem pendidikan yang cocok untuk “manusia indonesia”, barangkali itu disebabkan konsep dan sistem pendidikan Indonesia tidak memahami dua aspek tersebut. Pendidikan kita lebih merupakan impor dan penerusan dari tradisi warisan belanda yang kemudian dalam proses ditambah di sana-sini dengan mengambil dari Amerika, Jerman, atau yang lainnya. Lalu dasar filsafat pendidikan yang menggumpalkan manusia Indonesia dalam dimensi pluralitas dan antropologis-historisnya menjadi kabur. Maka tidak heran, jika pada saat kita ditanya tentang apa itu filsafat pendidikan yang khas Indonesia, kesulitanpun muncul.
Dalam perbincangan mengenai filsafat pendidikan, ada sebuah pertanyaan menarik: apakah kita memerlukan filsafat pendidikan? Semua peserta akhirnya sepakat bahwa perlu sebuah filsafat pendidikan atas alasan: tanpa filsafat pendidikan, hasil dan arah pendidikan  tidak dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat pendidikan menjadi faktor pendorong dan memberi motivasi pada gerak pendidikan secara keseluruhan. Maka, filsafat pendidikan itu harus dibangun berdasarkan realitas Indonesia yang murni, bukan didatangkan dari luar, karena pada dasarnya kita sudah punya peluang dan dasar untuk membangun filsafat itu, yakni pengalaman penderitaan yang begitu lama dialami oleh bangsa Indonesia.[3]
Dunia pendidikan di Indonesia memang belum mempunyai konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara–cara mencapai tujuan pendidikan. Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia. Teori-teori tersebut biasa didapat dengan cara belajar diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyusun sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku-buku. Dengan demikian, dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa patung dengan cetakan luar negeri. Hasilnya tentu tidak sama persis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.
Saat ini pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini, namun belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkannya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik terhadap pendidikan itu sendiri.
Ada suatu hasil penelitian bertalian dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal sebagai berikut :
1)    Lebih dari separo responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran.
2)   Hampir separo responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
3)   Para mahasiswa dan dosen berpendapat pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan.
4)   Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman pandangan di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak.
Dari hasil penelitian tersebut di atas, dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan, yaitu :
(1)  Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
(2)  Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan.
(3)  Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
(4)  Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
(5)  Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
(6)  Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum ditangani.  Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterapkan di bumi Indonesia. Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.
Bagaimana kiat untuk meningkatkan kegiatan usaha merumuskan filsafat pendidikan Indonesia ini yang kini baru dalam tahap perhatian yang bersifat sporadic? Tampaknya kiat itu perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini, yakni seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa filsafat pendidikan hendaknya dibangun di atas realitas Indonesia yang murni dan bukan berasal dari negara lain dan ini pastilah membututuhkan intervensi pemerintah Indonesia itu sendiri. Sesuatu akan terjadi secara relatif lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam perkembangannya manakala pemrakarsa dapat menggugah hati pemerintah untuk menyetujuinya.
Upaya mendorong pemerintah untuk memberi syarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang sidang umum MPR (kompas, 27 Nopember 1992), sebagai satu sumbangan untuk bahan sidang umum itu. Namun, GBHN 1993 sebagai produk sidang itu tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu. Hal ini menunjukkan kemauan politik pemerintah kearah itu belum ada.

Di samping kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi penjabaran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai sekarang tidak setiap ahli diperkenankan menjabarkan sila-sila Pancasila. Yang diperbolehkan menjabarkan sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat mungkin untuk menghindari kesimpangsiuran makna sila-sila Pancasila itu sendiri.
Tetapi bila para ahli pendidikan yang berwewenang merumuskan filsafat pendidikan tidak diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila itu, hal ini akan membatasi kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu. Bila hal itu tidak bisa ditawar-tawar, mungkin dapat diambil jalan kompromi yaitu dengan dibentuk tim yang anggotanya beberapa ahli pendidikan dan beberapa anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan salah satu faktor penghambat pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia dapat diatasi.
Andaikan isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah:
(1) Apakah filsafat pendidikan yang akan dibentuk yang sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain?
(2) Apakah filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensilais, Perenialis, Progesivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis, sehingga tinggal merevisi agar cocok dengan kondisi Indonesia?
(3) Ataukah filsafat itu dimunculkan bersumber dari filsafat-filsafat umum yang berlaku secara Internasional, seperti yang dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli pendidikan di Australia menyatakan filsafat yang mendasari pendidikan mereka adalah Liberal, Demokrasi, dan multikultural, seakan-akan mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan.


























BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya filsafat yang diterapkan di Indonesia adalah filsafat pendidikan pancasila. Di sini pancasila menjadi landasan dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Namun dalam prakteknya di dunia pendidikan, pengamalan terhadap sila-silanya belumlah berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh  kesulitan dalam mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari masalah yang terjadi di dunia siswa, dimana siswa yang dididik untuk memiliki intelektual yag tinngi malah memilih jalan kekerasan dalam menyelesaikan suatu perkara. Hal ini tentulah bukan kesalahan landasan pendidikan kita, sistem yang ada sudah sangat bagus, hanya pengimplementasiannya saja yang masih perlu diperhatikan serta penghayatan terhadap seluruh sisa-sisa yang ada.
Akhirnya, untuk masalah ini didapatlah sebuah jalan keluar, yakni perlu adanya campur tangan pemerintah dalam memperhatikan tentang perumusan dari sila-sila ini serta diberikan kesempatan kepada para ahli pendidikan yang berwewenang untuk merumuskan filsafat pendidikan dan diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila tersebut.
3.2. kritik dan Saran
Kami selaku penulis mengharapkan dengan adanya makalah sederhana ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca, khususnya dalam memahami keadaan serta pemikiran pendidikan kita di Indonesia. Makalah ini hanya membahas sedikit dari keseluruhan pembahasan tersebut, untuk itu jika pembaca ingin memperdalam pengetahuan tentang hal ini, disarankan untuk membaca di berbagai sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya kami sebagai penulis memohon maaf atas kekurangan materi yang kami paparkan dalam makalah ini serta kami mengharapkan saran yang membangun dari pembaca sekalian untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rachmat, Aceng, et al.. 2013. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana.
Sindhunata (Editor). 2006. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Tilaar, H.A.R.. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.






[1] Martini Djamaris, Filsafat Ilmu Lanjutan, Bab 6, ”Ilmu, Filsafat, dan Filsafat Ilmu,” hal. 104.
[2] Martini Djamaris, Filsafat . . ., hal. 105
[3] Dedy Kristanto dan St. Sularto, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Rangkuman “Paradigma: Filsafat Pendidikan yang Berpijak Pada Realitas,”  hal. 250
Read More

Pancasila sebagai filsafat bangsa indonesia - FILSAFAT

September 25, 2018 0


FILSAFAT PENDIDIKAN PANCASILA

Sistem pendidikan yang dialami sekarang merupakan hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa di masa lalu. Pendidikan tidak berdiri sendiri, tapi selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Menteri Pengajaran dan Kebudayaan (PM), mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan nama  “Sapta Usaha Tama dan Pancawadharna” yang isinya antara lain bahwa Pancasila merupakan asas Pendidikan nasional. Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideology bangsa yang dianut. Karena system pendidikan nasional Indonesia dijiwai, disadari dan mencerminkan identitas Pancasila. Sementara cita dan karsa bangsa kita, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia, tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Cita dan karsa ini dilembagakan dalam system pendidikan nasional yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup Pancasila. Dengan kata lain, sistem Negara pancasila tercermin dan dilaksanakan didalam berbagai subsistem kehidupan bangsa dan masyarakat. [1]
A.        PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT BANGSA INDONESIA
Wawasan filsafat terdiri dari beberapa aspek, yaitu Aspek Ontologi (eksistensi), Epistemologi (Metode/cara), dan Aksikologi (nilai dan estetika). Aliran filsafat juga terbagi atas beberapa sifat yaitu Materialisme (kebendaan), Idealisme / Spiritualisme (ide dan spirit), Realisme (Realitas). Pancasila adalah dasar Filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam UUD 1945, dundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama dengan UUD 1945. Nilai-nilai yang tertuang dalam rumusan sila-sila Pancasila adalah landasan filosofis yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

                                                                                  
1.      Ontologi[2]
Ontologi adalah bagian dari filsafat yang menyelidiki tentang hakikat yang ada. Menurut Muhammad Noor Syam (1984: 24), sebelum manusia menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Pancasila sebagai filsafat, ia mempunyai abstrak umum dan universal. Yang dimaksud isi yang abstrak disini bukannya pancasila sebagai filsfat yang secara operasionalkan telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, melainkan sebagai pengertian pokok yang dipergunakan untuk merumuskan masing-masing sila.
a.       Sila pertama, Ketuhana Yang Maha Esa. Sila pertama menjiwai sila-sila yang lainnya. Di dalam sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidika yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Dengan sila pertama ini kita diharapkan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk menjadikan manusia beriman dan bertaqwa kepada Allah. Karena itu, di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat ditanamkan nilai-nilai keagamaan dan Pancasila.
b.      Sila kedua. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia yang ada dimuka bumi ini mempunyai harkat dan martabat yang sama, yang diperlikan sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan fitrahnya sebagai hamba Allah (Darmodiharjo, 1988: 40). Pendidikan tidak membedakan usia, agama dan tingkat sosial budaya dalam menuntut ilmu. Setiap manusia memiliki kebebasan dalam menuntut ilmu, mendapat perlakuan yang sama, kecuali tingkat ketaqwaan seseorang. Pendidikan yang harus dijiwai Pancasila sehingga akan melahirkan masyarakat yang susila, bertanggung jawab, adil dan makmur baik spiritual maupun material.
c.       Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini tidak membatasi golongan dalam belajar. Ini berarti bahwa semua golongan dapat menerima pendidikan, baik golongan rendah maupun golongan tinggi, tergantung kemampuannya untuk berpikir.
d.      Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan atau Perwakilan. Sila keempat inis sering dikaitkan dengan kehidupan demokrasi. Dalam hal ini, demokrsai sering diartikan sebagai kekuasaan ditangan rakyat. Bila dilihat dari dunia pendidikan, maka hal ini sangat relevan, karena menghargai orang lain demi kemajuan. Disamping itu, juga sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 yang menyatakan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan. Jadi dalam menyusun pendidikan, diperlukan ide-ide dari orang lain demi kemajuan pendidikan. Sila kelima, Keadilan sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam sistem pendidikan nsional, maksud adil dalam arti yang luas mencakup seluruh aspek pendidikan yang ada. Adil disini adalah adil dalam melaksanakan penddikan: antara ilmu agama dan umum itu seimbang.

2.      Epistemologi[3]
Epistemolgi adalah studi tentang pengetahuan benda-benda, epistemologi dapat juga berarti bidang filsafat yang menyelidiki sumber, syarat, proses terjadinya ilmu pengetahuan, dan hakikat ilmu pengetahuan. Dengan filsafat kita dapat menetukan tujuan-tujuan yang akan dicapai demi peningkatan ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan berwarga Negara. Untuk itu Indonesia telah menemukan filsafat pancasila.
a.       Sila pertama, Ketuhana Yang Maha Esa. Pancasila lahir tidak secara mendadak, tetapi melalui proses panjang. Pancasila digali dari bumi Indonesia yang merupakan dasar Negara, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, tujuan dan arah untuk mencapai cita-cita dan perjanjian luhur rakyat Indonesia (Widjaya, 1985: 176-177). Dengan demikian, pancasila bersumber dari bangsa Indonesia yang prosesnya melalui perjuangan rakyat. Bila kita hubungkan dengan Pancasila maka dapat kita ketahui bahwa apakah ilmu itu didapat melalui rasio atau dating dari Tuhan.
b.      Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Manusia itu mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Pancasila adalah ilmu yang diperoleh melalui perjuangan yang sesuai dengan logika. Dengan mempunyai ilmu moral, diharapkan tidak lagi kekerasan dan kesewenang-wenangan manusia tehadap yang lain.
c.       Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Proses terbentuknya pengetahuan manusia merupakan hasil dari kerjasama atau produk hubungan dengan lingkungannya. Potensi dasar dengan factor kondisi lingkungan yang memadai akan membentuk pengetahuan. Dalam hal ini, sebagai contohnya dalah ilmu sosiologi yang mempelajari hubungan manusia yang satu dengan lainnya (IKIP Malang, 1983: 59). Dalam hubungan antara manusia itu diperlukan suatu landasan yaitu Pancasila. Dengan demikian, kita terlebih dahulu mengetahui ciri-ciri suatu masyarakat dan bagaimana terbentuknya masyarakat.
d.      Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Himat Kebijaksanan dalam Permusyawaratan atau Perwakilan Manusia diciptaka Allah sebagai pemimpin dimuka bumi ini untuk memakmurkan umat manusia. Seorang pemimpin mempunyai syarat untuk memimpin dengan bijaksana. Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan memang mempunyai peranan sangat besar, tapi tidak menutup kemungkinan peran keluarga dan masyarakat dalam membentuk manusi Indonesia seutuhnya. Jadi dalam hal ini diperlukan suatu ilmu keguruan untuk mencapai guru yang ideal, guru yang kompeten. Setiap manusia bebas mengeluarkan pendapat dengan melalui lembaga pendidikan. Setiap ada permasalahan diselesaikan dengan jalan musyawarah.
e.       Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ilmu pengetahuan sebagai perbendaharaan dan prestasi individu serta sebagai karya budaya umta manusia merupakan martabat kepribadian manusia. Dalam arti luas, adil diatas dimaksudkan seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini didapatkan melalui pendidikan, baik itu formal maupun non formal. Dalam sistem pendidikan nasional yang intinya mempunyai tujuan tertentu. Di bidang sosial, dapat dilihat pada suatu badan yang mengkoordinir dalam hal mengentaskan kemiskinan, dimana hal-hal ini sesuai dengan butir-butir Pancasila.

3.      Aksiologi[4]
Aksiologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar Negara yang memiliki nial-nilai: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadila.
a.       Sila pertama, Ketuhana Yang Maha Esa. Percaya pada Allah merupakan hal yang paling utama dalam ajaran Islam. Dilihat dari segi pendidikan, sejak dari kanak-kanak sampai perguruan tinggi, diberikan pelajaran agama dalam hal ini merupakan subsistem dari sistem pendidikan.
b.      Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam kehidupan umat Islam, setiap muslim yang datang kemasjid untuk shalat berjamaah berhak berdiri di depan dengan tidak membedakan keturunan, ras, dan kedudukan: dimata Allah, kecuali ketaqwaan seseorang. Inilah sebagian kecil contoh nilai-nilai Pancasila yang ada dalam kehidupan umat Islam.
c.       Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Islam mengajarkan supaya bersatu dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Mengajarkan untuk taat pada pemimpin. Di dalam pendidikan, jika kita ingin berhasil, kita harus berkorban demi tercapainya tujuan yang didambakan. Yang jelas warga Negara punya tanggung jawab untuk mempertahankan dan mengsisi kemerdekaan ini. Bercerai berai kita runtuh, bersatu kita teguh.
d.      Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan atau Perwakilan. Jauh sebelum Islam datang, di Indonesia sudah ada sikap gotong royong dan musyawarah. Dengan datangnya Islam, sikap ini lebih diperkuat lagi dengan keterangan Al-Qur’an. Di dalamnya juga diterangkan bahwa dalam hasil musyawarah dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan dapat dipertanggung jawabkan.
e.       Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Adil berarti seimbang antara hak dan kewajiban. Dalam segi pendidikan, adil itu seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama di mana ilmu agama adalah subsistem dari sistem pendidikan nasional. Mengembangkan perbuatan yang luhur, menghormati hak orang lain, suka member pertolongan, bersikap hemat, suka bekerja, menghargai hasil karya orang lain dan bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial. Dengan berdasarkan butir-butir dari sila kelima ini, kita dapat mengetahui bahwa nilai-nilai yang ada pada sila kelima ini telah ada sebelum Islam datang. Nilai-nilai ini sudah menjadi darah daging dan telah diamalkan di Indonesia. Filsafat Pendidikan Pancasila adalah tuntutan formal yang fungsional dari kedudukan dan fungsi dasar Negara Pancasila sebagai Sistem Kenegaraan Republik Indonesia. Kesadaran memiliki dan mewarisi sistem kenegaraan Pancasila adalah dasar pengamalan dan pelestariannya, sedangkan jaminan utamanya ialah subjek manusia Indonesia seutuhnya. Subjek manusia Indonesia seutuhnya ini terbina melalui sistem pendidikan nasional yang dijiwai oleh filsafat pendidikan Pancasila.

B.         PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL
Perjalanan negara kita, yang merdeka pada 17 Agustus 1945, telah banyak mengalami pasang surut, begitu juga keadaan pendidikan penyakit. Sistem pendidikan yang dialami sekarang merupakan hasil perkembangan pendidikan ysng tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa di masa lalu. Pendidikan tidak berdiri sendiri, tapi selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.[5]
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memang mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa bersangkutan. Karena itu, pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai satu sistem pengajaran nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 2.[6]
 Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan sama dengan tujuan didirikannya suatu negara.[7] Begitu juga dengan Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ingin menciptakan manusia kebijaksanaan untuk menjaga agar arah pendidikan tidak menuju pembentukan manusia liberal yang dianggap sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia.[8] Kemudian, atas instruksi Menteri Pengajaran dan Budaya (PM) Prof. Dr. Priyono mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan nama “Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana” yang isinya antara lain bahwa Pancasila merupakan asas pendidikan nasional.[9]
Pendidikan, selain sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, sosial budaya, juga merupakan sarana untuk mewariskan ideologi bangsa kepada generasi selanjutnya yang (hanya) dapat dilakukan melalui pendidikan. Karena menurut Tadjab, suatu bangsa menjadi kuat, perkasa dan berjaya serta menguasai bangsa-bangsa lain dengan sistem pendidikan yang lemah, suatu bangsa akan tidak berdaya.[10] Untuk itu, sudah barang tentu perlu adanya tujuan yang digariskan, baik itu tujuan institusional, kurikuler, maupun tujuan nasional.
 Jika pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi bangsa yang dianut. Karena nya sistem pendidikan nasional di jiwai, di dasari dan mencerminkan identitas pancasila. Sementara cita dan karsa kita, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat indonesia, tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai pancasila.
Cita dan karsa itu dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup pancasila. Inilah alasan mengapa filsafat pendidikan pancasila merupakan tuntutan nasional, sedangkan filsafat pendidikan pancasila adalah subsitem dari sistem negara pancasila. Dengan kata lain, sistem negara pancasila wajar tercermin dan dilaksanakan di dalam berbagai subsistem kahidupan bangsa dan masyarakat.[11]
Dengan memerhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi negara dan bangsa, khusus nya dalam  melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang pada akhirnya menentukan eksistensi dan martabat negara dan bangsa, maka sistem pendidikan nasional dan filsafat pendidikan pancasila seyogianya terbina mantap demi tegak nya martabat dan kepribadian bangsa sekaligus melestarikan sistem negara pancasila berdasarkan UUD 1945. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa filsafat pendidikan pancasila merupakan aspek rohaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional. Tegasnya, tiada sistem pendidikan nasional tanpa filsafat pendidikan.
Dengan demikian, jelaslah tidak mungkin sistem pendidikan nasional dijiwai dan dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan yang lain selain pancasila. Hal ini tercermin dalam tujuan pendidikan nasional yamg termuat dalam UU No.2 Tahun 1989 dan UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yakni pendidikan nasional bertujuan mecerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan.

C.         HUBUNGAN PANCASILA DENGAN SISTEM PENDIDIKAN
Ajaran filsafat yang komprehensif telah menduduki status tinggi dalam kebudayaan manusia, yakni sebagai ideology bangsa dan Negara. Seluruh aspek kehidupan suatu bangsa diilhami dan berpedoman pada ajaran- ajaran filsafat bangsa itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan social, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, bahkan kesadaran atas nilai-nilai hukum dan moral bersumber dari ajaran filsafat.
Eksistensi suatu bangsa adalah eksistensi dengan ideology atau ajaran filsafat hidupnya. Demi kelangsungan eksistensi itu, diwariskanlah nilai-nilai itu pada generasi selanjutnya. Dan untuk itu, jalan dan proses yang efektif untuk di tempuh hanya melalui pendidikan. Pada prinsipnya, setiap masyarakat dan bangsa melaksanakan aktivitas pendidikan untuk membina kesadaran nilai-nilai filosofis bangsa itu sendiri, baru kemudian untuk pendidikan aspek aspek pengetahuan dan kecakapan lain. Kesadaran dan sikap mental yang menjadi kriteria manusia ideal dalam system nilai suatu bangsa bersumber pada ajaran filsafat bangsa dan Negara yang dianutnya.[12]
Manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, sebagai bangsa dan Negara hidup dalam ruang social budaya. Aktivitas untuk mewariskan dan mengembangkan social budaya itu terutama melalui pendidikan. Untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif, dibutuhkanlah landasan-landasan filosofis dan ilmiyah sebaga asa normative dan pedoman pelaksanaan pembinaan. Dengan demikian, kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan. Sebab, pendidikan merupakan usaha membina dan mewariskan kebudayaan, mengemban suatu kewajiban yang luas dan menentukan prestasi suatu bangsa bahkan tingkat sosio-budaya mereka.
Pancasila adalah dasar Negara Indonesia yang merupakan fungsi utamanya dan dari segi materinya digali dari pandangan hidup dan kepribadian bangsa.[13] Pancasila adalah dasar Negara bangsa Indonesia yang mempunyai fungsi dalam hidup dan kehidupan bangsa dan Negara Indonesia tidak saja sebagai dasar Negara RI, tapi juga alat pemersatu bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, sumber dari segala sumber hukum dan sumber ilmu pengetahuan di Indonesia.[14] Dari sini dapat kita ketahui bahwa Pancasila merupakan dasar Negara bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain.
Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang kependidikan berdasarkan filsafat. Bila kita hubungkan fungsi Pancasila dengan system pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, maka dapat kita jabarkan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa yang menjiwai sila-silanya dalam kehidupan sehari-hari. Dan untuk menerapkan sila-sila pancasila, diperlukan pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai bagaimana nilai-nilai pancasila itu dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, tentunya pendidikanlah yang berperan utama. Sebagai contoh, dalam pancasila terdapat sila ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam pelaksanaan pendidikan, tentunya sila pertama ini akan diberikan kepada siswa sebagai pelajaran pokok yang mesti di amalkan. Karena itu, di sekolah-sekolah diberikan pelajaran Pendidikan Moral Panacasila (PMP), yang salah satu butir sila pertamanya adalah percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama masing-masing. (Di sini filsafat berfungsi untuk mempertanyakan siapa Allah dan bagaimana Ia menjadikan alam semesta dan sebagainya). Sehingga bila kita lihat dalam lingkup kelas, nilai yang tampak di antara siswa adalah saling menghormati walau pun mereka berlainan agama. Oleh karena itu, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi pelajaran Pancasila masih diberikan, tak lain agar nilai-nilai Pancasila benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[15]

D.        ANALISIS PRAKTIK PENDIDIKAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN PANCASILA
Pendidikan nasional merupakan suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya. Sedangkan Pendidikan Nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia. Sehingga Filsafat pendidikan nasional Indonesia dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia. Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai definisi pendidikan. Pendidikan merupakan aktifitas rasional yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya. Manusia belajar dengan otaknya melalu rangkaian kegiatan menuju pendewasaan untuk mencapai kehidupan yang lebih berarti.[16]
Sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.


























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Filsafat pendidikan Indonesia dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia. Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai definisi pendidikan. Pendidikan merupakan aktifitas rasional yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya. Manusia belajar dengan otaknya melalu rangkaian kegiatan menuju pendewasaan untuk mencapai kehidupan yang lebih berarti.

B.     Saran
Saran kami sebagai penulis semoga praktek pendidikan pancasila dapat lebih di implementasikan dalam pendidikan indonesia sebagai dasar dan ideologi pandangan hidup. Sehingga pendidikan pancasila bukan hanya sebagai teori, tetapi dapat terealisasi dan memiliki nilai sebagai ideologi bangsa.









[1] Paulus  Wahana Filsafat Pancasila (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm 12
[2] Paulus Wahana Filsafat Pancasila (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm 53. 
[3] Paulus Wahana Filsafat Pancasila (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm 55. 
[4] Paulus Wahana Filsafat Pancasila (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm 56. 
[5] Prof. H. Jalaluddin dan Prof. Dr. Abdullah Idi, M.Ed Filsafat dan Pendidikan (Yoyakarta: Ar-Ruzz Media: 2007), hlm 87.
[6] ibid
[7] Rapar, 1988:40
[8] Depdikbud,1993:79
[9] Supardo,1960:431
[10] Tadjab, 1994:26
[11] Paulus Wahana Filsafat Pancasila (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm 70. 
[12] Paulu s Wahana Filsafat Pancasila (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm 74. 
[13] Darmodihardjo, 1988:17
[14] Hasan, 1984:70
[15] Paulus  Wahana Filsafat Pancasila (Jakarta: Kanisius, 1993), hlm 77. 
[16] Sukarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama: 2006) hlm. 210 
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot