BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadis merupakan dua sumber hukum yang redaksinya
menetapkan hukum syar’i.
Dalam menggali nilai- nilai
hukum
pada sumber tersebut,
tidak sepatutnya
seseorang langsung menukil darinya tanpa
terlebih
dahulu menimbangnya.
Padahal tidak
semua
lafazh yang
ada
mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk langsung diambil.
Ada
beberapa
pengklasifikasian lafazh yang ada
di dalam nash syar’i yang selayaknya ditafsirkan terlebih dahulu.
Konteks Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut bisa berupa lafadz umum
atau khusus. Lafadz yang
umum atau
al-‘am,
ketetapan
hukumnya
harus
diartikan
kepada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil
yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil
yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny).
Al-Qur’an dan Al-Hadis juga ada
yang berupa
lafadz khusus
(khash), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil
yang mentakwilkan
atau memindahkan
dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz
khash ini terdapat
lafadz mutlak
yang
dapat menetapkan hukum secara
absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika
lafadz
itu
berbentuk
perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya
wajib,
atau berbentuk larangan (nahi)
maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada
dalil yang merubah dari keharusannya
atau ketidak bolehannya.
Pada makalah ini selanjutnya, penulis akan membahas beberapa hal berkenaan dengan lafazh yang ‘am dan Khash.
Diharapkan dengan mengkaji dan
memahami lafazh
‘am dan Khash, seseorang tidak
lagi gegabah dalam menarik
sebuah nash sebagai sebuah landasan dalam berbuat.
1
2
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan pendahuluan di atas, terdapat permasalahan –
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Lafadz ‘Am dan Apa Saja Shigat-Shigatnya?
2. Apa Saja Pembagian
‘Am?
3. Apa Pengertian Lafadz Khash dan
Apa
Saja Bentuk-Bentuk Mukhasshish?
4. Apakah Ayat ‘Am Yang Sudah Di-takhsis Masih Merupakan Dalil/Hujjah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian
Lafadz ‘Am Dan Shigat-Shigatnya.
2. Untuk Mengetahui Pembagian ‘Am.
3. Untuk Mengetahui
Pengertian Lafadz Khash Dan Bentuk – Bentuk
Mukhasshish.
4. Untuk Mengetahui Penjelasan Ayat ‘Am Yang Sudah Ditakhsis.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ayat Yang ‘Am Dan Shighat-Shighatnya
1.
Pengertian ‘Am
Secara
bahasa
‘Am berarti merata
atau yang umum.1 Sedangkan secara
istilah ‘Am ialah
suatu
lafadz
yang menunjukan satu
makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.2 Atau juga lafadz yang menunjukan dimana ditempatkan secara
lughowi dan semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya.3 Para ulama
Usul Fiqih
اهَُقزْرٌٌِّّللَِّّ اٌّىَلعَ ٌّلٌَِّّّإٌٌّّضِ
رْ لَْْاٌّفٌّ ٌِّةٌَّّبادٌَّنٌّْ مٌِّامَوَ
“Dan tidak satu pun
makhluk bergerak (bernyawa)
di
bumi
melainkan
semuanya dijamin Allah rezekinya. (QS.
Hud: 06).20
حَ ٌّ
يْ شَ ٌّلٌَّّ كٌٌٌُّّّءِامَْلاٌّنٌَّ مٌِّانَلْعَجَوَ
“Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air.” (QS. Al-
Anbiya’: 30)21
Pada
kedua ayat ini orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatulloh ada
‘am
yang tidak ditakhasiskan dan tidak
pula
dipertukarkan letaknya. Pada kedua ayat
ini terdapat
‘am
qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak
mengandung hal yang dimaksud
khusus dengannya.
Kedua adalah
‘am
yang dimaksud secara
qathi khusus.
Yaitu apa
yang didampingi dengan
qarinah,
pada umumnya
tetap
menafikan dan menyatakan
maksud
sebagian
dari
ifradnya itu.
Seperti firmanAllah
yang
berbunyi:
تٌِّ
يْ بَْلاٌّ
حِ ٌٌّّسِ اَّنلاٌّىلَعَ ٌّللٌَِِّّّوَ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah
adalah
Melaksanakan
ibadah haji ke Baitullah.”
(QS. Ali-Imran:
97).22
Manusia pada
nash ini adalah umum. Dimaksud
dengannya
itu
khusus para mukallaf.
Menurut akal, tidak termasuk anak-anak dan
orang gila.
Ketiga adalah ‘am makhsus. Yaitu ‘am mutlak yang
tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal
yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya
kebanyakan nash yang
terdapat padanya sighat umum.
Terlepas dari qarinah-qarinah lafdziah
atau aqliah
atau arfiah
yang
menyatakan
umum,
sebelum dikemukakan
hlm. 222
20Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008),
21Ibid., hlm. 324
22Ibid., hlm. 62
dalil yang mentakhsiskannya. Misalnya, perempuan-perempuan yang
ditalak oleh suaminya harus menunggu
(iddah).23
ٌّءورُ ُقٌَّةَثلَََّثٌّنَّ هِسِ ُفْنَأِبٌّنَ صْ َّبرَ َتَيٌّتُ
اقََّل
مُ
ْلاوَ