A. Pengertian Kontrak Sosial
Teori
kontrak sosial adalah teori yang paling relevan dan cocok, jika kita kaitkan
dengan terbentuknya negara. Teori ini adalah teori yang paling rasional karena
memiliki asumsi bahwa terbentuknya suatu negara adalah atas dasar kesepakatan
dari masyarakatnya. Teori kontrak sosial berkembang dan sangat dipengaruhi oleh
pemikiran pada zaman Pencerahan (Enlightenment age) yang ditandai dengan
rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai
pengatur sebuah negara dan juga sebagai pusat gerak dunia. Munculnya pemikiran
bahwa manusia adalah sebagai sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepada
kita bahwa pada jaman dahulu kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan
mengatasi kehidupan politik dan bernegara sudah sangat kuat, dan itu masih
dipelihara hingga saat ini. Jika kita melihat pada perkembangan sejarah yang
berlangsung, pada Jaman Pencerahan ini merupakan kritik, koreksi atau reaksi
atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan (the dark age). Walaupun dalam
pandangan sejarah seperti itu, tetapi pemikiran-pemikiran yang muncul pada
Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti teori yang akan kita bahas
tuntas pada makalah ini adalah salah satu contoh dari teori yang memang tidak
benar-benar murni muncul pada era pencerahan. Teori kontrak sosial yang
berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan
oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang
jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal
kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Thomas
Hobbes, John Locke, dan Jean J.Rousseau sama-sama berangkat dari membahas
tentang kontrak sosial dalam analisis politik mereka, yaitu melandaskannya pada
anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Namun, tentang bagaimana,
siapa yang mengambil kewenangan itu, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya,
mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan yang hadir merupakan poin mendasar,
baik dalam konsep maupun dalam praktiknya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latar
belakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara singkat bisa disebutkan
bahwa Hobbes hidup pada kondisi negara yang sedang kacau balau karena Perang
Saudara, maka Hobbes menginginkan negara yang stabil. Ia mempunyai ikatan
karier dan politik kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus
parlemen, Hobbes cenderung memihak kerajaan. Lock hidup di masa kekuasaan
kerajaan yang despot. Ia mendapat pengaruh isu liberalisme yang sedang hangat
di Eropa ketika itu. Demikian pula dengan Lock, terdapat ikatan karier dan
politik yang dimilikinya dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan
kerajaan, sehingga pandangan yang muncul terlihat berpihak kepada parlemen dan
menentang kekuasaan raja.
Di
sisi lain, Jean Jacques Rousseau hidup dalam abad berbeda dan negara
yang berbeda pula. Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan
kesewenang-wenangan kerajaan, namun ia pun terlibat dalam Revolusi Perancis.
Dalam
membentuk teori kontrak sosial, Hobbes, Locke maupun Rousseau memulainya dengan
konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep alamiah, hak alamiah dan hukum
alamiah.
B. Kontrak Sosial Menurut Para Pemikir Barat
Di bawah ini terdapat konsep teori kontrak sosial yang
dikemukakan oleh para pemikir barat yaitu:
1. Thomas Hobbes (1588-1679)
Hobbes
menyatakan bahwa secara kodrat manusia itu sama satu sama lain. Masing-masing
mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions) yang
menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan
kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan
aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara atau mati. Hobbes
menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi
hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena
setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan
menggunakan powernya masing-masing, maka yang akan terjadi adalah benturan
power antar sesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Dengan
demikian Hobbes memyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan
untuk power dari manusia yang lain. Dalam kondisi seperti itu manusia menjadi
tidak aman dan ancaman kematian akan semakin mencekam. Karena kondisi alamiah
tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang
dengan menciptaka kondisi artifisial atau buatan.
Dengan
penciptaan ini, manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki
kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan
kesepakatan diantara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan mentransferkan
hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan
itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus
diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa
orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah
menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat. Masyarakat sebagai pihak yang
menyarahkan hak-hak mereka tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau
menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya
penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan yang paling masuk akal dari
upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang satu dengan lainnya yang mengancam
hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk
memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan
tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan
mesyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri,
sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah
dengan yang diperintah.[1]
2. John Locke (1632-1704)
Lock
memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan
lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri
manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia
lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang
mengajarkan prinsip bahwa karena menjadi sama dan independent manusia tidak
perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi
alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes.
Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan
hukum alamiah tertentu karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa
yang benar dan apa yang salah dalam pergaulan antara sesama. Masalah
ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena
terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal
yang telah dibiarkan terbiasa oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi,
sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak
yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan
hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup
untuk memaksakan sanksi. Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa
orang yang biasanya memiliki power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka
seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari
kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia
menciptakan kondisi artifisial atau buatan dengan cara mengadakan kontrak
sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua
hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak calon pemegang
pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga
hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Locke
menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang
menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the
trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the
beneficary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa
trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dengan
beneficiary tidak terjadi kontrak sama sekali. Trustee hanya menerima obligasi
dari beneficiary secara sepihak.
Dari
pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa
pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan
kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat
bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari
uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan
dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan
politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih
dipercaya. Apalagi hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah
tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan
kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini
tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.[2]
3. Jean J. Rousseau (1712-1778)
Seperti
halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat menusia.
Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi
alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan
oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam. Untuk itu mereka perlu
saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia
bisa mengimbang alam.
Walaupun
pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik, dan moral menciptakan
ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang
tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan
sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang mempunyai hak-hak istimewa
tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya,
kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk
menghindar dari kondisi dimana yang memiliki hak-hak istimewa menekan orang
lain yang menyebabkan ketidaktoleranan dan ketidakstabilan, maka masyarakat
mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the
free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas
tertinggi. Akan tetapi, kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak
umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua. Kehendak
bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the
quantity of the ‘subject’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas
kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).
Kehendak
umum (volente generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati
kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi
alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga
apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia
dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau
mengajukan argumentasi yang sulit untuk dimengerti ketika sampai pada
pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya
Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan
menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau
demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer atau
lengsung, tanpa perwakilan dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan
demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara.
Jadi jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya,
Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.[3]
C. Perbandingan Kontrak Sosial dikalangan Pemikir Barat.
Jika
dilihat lebih lanjut, pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial sebenarnya
dapat dibandingkan dengan teori kontrak sosial sebelumnya, versi Thomas Hobbes
dan John Locke adalah sebagai berikut:
1. Kontrak sosial versi T. Hobbes dibandingkan dengan JJ.
Rousseau
Hobbes
lantas memberi solusi berupa kontrak sosial dan manusia, yang selalu dihantui
ketakutan, akan terdorong untuk melakukan perjanjian dengan memilih penguasa di
antara mereka. Pihak-pihak yang berjanji menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya
kepada sang penguasa. Namun, menjadi masalah ketika sang penguasa tidak
mengikatkan diri pada perjanjian, hal ini menyebabkan sang penguasa memiliki
kekuatan dan kekuasaan yang absolut. Walaupun sang penguasa memiliki kekuasan
absolut, menurut Hobbes seseorang dapat menentang jika sudah menyakiti secara
jasmaniah.
Konsep
penguasa pada pemikiran Hobbes yang tidak terikat janji berbeda dengan
perjanjian yang mengikat semua pada pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau
hanya sekedar “pelayan” dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut
Hobbes sangat berkuasa.
2. Kontrak Sosial versi
Locke dibandingkan dengan JJ. Rousseau
Jika
ditilik, asal usul negara menurut Locke dan Rousseau hampir sama, yaitu
kehidupan individu bebas dan sederajat. Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Locke
juga sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara.
Keduanya juga memasukkan nilai kemanusiaan pada pemikirannya, tidak seperti
Hobbes. Teori Kontrak Sosial Locke yang menganut kedua aliran, pactum unionis
dan pactum subyectionis, bagi Rousseau cukup pactum unionis. Para penguasa
menurut keduanya sama-sama berkurang kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke
mengenal keterwakilan rakyat, di mana legislatif merupakan amanah rakyat,
tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri dan ini bukan ide cemerlang untuk
negara besar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa teori
kontrak sosial adalah pandangan yang melihat bahwa kewajiban politis dan moral
seseorang dapat bergantung pada suatu kontrak atau perjanjian diantara mereka
dalam rangka membentuk suatu komunitas masyarakat yang mereka tinggali.
Persamaan antara T. Hobbes, Locke dan JJ. Rousseau adalah bahwa manusia
memiliki keadaan alamiah yang mempengaruhi tindakan dan tujuan pembentukan
kontrak sosial. Konsep kontrak sosial berakar pada manusia yang pada awalnya
memiliki keadaan alamiah (state of nature). Latar belakang sosial dan politik
yang berbeda dapat mempengaruhi pemikiran dan pandangan seseorang. Hobbes,
misalnya, dengan kondisi sosial politik Inggris saat itu yang penuh konflik dan
ketakutan, membuatnya mengemukakan konsep keadaan alamiah manusia yang selalu
berkonflik dan dipenuhi ketakutan. Sedangkan Locke, yang hidup di masa dominasi
sistem monarki absolut, melihat bahwa sesungguhnya manusia lebih baik kembali
kepada keadaan alamiah mereka yang baik dan menjunjung moralitas. Walaupun
terdapat perbedaan dalam dasar pembentukan kontrak sosial itu sendiri, namun
kedua filsuf ini sama-sama meyakini bahwa kontrak sosial adalah elemen yang
paling fundamental dimana manusia bergantung padanya untuk dapat hidup dengan
baik dan damai.