2.1 Pengertian Ushul Fiqh
Ushul Fiqh terdiri
atas dua kata: ushul (ashl) dan fiqh, secara lughawiyah ushul
(ashl) berarti asas, fondasi, atau pokok. Secara lughawiyah fiqh
berarti paham (pemahaman) atau mengerti.[3]
Sedangkan secara istilahiah ada beberapa pendapat mengenai pengertian ushul
fiqh, diantaranya:
Amir Syarifuddin ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah
yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’dari dalilnya yang terinci
atau dalam artian sederhana adalah: kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.[4]
Kamal Muchtar yang mengutip [pendapat] Abu Zahrah, ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan rumusan sendiri Kamal Muchtar menyatakannya: kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’.[5]
2.2. Mahkum ‘Alaih sebagai Subjek Hukum
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah
seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.[6]
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang
dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut
juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang
telah dianggap mampu bertindak [sesuai] hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua
tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta
pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat.[7]
Menurut Alaiddin
koto dalam bukunya Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, menjelaskan bahwa yang
dimaksud mahkum ‘alaih adalah mukallaf yang perbuatannya
berhubungan dengan hukum syar’i. atau dengan kata lain, mahkum ‘alaih adalah
orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.[8]
Dinamakannya mukallaf
sebagai mahkum ‘alaih adalah karena dialah yang dikenai (dibebani)
hukum syara’. Ringkasnya, yang dinamakan mahkum ‘alaih adalah orang atau
si mukallaf itu sendiri. Sedangkan perbuatannya disebut mahkum bih.[9]
Menurut Chaerul Umam, dkk dalam bukunya Ushul Fiqh 1, menyatakan:
para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah
orang yang perbuuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti
yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum
‘alaih (subjek hukum). Orang mukallaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungn
dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus
di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat
imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan
larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[10]
Sedangkan menurut C.S.T. Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Indonesia menyatakan: dalam dunia hukum perkataan orang
(person) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban
dan disebut subjek hukum.[11]
2.3.
Syarat-Syarat Seorang Dikatakan sebagai Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih berarti
“orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi)”. Seseorang
baru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya
terdapat beberapa persyaratan:
1.
Menurut Satria Effendi, M. Zein dalam bukunya Ushul Fiqh, menyatakan:
a.
Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan
bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari
ayat atau hadits Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu
disebabakan seseorang itu mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur dengan
pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi
dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun jika sampai umur lima belas
tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi maka umur lima belas
tahum dijadikan batas umur minimal baligh beralal.
b. Mempunyai ahliyatu
al-ada’, yaitu kecakapan untuk
bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya
kecakapan sepertiitu seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya
diperhitungkan oleh hukum islam, dan ia ia diperingatkan untuk menlaksanakan
segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan separti ini baru dimiliki oleh
seseorang secara sempurna bilamana ia baligh berakal dan terbebas dari segala
hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan
gila, tidur, lupa, terpaksa, dan lain-alin yang secara panjang lebar dijelaskan
dalam buku-buku Ushul Fiqh. Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang baru
dianggap sah disamping sudah baligh dan berakal juga setelah ada rusyd, yaitu
kemampuan untuk mengendalikan hartanya. Seseoarang yang telah mencapai umur
baligh berakal tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubazir tidak
dianggap cakap mengendalikan hartanya dan oleh karena itu ia perlu dibimbing
penanggungjawabnya.[12]
2.
Menurut Alaiddin Kato dalam bukunya Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, menyatakan:
a.
Orang tersebutmampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan
sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak mampu memahami
dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan
memahami dalia-dalil taklif hanya dapat terwujud dengan akal, karena
akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh
karena akal adalah alat yang tersembunyi yang sulit diukur, maka Allah
menyangkutka taklif itu kedalam hal-hal yang menjadi tempat anngapan
adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang telah baligh dan tidak kelihatan
cacat akalnya berarti telah cukup kemampuan untuk ditaklifi.
Berdasarkan hal di atas anak-anak dan orang gila tidak
dikenai taklif karena mereka tidak punya alat untuk memehami taklif tersebut.
Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk karena dalam keadaan
demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada
mereka.
b.
Orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa yang di taklifkan kepadanya,
“Ahli” di sini berarti layak untuk kepantasan pada diri seseorang. Misalnya,
seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk diserahi
tanggu jawab mengurus harta wakaf.[13]
3.
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman dalam bukunya Dasar-Dasar
Pembinaan Fiqh Islam, menyatakan:
a.
Sanggup memahami khithab-khithab pembebanan. Yakni sanggup memahami
sendiri atau dengan perantaraan orang lain nash-nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah.karena orang yang tidak sanggup memahami khithab, baik langsung maupu
perantaraan, niscaya tidaklah akan tergerak hatinya untuk memenuhi tuntutan
syara’ dan tidak akan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Kesanggupan memahami
khithab-khithab taklif itu hanya terletak kepada akal dan nash-nash yang
dibebankan kepada ahli piker adalah untuk dipahaminya. Sebab akal itu merupakan
alat untuk memahami dan menyerap, dan akal itu pula yang mendorong manusia untuk berkendak untuk
mematuhinya. Oleh karena itu orang gila dan anak-anak tidak dibebani suatu
taklif, karena keduanya belumsanggup memahami khithab-khithab untuk membina
ketaatan kepada syari’.demikian juga orang yang dalam keadaan lupa, sedang
tidur atau seang mabuk tidak dibebani suatu kewajiban, karena pada saat itu
mereka tidak sanggup memahami khithab.
Adapun
pembebanan wajib zakat, nafaqah dan anti rugi atas tindakan anak yang belum
dewasa dan orang gila sebenarnya bukan merupakan pemberian beban kepada mereka, akan tetapi
mereka meerupakan pemberian beban kepada wali mereka dalam rangka hak waib
kebendaan.
Bagi
bangsa-bangsa yang tidak mengenal bangsa Arab, maka mereka tidak dapat memahami
khithab-khithab syara’ yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak boleh
dibebani taklif, kecuali kalau mereka sanggup memahami khithab-khithab tersebut
yang telah diterjemahkan kedalam bahasa mereka yang telah disampaikan oleh para
da’I (penganjur) kepada mereka.
b.
Mempunyai kemampuan menerima beban. Para Ushuliyu membagi kemapuan
ini kepada 2 macam.
1)
Ahliyatul wujuub, (kemampuan meneriama hak dan kewajiban), yaitu
kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, baik masih kanak-kanak maupu
sudah dewasa, baik sempurna akalnya maupu kurang dan baik sehat maupu sakit.
Semua
orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban. Sebab dasar dari hak ini
adalah kemanusiaan. Artinya selama kemanusiaan itu masih ada, yakni dia masih
hidup, kepantasan tersebut tetap dimilikinya.
2)
Ahliyatul adaa’ (kemampuan berbuat), ialah kepantasan seseorang
untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya bila ia
mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakan itu adalah sah
dan dapat menimbulkan akhibat hukum. Apabila ia melakukan perbuatan-perbuatan seperti
shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang lain, maka perbuatan-perbuatan
itu dianggap sah dan dia telah menunikan kewajibannya yang dapat menggugurkan
tanggungan. Apabila ia melakukan tindakan pidana terhadap nyawa atau harta
milik orang lain, maka ia dapat dikenai pidana badan atau pidana harta
(benda/ganti rugi). Dengan demikian ahliyatul ada’ itu adalah soal
pertanggungjawaban dan asasnya adalah cakap bertindak (berakal).[14]
2.4.
Hubungan Manusia dengan Ahliyatul Wujub
Keadaan
manusia itu bila dihubungkan dengan [ahliyatul wujub] kemampuan menerima
hak dan kewajiban ada dua macam.
a.
Adakalanya ahliyatul wujubnya itu kurang sempurna.
Kemampuan seseorang menerima hak dan kewajiban
dikatakan kurang sempurna, apabila seseorang hanya pantas memerima hak saja,
sedang untuk memikul kewajiban belum pantas.
Orang yang memiliki ahliyatul wujub kurang sempurna
itu adalah janin yang masih dalam kandungan ibunya. Karena ketika masih dalam
kandungan, ia sudah mempunyai hak mempusakai dan menerima wasiat, tetapi belum mempunyai
beban kewajiban terhadap orang lain.
b.
Adakalanya ahliyatul wujubnya itu sempurna.
Kemampuan menerima hak dan kewajiban itu dikatakan
sempurna adalah bila seseorang sudah pantas menerima hak dan memikul suatu
kewaajiban. Kemampuan ini melekat sejak manusia dilahirkan sampai meninggal
dunia. Dalam keadaan bagaimanapun juga, selama manusia itu masih hidup, dia
memiliki ahliyatul wujub yang sempurna. Anak yang belum dewasa atau orang gila
sekalipun tetap memiliki kemampuan menerima hak dan memikul kewajiban,
karenanya ia masih dikenakan kewajiban membayar zakat. Akan tetapi, karena ia
belum atau tidak sempurna akalnya maka yang melaksanakan kewajiban tersebut
adalah orang tua atau walinya.[15]
2.5. Hubungan Manusia dengan Ahliyatul
ada’
Keadaan manusia itu apabila dihubungkan dengan ahliyatul
ada’ [kemapuan berbuat] ada tiga macam.
a.
Adakalanya seseorang tidak mempunyai ahliyatul ada’ sedikitpun. Misalnya
anak yang belum dewasa dan orang gila. Oleh karena keduanya
dianggap belum atau tidak mempunyai akal, maka mereka tidak mempunyai kemampuan
untuk berbuat. Segala tingkah laku dan tutur kata mereka tidak dapat
menimbulkan akhibat hukum. Andai kata mereka berbuat tindak pidana membunuh
atau merusak hak milik orang lain, mereka tidak dikenakan hukuma beban, selain
hanya dikenakan hukuman ganti rugi yang berwujud kebendaan saja.
b.
Adakalanya seseorang mempunyai ahliyatul ada’ yang kurang sempurna.
Seperti anak yang mumayyiz, yakni anak yang sudah dapat membedakan baik
dan buruknya sesuatu perbuatan dan manfaat atau tidaknya perbuatan itu, akan
tetapi pengetahuannyabelum kuat (anak-anak yang berada dalam umur 7 tahun
sampai 15 tahun).
Adapun sah
atau tidaknya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz
itu dapat ditinjau dari 3 jenis perbuatan.
1)
Dalam transaksi-transaksi yang mengandung manfaat, seperti menerima
hibah dan shadaqah, maka tindakannya itu sah tanpa tergantung izin dari
walinya.
2)
Dalam transaksi-transaksi yang mengandung unsur perpindahan hak milik,
maka tindakanya tidak sah, biarpun telah mendapat izin dari walinya.
Oleh itu apabila ia memberikan hibah, wasiat, waqaf dan memerdekakan budak,
maka tindakan-tindakan yang dilakukannya adalah batal.
3)
Dalam transaksi-transaksi yang disamping mengandung unsur yang
bermanfaat juga mengandung unsur yang memindahkan hak milik, maka tindakannya
adalah sah, hanya saja tindakan ini tergantung izin walinya. Artinya
jika walinya mengizinkan, tindakannya adalah sah dan jika tidak mengizinkan,
tindakannya adalah tidak sah. Misalnya seorang anak mumayyiz mengadakan
perikatan jual beliatau sewa-menyewa dengan pihak-pihak tertentu. Jika walinya
mengizinkan transaksi yang dilakukannya, maka sahlah perikatan tersebut, tetapi
apabila walinya tidak mengizinkannya, perikatan ini menjadi batal.
c.
Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada’ yang sempurna. Yaitu
orang yang telah dewasa lagi berakal.[16]
Pada prinsipnya kemampuan berbuat (ahliyatul ada’)
seseorang itu diukur dengan kesempurnaan akal[,] dan kesempurnaan akal
seseorang itu diukur dengan kedewasaannya. Sebab kedewasaannya itu menunjukn
bahwa akalnya telah sempurna.
Hukum islam menetapkan kedewasaan seseorang dengan dua
jalan. Yakni:
1.
Ditetapkan dengan adanya cirri-ciri khas kedewasaan. Seperti
mensturuasi bagi orang wanita atau ihtilam (keluar sperma) baik bagi laki-laki
maupun orang perempuan.
2.
Ditetapkan dengan tercapainya umur tertentu. Apabila cirri-ciri
kedewasaan tersebut di atas tidak didapatkan pada seseorang, karena ia mendapat
gangguan jasmaniah, maka kedewasaan tersebut dapat ditetapkan dengan
terxapainya umur tertentu. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat apabila
seorang laki-laki telah mencapai umur 18 tahun dan seorang perempuan telah
mencapai umur 17 tahun, maka mereka adalah orang dewasa. Sedang ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan kedewasaan seorang laki-laki maupun
perempuan dengan tercapainya umur 15 tahun.
Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan pase-pase yang
ditempuh oleh seseorang sejak lahir sampai dewasa ada 3 pase.[17]
a.
Marhalah in’idamul-idrak (pese tidak mempunyai kesadaran). Pase ini
dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai mencapai umur 7 tahun. Dalam marhalah
ini seorang anak ditetapkan belum mempunyai kesadaran dalam bertindak. Seorang
anak dalam marhalah ini disebut ghairu mumayyiz. Sebenarnya ketamyizan
seorang anak tidak dapat dipasstikan dengan tercapainya umur ini. Sebab
adakalanya seorang anak sudah mumayyiz sebelum ia mencapai umur 7 tahun dan
adakalanya sesudah mencapai 7 tahun, mengingat kondisi jasmani dan iklim daerah
tempat anak itu berada. Namun demikian fuqaha menetapkan umur 7 tahun itu
sebagai ketetapan ketamyizan seorang anak demi keseragaman hukum.
Apabila
anak ghairu mumayyiz melakukan tindak pidana, maka ia tidak dipidana. ia
tidak dijatuhi hukuman qishash, bila membunuh dan tidak dipotong tangannya,
bila mencuri dan pula dihukum ta’zir, bila ia melukai/menganiaya seseorang.
Akan tetapi, dalam lapangan hukum perdata, ia tetap dimintai
pertanggungjawaban, lewat walinya, bila ia membuat kerugian kepada orang
lain. Walinyalah yang harus melaksanakan pertanggungjawaban perbuatan yang
dilakuakan oleh anak ghair mumayyiz yang berada dibawah perwaliyannya. Dalam
menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at, seperti shalat, puasa dan haji,
dipandang belum sah.
b.
Marhalah al-idrakud-dhaif (pase kesadaran lemah). Pase ini dimulai sejak
seorang anak berumur 7 tahun sampai 15 tahun. Anak dalam marhalah ini disebut
anak mumayyiz. Anak mumuyyiz tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana. Misalnya bila ia mencuri ia tidak boleh dijatuhi hukuman potong tangan,
bila ia membunuh tidak dapat dijatuhi hukuman qishasj, akan tetapi ia dapat
dijatuhi pidana pengajaran, misalnya ditempatkan di suatu asrama yang special
untuk anak-anak nakal dan lain sebagainya. Dalam soal perdata ia disamakan
dengan anak ghair mumayyiz.
Dalam
menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at seperti shalat, puasa dan haji,
perbuatannya dipandang sah. Hanya saja kalau perbuatan tersebut rusak atau
batal ia tidak wajib memperbaikinya.
c.
Marhalah al-idraku-tamm (pase kesadaran sempurna). Pase ini dimulai
sejak seorang berumur 15 tahun sampai meninggal dunia. Dalam marhalah ini
seseorang disebut dewasa dan karena ia sudah mempunyai
pertanggungjawaban yang penuh, baik dalam lapangan hukum pidana, perdata maupun
dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan.[18]
2.6. Hal-Hal yang Menghilangkan Kemampuan Bertindak
Setiap manusia itu mempunyai ahkiyatul wujub (kemampuan
menerima hak da kewajiban) baik ia laki-laki maupun perempuan, baik dewasa
maupun belum dewasa, baik sehat maupun gila dan biarpun ahliyatul wajub itu
naqis (kurang sempurna) maupun kamil (sempurna). Juga telah dijelaskan bahwa
setiap orang dewasa itu mempunyai ahliyatul ada’ (kemampuan bertindak) yang
sempurna. Akan tetapi ahliyatul ada’ ini kadang-kadang berhadapan dengan
hal-hal yang dapat menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali, atau
menguranginya atau tidak dapat menghilangkan atau menguranginya, tetapi hanya
merubah sebagian hukum dan tindakan tersebut.
Hal-hal yang
menghalangi kemampuan bertindak, yang disebut ‘Awaridhul-ahliyah itu ada
dua macam. Yakni “Samawiyah dan Kasabiyah.”
Yang disebut halangan samawiyah
ialah hal-hal yang berada di luar usaha dan ikhtiyar manusia. Halangan samawiyah
itu ada sepuluh macam. Yakni:
a. Keadaan belum dewasa,
b. Sakit gila,
c. Kurang akal,
d. Keadaan tidur,
e. Pingsan,
f. Lupa,
g. Sakit,
h. Menstruasi,
i.
Nifas, dan
j.
Meninggal dunia.[19]
Yang disebut halangan kasabiyah adalah
perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau
mengurangi kemampuan betindak. Halangan kasabiyah itu ada [tujuh] macam.
Yakni:
a.
Boros,
b.
Mabuk,
c.
Berpergian,
d.
Lalai,
e.
Bergurauan (main-main),
f.
Bodah (tidak mengetahui) dan
g.
Terpaksa (ikrah).[20]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Secara garis besar (umum) Ushul Fiqh tidak
hanya membahs tentang Al-Hakim (pembuat hukum Allah), Al-Hukmu (hukum)
dan Mahkum Fih (perbuatan hukum) tetapi dalam ushul fiqh juga membahas Mahkum
‘Alaih (orang yang dibebani hukum). Mahkum ‘Alaih (orang yang
dibebani hukum) tersebut mempunyai begitu banyak pengertian menurut para
ahlinya, yang tujuan ataupun maksud dari pengertian tersebut adalah sama yaitu “Orang
Mukallaf yang perbuatannya dikenai/dibebani khitab Allah yang berupa hukum
syara’.”
Seseorang baru
dikatakan sebagai Mahkum ‘Alaih/Mukallaf apabila dia sanggup memahami
khitab-khitab pembebanan, mempunyai kemampuan menerima beban sebagai ahliyatul
wujub (kemampuan memerima hak dan kewajiban) maupun ahliyatul ada’ (kemampuan
berbuat).
3.2. Saran
Dalam memahami Islam, seseorang harus mampu memahami
apa saja yang telah disyariatkan Allah swt dalam khitab-khitab-Nya baik itu
berupa perintah-perintah maupun larangan-larangan. Dan untuk memahami itu semua
seseorang harus mengetahui pada posisi apakah ia berada, baik Mahkum ‘Alaih maupun
Mahkum Fih.
DAFTAR
PUSTAKA
Abubakar, Al Yasa’. Bahan Ajar
Pengantar Ushul Fiqih.
Syafi’e, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:Cv Pustaka Setia.
Umam, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqh 1.Cetakan. Kedua Bandung: Pustaka Setia.
Effendi, Satria M. Zain. 2005. Ushul Fiqh. Cetakan. Kesatu Jakarta: Prenada Media.
Yahya, Mukhtar,
Fatchur rahman. Dasar-Dasar
Pembinaan Fiqh Islam. Cetakan. Bandung: Alma’arif.
Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Cetakan. Keempat Jakarta: Raja grafindo.
C.S.T. kansil. 1989. Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Cetakan. Kedelapan Jakarta:
balai pustaka.
[3] Abubakar Al Yasa’ Bahan Ajar Pengantar Ushul Fiqih,
hal.6
[4] Abubakar Al Yasa’ Bahan Ajar … hal. 10
[5] Abubakar Al Yasa’ Bahan Ajar … hal. 10
[6] Syafi’e Rahmat Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:Cv
Pustaka Setia 2010 edisi keempat hal. 334
[7] Syafi’e Rahmat Ilmu Ushul … hal. 334
[8] Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (cetakan
keempat Jakarta: Raja grafindo,2011) hal.157
[9] Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh … hal.
157
[11] C.S.T. kansil, Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (cetakan
kedelapan Jakarta: balai pustaka,1989) hal.117
[13] Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh … hal.
157-158
[14] Yahya Mukhtar, Fatchur rahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Fiqh Islam (Bandung: alma’arif), hal. 164-165
Tags:
MAKALAH