MAKALAH PENGERTIAN DEMOKRASI TEORI-TEORI DEMOKRASI






BAB II
DEMOKRASI
A.    PENGERTIAN DEMOKRASI
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang artinya pemerintahan. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
1.      Menurut Internasional Commision of Jurits
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyar dimana kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih dibawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan demokrasi adalah rakyat.
2.      Menurut Lincoln
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).
3.      Menurut C,F Strong
Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.



B.     TEORI-TEORI DEMOKRASI

Ada beberapa teori-teori demokrasi yaitu :
1.      Teori Demokrasi Klasik
            Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.
            Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.
            Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
            Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.
2.      Teori Civic Virtue
            Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa mengembangkan demokrasi. Prinsip-prinsip pokok demokrasi yang dikembangkannya adalah:
a.    Kesetaraan warga negara
b.    Kemerdekaan
c.    Penghormatan terhadap hukum dan keadilan
d.   Kebajikan bersama
                        Prinsip kebajikan bersama menuntut setiap warga negara untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan republik dan kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan keluarga.
                        Di masa Pericles dimulai penerapan demokrasi langsung (direct democrazy). Model demokrasi ini bisa diterapkan karena jumlah penduduk negara kota masih terbatas, kurang dari 300.000 jiwa, wilayah nya kecil, struktur sosialnya masih sederhana dan mereka terlibat langsung dalam proses kenegaraan.

3.      Teori Social Contract
            Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Zaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Zaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
            Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam praksinya.           
            Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
            Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati.            
            Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil.
            Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
            Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
            Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
            Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
            Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
            Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).
           
4.      Teori trias politica   
            Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
            Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut.
a.    Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b.    Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c.    Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
            Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
            Teori inilah yang sekarang dianut oleh Negara Indonesia namun, dengan landasan yang berbeda dari negara lainnya. Landasan demokrasi di Indonesia, yaitu :
a.       Pembukaan UUD 1945
1)      Alinea pertama
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
2)      Alinea kedua
Mengantarkan rakyat Indonesia kepintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
3)      Alinea ketiga
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan dan kebangsaaan yang bebas.
4)      Alinea keempat
Melindungi segenap bangsa.

b.      Batang Tubuh UUD 1945
1)      Pasal 1 ayat 2
Kedaulatan adalah ditangan rakyat.
2)       Pasal 2
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3)      Pasal 6
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
4)      Pasal 24 dan Pasal 25
Peradilan yang merdeka.
5)      Pasal 27 ayat 1
Persamaan kedudukan di dalam hukum.
6)      Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

c.       Lain-lain
a.       Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi
b.      UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM


C.    SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI

Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu negara agar dikatakan sebagai negara demokratis, yaitu :
- Perlindungan secara konstitusional atas hak- hak warga Negara
- Peradilan yang bebas dan tidak memihak
- Pemilu yang bebas
- Kebebasan mengajukan pendapat
- Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisisi
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

D.    PENERAPAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

1.      Di Lingkungan Keluarga
Penerapan demokrasi di lingkungan keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a.       Kesediaan untuk menerima kehadiran sanak saudara;
b.      Menghargai pendapat anggota keluarga lainya;
c.       Senantiasa musyawarah untuk pembagian kerja;
d.      Terbuka terhadap suatu masalah yang dihadapi bersama;
e.       Pembagian tugas rumah.
f.       Pemilihan ketua rekreasi.
g.      Pemilihan ketua panitia arisan keluarga.
h.      Pemilihan Ketua hajatan, dan lain-lain.
2.      Di Lingkungan Masyarakat
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a.       Bersedia mengakui kesalahan yang telah dibuatnya;
b.      Kesediaan hidup bersama dengan warga masyarakat tanpa diskriminasi;
c.       Menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya;
d.      Menyelesaikan masalah dengan mengutamakan kompromi;
e.       Tidak terasa benar atau menang sendiri dalam berbicara dengan warga lain.
f.       Pemilihan ketua RW.
g.      Pemilihan ketua RT.
h.      Pemilihan ketua karang taruna.
i.        Pemilihan kepala desa.
3.      Di Lingkungan Sekolah
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan sekolah dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a.       Bersedia bergaul dengan teman sekolah tanpa membeda-bedakan;
b.      Menerima teman-teman yang berbeda latar belakang budaya, ras dan agama;
c.       Menghargai pendapat teman meskipun pendapat itu berbeda dengan kita;
d.      Mengutamakan musyawarah, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah;
e.       Sikap anti kekerasan.
f.       Pemilihan ketua kelas.
g.      Pembentukan regu piket.
h.      Pemilihan kelompok diskusi, dan lain-lain.
i.        Pemilihan ketua OSIS
4.      Di Lingkungan Kehidupan Bernegara
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan kehidupan bernegara dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a.       Besedia menerima kesalahan atau kekalahan secara dewasa dan ikhlas;
b.      Kesediaan para pemimpin untuk senantiasa mendengar dan menghargai pendapat warganya;
c.       Memiliki kejujuran dan integritas;
d.      Memiliki rasa malu dan bertanggung jawab kepada publik;
e.       Menghargai hak-hak kaum minoritas;
f.       Menghargai perbedaan yang ada pada rakyat;
g.      Mengutamakan musyawarah untuk kesepakatan berrsama untuk menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan.
h.      Pemilihan Umum (Pemilu).
i.        Pemilihan Walikota atau Bupati.
j.        Pemilihan Gubernur.
k.      Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
























BAB III
                                                                  PENUTUP                                         
A. KESIMPULAN
            Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Ada beberapa bentuk teori-teori demokrasi, yaitu :
1.      Teori demokrasi klasik dengan prinsip dasar penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.
2.      Teori civic virtue dengan prinsip dasar kesetaraan warga negara, kemerdekaan, penghormatan terhadap hukum dan keadilan, dan kebajikan bersama.
3.      Teori sosial contract terdiri dari konsep kodrat manusia, konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
4.      Teori trias politica yang tebagi atas tiga kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Penerapan demokrasi tidak hanya ada dalam lingkungan berbangsa dan bernegara, melainjan juga ada dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

B. SARAN
1.      Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami
2.      Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka kami mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “DEMOKRASI : Teori dan Praktek”
3.      Jadikanlah Makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif


DAFTAR PUSTAKA
“http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi“
“http://dondsor.blogster.com/demokrasi_dan_Konstitusi.html“
Abdulkarim, Aim, Drs, M.Pd. 2004 “Kewarganegaraan untuk SMP Kelas II Jilid 2”. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Wijianti, S.Pd. dan Aminah Y., Siti, S.Pd. 2005 “ Kewarganegaraan (Citizenship)”. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.

Dahlan, Saronji, Drs. Dan H. Asy’ari, S.Pd, M.Pd. 2004 “Kewarganegaraan Untuk SMP Kelas VIII Jilid 2”. Jakarta: Erlangga.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Sponsor

Close Button
CLOSE ADS
CLOSE ADS