BAB I
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KEBENARAN
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran).[1]
Dalam
bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran
keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng,
melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan
pendekatan.[2]
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu
bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan.
Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka
pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian
kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang
masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya
kebenaran.
Selaras
dengan Poedjawiyatna yang mengatakan
bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut
kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang
diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.[3]
Meskipun
demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan
demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang
transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang
terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran
yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar
jangkauan manusia.[4]
B.
TEORI-TEORI KEBENARAN
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan
tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh
Aristoteles. Melalui metode dialog Plato yang membangun teori pengetahuan yang
cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori
pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai
kini.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunnyai nilai
kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara
memperoleh pengetahuan ? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah
melalui kegiatan indra ? Yang jelas bagi seorang skeptis pengetahuan tidaklah
mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang
merupakan kebenaran.[5]
Dalam kajian filsafat ilmu, kebenaran dapat dibagi dalam
tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut :
·
Kebenaran
Epistemologikal : kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia, yang
berkaitan antara subjek dan objek (kenyataan).
·
Kebenaran Ontologikal
: kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada
maupun diadakan.
·
Kebenaran semantikal
: kebenaran yang terdapat serta melekat didalam tutur kata dan bahasa.
Ada beberapa teori tentang kebenaran yang berkembang
dalam kajian filsafat ilmu. Beberapa diantaranya, antara lain sebagai berikut.
1.
Teori Kebenaran
Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar apabila
pernyataan itu koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar. Proporsi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam
keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau
makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman
kita. Biasanya, kita mengatakan orang berbohong dalam banyak hal dan kita
mengetahuinya dengan cara menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya tidak cocok
dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakanya.
Bila kita menganggap bahwa “Semua manusia akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka “Si Dadang adalah seorang manusia dan
ia pasti akan mati” adalah pernyataan yang tentunya pasti benar (tak mungkin
salah) sebab pernyataan kedua ini konsistent dengan pernyataan pertama. Contoh
kebenaran koherensi ini banyak ada dalam matematika karena matematika adalah
ilmu yang disusun atas dasar beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar,
yaitu aksioma. Plato dan Aristoteles adalah dua Filsuf Yunani yang
mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan
Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Setelah itu teori ini juga banyak digunakan
para filsuf idealis.
2.
Teori Kebenaran
Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Bagi penganut teori kebenaran ini, suatu pernyataan
dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Sebuah pernyataan itu benar jika apa yang diungkapkannya merupakan fakta. Jika
penulis mengatakan, “Di luar hawanya dingin” maka, memang begitulah kenyataanya
berdasarkan keadaannya yang nyata. Jika ada yang mengtakan, “Ibukota Jawa Timur
adalah Surabaya” Maka, pernyataan itu dianggap benar sebab hal itu cocok dengan
objek materialnya, bersifat faktual (berdasarkan fakta).
Salah satu tokoh teori ini adalah Bertrand russel
(1872-1870) dan para penganut aliran realis yang berpandangan bahwa fakta material
itu sifatnya mandiri dan tak terpengaruh oleh ide. Ada atau tidaknya ide, fakta
tetap ada. Kalau ide mau benar, ia harus sesuai dengan kenyataan yang ada.
3.
Teori Kebenaran
Inherensi/Pragmatis (Inherent Theory of Truth)
Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar
apabila berguna. Artinya, kebenaran suatu
pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Ajaran
pragmatisme memang memiliki banyak corak (variasi). Tetapi, yang menyamakan di
antara mereka adalah bahwa ukuran kebenaran diletakkan dalam salah satu
konsenkuensi. William James, misalnya, mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi
seorang yang hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Artinya,
proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang
memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita adalah benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce
(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How
to Make Our Ideas Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa filafaat
yang kebanyakan adalah orang Amerika, karena itulah filsafaat Amerika identik
dengan aliran pragmatisme ini.[6]
4.
Teori Kebenaran
Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi arti atau
maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya mempunyai referen
yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan
dari proposisi dalam referensinya.
Teori kebenaran semantick dianut oleh paham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai
tokoh pemula dari filsafat analitika Bahasa.
5.
Teori Kebenaran
Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak
pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan
atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian, suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu
mengikuti aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu
tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu
tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para filsuf analisis
bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika.
6.
Teori Kebenaran
Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut
filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan
akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi daripada
pernyataan itu. Misalnya pernyataan ‘matahari adalah sumber energi’ itu telah
terbukti fungsinya dalam kehidupan bahwa cahaya matahari bisa digunakan sebagai
sumber energi listrik. [7]
7.
Teori Kebenaran Logis
yang Berlebihan (Logical Superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali
oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problema kebenaran
hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pemborosan, karena
pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis
yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan
demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan
bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan
semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian
itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu
sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya
sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi,
artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam
dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini
telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan
lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian
titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang
bulat.
BAB II
PENUTUPAN
A.
KESIMPULAN
Semua teori kebenaran itu ada dan
dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing
mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan
Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta
Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik
Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila
pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang
inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu
lama untuk menemukan kebenaran.
Dari beberapa Teori Tentang Kebenaran dapat
disimpulkan :
Teori
Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan
halnya/faktanya"
Jadi berdasarkan teori
korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan
membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan
dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian
(korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar
kebenaran/keadaan benar.
[1] Ibnu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995
[2] Jujun S. Sumiasumantri
(ed), Ilmu
dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985 hal. 238-239
[3] I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan
Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987 hal. 16
[4] mawardiumm. Kebenaran
dalam perspektif islam, 2 Juni
2008(kebenaran-dalam-perspektif-filsafat-ilmu)
[5] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta:
PT Bumi Aksara. 2008 hal: 57-58
[6] Soyomukti Nurani,
Pemgantar Filsafat Umum, Depok: Ar Ruzz Media. 2011 hal: 174-176
[7] Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
PT Bumi Aksara. 2008, hal: 59