1.1.Masa Kerajaan di Indonesia
Sebagai mana kita ketahui bahwa dahulu di Indonesia pernah
berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera
dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio
polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat
istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Pada zaman Hindu
ini tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta
hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina)[1].
Diantara kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan
Sriwijaya, Singosari dan Majapahit. Pada zaman Majapahit hukum adat mendapat
perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada, diantara usaha yang dilakukan
patih Gajah Mada yaitu : membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara.
Misal : soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan
pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan
suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”[2].
Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha tersebut
runtuh, kemudian di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama
Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7 masehi atau
bertepatan dengan abad ke- 1 hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun
ke-30 hijriah atau bertepatan dengan tahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara
dikusai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya
dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai
penata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai qadhi syariah
dan pemberi fatwa-fatwa agama. Manifestasi dari ketentuan ini dapat dilihat
dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang
dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Lembaga Pemasyarakatan.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i[3].
Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan
Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi
memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang
bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala
urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian
Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate,
Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
1.2. Masa Penjajahan di Indonesia
Ketika
Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap
dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga)
Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh
penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas
agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk
kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam
untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun
kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar” di Semarang, “Shirathal
Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar- Raniry di kerajaan Aceh dan kitab ini
diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin”
yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan qadhi di Banjar Masin, kemudian
kitab “Sajirat al- Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan
Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.
Terakhir
VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti
nama penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan
Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa)[4].
Pada
awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum
negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih
memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat
jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada
kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka
akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat
terus berjalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan
hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya.
Masa
VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811. Setelah Inggris
menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah
kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia
dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat
Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C.
Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah
undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama
teori “Recepcio in Complex” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl.
1855 No.2).
Dalam
perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori
ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia
bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan
nama teori “Receptie”.
Dampak
dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui hukum Islam
yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui.
Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis :”sebelum hukum untuk
bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku
bagi mereka, yaitu hukum adat”[5].
Pada saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam
bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya
peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran
Islam telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu
banyak menjadi persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan
melalui Penghoeluegerecht. Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah
yang tinggal di lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang
mayoritas penduduknya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan
pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan dengan hukum
Islam?
Dalam
Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa
Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka,
baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan...”.
Jika
di amati secara seksama sebenarnya dari dua pasal di atas nampak jelas
bagaimana upaya kolonoal Belanda berupaya menundukkan masyarakat dengan hukum
mereka, tidak bisa secara paksa karena dikhawatirkan pemberontakan yang besar
maka diupayakan jalan halus.
Walaupun
wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat
(perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada peraturan yang bersifat mengikat
dan memaksa bahwa umat Islam harus mengurus masalah pernikahannya melalui
penghoeluegerecht. Yang ada malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum
Belanda/BW/ KUH Perdata sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal
dibuat untuk golongan warga negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan
warga yang berasal dari Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya
disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda.
1.3. Masa Setelah Kemerdekaan.
1.3.1. Masa Orde Lama
Pemerintahan dimasa pasca kemerdekaan adalah pemerintahan
dalam kepemimpinan orde lama (1945 – 1965), di era orde lama ini keinginan
memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia,
ternyata belum juga terwujud. Beberapa peraturan hukum perkawinan peninggalan
pemerintah Kolonial Belanda masih tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia
menurut golongannya masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai
berikut :
1. Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum
perkawinan Islam.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku
Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI).
4. Bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW).
5. Bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan
Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.
Karena golongan Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa dan
Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam peraktik, jarang
dijumpai permasalahan-permaslahan yang sulit. Ini berbeda dengan golongan Islam
yang belum memiliki kodofikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang
dipedomani oleh ummat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat
karya mujtahid dari Timur Tengah seperti imam Syafi’I misalnya. Pemahaman ummat
Islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut sering tidak seragam,
sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-anak,
kawin paksa, serta penyalah gunaan hak talak dan poligami.
Keadaan demikian rupanya mendapat perhatian dari pemerintah
Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946 atau tepatnya satu tahun setelah
kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang
No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk
daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan
berlaku juga untuk Sumatera. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut
diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk
Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang
pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha
mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban
suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah,
menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa
bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk
rujuk kembali. Kemudian pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun
1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen,
mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun
rencana undang-undang perkawinan. Oleh karena desakan tersebut akhirnya
pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No.
B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan
Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam[6].
Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat
menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada
waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap
ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang
diketuai oleh Tengku Hasan.
Tahun 1952 akhir, panitia membuat Rancangan Undang- Undang
Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan
dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai
golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi
pusat dan lokal dengan permintaan memberikan pendapat atau pandangannya tentang
soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang
dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah
mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
1. Perkawinan didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak,
untuk mencegah kawin paksa ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15
bagi perempuan
2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang
berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur hingga dapat memenuhi syarat keadilan.
3. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan
menjadi milik bersama.
4. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri,
berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam
peraturan Hukum Islam.
5. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan
mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan
kekuasaan orang tua dan perwalian.
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah,
Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam
rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan
menurut sistem yang berlaku :
1. Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku
bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut
agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan
Kristen Protestan;
3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk
suatu golongan agama agama.
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan
Undang- Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh
Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih
akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum
ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah mengenai soal undang-undang
perkawinan itu.
Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan
sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan
Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya,
setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan
bahwa didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk
menjalankan monogami. Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan
suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, bulan
Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut ditarik kembali oleh para
pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota DPR,
Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan. Para anggota
Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang
dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi kaum perempuan
memprotes argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan poligami. Hal
tersebutlah sebagai faktor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut
untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor ekternal yang
kemudian muncul, yaitu terjadinya perubahan system ketatanegaraan RI akibat
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sampai pemerintahan orde lama berakhir, undang-undang
perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga terbentuk,
kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk undang-undang perkawainan terus
bermunculan, baik yang datang dari pihak pemerintah maupun dari organisasi
kemasyarakatan seperti misalnya dari Kongres Wanita Indonesia, Musyawarah
Nasional Untuk Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960),
dan Konferensi BP4 Pusat (1962).
1.3.2. Masa Orde Baru
Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen
(DPR-GR) membahas kembali RUU perkawinan, yaitu :
1. RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang
diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967.
2. RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman,
yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968.
Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya mengalami
kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut
hukum agama. Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok pikirannya mengenai RUU
Perkawinan”
Pada bulan Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman
yang telah merumuskan RUU Perkawinan, mengajukan kembali RUU tersebut kepada
DPR hasil pemilu tahun 1971, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Kemudian
Presiden Soeharto dengan Amanatnya menarik kembali kedua RUU perkawinan yang
disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967 tersebut di atas.
RUU perkawinan 1973 mendapat perlawanan dari kalangan Islam, berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu
bertentangan dengan agama dan karenanya bertentangan pula dengan Pancasila dan
UUD 1945. Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan
fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-satunya fraksi yang
menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran Islam[7].
Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan
berdatangan dari berbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah
sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi PPP KH. Yusuf
Hasyim yang telah mencatat berbagai kekeliruan dalam RUU Perkawinan dan
bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang berdasarkan
pancasila yang berketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian.
Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan tanpa
alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI Nomor
R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang tujuannya
lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf
Hasyim, Buya HAMKA juga menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai
bertentangan dengan ajaran Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy
bahwa yang dipelihara dalam syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis
manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena
kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan zina adalah
perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan kawin
dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU Perkawinan disahkan,
maka perkawinan semacam itu disahkan negara. Anak yang dikandung di luar nikah
gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh
menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina.
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang
dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada masa itu,
sebenarnya secara hukum negara tidak bertentangan mutlak karena masih melihat
kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan
yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pasal 2
ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat
perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang
ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan,
sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
Dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada
saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita dengan
mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam tidak menolak
adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar menuruti
kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak menentukan sah atau tidaknya
suatu perkawinan.
Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan Pasal
49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi :"1) Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya. 3)
Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan”. Menyikapi
draf RUU Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut, dalam musyawarah para ulama
tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH.
M. Bisri Sjansuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.
Suatu RUU yang sudah nyata bertentangan dengan hukum Islam
apabila tetap dipaksakan juga menjdi undang-undang, resikonya adalah
undang-undang tersebut sulit untuk bisa berlaku efektif dalam masyarakat yang
mayoritas beragama Islam, sebab bagi ummat Islam menaati suatu undang-undang
yang bertentangan dengan hukm Islam, sama artinya dengan melakukan perbuatan
haram. Selain itu bila dilihat dari segi huk ketatanegaraan, suatu undang-undang
yang bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan pengingkaran atas
jaminan yang telah diberikan oleh UUD 1945.
Jika dilihat dari sejarahnya pada waktu pembicaraan RUU
perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan melalui empat
tingkat. Tingakat pertama, merupakan penjelasan pemerintah atas RUU tersebut.
Tingkat kedua, merupakan pandangan umum masing-masing Fraksi atas RUU tersebut
dan tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingakat tiga, berupa rapat
Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) ntuk membahas RUU tersebut, yang
dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama panitia kerja
RUU perkawinan. Tingkat empat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU
perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari
masing-masing Fraksi.
Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang
masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh
pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang
Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat empat di atas, untuk disahkan
menjadi undang-undang. Dalam sidang tersebut semua Fraksi mengemukakan
pendapatnya, demikian juga pemerintah yang diwakili menteri Kehakiman memberikan
kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh
DPR-RI setelah memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tangga 2
Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974, tambahan LN Nomor 3019/1974.
Untuk terlaksananya UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan
PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU perkawinan tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya ternyata Pengadilan Agama sebagai lembaga yuridis
yang menangani masalah perkawinan antara orang-orang Islam ternyata dalam
putusannya banyak yang disparitas dalam menerapkan hukum, oleh karena ada
hal-hal yang tidak tercover dalam UU perkawinan dan PP peraturan pelaksananya,
untuk menghendel hal tersebut maka melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan baku bagi para Hakim Peradilan
Agama dalam memutus perkara.
1.3.3. Masa Reformasi
Pada tahun 1998 Rezim Orde Baru
berakhir, dengan mundurnya Presiden Soeharto sebagai Presiden, akibat desakan
dari mahasiswa. Dari sejak lengsernya pemerintahan orde lama tersebut maka
pemerintahan berikutnya mendapat istilah dengan “era reformasi” sampai dengan
sekarang ini.
Pada era reformasi hukum perkawinan
mendapat suatu perubahan yang sangat fenomenal dengan diubahnya bunyi pasal 43
ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi.
Tepatnya Jumat 17 Februari 2012
Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di
Republik ini. Sebagaimana dilangsir vivanews.com, Mahfud menilai putusan MK ini
sangat penting dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir
di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah
mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri,
perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.
Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah
Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin
Moerdiono) juga mengajukan uji materil terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Pasal
28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga
menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Namun, MK hanya mengabulkan
sebagian dari permohonan Pemohon tersebut.
Dalam pandangan Prof. Mahfud MD,
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan ini lantas mengundang pro dan
kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM,
MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan
begitu “mengejutkan”. Walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada
permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut.
Ditambah lagi pernyataan Mahfud MD di media massa sebagai mana yang utarakan di
atas.
Permaslahan perkawinan yang fenomenal
berikutnya adalah dengan menikahnya Bupati Garut “Aceng Fikri” secara di bawah
tangan atau nikah sirri dan menceraikan isterinya tersebut dengan SMS, yang
berakibat dipecatnya Aceng Fikri dari kursi Bupati. Permasalahan tersebut
menurut sebahagian ahli hukum bukan merupakan perbuatan pidana karena tidak
unsur zina didalamnya sebagaimana yang diatur KUHP, akan tetapi mengapa Aceng
Fikri tetap juga dipecat dari jabatan Bupati.
Dari masalah-maslah yang muncul seperti
di atas menurut para penulis, undang-undang perkawinan yang telah ada sekarang
ini sudah sesuai dengan perkembangan zaman di Negara ini.