BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kitab-kitab Hadis dalam bentuk subjek-subjek khusus atau minat tertentu telah muncul sejak abad pertama Hijrah. Kodifikasi-kodifikasi yang muncul berbeda-beda, baik secara kuantitas dan kualitasnya, sesuai dengan kapasitas masing-masing penyusunannya. Bahkan banyak pula karya-karya yang muncul pada paruh pertama abad kedua Hijrah.
Abad ketiga hijriyah dinyatakan sebagai masa pemurnian dan
penyempurnaan penulisan kitab-kitab hadis. Periode ini berlangsung sejak masa
pemerintahan Khalifah al-Makmun (198-218 H) sampai kepada awal pemerintahan
Khalifah al-Muqtadir (295-320 H) dari Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini para
Ulama Hadis memusatkan perhatian mereka kepada pemeliharaan keberadaan dan
terutama kemurnian Hadis-hadis Nabi s.a.w. hal tersebut mereka lakukan, selain
sebagai pemeliharaan terhadap Hadis Nabi, juga dalam rangka antisipasi terhadap
kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin marak pada masa itu.
Diantara kegiatan yang dilakukan oleh para Ulama Hadis dalam
rangka pemeliharaan kemurnian Hadis Nabi s.a.w pada masa ini adalah: perlawatan
ke daerah-daerah, pengklasifikasian Hadis kepada Marfu, Mawquf dan Maqthu’,
serta penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada Shahih,
Hasan, dan Daíf.
Hasil dari usaha pemisahan Hadis Rasulullah dari fatwa
Sahabat dan Tabiín saat itu adalah disusunnya kitab-kitab Hadis dalam corak
baru yan disebut Kitab shahih, kitab Sunan, dan Kitab Musnad. Kitab shahih
adalah kitab yang menghimpun Hadis-hadis Shahih saja, sedangkan yang tidak
sahih tidak dimasukkan ke dalamnya dan bentuk penyusunannya adalah berbentuk
mushannaf, yaitu penyajian berdasarkan bab-bab masalah tertentu sebagaimana
metode-metode kitab fikih. Kitab Sunan adalah kitab yang memuat selain Hadis
Sahih, juga didapati Hadis yang berkualitas daíf, namun dengan syarat tidak
terlalu lemah dan tidak munkar. Sedangkan kitab Musnad adalah kitab yang
disusun berdasarkan nama perawi pertama, yaitu sahabat. Urutan nama perawi
pertama itu ada berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim
dari yang lainnya, ada yang menurut urutan waktu memeluk agama Islam, da nada
yang menurut urutan lainnya, seperti urutan huruf hijaiyyah (abjad), atau
lainnya. Pada umumnya di dalam kitab musnad ini tidak dijelaskan kualitas
hadis-hadisnya.
Diantara kitab sahih adalah kitab
yang disusun oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan kitab sunan adalah
Sunan Abu Dauwd, Sunan al-Turmudzi, Sunan Al-Nasaí, Sunan Ibn majah dan Sunan
al-Darimi. Adapun yang termasuk kitab Musnad adalah kitab Musnad Imam Ahmad Ibn
Hambal, Musnad Abu al-Qasim al-Baghawi, dan Musnad Utsman ibn Abi Syaibah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Musnad Imam
Ahmad bin Hambal
2.
Al Muwathta’
Imam Malik
3.
Sunan Ad Darimi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Musnad
Imam Ahmad bin Hambal
Imam
Ahmad ibn Hanbal merupakan seorang ulama besar, ahli dalam bidang fikih maupun
hadis ini memiliki nama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilalasy-syaibani al-Marwazi al-Baghdadi. Dalam sumber lain menyebutkan nama
lengkap beliau adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn
Idris ibn ‘Abdillah bin Hayyan ibn ‘Abdillah bin Annas ibn ‘Awf ibn Qasit ibn
Mazin ibn Syaiban ibn Zulal ibn Ismail ibn Ibrahim. Dari nama tersebut bisa
diketahui bahwa beliau adalah keturunan Arab dari suku bani Syaiban, sehingga
diberi laqab al-Syaibany. Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di
Baghdad, kota Meru/Merv pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H atau Nopember 780
M. Bapak beliau, Muhammad telah meninggal dunia sejak beliau masih kecil
sehingga beliau hanya diasuh oleh ibunya yang bernama Safiyyah binti Maimunah
binti Abdul Malik Asy-Syaibani.
Kitab Musnad adalah sebuah kitab yang disusun dengan
tanpa menyaring dan menerangkan derajat hadis-hadis tersebut. Atau dalam
pengertian yang lain disebutkan bahwa yang dinamakan kitab Musnad adalah kitab
yang disusun berdasarkan nama sahabat.
Dalam Musnad imam Ahmad ini terdapat 40.000 hadis, kurang
lebih 10.000 diantaranya dengan berulang-ulang. Tambahan dari Abdullah, putra
beliau sekitar 10.000 hadis dan diantaranya ada beberapa tambahan pula dari
Ahmad bin Ja’far al-Qatili. Sayyid Ahmad bin Ja’far Al-Qatili berkata : “Satu
satunya kitab Musnad yang menghidupkan sunnah adalah yang disusun oleh Abdullah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani yang meninggal di Baghdad pada tahun
241 H.”
Musnad tersebut mencakup beberapa bab yang dimulai dari :
musnad sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (Musnad Abu Bakr As Siddik ,
musnad Umar bin Al Khatthab Radliyallahu 'anhu , Musnad Utsman bin 'Affan
Radliyallahu 'anhu , Musnad Ali bin Abu Thalib Radliyallahu 'anhu , Musnad
Muhammad Thalhah bin 'Ubaidillah Radliyallahu ta'ala 'anhu, Musnad Az Zubair
bin Al 'Awwam Radliyallahu 'anhu , Musnad Abu Ishaq Sa'd bin Abu Waqqash
Radliyallahu 'anhu , Musnad Sa'id bin Zaid bin 'Amru bin Nufail Radliyallahu
'anhu, Hadits Abdurrahman bin 'Auf Az Zuhri Radliyallahu 'anhu , Hadits Abu 'Ubaidah
bin Al Jarrah atau namanya adalah 'Amir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu),
musnad sahabat setelah sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, musnad ahli
bait, musnad Bani Hasyim, musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits ,
sisa musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, musnad penduduk Makkah,
musnad penduduk Madinah, musnad penduduk Syam, musnad penduduk Kufah,
musnad penduduk Bashrah, musnad sahabat
Anshar, dan sisa musnad sahabat Anshar.
Mengenai derajat hadis musnad ahmad terdapat tiga
penilaian ulama yang berbeda, diantaranya adalah :
1. Seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan
sebagai hujjah. Hal ini berdasarkan perkataan beliau, Imam Ahmad bahwa : jika
umat islam berselisih tentang suatu hadis maka merujuklah pada kitab musnad ini
namun jika tidak menemukan hadis dalam
musnad ini maka tidak dapat dijadikan hujjah.
2.
Di dalam musnad
ahmad terdapat hadis shahih, dhaif, bahkan yang maudhu’. Ibnu Al-Jauzy
mengatakan bahwa musnad ahmad terdapat 29 hadis maudhu’.
3.
Di dalam musnad
ahmad terdapat hadis yang shahih dan dhaif yang mendekati derajat hasan. Yang
berpendapat demikian adalah al-Zahabi, ibn Hajar al-asqalani, ibn Taimiyah, dan
al-Suyuthi.
Adapun
berdasarkan sumbernya, musnad Ahmad dibagi menjadi enam macam, yaitu :
1.
Hadis yang
diriwayatkan Abdullah dari ayahnya dengan mendengar langsung.
2.
Hadis yang
didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain. Hadis ini jumlahnya
sedikit.
3.
Hadis yang
diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya. Hadis ini dinamakan hadis zawaid
Abdullah (tambahan).
4.
Hadis yang tidak didengar Abdullah dari ayahnya,
melainkan dibacakan kepada sang ayah.
5.
Hadis yang
tidak didengar dan tidak pula dibacakan kepada ayahnya, tetapi Abdullah
menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.
6.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Al-hafidz Abu Bakar Al-Qath’i yang meriwayatkan dari Abdullah.
Terkait dengan terdapatnya tambahan
Hadis selain riwayat Ahmad ibn Hanbal, ulama berbeda pendapat dalam hal status
dan kualitas Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Musnad tersebut. Menurut
Nawir Yuslem, setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menentukan
kualitas Hadis-hadis yaitu :
Pertama, bahwa Hadis-hadis yang
terdapat dalam Musnad tersebut dapat dijadikan hujjah, pendapat ini didukung
oleh Abu Musa al Madani, ia menyatakan bahwa Ahmad ibn Hanbal sangat hati-hati
dalam menerima kebenaran sanad dan matan Hadis.
Kedua, bahwa di dalam kitab Musnad
tersebut terdapat Hadis sahih, hasan dan maudhu’. Di dalam al Mawdhuat, Ibn al
Jauwzi menyatakan terdapat 19 Hadis maudhu’, sedangkan al Hafidz al Iraqi
menambahkan 9 Hadis maudhu’.
Ketiga, bahwa di dalam Musnad
tersebut terdapat Hadis sahih dan Hadis dhaif yang dekat pada derajat Hadis
hasan. Pendapat ini dianut oleh Abu Abdullah al Dzahabi, Ibn Hajar al Asqalani,
Ibn Taymiyah dan al Suyuthi.
Namun demikian kedudukan Musnad
Ahmad ibn Hanbal termasuk kedalam kelompok kitab Hadis yang diakui
kehujjahannya sebagai sumber ajaran Islam. Jika dilihat dari segi peringkatnya,
Musnad Ahmad Ibn Hanbal menempati peringkat kedua, disederajatkan dengan kitab
Sunan yang empat, yaitu Sunan Abu dawud, Sunan an Nasa’I, Sunan at Turmudzi dan
Sunan Ibn Majjah, Sedangkan peringkat pertama ditempati Shahih al Bukhari dan
Shahih al Muslim serta kitab al Muwaththa’ Ibn Malik
B.
Al
Muwaththa’ Ibn Malik
Nama lengkap dari Imam Malik adalah
Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn al Harist ibn Ustman ibn Jutsail ibn
Amr ibn al Harist al Asyabiyal Himyari Abu Abd Allah al Madaniy. Beliau lahir
mungkin pada tahun 93 H di kota Madinah, keluarganya asli Yaman. Dan di masa
Nabi, keluarganya berdiam di kota Madinah. Kakek beliau adalah seorang tabi’in
dan buyutnya adalah sahabat Nabi SAW, isterinya bernama Fatimah dan dikaruniai
tiga orang putera yaitu : Yahya, Muhammad dan Hammad. Beliau wafat pada tahun 179
H dalam usia delapan puluh tujuh tahun.
Kitab ini adalah karya termashur
Imam Malik di antara sejumlah karyanya yang ada. Disusunnya kitab ini adalah
atas anjuran khalifah Abu Ja’far al Mansyur dari Dinasti Abbasiyah yang
bertujuan untuk disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat Muslim dan
selanjutnya dijadikan sebagai pedoman hukum negara di seluruh dunia Islam dan
juga akan digunakan sebagai acuan bagi para hakim untuk mengadili
perkara-perkara yang diajukan kepada mereka serta menjadi pedoman bagi para
pejabat pemerintah. Namun Imam Malik menolak tujuan yang diinginkan oleh
khalifah tersebut, bahwa agar Al Muwaththa’ digunakan satu rujukan atau satu
sumber saja dalam bidang hukum.
Kitab al Muwaththa’ mencatat Hadis Nabi SAW dan fatwa ulama
awal di Madinah. Disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar baru
kemudian fatwa, sehingga al Muwaththa’ bukanlah murni kitab Hadis tetapi juga
mengandung pendapat hukum para sahabat Nabi, tabi’in dan beberapa pakar sesudah
itu. Hal ini dapat kita ketahui bahwa Imam Malik sering merujuk kepada pendapat
ulama Madinah dalam masalah yang tidak ada dalam Hadis Nabi tentangnya, bahkan
juga dalam hal memahami Hadis Nabi serta penerapannya.
Dipakainya istilah al Muwaththa’ pada kitab Imam Malik ini
adalah karena kitab tersebut telah diajukan Imam Malik kepada tujuh puluh ahli
fikih di Madinah dan ternyata mereka seluruhnya menyetujui dan menyepakatinya.
Al Muwaththa’ berarti memudahkan dan membetulkan, maksudnya adalah al
Muwaththa’ itu memudahkan bagi penelusuran Hadis dan membetulkan atas berbagai
kesalahan yang terjadi, baik pada sisi sanad maupun pada sisi matan.
Menurut ibn al Hibah, Hadis yang
diriwayatkan Imam Malik berjumlah seratus ribu Hadis, kemudia Hadis-hadis
tersebut beliau seleksi dengan merujuk kesesuaian dengan alquran dan sunnah
sehingga tinggal sepuluh ribu Hadis.Dari jumlah itu beliau lakukan seleksi
kembali sehingga akhirnya yang dianggap mu’tamad berjumlah lima ratus Hadis.
Beberapa kali dilakkukan revisi oleh Imam Malik atas Hadis yang dikumpulkan
mengakibatkan kitab ini memiliki lebih dari delapan puluh naskah (versi), lima
belas diantaranya yang terkenal adalah
- Naskah Yahya ibn Yahya al Laytsi al Andalusi, yang
mendengar al Muwaththa’ pertama kali dari Abd al Rahman dan selanjutnya
Yahya pergi menemui Imam Malik secara langsung sebanyak dua kali tanpa
perantara.
- Naskah Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi Bakr al Qasim, seorang
hakim di Madinah.
- Naskah Muhammad ibn al Hasan al Syaibani, seorang murid
Abu Hanifah dan murid Imam Malik.
Ada beberapa ulama yang memberikan
penilaian dan kritik terhadap penyeleksian Hadis yang dilakukan Imam Malik
dalam kitab al Muwaththa’, diantaranya adalah :
Al Hafidz ibn Abd al Bar, seorang
ulama abad ke 5 H, dalam penelitiannya terhadap kitab al Muwaththa’
berkesimpulan bahwa semua Hadis yang menggunakan ungkapan balaghani dan
perkataannya “ dari al tsiqah “ yang tidak disandarkannya pada seseorang dan
terdapat enam puluh Hadis semuanya musnad tanpa melalui jalur Malik. Kemudian
terdapat empat Hadis yang tidak dikenal yaitu, pertama, dalam bab al ‘Ama fi al
Sahwi (perbuatan ketika kelupaan), kedua, dalam bab Maja’a fi Laylat al Qadr
(sesuatu yang dating pada saat malam al Qadr), ketiga, dalam bab al Jami’ dan
keempat dalam bab Istimthar bi al Nujum ( meminta hujan dengan bintang) pada
bagian terakhir dalam bab Salat.
Ibn Ashir berpendapat bahwa kitab al
Muwaththa’ adalah kitab yang bermanfaat, dimana pembagian babnya sebagaimana
dalam kitab fikih namun di dalamnya terdapat Hadis yang lemah sekali bahkan
munkar. Oleh karena itu al Muwaththa’ tidak diletakkan dalam jajaran kitab al
Khamsah akan tetapi posisinya menduduki tangga keenam.
Beberapa tokoh ulama modern
berpendapat bahwa Imam Malik bukan ahli Hadis dan kitabnya al Muwaththa’ bukan
kitab Hadis akan tetapi adalah kitab fikih serta sekaligus karyanya sebagai
kitab fikih. Ulama yang berpendapat itu adalah ustadz Ali Hasan Abd al Qadir
dalam kitabnya Nazratun ‘Amatun fi Tarikh al Fiqh. Pendapat tersebut telah
dibantah oleh Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya al Hadist wa al Muhadditsun.
Adapun inti bantahan abu zahwu adalah :
Memang benar al Muwaththa’ karya
Imam Malik memuat fikih dan undang-undang, akan tetapi tidak menutup tujuan
lain yaitu mengumpulkan Hadis-hadis sahih. Oleh karena itu kitabnya mencakup
Hadis Nabawi dan fikih Islami.
Bercampurnya di dalam kitab al
Muwaththa’ kandungan yang mencakup sabda nabi SAW, pendapat sahabat dan fatwa
tabi’in dan sebagian pendapat Imam Malik tidak dapat dijadikan alasan bahwa itu
bukan kitab Hadis, karena muhaddisin yang lain juga menempuh cara yang
demikian.
C.
Sunan
Ad-Darimi
Beliau adalah al-Hâfîzh al-Kabîr dalam ilmu Hadis dan
Ilmu-ilmunya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân bin al-Fadhîl bin Bahram bin
‘Abdusshamad at-Tamîmî as-Samarkandî ad-Dârimî. Beliau lebih dikenal dengan
panggilan Imam ad-Dârimî, nama daerah yang dinisbahkan kepada beliau yaitu
Dârimî. Kuniyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 181
Hijriah bertepatan dengan tahun wafatnya ulama Hadis di abad ke 2 yang bernama
‘Abdullah bin Mubaraq bin Wâdih al-Hanzholi at-Tamîmî. Berkata Ishâq bi Ibrâhim
Al-Warrâq: Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân berkata: Aku dilahirkan
pada tahun dimana wafatnya Ibnu Mubâraq yaitu pada tahun 181 H.
Namun diantara karya-karya beliau
yang sangat berharga dan sampai kepada kita adalah buku Sunan (Al-Musnad). Perlu
kita ketahui bahwa sebahagian ulama bahwa Sunan ad-Dârimî lebih pantas disebut
dengan nama musnad. Kalau yang dimaksud musnad adalah bahwa Hadis-hadis dalam
buku itu semua bersandar kepada Nabi Saw. tidak jadi masalah, akan tetapi kalau
dimaksudkan bahwa buku Sunan disusun menurut abjad nama Sahabat tidak menurtu
bab-bab fiqih tentu itu tidak tepat karena buku Sunan disusun sesuai dengan
bab-bab fiqih.
Penilaian ini terjadi mungkin
karena Hadis-hadis di dalam kitab Sunan semuanya ada sandarannya (musnadatun),
namun kalau seperti ini penilaiannya tidak jadi masalah. Karena Shahîh Bukhâri
juga dinamakan musnad jâmi’, karena hadis-hadisnya ada sandarannya bukan karena
disusun menurut metode kitab-kitab musnad.
Adapun status Hadis di dalam Sunan
ad-Dârimî adalah bermacam-macam, yaitu:
1. Hadis
Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim.
2. Hadis
Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya.
3. Hadis
Shahîh di atas syarat keduanya.
4. Hadis
Shahîh di atas syarat salah satu keduanya.
5. Hadis
Hasan.
6. Hadis Sadz-dzah.
7. Hadis
Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit.
Hadis Mursal dan Mauquf, akan
tetapi ada thuruq lain yang menguatkannya .
Berkata Syekh ‘Abdul Haq ad-Dahlâwî: berkata sebahagian para ulama bahwa kitab ad-Dârimî lebih pantas dan cocok untuk dimasukkan dalam katagori kutubussittah menggantikan posisi Sunan Ibnu Mâjah, dengan alasan:
Berkata Syekh ‘Abdul Haq ad-Dahlâwî: berkata sebahagian para ulama bahwa kitab ad-Dârimî lebih pantas dan cocok untuk dimasukkan dalam katagori kutubussittah menggantikan posisi Sunan Ibnu Mâjah, dengan alasan:
1. Karena
rijâlul hadisnya lebih kuat.
2. Keberadaan
Hadis Sadz-dzah dan Munkar hanya sedikit.
3. Sanadnya
termasuk sanad yang âliyah.
4. Rijâlul
hadisnya tiga orang lebih banyak dalam kitab Sunan ad-Dârimî dari pada dalam
Shâhih Bukhâri .
Sunan ad-Dârimî terdiri dari dua
jilid, 23 kitâb dan di dalamnya terdapat 3503 Hadis. Diawali dengan Muqaddimah
yang isinya tentang sejarah Nabi Muhammad Saw., ittibâ’ sunnah, ilmu dan
hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dari hitungan Dr. Mushthafa Diib
al-Bugha: “terdapat sebanyak 3375 hadits dalam sunan darimi termasuk
hadits-hadits yang termaktub dalam muqaddimah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Imam
Ahmad ibn Hanbal merupakan seorang ulama besar, ahli dalam bidang fikih maupun
hadis ini memiliki nama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilalasy-syaibani al-Marwazi al-Baghdadi.
Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di
Baghdad, kota Meru/Merv pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H atau Nopember 780
M. Bapak beliau, Muhammad telah meninggal dunia sejak beliau masih kecil
sehingga beliau hanya diasuh oleh ibunya yang bernama Safiyyah binti Maimunah
binti Abdul Malik Asy-Syaibani.
Nama lengkap dari Imam Malik adalah
Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn al Harist ibn Ustman ibn Jutsail ibn
Amr ibn al Harist al Asyabiyal Himyari Abu Abd Allah al Madaniy. Beliau lahir
mungkin pada tahun 93 H di kota Madinah, keluarganya asli Yaman.
Ad-Darimi adalah al-Hâfîzh al-Kabîr dalam ilmu Hadis dan
Ilmu-ilmunya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân bin al-Fadhîl bin Bahram bin
‘Abdusshamad at-Tamîmî as-Samarkandî ad-Dârimî. Beliau lebih dikenal dengan
panggilan Imam ad-Dârimî, nama daerah yang dinisbahkan kepada beliau yaitu
Dârimî. Kuniyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 181
Hijriah bertepatan dengan tahun wafatnya ulama Hadis di abad ke 2 yang bernama
‘Abdullah bin Mubaraq bin Wâdih al-Hanzholi at-Tamîmî. Berkata Ishâq bi Ibrâhim
Al-Warrâq: Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân berkata: Aku dilahirkan
pada tahun dimana wafatnya Ibnu Mubâraq yaitu pada tahun 181 H.
B.
Saran
Demikian yang dapat
kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa menerima
saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Rohmaniyah,Inayah, Studi Kitab Hadis,
Yogyakarta : Teras, 2009.
Asy-Syarqawi,Abdurrahman, Kehidupan,
Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, Bandung : Al Bayan.
Asy-Syubasi,Ahmad, Sejarah dan
Biografi Empat Imam Madzhab ( Hanafi,Maliki, Syafi’i, Hanbali ), Amzah,
2004.
Al-Maliki,
Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
As-Shalih,Subhi,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009.
Katsîr, Ibnu. Bidâyah wan Nihâyah, Dâr Hadis Cairo Mesir, Cetakan 5 Tahun 2003 M