BAB
II
PEMBAHASAN
A. Struktur Hukum di Indonesia
1.
Konstitusi (UUD 1945)
Undang-Undang
Dasar atau Konstitusi Negara Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh
Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari sabtu tanggal 18
Agustus 1945, yakni sehari setelah proklamasi kemerdekaan.
Pada
saat di sahkan dan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, ia
hanya bernama” OENDANG-OENDANG DASAR”. Baru kemudian dalam Dekrit Presiden 1959
memakai UUD 1945 sebagaimana yang di undangkan dalam Lembaran Negara No.75
Tahun 1959. [1]
Kronologis
dua kali pemberlakuan UUD 1945, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah
membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar (Konstitusi) :
a.
Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus
1945 sampai 27 Desember 1949.
b.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, yang berlaku
antara 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
c.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang berlaku antara
17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
d.
Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku sejak
dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sampai sekarang. [2]
Belum
berumur setahun kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali ke Indonesia
untuk melanjutkan kolonialismenya. Belanda secara sepihak menduduki beberapa
tempat, terutama kota-kota di Indonesia, dan mendirikan kembali pemerintahan
Belanda. Beberapa bagian Negara Indonesia didikrikan menjadi Negara oleh
Belanda dalam rangka rekayasa memusnahkan Republik Indonesia untuk dig anti
dengan Republik Indonesia Serikat, yaitu Negara Indonesia Timur (1946), Negara
Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan (1948), Neagar Madura (1948) dan
beberapa bagian lain yang ketika itu masih dalam tahap persiapan.
Peperangan
yang dikenal sebagai Revolusi kemerdekaan itu berhasil menarik perhatian PBB
yang kemudian mengusulkan diselenggarakannya konferensi antara Indonesia dan
Belanda dengan menyertakan Byeenkomst
voor Federal Overleg (BFO). Yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar
berlangsung tanggal 2 November 1949. Rancangan UUD hasil kerja delegasi
Indonesia dan BFO itu diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan
disepakati mulai berlaku sejak tanggal
27 Desember 1949.
Konstitusi
RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran Negara Kesatuan Republik
Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Dari sudut konstitusi dapat
dikualifikasikan bahwa konfigurasi yang dianut pada zaman RIS adalah
demokratis. [3]
Bentuk
Negara serikat ternyata tidak berumur panjang karena bentuk tersebut tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Satu persatu Negara bagian yang
bernaung dibawah RIS menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Sehingga
pada bulan Mei 1950 jumlah Negara bagian tinggal tiga; yaitu Negara Republik
Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Rakyat menganggap
revolusi Indonesia belum sempurna sebelum terbentuk Negara kesatuan sesuai UUD
1945.
Piagam
persetujuan antara Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia di
tandatangani oleh Hatta dan A.Halim pada tanggal 19 Mei 1950. Piagam tersebut
memuat persetujuan untuk kembali kebentuk “Negara kesatuan”. Untuk itu perlu
disepakati perubahan-perubahan terhadap konnstitusi RIS. Untuk menindak lanjuti
persetujuan itu dibentuk panitia yang bertugas untuk membuat rancangan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Panitia ini menghasilkan rancangan UUDS
untuk di berlakukan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya
pada tanggal 15 Agustus 1950 UUDS dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1950.
UUDS 1950 menganut system parlementer dan dianggap bahwa sejak pemberlakuannya
pada tanggal 17 Agustus 1950 dimulailah era demokrasi liberal di Indonesia
sesuai dengan system parlementer yang sebenarnya.
2.
Peraturan Pemerintah
Pengganti UU (PERPU)
PERPU
adalah peraturan yang dibentuk oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, oleh karena itu proses pembentukannya agak berbeda dengan
Undang-Undang. Apabila melihat ketentuan Pasal 22 Undang-undang Dasar 1945
beserta penjelasannya, dapat diketahui bahwa PERPU mempunyai hierarki, fungsi
dan materi muatan yang sama dengan Undang-Undang, hanya didalam pembentukannya
berbeda dengan Undang-Undang.
Selama
ini undang-undang selalu di bentuk oleh Presiden dengan persetujuan dewan
perwakilan rakyat, dan dalam keadaan normal, atau menurut perubahan UUD 1945
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan PERPU dibentuk
oleh Presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat karena adanya suatu hal
ihwal kegentingan yang memaksa.[4]
Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Perpu dibuat
oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
2.
Perpu harus
diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
3.
DPR dapat
menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
4.
Jika ditolak
DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh : bahwa
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga
perlu diganti dengan undang-undang yang baru; diganti dengan : Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Contoh: Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Untuk
membedakan antara undang-undang dengan perpu dengan istilah tindakan kenegaraan
versustindakan pemerintahan tidaklah tepat, meskipun dapat memudahkan
pengertian mengenai hal itu. Pertimbangan yang lebih sederhana dan lebih tepat
untuk digunakan ialah bahwa perpu itu menyangkut tindakan pemerintahan untuk
mengatur yang berkaitan dengan alas an “innere
notstand”menurut kebutuhan keadaan yang mendesak dari segi subtansinya dan
genting dari segi waktunya. Jika kedua pertimbangan ini terpenuhi, maka untuk
kegentingan pemerintahan, presiden berwenang menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang untuk menjamin agar tindakan pemerintahan
dimaksud dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya tanpa harus lebih dahulu
menunggu ditetapkannya undang-undang. [5]
Ketentuan
UUD 1945 tersebut sebenarnya memberikan suatu kekuasaan yang sangat besar
kepada Presiden, oleh karena PERPU yang ditetapkan sendiri oleh presiden
mempunyai derajat/kekuatan berlaku yang sama dengan suatu Undang-undang. Dengan
demikian, presiden dengan jalan mengeluarkan PERPU yang dibuat sendiri dapat
merubah atau menarik kembali suatu Uundang-Undang biasa yang di tetapkan
Presiden bersama dengan DPR. Tentu saja hal itu telah dikemukakan dalam
penjelasan UUD 1945, kekuasaan Presiden tersebut memerlukan sutu pengawasan
dari DPR supaya tidak di slah gunakan.[6]
3.
Peraturan Pemerintah dan
Keputusan Presiden
Disamping
kekuasaan membentuk PERPU, UUD 1945 memberikan lagi kekuasaan kepada presiden
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya (pasal 5 ayat 2 UUD
1945).
Peraturan
pemerintah adalah suatuperaturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk
melaksanakan Undang-Undang.peraturan pemerintah dibuat semata-mata oleh
pemerintah tanpa kerja sama dengan DPR. Peraturan Pemerintah memuat
aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-Undang. Selain peraturan
pemerintah yang di tetapkan oleh Presiden, Presiden juga berhak mengeluarkan
Keputusan Presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig =
berlaku atau mengatur sesuatu hal tertentu saja) untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang yang bersangkutan, Ketetapan MPR (S) dalam bidang eksekutip atau
peraturan pemerintah. Adapun peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya (baik yang
diadakan oleh pejabat sipil maupun oleh pejabat militer) seperti Keputusan
Menteri, Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata dan lain-lain, harus pula
dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundangan yang lebih
tinggi. [7]
4.
Peraturan Daerah
Peraturan
Daerah (Perda) adalah bentuk peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dan Perpu, peraturan daerah dan peraturan Presiden, akan tetapi
dari segi isinya dan mekanisme pembentukannya, Perda itu mirip dengan
Undang-Undang. Pertama, seperti undang-undang maka organ Negara yang terlibat
dalam proses pembentukan Perda itu adalah lembaga legislatif dan lembaga
eksekutif secara bersama-sama. Jika undang-undang dibentuk oleh lembaga legislatif
pusat dengan persetujuan bersama dengan Presiden selaku kepala pemerintahan
eksekutif, maka Perda di bentuk oleh lembaga legislative daerah bersama-sama
dengan kepala pemerintahan setempat. Dengan perkataan lain, sama dengan
Undang-Undang, Perda juga merupakan produk legislatif yang melibatkan peran
para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang berdaulat.
Perbedaan
antara Undang-Undang dengan Perda ituhanya dari segi lingkup territorial saja
atau wilayah berlakunya peraturan yang bersifat nasional atau lokal.
Undang-Undang berlaku secara nasional, sedangkan peraturan daerah hanya berlaku
di dalam wilayah pemerintahan daerah yang bersangkutan saja, yaitu dalam
wilayah daerah provinsi, wilayah daerah kabupaten, atau wilayah daerah kota
yang bersangkutan masing-masing.
Menurut
ketentuan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, agar berlaku
mengikat untuk umum, rancangan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan
bersama antar legislatif dan eksekutif di daerah yang bersangkutan, harus
diajukan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dinilai sebagaimana mestinya.
Melalui mekanisme demikian, produksi peraturan daerah oleh pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia akan dapat bterkontrol
dengan baik, sehingga pemerintah pusat dapat bertindak apabila timbul keadaan
yang tidak menguntungkan kepentingan nasional ataupun kepentingan antar daerah
yang terkait sebagi akibat terbitnya berbagai peraturan daerah yang tidak
saling menunjang upaya pembangunan daerah dan pembangunan nasional secara
keseluruhan.
B. Perkembangan Hukum di Indonesia
Perkembangan
hukum di Indonesia saat ini cukup terasa, seiring pertumbuhan penduduk
dan perkembangan social kemasyarakatan. Berbagai macam penyakit masyarakat yang
menuntut dan mengharuskan hukum bergerak maju sebagai pengendali social untuk
menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat yang tertib, maju dan
sejahtera. Perkembangan hukum itu sendiri ditandai dengan perkembangan
komponen hukum itu sendiri, dari segi Perangkat Hukum, yakni lahirnya berbagai
macam produk hukum baru dan bersifat khusus (lex spesialis), misalnya :
Undang-undang no 31 tahun 1999 sebagai mana telah di ubah menjadi Undang-undang
nomor 20 tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana korupsi. Dari segi
Kelembagaan Hukum yakni lahirnya Lembaga penegakkan Hukum yang Independen dan
punya kewenangan khusus misalnya Komisi Pemberantasan korupsi, serta Aparatur
Hukum dan Budaya Hukum.
Perkembangan
hukum di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari sudut pandang yang
berbeda-beda. Reaksi ini tidak terlepas dari berbagai faktor baik dari dalam
lembaga penegak hukum itu sendiri maupun pengaruh dari luar. Ketidak
profesionalisme para aparat penegak hukum itu sendiri yang menciderai wibawa
hukum di Indonesia, baik sifat Arogansi sampai keterlibatan penegak hukum dalam
kasus hukum yang sedang di tanganinya. Perilaku aparat penegak hukum yang
demikian seyogianya wajib dilenyapkan dari NKRI yang berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.
Hukum
positif yang berlaku di Indonesia terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Yang termasuk hukum positif tertulis adalah peraturan
perundang-undangan yang
dibuat, ditetapkan, atau dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan yang
berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku
atau mengikat. Dan yang termasuk hukum tidak tertulis adalah hukum asli bangsa
Indonesia yang hidup dan berlaku secara turun temurun atau diakui atau
dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam atau
melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak
tertulis, karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh
pejabat yang berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum
positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati, pengakuan,
dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup hukum adat sebagai
hukum positif makin terbatas akibat kehadiran hukum positif tertulis atau
karena yurisprudensi.
Hukum keagamaan sebagai hukum positif,
adalah hukum dari agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem
keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai
agama. Pada saat ini, didapati berbagai hukum keagamaan yang dinyatakan melalui
undang-undang sebagai hukum positif. Berdasarkan W No. 1 Tahun 1974,
ketentuan-ketentuan semua agama mengenai perkawinan dinyatakan sebagai hukum
positif. Khusus bagi yang beragama Islam, pengakuan hukum perkawinan Islam
telah ada sejak masa Hindia Belanda dengan dipertahankannya peradilan agama
untuk menyelesaikan sengketa nikah, talak, dan rujuk (seperti Mahkamah Syariah
di Jawa dan Qadi Besar di Kalimantan) berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan UU
No. 7 Tahun 1989 - bagi pemeluk agama Islam-ketentuanhukum positif berdasarkan
syariah (hukum Islam) diperluas ke bidang-bidang lain seperti wakaf,
pemeliharaan anak, pewarisan, hubungan nasab dalam pengangkatan anak.
Memasukkan hukum agama menjadi hukum positif terjadi juga melalui putusan
hakim. Di lingkungan peradilan agama, telah diadakan pedoman penerapan hukum
agama bagi mereka yang beragama Islam seperti "kompilasi Hukum Islam"
yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden No, l Tahun 1991 jo Keputusan Menteri
Agama No. 154 Tahun 1991. Hal yang sama dapat juga dilakukan atau terjadi pada
lingkungan peradilan lain, khususnya peradilan umum. Hakim dapat menggunakan
asas atau ketentuan agama apabila penerapan suatu peraturan perundang-undangan
sungguh-sungguh melukai rasa kepatutan, atau rasa keadilan, atau pandangan
kesusilaan menurut dasar keagamaan pencari keadilan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia
adalah negara hukum. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tersebut merupakan kehendak rakyat tertinggi yang
dijadikan hukum dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia.
Pilar utama dalam mewujudkan prinsip negara hukum adalah pembentukan peraturan
perundang-undangan dan penataan kelembagaan negara.
Struktur peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah sebagi berikut:
1. Konstitusi (UUD 1945)
2. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU)
3. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden
4. Peraturan Daerah (Perda)
Perkembangan
hukum di Indonesia saat ini cukup terasa, seiring pertumbuhan penduduk
dan perkembangan social kemasyarakatan. Berbagai macam penyakit masyarakat yang
menuntut dan mengharuskan hukum bergerak maju sebagai pengendali social untuk
menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat yang tertib, maju dan
sejahtera. Perkembangan hukum itu sendiri ditandai dengan perkembangan
komponen hukum itu sendiri, dari segi Perangkat Hukum, yakni lahirnya berbagai
macam produk hukum baru dan bersifat khusus (lex spesialis), misalnya :
Undang-undang no 31 tahun 1999 sebagai mana telah di ubah menjadi Undang-undang
nomor 20 tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana korupsi. Dari segi
Kelembagaan Hukum yakni lahirnya Lembaga penegakkan Hukum yang Independen dan
punya kewenangan khusus misalnya Komisi Pemberantasan korupsi, serta Aparatur
Hukum dan Budaya Hukum.
B. Saran
Penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun
sangat mengharapkan kritik serta saran yang konstruktif demi perbaikan makalah
ini sehingga dapat lebih disempurnakan dengan lebih baik lagi. Terima kasih.
Daftar Pustaka
Dahlan
Thaib,dkk, Teori Dan Hukum Konstitusi, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,2009
Maria Farida Indrati s, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius,
Jakarta, 2006
Jimly Asshiddiqie, Perihal Perundang-Undangan,Konstitusi
Press, Jakarta,2006.
C.S.T.Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
[1] Dahlan Thaib,dkk, Teori Dan Hukum Konstitusi, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.84.
[2] ibid, hlm.86.
[3] Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,2009, hlm.46-48.
[4] Maria Farida Indrati s, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius,
Jakarta, 2006, hlm.80.
[5] Jimly Asshiddiqie, Perihal Perundang-Undangan,Konstitusi
Press, Jakarta,2006.hlm.85-86
[6] C.S.T.Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1986.hlm.57
[7] Ibid, hlm.58.