BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengkertian Syirkah
Kata syirkah dalam
bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il
mâdhi), yasyraku (fi’ilmudhâri’),syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata
dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca
syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi,
menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah,
3/58, dibacasyirkah lebih fasih (afshah).
Menurut
arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi
dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun
menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak
atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
B. Hukum
syirkah
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah),
berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr(pengakuan) beliau terhadap
syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah
bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw
bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah
‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang
ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah
satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi,
dan ad-Daruquthni].
C. Rukun Syirkah
dan Syarat dan Bentuk Akad Al-syirkah
Rukun
syarat syirkah menurut mazhab Hanafi adalah ijab dan qabul sedangkan jumhur
ulama selain Hanafi menyatakan sighat akad, mahal aqad dan para pihak (lebih
banyak). Menurut Wahbah Zuhayli, secara umum ketentuan aqad berlaku dalam akad
syirkah, tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti ungkapan ijab dan qabul
dilakukan oleh pihak yang menjadi wakil kepada para pihak yang saling
bersyirkah. Sedangkan lainnya adalah para pihak harus bertemu dalam majlis akad
karena akad syirkah melibatkan banyak pihak. Berkenaan dengan mahal akad maka
disyaratkan sebagai berikut: pembagian untung yang jelas, modal harus tunai,
modal berbentuk uang.
D. Macam-Macam/pembagian
Syirkah dan menurut pandangan mazhab.
Terdapat
beberapa bentuk akad syirkah, akan tetapi hanya satu yang disepakati oleh para
ulama yang lainnya berbeda, yaitu syirkah
inan.
Menurut An-Nabhani,
berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai kadhukum syirkahdan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam yaitu:
1. Syirkah
inan
2. Syirkah
abdan
3. Syirkah
mudharabah
4. Syirkah
wujuh dan
5. Syirkah
mufawadhah
An-Nabhani berpendapat
bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang
memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah
dan Zaidiyah.
Menurut
ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu:
1. Syirkah
inan
2. Syirkah
abdan
3. Syirkah mudharabah,
dan
4. Syirkah
wujuh.
Menurut
ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu:
1. Syirkah
inan.
2. Syirkah
abdan, dan
3. Syirkah
mudharabah.
Menurut
ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah yaitu;
1. Syirkah
inan dan
2. Syirkah mudharabah (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu).
Pengertian macam-macam
syirkah:
a. Syirkah
Inan
Syirkah
inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah ini
hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990:
148). Contoh syirkah inan: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan
bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing
memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja
dalam syirkah tersebut.
Dalam
syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah,
kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal.
b. Syirkah
‘Abdan
Syirkah
‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi
modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti
pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang
kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) ini disebut juga syirkah
‘amal. Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut
bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan
dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B
sebesar 40%.
Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh
berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari
beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang
dilakukan merupakan pekerjaan halal. tidak boleh berupa pekerjaan haram,
misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
c. Syirkah
Mudhârabah
Syirkah
mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak
lain memberikan konstribusi modal (mal) Istilah mudharabah dipakai oleh
ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh Contoh: A sebagai
pemodal (shahib al-mal/rabb al-mal) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta
kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha
perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
d. Syirkah
Wujuh
Syirkah
wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam . Disebut syirkah
wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh)
seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara
dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal),
dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mal). Dalam
hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.Syirkah semacam ini hakikatnya
termasukdalam syirkah mudharabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya .
e. Syirkah
Mufawadhah
Syirkah
mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufawadhah dalam
pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis
syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan
jenis syirkah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan
IV. Beirut: Darul Ummah.
2.
Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan.
Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
3.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz
III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.
4.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah
wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
5.
—————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.
6.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan
III. Damaskus: Darul Fikr.
7.
Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum
Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh
Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
8.
Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance:
Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.