Pengertian Delik Pengulangan (Recidive)
Recidive dalam Kamus Hukum diartikan sebagai ulangan kejahatan, kejadian bahwa seseorang yang pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatan, melakukan lagi suatu kejahatan.
Recidive adalah kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukanya lebih dahulu. Seseorang yang sering melakukan perbuatan pidana, dan karena dengan perbuatan-perbuatanya itu telah dijatuhi pidana bahkan lebih sering dijatuhi pidana, disebut residivist. Kalau residive menunjukkan pada kelakuan mengulangi perbuatan pidana, maka residivist menunjuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana.
Jadi, recidive itu terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi dengan putusan hakim yang tetap. Putusan tersebut telah dijalankan akan tetapi setelah ia selesai menjalani pidana dan dikembalikan kepada masyarakat, dalam jangka waktu tertentu setelah pembebasan tersebut ia kembali melakukan perbuatan pidana.
Apabila orang yang telah dijatuhi pidana itu kemudian melakukan lagi perbuatan pidana, maka orang itu telah membuktikan tabiatnya yang kurang baik. Meskipun ia telah dipidana tetapi karena sifatnya yang kurang baik itu, ia kembali melakukan perbuatan pidana. Oleh karena sifatnya yang demikian itu, maka residivis perlu dijatuhi pidana lebih berat lagi meskipun ia telah dididik dalam Lembaga Pemasyarakatan agar mereka kemudian setelah kembali ke dalam masyarakat dapat hidup normal sebagai warga masyarakat lainya. Namun bilamana dia melakukan perbuatan pidana lagi maka terhadapnya dapat dikenakan pasal mengenai recidive dengan ancaman pidana yang lebih berat.
Pola pemberatan pidana dalam Buku II dan Buku III KUHP memiliki pola yang berbeda dengan pola pemberatan pidana dalam Buku I KUHP. Ada dua kategori pola pemberatan pidana dalam Buku II dan Buku III yakni kategori yang seragam dan kategori yang tidak seragam. Kategori seragam ini terdapat pada delik pengulangan (recidive) di mana ancaman pidana diperberat dengan penambahan sepertiga dari ancaman pidana pokok.Ancaman pidana juga diberatkan karena adanya kualitas khusus pelaku (subjek delik), misalnya karena sebagai pegawai negeri. Selain itu, ancaman pidana juga diberatkan karena kualifikasi khusus dari objek delik, seperti penganiayaan yang dilakukan terhadap ibu, bapak, istri atau anak pelaku, yang pidananya ditambah sepertiga dari maksimum khususnya.[ ]
Pengulangan tindak pidana diatur dalam:
1. Pasal 486
Pidana penjara yang dirumuskan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 353-260bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga pasal 365, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 140-143,
145-149, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.
2. Pasal 487
Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 131, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459, dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 104,130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140, ayat kedua dan ketiga, 339, 340, dan 444, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan belum lewat lima tahun sejak m menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 106 ayat kedua dan ketiga,107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau kematian, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137, dan 138 KUHP Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebutbelum daluwarsa.
3. Pasal 488
Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan padapasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012 pada paragraf 6 pasal 24 disebutkan tentang pengulangan yaitu:
Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:
a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c. kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan daluwarsa.
Macam-macam Recidive
1. Recidive Umum (Algemene recidive atau Generale recidive)
Recidive umum terjadi apabila seseorang yang telah melakukan delik kemudian terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim serta menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Setelah selesai menjalani hukumannya, bebas dan kembali ke dalam masyarakat, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang orang tersebut melakukan lagi perbuatan pidana yang perbuatan pidananya tidak sejenis.
2. Recidive Khusus (Speciale Recidive)
Recidive tersebut terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim. Setelah dijatuhi pidana dan pidana tersebut dijalaninya, kemudian kembali ke masyarakat, akan tetapi pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
yang ditetapkan oleh undang-undang kembali lagi melakukan perbuatan pidana yang sejenis dengan perbuatan pidana yang terdahulu.
3. Tussen Stelsel (recidive tengah)
Tussen stelsel adalah apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana itu ia telah dijatuhi pidana oleh hakim. Tetapi setelah ia menjalani pidana dan kemudian dibebaskan, orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Yaitu ditentukan tenggang waktunya tapi pengulangannya tidak tidak harus perbuatan pidana yang sama namun harus sejenis.
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam buku III.
Syarat-syarat Recidive
Adapun syarat-syarat recidive untuk tiap-tiap tindak pidana, baik terhadap kejahatan maupun pelanggaran, dibicarakan berturut-turut dibawah ini.
1. Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive kejahatan-kejahatan tertentu. Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara lain:
a. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu buku II KUHP yaitu dalam pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2). Dengan demikian di dalam sistem recidive kejahatan sejenis ini hanya ada 11 jenis kejahatan yang dapat merupakan alasan pemberatan pidana. Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya mensyaratkan sebagai berikut:
1) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan tetap;
3) Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencaharianya (khusus pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada);
4) Pengulanganya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal yang bersangkutan yaitu:
a) Dua tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b) Lima tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163 dan 393).
b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
Adapun persyaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah:
a) Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 KUHP yang pada umumnya mengenai kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan misalnya:
Pemalsuan mata uang (244-248 KUHP), pemalsuan surat (263-264 KUHP), pencurian (362, 363, 365 KUHP), pemerasan (368 KUHP), pengancaman (369 KUHP), penggelapan (372, 374, 375 KUHP), penipuan (378KUHP), kejahatan jabatan (415, 417, 425, 432 KUHP), penadahan (480,481 KUHP).
Dalam pasal 486 KUHP mengatur tentang pidana maksimum dari beberapa kejahatan dapat ditambah 1/3 karena recidive. Dalam pasal tersebut, kejahatan-kejahatan yang digolongkan terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal ataupun yang dilakukan seseorang dengan melakukan tipu muslihat. Hal tersebut
yang dijadikan dasar untuk memperberat pidana dengan 1/3 dengan syarat:
1. Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana dengan putusan hakim yang tidak dapat dirubah lagi dan dengan hanya pidana penjara.
2. Harus dalam jangka waktu lima tahun terhitung dari saat selesainya menjalani pidana penjara dengan saat ia melakukan perbuatan pidana untuk kedua kalinya.
b) Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 KUHP pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang misalnya penyerangan dan makar terhadap Kepala Negara (131, 140, 141 KUHP), pembunuhan biasa dan berencana (338, 339, 340 KUHP), pembunuhan anak (341, 342 KUHP), euthanasia (344 KUHP), abortus (347, 348 KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (351, 353, 354, 355 KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (438-443 KUHP) dan insubordinasi (459-460 KUHP).
Dalam pasal tersebut terdapat segolongan kejahatan-kejahatan tentang perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dengan menggunakan kekerasan terhadap orang
lain yaitu pembunuhan dan penganiyaan. Kejahatan yang diatur dalam pasal 487 KUHP yang memungkinkan pidananya ditambah 1/3, asal saja memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur dalam pasal 486 KUHP karena hanya pidana penjara dari kejahatan tersebut di dalamnya boleh ditambah dengan 1/3nya karena recidive tersebut.
c) Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 KUHP pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan atau percetakan, misalnya penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden (134-137 KUHP), penghinaan terhadap Kepala Negara sahabat (142-144 KUHP), penghinaan terhadap orang pada umumnya (310-312 KUHP), dan kejahatan penerbitan atau
percetakan (483,484 KUHP).
Pidana yang ditentukan dalam pasal 488 KUHP dapat ditambah sepertiga jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal tersebut, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut kadaluwarsa. Syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena recidive menurut pasal 488 KUHP, adalah:
1. Dalam pasal 488 KUHP tersebut tidak ditentukan harus dengan penjara yang harus dilakukan berhubung dengan kejahatan pertama. Dalam pasal tersebut hanya menyebutkan pidananya, bukan pidana penjara saja. Hal tersebut berarti pidana kurungan dan denda dapat merupakan dasar pemberatan tersebut.
2. Sama dengan syarat kedua dalam pasal 486 atau 487 KUHP.
2. Recidive Pelanggaran
Recidive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Syaratnya disebutkan dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh tindak pelanggaran adalah:
Anak tetangga kita setiap malam bersama teman-temannya duduk tepat di depan rumah kita dan selalu merokok dan bermain gitar bersama temannya. Otomatis asap rokoknya masuk ke dalam rumah kita dan sangat bahaya apabila dihirup oleh keluarga kita dan sangat berisik dengan suara gitarnya. Dia marah ketika kita melarangnya duduk di depan rumah kita karena menurutnya dia hanya duduk di depan tidak di dalam rumah, jadi bebas melakukan apa saja.
Atas hal ini dia dapat dikenakan pasal 489 ayat 1 KUHP
“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak
Rp 225.000.”
Batasannya adalah :
1. Kenakalan itu bukan merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan kenakalan itulah tujuan sebenarnya. Misalnya melempar-lempar rumah orang untuk mengganggunya, bukan untuk mengelabui penghuni rumah agar temannya yang mencuru ayam tidak diketahui.
2. Kenakalan itu merupakan suatu perwujudan yang bergelora dalam hatinya.
3. Kenakalan itu mengganggu keamanan orang tetapi belum sampai pada perumusan delik lainnya seperti perusakan barang pasal 406 KUHP.
Dalam pasal 489 ayat 2 :
jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu tahun sejak ketetapan putusan hukuman yang dahulu bagi si tersalah karena pelanggaran seru itu juga,maka denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 hari.
Kesimpulan
1. Delik pengulangan adalah melakukan kembali kejahatan yang pernah dilakukan setelah adanya keputusan hakim dan masih belum lebih dari 5 tahun setelah kejahatan sebelumnya terjadi, hal ini dapat memberatkan hukuman si tersalah karena dia dianggap mempunyai tabi’at yang tidak baik dan dapat membahayakan ketertiban dalam masyarakat apabila dibebaskan.
2. Jenis delik pengulangan ada 3 yaitu umum, khusus dan tussen stelsel
3. Tindak pidana pengulangan diatur dalam pasal 486, 487 dan 488
4. Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
5. Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
6. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
eprints.walisongo.ac.id/3841/4/102211051_Bab3.pdf
http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/1234665004/1._mahrus-uii.pdf
R. Soesilo.1995. KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Cetakan kesepuluh. Bogor: Poelita. hal 318-319