Makalah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam



A. PENDAHULUAN

Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik.
Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul  Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature dan Artikelnya berjudul History of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern.
Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.
Pemikiran adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan Sunnah tentang ekonomi.[1][1] Obyek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis. Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya.[2][2]
 Jadi, cakupan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tulisan ini ialah menguraikan secara singkat mata rantai sejarah Pemikiran ekonomi islam sehingga tidak terjadi distorsi sejarah secara sepihak.
B. PENGERTIAN EKONOMI ISLAM
Menurut Muhammad Najatullah Ash-shiddiqy pemiiran ekonomi islam adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi. Objek pemikiran ekonomi islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi islam yang terjadi dalam praktik historis.[3][3]   
C. PEMBAHASAN
1. Perekonomian pada masa Nabi Muhammad SAW
Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Nabi Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rasul. Rasululllah SAW mengeluarkan sejumlah kebijkan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqih), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah SAW, karena masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rasulullah SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinya dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi negara. Perkembangan pemikiran-pemikiran pada masa-masa tersebut adalah sebagai berikut.[4][4]
Rasulullah diberi amanat untuk mengemban dakwah Islam pada umur 40 tahun. Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada tentara formal. Semua muslim yang mampu boleh jadi tentara. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari harta rampasan perang. Rampasan tersebut meliputi senjata, kuda, unta, domba, dan barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dari perang. Situasi berubah setelah turunnya Surat Al-Anfal  ayat 41 :
* (#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$# tPöqtƒ s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÍÊÈ  
Artinya:
“Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Rasulullah SAW biasanya membagi seperlima (khums) dari rampasan perang tersebut menjadi tiga bagian, bagian pertama untuk beliau dan keluarganya, bagian kedua untuk kerbatnya dan bagian ketiga untuk anak yatim piatu, orang yang sedang membutuhkan dan orang yang sedang dalam perjalanan. Empat perlima bagian yang lain dibagi diantara prajurit yang ikut perang, dalam kasus tertentu beberapa orang yang tidak ikut serta dalam perang juga mendapat bagian. Penunggang kuda mendapat dua bagian, untuk dirinya sendiri dan kudanya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau mengadopsi praktik yang lebih manusiawi terhadap tanah pertanian yang telah ditaklukkan sebagai fay’ atau tanah dengan kepemilikan umum. Tanah-tanah ini dibiarkan dimiliki oleh pemilikinya dan penanamnya, sangat berbeda dari praktik kekaisaran Romawi dan Persia yang memisah-misahkan tanah ini dari pemiliknya dan membagikannya kepada elit militernya dan para prajurit. Semua tanah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW (iqta’) relatif lebih kecil jumlahnya dan terdiri dari tanah-tanah yang tidak bertuan. Kebijakan ini tidak hanya mambantu mempertahankan kesinambungan kehidupan administrasi dan ekonomi tanah-tanah yang dikuasai, melainkan juga mendorong keadilan antar generasi dan mewujudkan sikap egaliter.[5][5]
Pada tahun kedua setelah hijrah, sedekah ini kemudian dengan zakat fitrah yang dibayarkan setiap kali setahun sekali pada bulan ramadhan. Besarya satu sha kurma, gandum, tepung keju, atau kismis, setengah sha gandum untuk setiap muslim, budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, muda atau tua dan dibayar sebelum shalat idul fitri.
Zakat diwajibkan pada tahun ke-9 hijrah, sementara shadaqah fitrah pada tahun ke-2 hijrah. Akan tetapi ahli hadist memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 hijrah ketika Maulana Abdul hasan berkata zakat diwajibkan setelah hijrah dan kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum.
2.  Perekonomian Di Masa Khulafaurrasyidin
a. Abu Bakar As-Sidiq (51 SH – 13 H / 537 – 634 M)
Abu Bakar merupakan khalifah pertama yang di angkat setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Sebelum menjadi khalifah Abu Bakar tinggal di pinggiran kota Madinah.[6][6]  Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah dan bersamaan dengan itu sebuah Baitul Mal dibangun. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarganya diurus oleh kekayaan dari Baitul Mal ini. Menurut beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Mal dengan beberapa waktu. Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan 6000 dirham per tahun.[7][7]
Khalifah Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Beliau juga mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rasulullah SAW.
b. Umar bin Khattab (40SH – 23H / 584 – 644 M)
Khalifah Umar sangat memperhatikan sektor ekonomi untuk menunjang perekonomian negerinya. Pada masa kekhalifahan Umar banyak dibangun saluran irigasi, waduk, tangki kanal, dan pintu air seba guna untuk mendistribusikan air di ladang pertanian
Hukum perdagangan juga mengalami penyempurnaan untuk menciptakan perekonomi secara sehat. Umar mengurangi beban pajak untuk beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota. Pada saat yang sama juga dibangun pasar agar tercipta peradangan dengan persaingan yang bebas. Serta adanya pengawasan terhadap penekanan harga. Beliau juga sangat tegas dalm menangani masalah zakat. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Umar menetapkan zakat atas harta dan bagi yang membangkang didenda sebesar 50% dari kekayaannya.
Pada masa beliau dibangun Institusi Administrasi dan Baitul Mal yang reguler dan permanen di Ibu Kota, yang kemudian berkembang dan didirikan pula Baitul Mal cabang di ibu kota propinsi. Baitul Mal secara tidak langsung berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam. Harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiaya penguburan orang-orang miskin, membayarkan utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat, untuk kasu-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial.
Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Mal, Umar mendirikan Diwan Islam yang disebut Al-divan. Al-divan adalah kantor yang mengurusi pembayaran tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tujangan lainnya secara reguler dan tepat. Khalifah Umar juga membentuk komite yang terdiri dari Nassab ternama untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.[8][8] 
Khalifah Umar menetapkan beberapa peraturan sebagai berikut:
1. Wilayah Irak yang ditaklukan menjadi muslim, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikannya tersebut dapat dalihkan
2. Kharaj (pajak yang dibayarkan oleh pemilik-pemilik tanah negara taklukan), dibebankan pada semua tanah yang termasuk kategori pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk Islam dengan demikian tanah seperti itu tidak daat dikonversi menjadi tanah ushr
3. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka memberi kharaj dan jizyah (pajak yang dikenakan bagi penduduk non muslim sebagai jaminan perlindungan oleh negara)
4. Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali bila ditanami oleh muslim diperlakukan sebagai tanah ushr.
5. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar saaau dirham atau satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan ngapan tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkih) dan perkebunan,
6. Di Mesir, menurut sebuah perjanjian Amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, dan madu dan rancangan ini telah disetujui Khalifah
7. Perjanjian Damaskus ( Syiria ) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban satu jarib ( unit berat ) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.
c. Ustman bin Affan ( 47 SH – 35H / 577 – 656 M )
Khalifah Ustman mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh Umar. Pada enam tahun pertama Balkh, Kabul, Ghazni Kerman, dan Sistan ditaklukan. Kemudian tindakan efektif dilakukan untuk pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon ditanam untuk diambil buah dan hasilnya dan kebijakan di bidang keamanan perdagangan dilaksanakan dengan pembentukan organisasi kepolisian tetap.[9][9]
Ustman mengurangi jumlah zakat dari pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Ustman menaikkan pensiun sebesar seratus dirham, tetapi tidak ada rinciannya.Beliau menambahkan santunan dengan pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang miskin dan musafir.
Pada masa Ustman, sumber pendapatan pemerintah berasal dari zakat, ushr, kharaj, fay, dan ghanimah. Zakat ditetapkan 2,5 persen dari modal aset. Ushr ditetapkan 10 persen iuran tanah-tanah pertanian sebagaiman barang-barang dagangan yang diimpor dari luar negeri. Kharaj merupakan iuran pajak pada daerah-daerah yagn ditaklukan. Prosentase dari kharaj lebih tinggi dari ushr. Ghanimah yang didapatkan dibagi 4/5 kepada para prajurit yang ikut andil dalam perang sedangkan 1/5-nya disimpan sebagai kas negara.  
d. Ali bin Abi Thalib ( 23H – 40H / 600 – 661 M )
Pada masa pemerintahan Ali, beliau mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mal Madinah , Busra, dan Kuffah. Ali ingin mendistribusikan sawad, namun ia menahan diri untuk menghindari terjadi perselisihan.
Secara umum, banyak kebijakan dari khalifah Ustman yang masih diterapkan, seperti alokasi penegeluaran yang tetap sama. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambahkan jumlahnya pada masa Ustman hampir dihilangkan seluruhnya.
Khalifah Ali mempunyai konsep yang jelas mengenai pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannnya seperti mendiskripsikan tugas dan kewajiban dan tanggung jawab penguasa, menyusun dispensasi terhadap keadilan, kontrol atas pejabat tinggi dan staf, menjelaskan kebaikan dan kekurangan jaksa, hakim dan abdi hukum, menguraikan pendapatan pegawai administratif dan pengadaan bendahara. [10][10]
3. Perkembangan perekonomian pada masa Bani Umayyah (41 H/661 - 750 M)
Di antara para khalifah bani umayah yang termashur dan memberikan banyak pemikirannya di bidang ekonomi adalah
a. Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan
Pada masa pemerintahannya beliau mendirikan dinas pos beserta dengan berbagai fasilitasnya, menerbitkan angkatan perang, mencetak uang, dan mengembangkan adil (hakim) sebagai jabatan profesional.
b. Khalifah Abdul Malik Marwan
Pemikiran yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan uang dalam masyarakat islam muncul di masa pemerintahan beliau. Beliau mencetak mata uang tersendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan arab serta tetap mencantumkan kalimat basmalah.
c. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz
Beliau menerapkan kembali ajaran islam secara utuh menyeluruh. Beliau bersifat melindungi dan meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat menyeluruh.
Prinsip-Prinsip Dasar Sistem Ekonomi Islam di masa Bani Umayyah
Terdapat beberapa prinsip dasar sistem Ekonomi Islam sebagai dasar untuk pengembangan sistem Ekonomi Islam dalam suatu pemerintahan atau Negara, yaitu:
1. Kebebasan Individu
Individu mempunyai hak kebebasan sepenuhnya untuk berpendapat ataumembuat suatu keputusan yang di anggap perlu dalam sebuah Negara Islam.Tanpa kebebasan tersebut Individu muslim tidak dapat melaksanakan kewajibanmendasar dan penting dalam menikmati kesejahteraan dan menghindari terjadinyakekacauan dalam masyarakat.
2. Hak Terhadap Harta
Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta, tetapi Islam memberbatasan tertentu supaya kebebasan itu tidak merugikn kepentingan masyarakatumum.
3. Ketidaksamaan Ekonomi dalam batas yang wajar.
Meskipun Islam mengakui adanya keadaan di mana Ekonomi antar satu orang dengan orang lain tidak sama, namun islam mengatur perbedaan tersebut dalam batasan-batasan yang wajar dan adil.[11][11]
4. Kesamaan Sosial
Islam mengatur agar setiap sumber-sumber Ekonomi/ kekayaan Negara dapat di nikmati oleh semua masyarakat, bukan oleh sekelompok masyarakat saja. Di samping itu Islam juga menetapkan bahwa setiap individu dalam suatu Negara mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha dan mendapatkan pekerjaan atau menjalankan berbagai aktivitas Ekonomi.
5. Jaminan Sosial
Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah Negara islam,dan setiap warga Negara di jamin untuk memperoleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Tugas dan tanggung jawab utama bagi sebuah Negara adalah menjamin setiap warga Negara,dalam memenuhi kebutuhannya sesuai dengan prinsip “hak untuk hidup”
6. Distribusi kekayaan secara meluas
Islam mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil tertentu orang dan menganjurkan ditribusi kakayaan kepada semua lapisan masyarakat.
Napak Tilas perjalanan Pemerintahan Daulah Umayyah masa pemerintahan kekhalifahan Umayyah berlangsung selama lebih kurang 91 tahundi mulai sejak al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyyah bin Abu Sufyan pada tanggal 25 Rabiul awal tahun 41 H/661M, atau kira-kira 28 tahun setelah wafatnya nabi Muhammad SAW.[12][12] Pemerintahan ini berakhir dengan kekalahan pasukan kekhalifahanMarwan bin Muhammad (kekhalifahan Umayyah terakhir) dalam sebuahpeperangan disungai zab (antara sungai Mosul dan Arbil), pada 131 H/748 M dibawah pimpinan Abdul Abbas as-Saffah (khalifah pertama pemerintahan abbasiyah I) dan pada klimaksnya terjadi pada bulan Jumadil Awal tahun 132 H/ 749 M khalifah Marwan bin Muhammad di bunuh oleh pasukan Bani Abbasiyah
4. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Bani Abbasiyah (750-847 M/132-232 H)
1. Para sejarawan membagi masa pemerintahan bani abbas menjadi lima periode : Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), periode pengaruh persia pertama
2. Periode kedua (232 H/847 M-334 M/945 M), periode pengaruh turki pertama
3. Periode ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti buwaih dalam pemerintahan khilafah abbasiyah
4. Periode keempat (447 H/1055M - 590 H/1194 M), masa kekuasaan bani seljuk dalam pemerintahan khilafah abbasiyah
5. Periode kelima (590 H/1194 M -656 H/1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain.
Adapun khalifah yang pernah menjadi pemimpin saat dinasti abbasiyah adalah
a) Abu ja’far al-manshur
b) Harun al-rasyid
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai macam industri sepertikain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarkand, serta berbagai produk pertanian sepertigandum dari mesir dan kurma dari iraq. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyahdan Negara lain.
Karena industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi.Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak.Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Perdagangan dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting.Secara bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa puncak kejayaan sehingga hubungan erdagangan antara keduanya menambah semaraknya kegiatan perdagangan dunia.
Peran penting ekonomi sangat di sadari oleh para khalifah Dinasti Abbasiyah dalam menentukan maju mundurnya suatu negara. Oleh karena ini, mereka memberikan perhatian khusus pada pengembangan sektor ini, terutama periode pertama Dinasti Abbasiyah . upaya kearah kemajuan ini sebenarnya sudah di mulai sejak masa pemerintahan al-Mansur. Yaitu dengan di pindahkannya pusat pemerintahan ke baghdad tiga tahun setelah dia di lantik menjadi khalifah. Dijadikannya kota baghdad sebagai pusat kendali pemerintahan itu mempunyai arti tersendiri bagi perkembangan dan kemajuan di bidang ekonomi.
Baghdad merupakan sebuah kota yang terletak didaerah yang sangat strategis bagi perniagaan dan perdagangan. Sungi tigris bisa dilayari sampai kota ini. Begitu juga terdapat jalur pelayaran ke sungai eufrat yang cukup dekat. Sehingga barang-barang dagangan dan perniagaan dapat diangkut menghilir sungai eufratdan tigris dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Di samping itu, yang terpenting ialah tedapatnya jalan nyaman dan aman dari semua jurusan. Akhirnya Baghdad menjadi daerah sangat ramai, karena disamping sebagai ibu kota kerajaan juga sebagai kota niaga yang cukup marak pada masa itu. Dari situlah negara akan dapat devisa yang sangat besar jumlahnya.
Selain itu faktor pertambahan jumlah penduduk juga merupakan suatu faktor turut meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dimana semakin pesat pertumbuhan penduduk, maka semakin besar dan banyak pula faktor permintaan pasar (demand). Hal ini pada gilirannya memicu produktivitas ekonomi yang tinggi.
Adapun komoditi yang menjadi primadona pada masa itu adalah bahan pakaian atau tekstil yang menjadi konsumsi pasar asia dan eropa. Sehingga industri di bidang penenunan seperti kain, bahan-bahan sandang lainnya dan karpet berkembang pesat. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri ini adalah kapas, sutra dan wol.[13][13]  Industri lain yang juga berkembang pesat adalah pecah belah, keramik dan parfum. Disamping itu berkembang juga industri kertas yang di bawa ke Samarkand oleh para tawanan perang Cina tahun 751 M. di Samarkan inilah produksi dan ekspor kertas dimulai. Hal ini rupanya mendorong pemerintah pada masa Harun al-Rasyid lewat wazirnya Yahya ibn Barmak mendirikan pabrik kertas pertama di Baghdad sekitar tahun 800 M.[14][14]  salah satu bukti manuskrip Arab tertua yang ditulis diatas kertas yang ditemukan adalah manuskrip tentang hadis yang berjudul Gharib al-Hadis karya Abu Ubayd al-Qasim ibn Sallam (w. 837 M) yang dicetak bulan Dzulqa’dah 252 H (13 November – 12 Desember 866), disimpan di perpustakaan Leiden.
Komoditas lain yang berorientasi komersial selain, logam, kertas, tekstil, pecah belah, hasil laut dan obat-obatan adalah budak-budak. Mereka setelah dibeli oleh tuannya dipekerjakan seperti di ladang pertanian, perkebunan dan pabrik. Namun bagi pemerintah, budak-budak direkrut sebagai anggota militer demi pertahanan negara.[15][15]
Sebagai alat tukar, para pelaku pasar menggunakan mata uang dinar (emas) dan dirham (perak). Penggunaan mata uang ini secara ekstensif mendorong  tumbuhnya perbankan. Hal ini disebabkan para pelaku ekonomi yang melakukan perjalanan jauh, sangat beresiko jika membawa kepingan-kepingan tunai uang tadi. Sehingga bagi para pedagang yang melakukan perjalanan digunakanlah sistem yang dalam perbankan modern disebut Cek, yang waktu itu dinamakan Shakk. Dengan adanya sistem ini pembiayaan menjadi fleksibel. Artinya uang bisa didepositokan di satu bank di tempat tertentu, kemudian bisa ditarik atau dicairkan lewat cek di bank yang lain. Dan cek hanya bisa dikeluarkn oleh pejabat yang berwenang yaitu bank. Lebih jauh bank pada masa ini kejayaan Islam juga sudah memberikan kredit bagi usaha-usaha perdagangan dan industri. Selain itu bank juga sudah menjalankan fungsi sebagai Currency Exchange (penukaran mata uang).
Kemajuan di bidang ekonomi tentunya berimbas pada kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Puncak kemakmuran rakyat dialami pada masa Harun al-Rasyid (786-809M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang melimpah pada masa ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan di berbagai bidang seperti sosial, pendidikan, kebudayaan, pendidikan, Ilmu Pengetahuan, kesehatan, kesusastraan dan pengadaan fasilitas-fasilitas umum. Pada masa inilah berbagai bidang-bidang tadi mencapai puncak keemasannya.
Kemajuan ekonomi dan kemakmuran rakyat pada masa ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Relatif stabilnya kondisi politik sehingga mendorong iklim yang kondusif bagi aktivitas perekonomian.
2. Tidak adanya ekspansi ke wilayah-wilayah baru sehingga kondisi ini dimanfaatkan oleh masyarakat guna meninggkatkan taraf hidup dan kesejahtraan mereka.
3. Besarnya arus permintaan (demand) untuk kebutuhan-kebutuhan hidup baik yang bersifat primer, sekunder dan tersier, telah mendorong para pelaku ekonomi untuk memperbanyak kuantitas persediaan (supply) barang-barang dan jasa.
4. besarnya arus permintaan (demand) akan barang tersebut disebabkan meningkatnya jumlah penduduk, terutama di wilayah perkotaan yang menjadi basis pertukaran aneka macam komoditas komersial.
5. Luasnya wilayah kekuasaan mendorong perputaran dan pertukaran komoditas menjadi ramai. Terutama wilayah-wilayah bekas jajahan Persia dan Byzantium yang menyimpan potensi ekonomi yang besar.
6. Jalur transfortasi laut serta kemahiran para pelaut muslim dalam ilmu kelautan atau navigasi.
7. Etos kerja ekonomi para khalifah dan pelaku ekomoni dari golongan Arab memang sudah terbukti dalam sejarah sebagai ekonom yang tangguh. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa perdagangan sudah menjadi bagian hidup orang Arab, apalagi kenyataan juga mengatakan bahwa Nabi sendiri juga adalah pedagang.
5. Perkembangan Pemikiran Ekonomi islam
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dapat di bagi dalam tiga fase utama, yaitu :
Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis fuqaha, sufi, teolog, dan filsuf Muslim. Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama).[16][16]  Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun non-Muslim melakukan kajian, penelitian, analisis, dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang pernah ada atau dikaji pada masa itu. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus interpretasi mereka terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa itu.
Berikut beberapa pemikir ekonomi Islam pada fase pertama :
a. Zaid bin Ali
Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah, selama transaksi kredit tersebut di dasari oleh ‘aqd, atau prinsip saling ridho antar kedua belah pihak.[17][17] Laba dari perkreditan adalah murni dari bagian perniagaan dan tidak termasuk riba. Keuntungan yang diperoleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan suatu bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang. Meskipun demikian, penjualan secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga lebih tinggi selalu berkaitan dengan jangka waktu, melainkan menjual secara kredit dapat pula ditetapkan dengan harga rendah, sehingga lebih mempermudah dan menambah kepuasan konsumen.
b. Abu Hanifah
 Abu Hanifah meragukan keabsahan bai’-s-salam, karena transaksi tersebut dapat mengarah pada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan tersebut dengan merinci lebih khusus tentang apa yang harus di ketahui dan dinyatakan dengan jelas dalam akad. Ia menyatakan bahwa komoditi yang dijual harus tersedia dalam pasar selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman yang telah disetujui.
Disamping itu Abu hanifah sangat memperhatikan orang-orang yang lemah. Ia tidak membebaskan wajib zakat pada perhiasan, sebaliknya ia membebaskan zakat bagi para pemilik harta yang terlilit hutang yang tidak sanggup untuk menebusnya. Ia juga tidak memperkenankan muzara’ah dalam kasus tanah yang tidak berpenghasilan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap tanah yang umumnya adalah orang orang yang lemah.
c. Abu Yusuf
Tema pemikiran yang diambil oleh Abu Yusuf lebih ditekankan pada tanggung jawab penguasa. Ia lebih cenderung negara menyetujui jika negara mengambil bagian dari hasil pertanian, dari pada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam hal pajak ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas, yang pada kemuidian hari disebut dengan canons of taxation.  Prinsip-prinsipnya adalah  kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar kepada pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan adalah hal-hal yang ditetapkannya.
Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Ia berargumen bahwa hasil panen yang melimpah bukanlah alasan untuk merendahkan harga komoditi, dan sebaliknya kelangkaan komoditi tidak selalu mengakibatkan harga melambung tinggi. Pendapat ini didasarkannya pada observasi pasar pada saat itu. Namun sesungguhnya ia juga tidak menolak peranan pemerintah dalam penawaran dan penentuan harga.
Fase kedua, fase ini berlangsung dari abad 11- 15 M. Fese kedua ini disebut sebagai fase cemerlang dikarenakan peninggalan warisan intelektual yang sangat kaya Pada masa ini para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana seharusnya umat Islam melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak hanya merujuk pada Al-Quran dan Hadist, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri. Pemikiran tentang ekonomi pada masa ini diawali oleh Al-Ghazali.
Tokoh-tokoh pemikir Ekonomi Islam dalam fase ini antara lain sebagai berikut:
1. Al-Ghazali
Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Seluruh aktivitas sehari-hari termasuk aktivitas dalam bidang ekonomi, harus dilaksanakan sesuai dengan syari’ah Islam.[18][18]  Ghazali bisa menoleransi pengambilan pajak jika pengeluaran untuk pertahanan dan lain sebagainya tidak dapat tercukupi oleh kas pemerintah. Ia juga mengemukakan tentang pelarangan riba, karena hal tersebut melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan alasan uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran. Secara garis besar, ekonomi dapat dikelompokkan menjadi : pertukaran dan evolusi pasar, produksi, barter, evolusi uang serta peranan negara dan keuangan publik.
2. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah membahas masalah perekonomian ditinjau dari segi sosial maupum hukum fiqh. Beliau telah membahas pentingnya persaingan dalam pasar bebas, peranan market supervisor dan lingkup dari negara. Dalam transaksi ia juga mensayaratkan kesepakatan antara semua pihak, kesepakatann ini harus berdasarkan informasai yang akurat dan memadai. Hal ini ditujukan agar transaksi menjadi lebih bermakna. Moralitas yang diperintahkan agama diharuskan tanpa adanya paksaan sedikitpun.[19][19]  Sehingga dengan demikian syari’at bisa berjalan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Negara harus mempraktekkan aturan perekonomian yang Islami hingga para pelaku ekonomi melakukan transaksi-transaksi mereka dengan jujur dan ridho satu sama lain.Negara juga harus mengawasi pasar dari tindakan-tindakan merugikan yang memanfaatkan kelemahan pasar.
3. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun menekankan sistem pasar yang bebas, ia bahkan menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan percaya akan sistem pasar yang bebas. Ia juga membahas pertumbuhan dan penurunan ekonomi dapat saja berbeda antara satu negara dengan negara lain. Perkembangan dan penurunan ekonomi dapat terjadi dengan faktor utama yaitu pemasukan dan pengeluaran negara yang kadang berimbang, dan kadangkala berat sebelah antara keduanya.
Ibnu Khaldun mengungkapkan analisisnya tentang perdagangan internasional dan hubungan internasional, bahwa adanya hubungan antara perbedaan tingkat harga antar negara dengan ketersediaan faktor produksi, sebagaimana dalam teori perdagangan modern. Penduduk merupakan faktor utama pendorong perdagangan dan perekonomian internasional. Jika jumlah penduduk besar maka akan terjadi pemerataan tenaga kerja sesuai dengan keahlian masing-masing, sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya surplus dan perdagangan internasional. Pembagian tenaga kerja internasional akan lebih bergantung pada keahlian masing-masing individu dari pada natural endowment.[20][20]
Emas memiliki nilai dan fungsi yang amat penting dalam perekonomian, sebagaimana ia nyatakan “Tuhan telah menciptakan uang logam mulia, emas, perak, yang dapat digunakan oleh manusia untuk mengukur nilai dari suatu komoditas” . Tetapi Ibnu Kholdun juga memperkenankan mata uang kertas, dengan syarat pemerintah wajib menjaga stabilitas nilainya
Fase ketiga disebut juga stagnasi, Fase  ini dimulai pada tahun 1446 M hingga 1932 M. Salah satu penyebab kemerosotan pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu adalah asumsi yang mengatakan bahwa telah tertutupnya pintu Ijtihad[20]. Namun demikian masih terdapat gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist. Para pemikir yang terkemuka pada fase ini antara lain adalah :
1. Muhammad Iqbal
Pemikirannya tentang ekonomi Islam lebih terfokus pada konsep-konsep umum yang mendasar. Ia menganalisis dengan tajam kelemahan kapitalisme dan komunisme, kemudian ia menampilkan suatu pemikiran yang mengambil “jalan tengah” yang sebenarnya telah dibuka oleh Islam. Muhammdad Iqbal sangat memerhatikan aspek sosial masyarakat, ia menyatakan bahwa keadilan sosial masyarakat adalah tugas besar yang harus di emban suatu negara. Zakat dianggap mempunyai posisi yang stategis untuk mewujudkan keadilan sosial disamping zakat juga merupakan kewajiban dalam Islam.
2. Shah Waliyullah
Menurutnya manusia secara alamiah adalah makhluk sosial, sehingga harus bekerja sama antara satu dengan yang lainnya. Kejasama ini juga berlaku pada bidang perekonomian seperti pertukaran barang dan jasa, mudharabah, musyarakah, kerjasama pengolahan pertanian dan lain-lain. Dia juga melarang hal-hal yang dapat merusak semangat kejasama sebagaimana Islam melarangnya, seperti perjudian dan riba. Ia menekanan perlunya pembagian faktor-faktor alamiyah secara merata, semisal tanah.
Untuk pengelolaan negara diperlukan adanya suatu pemerintahan yang mampu menyediakan sarana pertahanan, membuat hukum serta mempertahankannya, menjamin keadilan, serta menyediakan sarana publik. Untuk memenuhi semua ini negara membutuhkan income, salah satu income negara adalah pajak, namun pajak juga harus memperhatikan pemanfaatan serta kemampuan masyarakat membayarnya.
6. Pemikiran Ekonomi Islam Mazhab Baqir as-Sadr
Cendekiawan yang menjadi pioneer dari mazhab ini adalah Baqir As-Sadr dengan bukunya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) dan Ali Shariati. Menurut pendapat mazhab Baqir As-Sadr bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan islam, keduanya merupakan sesuatu yang berbeda sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu ekonomi sedangkan islam adalah islam, tidak ada yang disebut ekonomi islam. Menurut mereka islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha luas. Sehingga jika manusia bisa memanfaatkannya niscaya tidak akan pernah habis.[21][21]
Jadi, menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam, sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
Ï%©!$# ¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur óOs9ur õÏ­Gtƒ #Ys9ur öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! Ô7ƒÎŽŸ° Îû Å7ù=ßJø9$# t,n=yzur ¨@à2 &äóÓx« ¼çnu£s)sù #\ƒÏø)s? ÇËÈ  
Artinya:
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS Al-Furqan : 2)
Jadi, dalam hal ini konsep kelangkaan (scarcity) tidak bisa diterima karena tidak selaras dengan pesan wahyu yang menjamin kehidupan setiap makhluk di bumi ini.[22][22] Pada sisi lain mazhab Baqir As-Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak tak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang.[23][23] 
Jadi ada kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kekacauan persepsi antara pengertian kebutuhan (need) dan keinginan (want). Jika perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want), maka persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah puas. Dan disinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang karena bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketidakseimbangan baik secara makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari perilaku ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan (want) yaitu semakin rusaknya sistem keseimbangan lingkungan hidup karena sumber-sumber daya ekonomi terkuras habis sekedar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah puas. Penebangan dan pencurian hutan (illegal logging), semakin menipisnya cadangan minyak bumi, menipisnya lapisan ozon, semakin sulitnya mencari sumber air, lunturnya nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dan di masyarakat, dsb. merupakan beberapa gambaran dari adanya ketidakseimbangan ekologi dan sosial yang diakibatkan ulah tangan manusia yang sekedar ingin memuaskan keinginan (want) yang tidak pernah berhenti.
Dalam perspektif ekonomi Islam bahwa perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus disandarkan pada syariah Islam baik dalam aktivitas konsumsi, produksi maupun distribusi.
Moral ekonomi Islam yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan (sustainability) kehidupan dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggung jawab yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang merusak dan merugikan kehidupan masyarakat seperti produksi minuman keras, narkoba, prostitusi, perjudian, bisnis pornografi dan pornoaksi, dsb. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekedar mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah puas.
Selanjutnya bahwa menurut mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat manusia di dunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk termasuk manusia ini bisa didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini begitu melimpah baik yang ada di darat maupun di laut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua individu di dunia dapat hidup secara layak dan manusiawi. Namun fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia dapat menikmati anugerah Allah tersebut, sehingga masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sementara sebagian kecil lainnya bergelimang dalam kemewahan. Menurut mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut maka ada beberapa langkah yang dilakukan yaitu :
a. Mengganti istilah ilmu ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti bahwa selaras, setara dan seimbang (in between).
b. Menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-quran dan Hadist.
Dalam hal itulah mazhab Baqir As-Sadr mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam wacana perkembangan ilmu ekonomi Islam
7. Pemikiran Ekonomi Islam Mazhab Mainstream
Mazhab mainstream memiliki anggapan bahwa perbedaan utama antara ilmu ekonomi konvensional dengan ekonomi islam adalah dalam hal cara mencapai tujuan. Mereka menyetujui tentang pandangan konvensional bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keterbatasan sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas.[24][24] Dengan tetap memberikan pandangan kritis terhadap aspek – aspek normative dalam ilmu ekonomi, mahzab mainstream memfokuskan pada cara mengelola sumber daya yang terbatas dan keinginan manusia yang tidak terbatas.
     Sesuai dengan namanya, maka mazhab mainstream mendominasi khasanah pemikiran ekonomi islam dikarenakan pemikiran mereka lebih moderat serta ide – ide mereka banyak ditampilkan dengan cara – cara ekonomi konvensional sehingga lebih mudah diterima masyarakat. Selain itu kebanyakan tokoh merupakan staf, peneliti, penasehat, atau setidaknya memiliki jaringan erat dengan lembaga – lembaga regional dan internasional yang telah mapan sehingga dapat mensosialisasikan gagasan ekonomi dengan baik.
8. Pemikiran Ekonomi Islam Mazhab Alternatif
      Mahzhab alternative mengajak umat islam untuk bersikap kritis tidak saja pada kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga terhadap ekonomi islam yang saat ini berkembang. Terhadap pemikiran Baqir As sadr mereka mengkritik bahwa langkah mereka justru tidak konstruktif dan esensial, sebab mereka berusaha menemukan sesuatu yang baru yang seringkali sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain, menghancurkan teori lama kemudian membangun teori baru. Demikian pula mazhab mainstream, ia tidak lebih dari pada pemikiran neoklasik dengan beberapa modifikasi, seperti menghilangkan riba, menambahkan zakat serta memperbaiki niat.
      Pemikiran ekonomi islam telah berkembang dengan pesat sejalan dengan upaya untuk implementasinya. Zarqa telah mengklasifikasikan konstribusi pemikiran ekonomi islam yang berkembang saat ini kedalam 4 kategori yaitu :
a. Mereka yang banyak menyumbang pemikiran dalam aspek normative system ekonomi islam, menemukan prinsip-prinsip baru dalam sitem tersebut, atau menjawan pertanyaan – pertanyaan modern mengenai system tersebut.
b. Menemukan asumsi – asumsi dan pernyataan – pernyataan positif dalam Al Qur’an dan As sunnah yang relevan bagi ilmu ekonomi.
c. Terdapatnya pernyataan ekonomi positif yang dibuat oleh para pemikir ekonomi islam.
d. Analisis ekonomi dalam bagian system ekonomi islam dan analisis konsekuensi pernyataan positif ekonomi islam mengenai kehidupan ekonomi.
    Sementara itu mazhab alternative yang dimotori oleh Prof. Timur Kuran memandang pemikiran mazhab Baqir As Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma ekonomi islam yang baru dan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional, tetapi banyak kelemahannya. Sedangkan mazhab mainstream merupakan wajah baru dari pandangan Neo-klasik dengan menghilangkan unsur bunga dan mennambahkan zakat. Selanjutnya mazhab alternative menawarkan suatu konstribusi dengan memberikan analisis kritis tentang ilmu ekonomi bukan hanya pada pandangan kapitalisme dan sosialisme (yang merupakan representrasi wajah ekonomi konvensional) melainkan juga melakukan kritik terhadap perkembangan wacana ekonomi islam.
9. Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Taimiyah ( 661 – 728H / 1263 –1328M)
Menurut Ibnu Taimiyah naik turunnya harga bukan saja dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada faktor-faktor yang lain. Sebab naik turunnya harga di pasar bukan hanya karena adanya ketidakadilan yang disebabkan orang atau pihak tertentu, tetapi juga karena panjang singkatnya masa produksi (khalq) suatu komoditi. Jika produksi naik dan permintaan turun, maka harga di pasar akan naik, sebaliknya jika produksi turun dan permintaan naik, maka harga di pasar akan turun”.[25][25]  Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang~barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilang keuntungan normal mereka.
Teori ini dikenal dengan “price volality” atau turun naiknya harga di pasar. Teori ini jika dikaji lebih mendalam adalah menyangkut hukum permintaan dan penawaran (supply dan demand) di pasar, yang kini justru secara ironi diakui sebagai teori yang bersal dari Barat.[26][26]
Lebih jauh beliau juga memberikan penjelasan mengenai Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI) atau paten. Menurut beliau kepemilikan (property) adalah suatu kekuatan yang diberikan oleh syariah untuk memakai sebuah objek dan kekuatan itu beragam dalam macam dan kadarnya. Seorang dapat membuang / tidak memanfaatkan miliknya selama tidak bertentangan dengan syariah. Beliau membagi subjek kepemilikan menjadi 3 yaitu: individu, masyarakat dan negara. Kepemilikan individu diakui dan didapatkan dari membuka dan memanfaatkan tanah, waris, membeli dan kepemilikan individu individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan masyarakat dan negara . Tujuan yang paling utama dari kepemilikan adalah kegunaannya pada orang lain.[27][27]
10. Pemikiran Ekonomi Islam  Prof. Muhammad Abdul Mannan.
Abdul Mannan merupakan salah satu sosok pemikir ekonomi Islam yang datang di masa kontemporer ini, yaitu salah seorang yang mendapat gelar Master dan Doktornya di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Ia juga salah satu pengajar dan peneliti di universitas-universitas dunia termasuk di Universitas Kiing Abdul Aziz, Jeddah.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya Islamic Economics: Theory and Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam.
Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.[28][28]
11. Pemikiran Ekonomi Islam Umer Chapra Terhadap Ekonomi Islam
Umar Chapra adalah salah seorang ekonom Pakistan yang bekerja sebagai penasehat ekonomi senior pada monetary agency kerajaan Arab Saudi sejak 1965 dan dianugrahi medali kehormatan dari Islamic Development Bank.
Dalam bukunya, Chapra memaparkan kegagalan tiga sistem ekonomi besar (kapitalisme, sosialisme dan Negara kesejahteraan). Beliau mengkaji logika, hakikat dan implikasi dari ketiga sistem tersebut dengan melihat bagaimana sistem tersebut bekerja di Negara Negara yang menganutnya. Kemudian Chapra menunjukan bagaimana konsep ekonomi islam menjawab hal tersebut. Ia menekankan pentingnya filter moral dalam sebuah sistem ekonomi yang dalam islam berpijak pada syariah. Baginya srategi ekonomi yang perlu dikembangkan harus mengandung tiga hal yaitu:
1. mekanisme filter yang secara social disepakati untuk memungkinkan orang membedakan mana penggunaan sumber-sumber daya yang efisien dan yang bukan.
2. sistem motivasi yang mendorong individu menggunakan sumber-sumber daya sesuai dengan kehendak mekanisme filter.
3. restrukturasi sosioekonomi yang akan menegakkan kedua hal tersebut.
Dalam memperkuat sistem ekonomi islam/ syariah, paling tidak terdapat tiga langkah strategis yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin secara bersama-sama, baik para alim ulama dan para tokoh, para pakar, dan masyarakat secara luas, sebagai realisasi dari hasil Kongres Umat Islam tersebut, yaitu pengembangan ilmu ekonomi syariah, pengembangan sistem ekonomi syariah dalam bentuk regulasi dan peraturan, serta pengembangan ekonomi umat.
Pertama, pengembangan ilmu ekonomi syariah dapat dilakukan melalui dunia pendidikan formal maupun non formal,
Kedua, ditumbuhkembangkan regulasi-regulasi yang mendukung penguatan ekonomi syariah dalam praktik, baik melalui institusi keuangan maupun melalui kegiatan bisnis dan usaha riil.
Ketiga, ketika ekonomi syariah dikembangkan dan didukung oleh sebuah sistem yang baik, maka yang paling penting adalah membangun perekonomian umat secara nyata, sehingga bisa dirasakan secara lebih luas oleh masyarakat dalam bentuk pengembangan sektor riil dengan ditopang oleh lembaga keuangan yang berbasis syariah. Sehingga pada akhirnya diharapkan produktivitas dan kegiatan ekonomi masyarakat akan lebih meningkat.
D. PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran ekonomi islam adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi.
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam dapat di bagi dalam tiga fase utama, yaitu :
1. Fase Pertama/ Fondasi (masa awal Islam)
Fase pertama ini merupakan fase dari abad ke-5 hingga abad ke-11 masehi. Fase ini juga di kenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam, banyak sarjana muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yag autentik.
2. Fase kedua
Fase ini dimulai pada abad ke-11 sampai ke-15 M. Fese kedua ini disebut sebagai fase cemerlang dikarenakan peninggalan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekia di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist.
3. Fase Ketiga
Fase ketiga dari sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah fase kemerosotan. Fase ketiga ini dimulai pada tahun 1446 M hingga 1932 M. Salah satu penyebab kemerosotan pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu adalah asumsi yang mengatakan bahwa telah tertutupnya pintu Ijtihad. Namun demikian masih terdapat gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist.
Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai sejarah pemikiran tentang ekonomi islam.










E. DAFTAR  KEPUSTAKAAN
Abdullah, Boedi. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka                        Setia. 2010.
Baqr As Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna. Jakarta: Ziyad. 2008.
Chamid, Nur. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta:                   . Pustaka Pelajar. 2010
Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo                          Persada. 1995.
Hoetoro, Arif. missing link dalam sejarah pemikiran ekonomi. Unibraw: BPFE.                 2007.
http://www. Acehforum.or.id/ibnu-chaldun-bapak-t11987. Html

Ibnu njaim, Al-Asbah wa Al Nazhair. Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiah. 1980.
Karim, Adiwarman, Azwar,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:                            Rajawali Press. 2006.
Karim, Adiwarman, Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : PT.                      RajaGrafindo Persada. 2006.
M. Rida, Abu Bakar Assh-Shiddiq Awalu Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Beirut:                           Dar Al-fikr. 1983.
Nuruddin, Amir. Studi tentang Perubahan Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press. 1991.









[1][1] Arif Hoetoro, missing link dalam sejarah pemikiran ekonomi, (Unibraw: BPFE, 2007), hal. 39

[2][2] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 15

[3][3] Ibid,. 144
[4][4] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Kediri: Pustaka Pelajar, 2010), Cet.1, hal. 17-23

[5][5] Ibid,.. hal. 25
[6][6] M. Rida, Abu Bakar Assh-Shiddiq Awalu Al-Khulafa Ar-Rasyidin, (Beirut: Dar Al-fikr,1983), hal, 7.


[7][7] Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (.Jakarta : Raja Grafindo,2006), hlm 23-24


[8][8] Amir Nuruddin,  Studi tentang Perubahan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 136

[9][9] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 11-23

[10][10] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada ,2006) ed  3, hal. 85

[11][11] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran...... ..hal 78
[12][12] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh A-isamiah, (Beirut: A-matabah At-tijari), hal,. 360
[13][13] Maurice Lombard, The Golden Age of Islam (New York : American Elsevier, 1975), hal 182.
[14][14] Ibid., hlm. 184
[15][15] Lombard, The Golden…, hlm. 195-203
[16][16] P3EI dan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Raja grafindo Persada,  2008), Hal,. 105
[17][17] Adiwarman, Azwar Karim, Sejarah pemikiran.....,. hal 12
[18][18] Al-ghazali, Ihya Ulum Ad-din, (Beirut: Dar An nadwah),  juz 2,. Hal,. 109

[19][19] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran.....hal,. 353
[20][20] http://www. Acehforum.or.id/ibnu-chaldun-bapak-t11987. html
[21][21] Baqr As Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna, ( Jakarta: Ziyad, 2008), hal 286

[22][22] Ibid,.hal. 287
[23][23] Adiwarman Azwar karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta: Rajawali Press, 2006), hal,. 54-55

[24][24] Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, ( Bandung: Alfabeta, 2010 ), hlm.21


[25][25] Ibid,.  hlm. 351
[26][26] Ibnu njaim, Al-Asbah wa Al Nazhair, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiah, 1980), hal,. 363-364
[27][27] Nur Chamid,  Jejak Langkah Sejarah ....  hal. 230.
[28][28] Hulwati, Ekonomi Islam, ( Jakarta: Ciputat Press Group, 2009), hlm.1-3

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Sponsor

Close Button
CLOSE ADS
CLOSE ADS