A. Pengertian Makelar Atau Agen
Dalam kamus Bahasa Indonesia, makelar didefinisikan sebagai perantara pada jual beli.[1] Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan Simsar. Dan kerja makelar disebut simsarah, ialah perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[2] Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau “simsarah”. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual beli.[3]
Dalam aktifitas seorang makelar tidak
terikat dengan suatu barang,
seperti
yang kita ketahui sekarang yaitu sebutan dengan mekelar tanah. Orang yang
menjadi perantara antara pemilik tanah dengan calon pembeli. Namun terkadang
istilah makelar hanya tertuju pada hal-hal yag berbau tanah saja atau tertuju
padanya. Tetapi semua kegiatan dan aktifitas ekonomi yang menghubungkan antara
penjual dengan pembeli, maka ia disebut dengan makelar. Pada zaman modern
ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi,sudah bergeser kepada jasa
pengacara, jasa
konsultan, tidak
hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja,
dan tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja.
Dalam transaksi bisnis sekarang lebih
terasa dibutuhkan, dibanding pada masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan
karena rumitnya transaksi bisnis saat ini, seperti contoh dalam bisnis eksport,
import, bisnis grosir hingga bisnis retail, semua itu menjadikan makelar
(broker) sangat penting dalam memainkan peranan kegiatan ekonomi.
1.
Orang Kota Tidak Membeli untuk Orang Dusun dengan Sistem Makelar
Ibnu Sirin dan Ibrahim tidak menyukai hal ini bagi penjual dan
pembeli. Ibrahim berkata, ‘’Sesungguhnya orang Arab biasa mengatakan, ‘ Juallah
pakaian untukku’ , maksudnya adalah membeli.’’
Dari Sa’id bin Al Musayyab
bahsawanya dia mendengar Abu Hurairah RA berkata,” Rasulullah SAW bersabda, “
Janganlah seseorang membeli apa yang sedang dibeli oleh saudaranya, dan jangan
kalian melakukan najasy, dan janganlah orang kota melakukan jual beli untuk
orang dusun.’’
Dari Muhammad, Anas bin
Malik RA berkata,” Kami dilarang bila orang kota melakukan jual-beli untuk
orang dusun.”
Keterangan Hadits :
(Bab orang kota tidak membeli untuk orang dusun dengan sistim
makelar), yakni dianalogikan kepada hukum orang kota menjual kepada orang
dusun. Atau, menggunakan lafazh bai’ dalam makna menjual dan membeli. Ibnu
Hubaib Al Maliki berkata,’’ Membeli untuk orang dusun sama dengan menjual
untuknya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
(Janganlah sebagian kalian membeli apa yang sedang dibeli oleh
orang lain). Pada lafazh ini digunakan lafazh bai’ (menjual), tetapi maksudnya
adalah syira’ (membeli). Sedangkan dari Imam Malik mengenai hal itu terdapat
dua riwayat.’’
(Ibnu Sirin dan Ibrahim tidak menyukai hal itu bagi penjual dan
pembeli). Adapun perkataan Ibnu Sirin telah diriwayatkan melalui sanad yang
maushul oleh Abu Awanah dalam kitab
Shahih-nya melalui jalur salamah bin alqamah dari Ibnu Sirin, dia berkata,’’Aku
bertemu Anas bin Malik, maka aku berkata, ‘ Orang kota tidak melakukan
jual-beli untuk orang dusun, apakah kalian dilarang untuk menjual untuknya atau
membeli untuknya ?’ Dia berkata, “Benar” Muhammad berkata,’’ Dia benar,
sesungguhnya ia adalah kalimat yang ringkas dan padat.’’
Abu Daud meriwayatkan
melalui jalur Abu Bilal dari Ibnu Sirin, dari Anas dengan lafazh,
(Biasanya dikatakan bahwa oranag kota tidak boleh melakukan jual
beli untuk orang dusun, dan itu adalah kalimat yang mencakup makna tidak
menjual untuknya dan tidak pula membeli untuknya). Adapun Ibrahim yang
disebutkan di atas pula membeli untuknya). Adapun Ibrahim yang disebutkan di
atas adalah Ibrahim An-Nakha’i dan saya tidak menemukan pernyataan demikia
darinya secara tegas.
(Ibrahim
berkata,” Sesungguhnya orang arab biasa mengatakan ‘Juallah pakaian untukku,’
dan maksudnya adalah membeli.”). Perkataan ini diucapkan Ibrahim dalam rangka
mengemukakan dalil bagi pendapat yang dipilihnya, yaitu persamaan tentang
makruhnya hukum menjual dan membeli. Kemudian Imam Bukhari menyebutkan dua
hadits pada bab ini, salah satunya adalah hadits Abu Hurairah RA.
(kami
dilarang apabila orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun). Imam Muslim
dan An-Nasa’i menambahkan melalui jalur Yunus bin Ubaid dari Muhammad bin
Sirin, dari anas,
(Meskipun orang dusun itu adalah saudara atau bapaknya). Abu daud
dan An-Nasa’i meriwayatkan melalui jalur lain dari Yunus bin Ubaid, dari Al
hasan, dari Anas bahwa Nabi SAW... beliau menyebutkan selengkapnya. Berdasarkan
riwayat ini diketahui bahwa orang yang melarang dan tidak diketahui secara
jelas pada riwayat pertama Nabi SAW. Hal ini memperkuat pandangan yang benar
bahwa perkataan seorang sahabat “Kami dilarang melakukan hal ini” memiliki
hukum marfu’ (langsung
dari Nabi SAW). Perkataaan tersebut memili kedudukan yang sama dengan perkataan
“ Nabi SAW bersabda”.[4]
2. Hadist Tentang Larangan Mencegat Barang di Jalan
Dari Ibnu Umar :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang mencegat barang dagangan
sebelum sampai di pasar. Demikian menurut lafazh Ibnu Numair, sedangkan
(menurut lafazh) dua orang lainnya, bahwa Nabi melarang mencegat (dagangan).”
Dari Abdullah (bin Umar) :
“Nabi SAW. sesungguhnya beliau melarang mencegat barang-barang
dagangan.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Rasulullah SAW melarang seseorang mencegat barang dagangan.”
Dari Ibnu Sirin, ia berkata:
Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya Rasulullah
bersabda :
“Janganlah kalian mencegat barang dagangan. Barangsiapa yang
mencegatnya lalu membelinya, kemudian si pemilik barang dagangan tersebut
sampai di pasar, maka ia (pemilik barang) boleh melakukan khiyar (antara
melangsungkan atau membatalkan jual beli yang telah dilakukannya dengan si
pencegat tadi, jika ternyata ia mengetahui harga barang yang semestinya,
pent).”[5]
3. Ensiklopedi Tematis al-Qur’an dan Hadits
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas ra. Berkata:
Rasulullah SAW bersabda:
”Janganlah kamu menghadang di tengah perjalanan orang-orang yang
membawa dagangan (untuk memebeli dagangannya), dan orang kota jangan menjual
kepada orang desa.”
Aku (Thawus) bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah maksud sabda
beliau: Orang kota dilarang menjual kepada orang desa.”
Ibnu Abbas menjawab:
“Janganlah orang kota menjadi makelar (perantara) baginya (calo).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kandungan hadits:
1.
Haram mencegat pemasok makanan pokok dijalan secara mutlak, baik
mereka berkenderaan, berjalanan kaki, berkelompok atau sendirian sebelum
mencapai pasar daerah setempat.
2.
Sah jual beli dengan cara diatas, sebab larangan tersebut tidak
mengarah kepada transaksi maupun suatu kriteria, sehingga tidak mnyebabkan
tidak sah.
3.
Penduduk kampung tidak boleh menjadi makelar bagi para pemasok,
baik hal itu dengan upah atau sukarela menurut pendapat yang lebih jelas demi
menjaga kepentingan umum.
4.
Penduduk kampung boleh menjual kepada penduduk hutan jika penduduk
hutan menawar kepada orang kampung. Demikian pendapat sebagian ulama.
5.
Hadis ini muhkam dan tidak di naskh, sebab tidak diketahui mana
yang mutakhir. Salah ucapan sebagian orang: “sahnya jualbeli orang kampung
kepada penduduk hutan secara mutlak di naskh. Dasarnya adalah hadist ini di
naskh dengan hadist nasehat. “ sebab hadist nasehat hanya berlaku untuk orang
yang meminta nasehat.
6.
Islam sangat ingin menjaga harta benda umat dan melindungi hak
mereka.
Dari
Abu Hurairah r.a., ia berkata:
Rasulullah
SAW. bersabda:
“Janganlah menghadang barang dagangan yang di bawa dari luar kota.
Barang siapa dihadang kemudian sebagian barangnya di beli daripadanya, kemudian
pemiliknya datang ke pasar, maka ia (pemilik) berhak khiyar (memilih antara
membatalkan atau tidak.”
(HR.
Muslim)
Kandungan
hadits:
1.
Haram mencegat pemasok bahan makanan.
2.
Pemasok bahan makanan boleh menggagalkan atau tidak atas transaksi
ketika ia sampai di pasar, meskipun pencegat membeli dengan harga pasar.[6]
Hadist – Hadist
Muttafaq ‘Alaih
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik r.a., dia telah berkata:
“Kami dilarang
menjual barang dagangan kepada orang kota untuk dijualkan kepada orang kampung,
sekalipun orang itu saudara atau ayahnya.”[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
kamus Bahasa Indonesia, makelar
didefinisikan sebagai perantara pada jual beli.[8]
Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan Simsar. Dan kerja makelar disebut
simsarah, ialah
perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang mencarikan pembeli.
Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[9] Makelar dalam
kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau “simsarah”.
Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang menjadi perantara antara
pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual beli.
Dalam transaksi bisnis sekarang lebih
terasa dibutuhkan, dibanding pada masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan
karena rumitnya transaksi bisnis saat ini, seperti contoh dalam bisnis eksport,
import, bisnis grosir hingga bisnis retail, semua itu menjadikan makelar
(broker) sangat penting dalam memainkan peranan kegiatan ekonomi.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat memberi kita dorongan atau motivasi agar
lebih memahami dan menerapkan perintah Allah SWT. kepada kita untuk berzakat.
Penulis sangat sadar akan ketidak sempurnaan pada makalah ini. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang positif agar dapat
membangun keadaan pada makalah-makalah selanjutnya. Dan penulis mengucapkan
beribu Terima Kasih atas perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, Jombang:
Lintas Media,1999
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Rajawali Press,2003
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12,Bandung: Alma’arif,1993
Fathul Baari,
Abdul Baqi, Fuad, Muhammad, Shahih Muslim Jilid 3, Jakarta:
Pustaka as-Sunnah, 2010
Yusuf, Muhammad, Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits, Jakarta:
Widya Cahaja, 2009
Muhad, Ahmad dan Rodli, Ahmad, Hadits-Hadits Muttafaq ‘Alaih,
Jakarta: Kencana, 2004
Hassan, A., Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro,
1987
[1]Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas
Media,1999), hal.200
[2]Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press,2003), hal.131
[4] Fathul Baari, hlm. 272
[6] Yusuf, Muhammad, Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:
Widya Cahaja, 2009) hlm. 28
[8]Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas
Media,1999), hal.200
[9]Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press,2003), hal.131
Tags:
MAKALAH