A. Pengertian Studi Sejarah Islam
Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengatakan sejarah adalah kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi. Definisi tersebut terlihat menekankan
kepada materi peristiwanya tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Sedangkan
dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu peristiwa sejarah perlu juga dilihat
siapa yang melakukan peristiwa tersebut, di mana, kapan, dan mengapa peristiwa
tersebut terjadi. Dengan kata lain, di dalam sejarah terdapat objek
peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya
(where), dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya,
disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu
bagian dengan bagian yang lainnya.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Selanjutnya, karena agama Islam itu luas cakupannya, sejarah Islam pun menjadi luas pula cakupannya. Di antara cakupannya itu ada yang berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik pemerintahan, peperangan, pendidikan dan ekonomi. Penelitian yang berkenaan dengan berbagai aspek yang terdapat dalam sejarah Islam tersebut telah banyak dilakukan baik oleh kalangan umat Islam sendiri, maupun para sarjana dari Barat.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah berbagai peristiwa
atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini, maka muncullah
berbagai istilah yang sering digunakan untuk sejarah ini, diantaranya Sejarah
Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam.
B. Sejarah Pra-Islam
Kondisi sosiokultural
masyrakat Arab pra-Islam, terutama pada masyarakat Makkah dan Madinah sangat
memengaruhi pola pendidikan periode Rasulullah di Makkah dan Madinah. Secara
kuantitas orang-orang yang masuk Islam pada fase Makkah lebih sedikit daripada
orang-orang yang masuk Islam pada fase Madinah. Hal tersebut di antaranya
disebabkan oleh watak dan budaya nenek moyang mereka sedangkan masyarakat
Madinah lebih mudah dimasuki ajaran Islam karena saat kondisi masyarakat,
khususnya Aus dan Khazraj, sangat membutuhkan seorang pemimpin untuk melenturkan
pertikaian sesama mereka dan sebagai “pelindung” dari ancaman kaum Yahudi, di
samping sifat penduduknya yang lebih ramah yang diatarbelakangi kondisi
geografis yang lebih nyaman dan subur.
Kondisi sosial kemasyarakatan
di kalangan bangsa Arab, terdapat beberapa kelas masyarakat, berbeda antara
satu dengan lainnya. Bangsa Arab sangat mendewakan tuan dan menghina budak.
Bahkan tuan berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, dan hamba diwajibkan
membayar dendan dan pajak, budak laksana ladang bercocok tanah menghasilkan
banyak kekayaan. Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak
hak yang hilang dan terabaikan. Para budak tidak bisa melakukan perlawanan
sedikit pun, banyak di antara mereka yang merasa kelaparan, penderitaan, dan
kesulitan yang tidak jarang merenggut nyawanya, dengan sia-sia. Kondisi ekonomi
mengikuti kondisi sosial, yang bisa dilihat dari jalan kehidupan bangsa Arab. Perdagangan
merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Jalur-jallur perdagangan tidak bisa dikuasai begitu saja kecuali jika sanggup
memegang kendali keamanan dan perdamaian. Sementara kondisi yang aman seperti
ini tidak terwujud di jazirah Arab kecuali bulan-bulan suci. Pada saat itulah
dibuka pasar-pasar Arab yang terkenal, seperti Ukadz, Dzil-Majaz, Madinah, dan
lain-lainnya. Mereka tidak menguasai perindustrian dan kerajinan.
Kebanyakan hasil kerajinan
yang ada di Arab, seperti jahit menjahit, menyamak kulit dan lain-lainnya
berasal dari rakyat Yaman, Hijrah, dan pinggiran Syam. Sekalipun begitu di
tengah jazirah ada pertanian dan pengembalaan hewan ternak. Sedangkan
wanita-wanita Arab cukup dengan pemintalan. Tetapi, kekayaan-kekayaan yang
dimiliki bisa mengandung pecahnya peperangan. Kemiskinan, kelaparan dan
orang-orang yang telanjang merupakan pemandangan yang biasa di tengah
masyarakat. Kondisi kehidupan beragam snagat ironis sekali. Orang-orang musyrik
orang khufarat tumbuh subur berimbas kepada kehidupan sosial politik dan agama.
Orang-oramg yahudi berubah menjadi orang-orang yang angkuh, sombong.
Pimpinan-pimpinan mereka menjadi sesembahan selain Allah. Sedangkan agama
Nasrani berubah menjadi agama peganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan
pencampuradukan antara Allah dan manusia. Dari segi akhlak, mereka adalah orang-orang
yang berlomba-lomba dan membanggakan diri dalam masalah kedermawaan dan
kemurahan hati, orang yang menepati janji, kemuliaan jiwa dan keengganan
menerima kehinaan dan kedzaliman, pantang mundur, kelemahan lembutan atau
menolong orang lain, kesederhanaan pola kehidupan badui.
C. Periode Pengembangan
Pengembangan ajaran Islam
sulit dilakukan di Makkah, maka Nabi, atas perintah Allah, berangkat ke Madinah
dan di sanalah ia melakukan pengembangan ajaran mulia ini yang meliputi
berbagai aspek. Pembentukan dan pentingnya pengembangan pendidikan dapat
dilihat dalam surat At-Taubah ayat 122 :
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Pada sisi lain dapat dilihat
pula corak perbedaan pendidikan dan materinya yang didapati di Makkah dengan
materi pendidikan yang berlangsung di Madinah. Perbedaan ini diuraikan sebagai
berikut:
a. Pelaksanaan pendidikan di Makkah
Allah Maha Bijaksana, sebagai
calon panutan umat manusia, Muhammad ibn Abdullah sejak “awal sekali” telah disiapkan
Allah, dengan menjaganya dari sikap-sikap jahiliah. Dengan akhlaknya yang
terpuji, syarat dengan nilai-nilai humanisme dan spiritualisme di tengah-tengah
umat yang hampir saja tidak berperikemanusiaan, Muhammad ibn Abdullah, masih
sempat mendapat gelar penghargaan tertinggi, yaitu Al-Amiin. Ibn Abdullah,
seseorang yang teguh mempertahankan tradisi Nabi Ibrahim, tabah dalam mencari
kebenaran hakiki, menjatuhkan diri dari keramaian dan sikap hedoisme dengan
berkontemplasi (bertahannust) di gua hira. Pada tanggal 17 Ramadhan turunlah
wahyu Allah yang pertama, surat Al-Alaq ayat 1-5 sebagai fase pendidikan Islam
Makkah.
Muhammad adalah orang yang
sudah mendapat pembentukan kepribadiannya dari Allah sejak ia belum menjadi
Rasul. Walaupun ia hidup di tengah-tengah penyembahan berhala, tapi ia sendiri
dan sebahagian orang lain juga, tidak pernah menyembah berhala, ia tidak minum
arak, tidak berjudi dan perbuatan keji lainnya. Ia sangat terkenal sebagai
orang yang jujur, terpercaya, berkata benar, santun dan lemah lembut. Ia
terkenal sangat adil dalam mengambil keputusan dan bijak dalam menyelesaikan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di
tengah-tengah kaumnya.
Ketika Muhammad dewasa ia
mulai bertahannuts (merenung) baik di
rumahnya ataupun ia pergi ke gua Hira’ pada bulan-bulan tertentu seperti di
bulan Ramadhan. Tradisi ini memang merupakan tradisi dari sisa-sisa agama
Ibrahim. Merenung, berfikir di tempat yang sunyi sambil berdoa dengan
mengharapkan agar dilimpahkan sesuatu oleh Allah kepadanya.
Pola pendidikan yang dilakukan
oleh Rasulullah sejalan dengan tahapan-tahapan dakwah yang disampaikannya
kepada kaum Quraisy. Dalam hal ini ada tiga tahapan, yaitu:
Tahap Pendidikan Islam Secara Rahasia
dan Perorangan
Pada awal turunnya wahyu
pertama (the first revelation)
Al-Quran surat 96 ayat 5, pola pendidikan yang dilakukan adalah secara
sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi sosial-politik yang belum stabil, dimulai
dari dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik
istrinya, Khadijah untuk beriman kepada dan menerima petunjuk dari Allah,
kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali Ibn Abi Thalib (anak pamannya) dan
Zaid bin Haritsah (Seorang pembantu rumah tangganya yang kemudian diangkat
menjadi anak angkatnya). Kemudian sahabat karibnya Abu Bakar Siddiq secara
berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan secara meluas, tetapi masih
terbatas di kalangan keluarga dekat dari suku Quraisy saja, seperti Usman bin
Affan, Zubair ibn Awan, Sa’ad ibn Abi Waqas, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn
Ubaidillah, Abu Ubaidillah ibn Jahrah, Arqam ibn Arqam, Fatimah binti Khatab,
Said ibn Zaid, dan beberapa orang lainnya, mereka semua tahap awal ini disebut Assabiquna al aqqalun, artinya
orang-orang yang mula-mula masuk Islam. Sebagai lembaga pendidikan dan pusat
kegiatan pendidikan Islam yang pertama pada era awal ini adalah rumah Arqam ibn
Arqam.
Tahap Pendidikan Islam Secara
Terang-terangan
Pendidikan secara
sembunyi-sembunyi berlangsung selama tiga tahun, sampai turun waktu berikutnya,
yang memerintahkan dakwah secara terbuka dan terang-terangan. Ketika wahyu
tersebut turun, beliau mengundang keluarga dekatnya untuk berkumpul dibukit
shafa, menyerukan agar berhati-hati terhadap azab yang keras di kemudian hari
(hari kiamat) bagi orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan Yang
Maha Esa dan Muhammad sebagai utusannya. Seruan tersebut dijawab Abu Lahab, Celakalah kamu Muhammad! Untuk inikah kami
mengumpulkan kamu? Saat itu turun wahyu menjelaskan perihal Abu Lahab dan
istrinya.
Perintah dakwah secara
terang-terangan dilakukan oleh Rasulullah, seiring dengan jumlah sahabat yang
semakin banyak dan utnuk meningkatkan jangkauan seruan dakwah, karena diyakini
dengan dakwah tersebut banyak kaum Quraisy yang akan masuk agama Islam. Di
samping itu, keberadaan rumah Arqam ibn Arqam sebagai pusat dan lembaga
pendidikan Islam sudah diketahui oleh kuffar Quraisy.
Tahap Pendidikan Islam untuk Umum
Hasil seruan dakwah secara
terang-terangan yang terfokus kepada keluarga dekat, kelihatannya belum
maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka, Rasulullah mengubah strategi
dakwahnya dari seruan yang terfokus kepada keluarga dekat beralih kepada seruan
umum, umat manusia secara keseluruhan. Seruan dalam skala “internasional”
tersebut didasarkan kepada perintah Allah, surat Al-Hijr ayat 94-95. Sebagai
tindak lanjut dari perintah tersebut, pada musim haji Rasulullah mendatangi
kemah-kemah para jamaah haji. Pada awalnya tidak banyak yang menerima, kecuali
sekelompok jamaah haji dari Yastrib, kabilah Khazraj yang menerima dakwah
secara antusias. Dari sinilah sinar islam memancar ke luar Makkah.
Penerimaan masyarakat Yastrib
terhadap ajaran Islam secara antusias tersebut dikarenakan beberapa faktor: (1)
Adanya kabar dari kaum Yahudi akan lahirnya seorang Rasul; (2) Suku Aus dan
Khazraj mendapat tekanan dan ancaman dari kelompok yahudi; (3) Konflik antara
Khazraj dan Aus yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang sudah lama, oleh
karena itu mereka mengharapkan seorang pemimpin yang mampu melindungi dan
mendamaikan mereka.
Berikutnya, di musim haji pada
tahun kedua belas kerasulan Muhammad SAW Rasulullah didatangi dua belas orang
laki-laki dan seorang wanita utuk berikrar kesetiaan, yang dikenal dengan “Bai’ah al-Aqabah I” mereka berjanji
tidak akan menyembah selain kepada Allah SWT, tidak akan mencuri dan berzina,
tidak akan membunuh anak-anak dan menjauhkan perbuatan-perbuatan keji serta
fitnah, selalu taat kepada Rasulullah dalam yang benar, dan tidak
mendurhakainya terhadap sesuatu yang mereka tidak inginkan.
Berkat semangat yang tinggi
yang dimiliki para sahabat dalam mendakwahkan ajaran Islam, sehingga seluruh
penduduk Yastrib masuk Islam kecuali orang-orang Yahudi. Musim haji berikutnya
73 orang jamaah haji dari Yastrib mendatangi Rasulullah SAW dan menetapkan
keimanan kepada Allah dan Rasulnya di tempat yang sama dengan pelaksanaan “Bai’ah al-Aqabah I” tahun lalu, yang
dikenal dengan “Bai’ah al-Aqabah II”
dan mereka bersepakat akan memboyong Rasulullah ke Yastrib.
Muhammad setelah menjadi Rasul
mengemban tugas untuk memperbaiki ummat dalam semua aspek, demikianlah tugas
setiap rasul. Aspek-aspek yang diperbaiki ketika ia berada di Makkah meliputi:
1) Pendidikan Aqidah
Ayat yang pertama turun jelas
sekali menyatakan agar Muhammad membaca dengan nama Tuhannya Yang Mencipta.
Tuhan di sini bukanlah patung ataupun benda-benda mati lainnya. Ayat yang kedua
juga didapati kata-kata “NEB” yang bermakna “Tuhanmu”. Demikian juga ayat-ayat
yang lain yang turun di Makkah lebih banyak menyatakan tentang ketuhanan,
keagamaan dan hari akhirat. Dengan kata lain ayat-ayat di Makkah lebih
menekankan pada pemantapan aqidah.
Intisari ajaran aqidah yang
dimantapkan di Makkah adalah menyangkut dengan kekuasaan Allah sebagai
Pencipta, Pemberi nikmat, tempat meminta segala bantuan dan pertolongan,
Pemberi petunjuk pada jalan yang benar dan Raja Yang Maha Adil dan Maha Perkasa
di hari kiamat.
Menyangkut dengan cara Nabi
mendidik ummat terhadap aqidah ini adalah dengan memberi kesadaran yang tinggi
dan mengajak berfikir yang jernih untuk menemukan realita pada segala sesuatu
sebagaimana adanya. Patung dan berhala yang dipahat oleh manusia jelas tidak
dapat memberi manfaat dan mudarat apa-apa bagi manusia. Tukang tenung dan ahli
firasat bukanlah orang-orang yang terpercaya yang dapat terjamin kebenaran
ramalan ataupun ucapan mereka. Memang telah menjadi tradisi orang Arab pada
masa itu setelah mempercayai berhala dan patung, mereka sangat meyakini pada
ucapan tukang tenung dan ramalan ahli firasat. Sebagian suku Arab yang hidup di
daerah Selatan percaya pada tukang tenung yang jika dikatakan bahwa anak
perempuan seseorang akan membawa aib bagi keluarga, maka anak itu pasti
dikuburkan hidup-hidup oleh orangtuannya. Praktik demikian mengingkari kekuasaan
Allah dan sangat dibantah oleh Al-Quran sebagaimana dinyatakan dalam surat
At-Takwir ayat 8 dan 9:
Artinya: Dan apabila bayi-bayi perempuan
yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh.
2) Pengajaran Al-Quran
Setiap wahyu yang diterima
Nabi dibacakan di hadapan sahabat-sahabatnya dan mereka menghafalnya tanpa
tertinggal satu hurufpun daripadanya. Bagi orang yang ummi (buta huruf),
menghafal adalah perkara yang lebih mudah bagi mereka karena mereka tidak dapat
menyalin untuk disimpan kapan-kapan diperlukan. Memang ketika itu, ada sejumlah
orang yang pandai menulis dan membaca, tapi jumlah mereka sangat sedikit.
Zuhairini dengan mengutip pernyataan Mahmud Yunus menyebutkan nama-nama mereka
adalah: Umar bin Al-Khatab, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah, Yazid
bin Abu Sufyan, Abu Hudzaifah bin Utbah, Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan dari kalangan wanita dikenal nama-nama Hafsah binti Umar bin
Al-Khatab, Ummi Kultsum binti Uqbah, Aisyah binti Sa’ad, Al-Syifak binti
Abdillah Al-Adawiyah dan Karimah binti Miqdad. Dengan demikian dipahami bahwa
cara sahabat memelihara Al-Quran sebagai Kitab pedoman hidup mereka adalah
dengan menghafalnya dan sebagian mereka menulis agar terpelihara dengan baik bagi
generasi kemudian.
Dalam periode Makkah Nabi
Muhammad menggunakan rumah Al-Arqam untuk mengajar hafalan Al-Quran serta
bacaan yang benar dan menjelaskan isi kandungan ayat-ayat yang dibaca tersebut.
Para sahabat berkumpul di sana untuk mengulang-ulangi dan mengkaji lagi
maksud-maksud kandungan isi Al-Quran. Sebagaimana yang telah masyhur
dicantumkan dalam sejarah Islam, Umar menyatakan keislamannya di hadapan Nabi
di rumah Al-Arqam ini. Di sini ia menekuni ajaran ini dan dia mengajak Nabi
serta semua pengikutnya supaya ajaran Islam disampaikan secara terang-terangan
di hadapan khalayak ramai. Ia menunjukkan kebenaran ajaran Islam dengan
membentuk dua barisan lalu melakukan pawai sambil bertakbir di Kota Makkah dan
sekaligus dia bersama dengan Hamzah adalah orang yang berjalan di hadapan dalam
barisan tersebut.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah
pelajaran agama diajarkan di masjid-masjid dan Kuttab (tempat anak-anak belajar
menulis dan membaca). Ada riwayat yang menyatakan bahwa Kuttab sudah terlebih
dahulu ada waktu itu atau sejak zaman Jahiliyah.
Al-Quran sebagai pegangan
utama ajaran Islam tidak boleh berubah sedikitpun, maka Nabi sering
mengulang-ulangannya di hadapan sahabat-sahabatnya dan menyuruh mereka
menghafal di hadapannya sehingga semua mereka menghafalnya secara beragam tanpa
berubah katanya, kecuali sedikit saja dalam dialek bacaan.
Suatu hal yang perlu diketahui
bahwa bangsa Arab waktu itu, bahasa mereka terpecah-pecah dalam berbagai
dialek. Dalam hal ini Nabi membenarkan untuk membaca Al-Quran menurut dialek
mereka masing-masing. Maka sampai sekarang dikenal berbagai macam qira’at
berkembang di tengah-tengah kaum muslimin.
3) Pendidikan Akhlak
Ini merupakan tujuan utama
daripada diturunkan agama bagi manusia sebagaimana Rasul sendiri menyatakannya:
Artinya: Hanya sanya saya diutuskan untuk menyempurnakan budi pekerti yang
mulia.
Bangsa Arab pada saat itu
memiliki corak hidup yang saling bermusuhan antara kabilah-kabilah. Mereka
saling bertikai antara satu kabilah dengan kabilah lain bahkan antara satu
‘asyirah yang lain. Mereka terdiri dari suku-suku yang suka berperang, minum
minuman keras, merampok kafilah-kafilah pedagang dan perbuatan-perbuatan buruk
lainnya. Dalam masalah ikatan perkawinan sebagian besar mereka sangat
menghormati corak perkawinan yang bermoral dan benar sebagaimana lazimnya pada
masa kita sekarang, tapi ada sebgaian mereka melakukan perkawinan dengan
cara-cara yang tidak bermoral. Misalnya di tengah-tengah bangsa Arab Jahiliyah
berkembang nikah Syighar (ganti).
Corak pernikahan ini seseorang tidak perlu membayar mahar karena ia melakukan
ganti dengan adiknya. Caranya adalah, misalnya si A ingin mengawini adik si B
maka sebagai ganti mahar si B langsung mengawinkan adiknya kepada si A tanpa
membayar apa-apa, karena adiknya telah dikawini olehnya. Bentuk perkawinan yang
lain, misalnya ada wanita yang rela menerima laki-laki yang datang ke rumahnya
dengan cara memberi isyarat tertentu di pintu rumah. Setelah melahirkan anak,
ia memanggil pria-pria yang pernah datang menggaulinya dan ia menentukan ayah
dari anak yang dilahirkan di antara pria-pria tersebut dan pria yang ditentukan
itu tidak dapat menolak pernyataan wanita itu. Contoh lain dari dekadensi moral
di kalangan mereka adalah ibu tiri dari sebagian kepala suku dapat saja
diwarisi oleh anak laki-lakinya yang tertua untuk dijadikan isterinya.
Begitulah sebagian contoh-contoh praktik yang tidak bermoral pada sebagian
bangsa Arab pada waktu itu.
Selain tiga aspek pendidikan
sebagaimana disebutkan di atas, pendidikan periode Makkah juga meliputi
dasar-dasar pengetahuan keagamaan, menanam sifat kemurahan hati serta
kedermawanan dan pendidikan bela diri.
b. Pelaksanaan pendidikan pada periode Madinah
Kedatangan Nabi Muhammad SAW
bersama kaum muslimin Makkah, disambut oleh penduduk Madinah dengan gembira dan
penuh rasa persaudaraan. Maka, Islam mendapat lingkungan baru yang bebas dari
ancaman para penguasa Quraisy Makkah, lingkungan yang dakwahnya, menyampaikan
ajaran Islam dan menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wahyu secara
beruntun selama periode Madinah kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam
mengajarkan AL-Quran adalah menganjurkan pengikutnya untuk menghafal dan
menuliskan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana diajarkannya. Beliau sering
mengadakan ulangan-ulangan dalam pembacaan Al-Quran dalam shalat, dalam
pidato-pidato dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain kesempatan.
Corak pendidikan periode
Madinah lebih ditekankan pada pembinaan sosial dalam arti yang luas dan cara
berpolitik secara Islami. Maka aspek-aspek yang ditekankan dalam periode
Madinah adalah sebagai berikut:
1) Pembentukan Pendidikan Sosial Masyarakat
Bangsa Arab pada masa belum
berkembang Islam, masalah sistem kehidupan sosial mereka tunduk pada
kepala-kepala suku tertentu ataupun bergabung pada kepala suku atau ‘asyirah
yang terkuat. Mereka tidak memiliki seorang raja yang memiliki kerajaan yang
luas. Mereka tidak memiliki sistem pemerintahan yang tertib dan teratur.
Peraturan mereka adalah sejumlah aturan yang disepakati oleh pemuka-pemuka
mereka di kalangan suku tersebut. Mereka bermusyawarah untuk memutuskan
sesuatu, tapi mereka tidak memiliki undang-undang tertentu ataupun kitab
pegangan tentang undang-undang hukum yang dipatuhi bersama. Cara-cara
memelihara aturan yang berkembang di tengah-tengah mareka adalah dengan cara
mengingatkan dan mewariskan kepasa generasi selanjutnya.
Setelah Nabi hijrah dari
Makkah ke Madinah, langkah pertama yang dilakukan adalah membentuk suatu
masyarakat yang besar. Ia membentuk masyarakat Madinah yang terdiri dari tiga
golongan komunitas besar ketika itu; yaitu orang Anshar (penduduk asli Madinah
yang terdiri dari dua kabilah besar yaitu Aus dan Khazraj), orang-orang
Muhajirin (orang-orang muslim yang pindah ke Makkah), dan orang-orang yahudi.
Ketiga golongan ini diakui sebagai warga Madinah dan wajib menjaga serta
memelihara ketertiban keamanan untuk kalangan sendiri, demikian pula kehidupan
bersama antar tiga golongan ini sehingga terbentuk suatu masyarakat yang lebih
besar. Perjanjian bersama ini dikenal dalam istilah sekarang dengan “Piagam
Madinah”. Hanya saja Yahudi kemudian melanggar perjanjian yang telah disepakati
bersama. Pada hal sebelumnya telah wujud pembentukan sebuah negara bersama
untuk dipertahankan secara bersama-sama. Oleh karena itu, dengan terpaksa
golongan ini diperangi oleh ummat Islam sehingga mereka harus meninggalkan
wilayah Madinah, kecuali sebagian mereka yang tunduk kepada aturan negara Islam
yaitu tidak memusuhi ummat Islam dan rela membayar jizyah (pajak jiwa) sebagai jaminan perlindungan hidup mereka. Di
sini nampak semua komunitas dapat hidup di tengah-tengah ummat Islam.
Setelah Nabi berada di
Madinah, pekerjaan yang pertama-tama dilakukan adalah membangun masjid. Masjid
adalah tempat berkumpul ummat Islam sebanyak lima kali dalam satu hari untuk
beribadah kepada Allah. Masjid digunakan juga sebagai tempat bermusyawarah dan
tempat menyampaikan dan mengembangkan ilmu agama Islam dan ini adalah yang amat
penting dalam membentuk pribadi manusia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa
Nabi telah menampakkan sifat pembentukan suatu masyarakat yang tidak
dilandaskan pada asal-usul, ras, etnis dan dasar agama yang dipeluk. Semua
manusia dapat hidup dengan aman dalam sebuah negara walaupun negara itu disebut
Negara Islam atau agama resmi negara tersebut agama Islam. Orang-orang yang
berlainan agama dalam Negara Islam dapat melaksanakan ibadah menurut
kepercayaan dan keyakinan mereka dengan aman dan tidak boleh diganggu oleh umat
Islam. Demikianlah masyarakat muslim pertama yang dididik oleh Nabi.
2) Pendidikan Sosial Politik Dan Kewarganegaraan
Di Madinah Nabi menerapkan
pendidikan sosial sesuai dengan penegasan-penegasan wahyu yang diturunkan
kepadanya. Segi-segi pendidikan yang ditekan dalam bidang ini adalah:
- Persaudaraan
Nabi mendidik semua ummat
Islam dengan menyatakan bahwa sesama warga negara adalah bersaudara dan tidak
boleh saling memusuhi antara yang satu dengan yang lainnya. Rasulullah
bersabda:
Artinya: Orang Islam adalah saudara orang
Islam maka tidak sewajarnya ia mendzaliminya dan menganiayanya. Barangsiapa
(memenuhi) kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.
Adapun hak non muslim pada
orang muslim tetap tidak hilang sebagaimana dinyatakan oleh Nabi dari hadits
Jabir:
Artinya: Jiran ada tiga golongan, yaitu;
(1) jiran yang mempunyai satu hak yaitu orang musyrik, baginya memilki hak
jiran, (2) jiran yang memiliki dua hak yaitu orang muslim, baginya hak jiran
dan hak keseagamaan Islam dan (3) jiran yang memiliki tiga hak yaitu jiran yang
memiliki hubungan kerabat, baginya hak keseagamaan Islam, hak kerabat dan hak
jiran (H.R.Thabrani).
Dari segi pendidikan
kewargaan negara, Islam menghormati hak non muslim dalam Negara Islam asalkan
mereka mentaati aturan negara. Setiap muslim diharapkan agar menghormati dan
manghargai orang lain. Kalau hidup bertetangga diharapkan mereka ssupaya saling
bekerjasama dan ini yang disebut dengan hak jiran seperti yang dinyatakan
hadits di atas.
- Kesejahteraan Sosial
Ayat-ayat yang turun di
Madinah banyak yang mengandung ketetapan-ketetapan hukum dalam berbagai aspek
kehidupan. Di antara ketetapan hukum ini adalah penegasan wajib zakat bagi kaum
muslimin dan ketentuan-ketentuan damai sesama muslim dan dengan non muslim. Hal
ini penting, karena setelah Nabi berada di Madinah, secara spontan terbentuk
suatu masyarakat besar yang bernuansa sebuah negara sehingga memerlukan
kesejahteraan rakyat dan keamanan bersama. Kalau ketika di Makkah belum ada
ketegasan wajib zakat serta kadar jumlahnya, namun pemungutannya dilakukan
dalam kategori sedekah ikhlas secara pribadi dan kemurahan hati seseorang.
Nilai zakat ini disebutkan sendiri oleh Al-Quran dalam surat At-Taubah ayat
103:
Artinya: Ambillah zakat dar sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Mengeluarkan zakat
bermakna membersihkan muzakki dari kekikiran serta kecintaan yang berlebihan pada
harta benda. Sementara zakat itu sendiri menanam dan menumbuhkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka melalui
banyak tangan. Artinya pembayaran zakat melalui amil yang ditunjuk memberi
makna nilai pendidikan sosial yang luas cakupannya, tanpa terbatas pada lingkup
keluarga sendiri atau lingkungan sendiri, tapi dapat diatur untuk semua pihak
yang membutuhkan bantuan.
Dari sudut mengatasi masalah
sosial masyarakat melalui zakat, Al-Quran menegaskan dalam surat At-Taubah ayat
60:
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam penunaian zakat terdapat
nilai jaminan sosial karena yang berhak menerima zakat ialah: 1. Orang fakir;
orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya. 2. Orang miskin; orang-orang yang tidak mencukupi
biaya hidupnya dan selalu dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat; orang
yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat dan dia bagaikan
pegawai pemerintah. 4. Muallaf; orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan
orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah, sehingga dengan adanya
bantuan zakat akan tertampung biaya hidupnya kalau ia ditinggalkan oleh
saudaranya. 5. Memerdekakan budak; mencakup juga untuk melepaskan muslim yan
ditawan oleh orang-orang kafir. 6. Orang berhutang; yaitu orang yang berhutang
untuk kepentingan dan kebutuhan hidup sehari-hari bukan karena hidup
berfoya-foya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam
seperti membantu orang yang membayar qishash
hutangnya juga dibayar dengan bantuan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7.
Pada jalan Allah (fi sabilillah);
yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalamu
kesengsaraan karena kehabisan hartanya dalam perjalanan. Delapan golongan yang
disebutkan di atas adalah mereka yang sulit untuk mendapatkan lapangan
pekerjaan atau tidak sempat mengurusnya.
Dengan adanya ketegasan
pemungutan zakat, banyak masalah sosial dapat di atasi. Fakir miskin memperoleh
haknya yang tertentu, ‘amil yang bekerja pada lembaga ini juga mendapat haknya,
demikian juga orang yang berhutang, orang-orang yang kehabisan belanja dalam
perjalanan dan orang-orang yang ikut menegakkan agama Allah yang lazim disebut
dengan fi sabilillah. Semua kelompok
ini tidak mempunyai kesempatan yang wajar untuk mencari rezeki. Fakir miskin
tidak memiliki modal dalam upaya membuka usaha atau melakukan pengembangannya.
- Kesejahteraan Rumah Tangga
Islam mengatur bentuk pendidikan
yang perlu diberikan dan diterapkan dalam keluarga. Isteri mendapat haknya dari
suami dan ia berkewajiban melaksanakan tugas-tugasnya. Suami memiliki hak dari
isterinya dan ia menanggung sejumlah beban yang wajib dipikulnya untuk seluruh
anggota keluarga. Anak-anak mempunyai hak dari kedua orangtuanya dan ia juga
berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap orangtuanya. Di
antara yang dinyatakan Al-Quran tentang hak kewajiban ini adalah surat
Al-Baqarah ayat 233:
Artinya: Para ibu hendaklah menysyukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seoran ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan salah
satu aspek bimbingan hidup dalam keluarga; yang meliputi pentingnya seorang ibu
menyusui bayinya selama dua tahun penuh. Sementara suami pelru menjaga
isterinya yang sedang menyusui dengan menyediakan makanan yang cukup dan
pakaian yang memadai sesuai dengan kemampuannya. Baik ayah ataupun ibu bayi
tersebut tidak boleh sekali-kali membuat bayinya menderita karena tanpa
mendapatkan asi yang cukup sehingga mnenjadi anak kekurangan gizi. Seandainya ibu
bayi tersebut tidak memiliki asi atau tidak sangggup menyusuinya karena ada
halangan tertentu, dapat saja anak itu disapih secara baik-baik dengan cara
menambahkan makanan lain atau bahkan mengupahkan ibu lain menyusui bayi mereka.
Perhatian demikian tidak saja ditujukan kepada ayah dari bayi itu juga kepada
walinya, jika ayahnya telah tiada atau ada sebab lainnya walilah yang
bertanggung jawab agar generasi mendatang hidup sehat dan cerdas.
- Pendidikan Kewarganegaraan
Islam tidak memaksa penganut
agama lain untuk memeluk agama Islam, tapi bagi pemeluk Islam diwajibkan untuk
mentaati ajaran-ajaran yang telah mereka anuti itu. Non muslim dapat saja hidup
dengan damai di tengah-tengah kaum muslimin asalkan saja mereka tidak
menunjukkan permusuhan pada umat Islam. Menyangkut dengan sikap bangsa negara
Islam terhadap negara lain tidak boleh sama sekali memusuhinya, tapi jika
dianggap negara itu memusuhi negara kaum muslimin, semua warga bertanggung
jawab untuk mempertahankan diri, negara dan agama dari serangan mereka. Islam
hanya mengharapkan memberi penjelasan dakwa Islamiyah di tengah-tengah
masyarakat yang belum sampai dakwah kepada mereka. Dakwah dimaksudkan bukan
dalam bentuk menyerang apalagi melakukan terror terhadap ummat lain. Tidak ada
pemaksaan untuk memeluk agama dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 25:
Artinya: Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (golongan
yang melampau batas) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada huhuk tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Karena menghadapi berbagai
kemungkinan buruk dalam menghadapi wilayah lain, Nabi membina pendidikan
jasmani dalam rangka mempertahankan dan membela negara. Nabi melatih pemuda dan
remaja cara-cara membela diri, berupa gulat, menggunakan panah, cara lempar
lembing dan menunggang kuda. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Anfal ayat 60 dan 61:
Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Dan
jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Jadi tujuan pendidikan
jasmani dalam Islam tidak terlepas dari kepentingan agama dan kepentingan umat
Islam secara umum. Membela negara adalah bagian dari membela agama, karena negara
dalam Islam berfungsi mangatur urusan agama.
- Materi Pendidikan Untuk Tingkat Anak-Anak
Tidak lama setelah Nabi berada
di Madinah, jumlah masjid telah dibangun di sana sebanyak sembilan buah.
Aktifitas masjid antara lain adalah mengajar anak-anak agar mereka mampu
membaca dan menulis Al-Quran dan mengerti dasar-dasar pengetahuan agama Islam.
Hal ini sangat penting dilakukan demi generasi yang akan datang mampu
meneruskan kesinambungan ajaran ini. Allah memperingatkan kaum muslimin dalam
firmannya:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.
Menurut Zuhairini garis-garis
besar materi-materi pendidikan yang dicontohkan oleh Nabi untuk pengajaran
anak-anak meliputi:
-> Pendidikan tauhid, yaitu menanam keimanan kepada Allah
-> Pendidikan shalat yang mulai diajarkan kepada anak-anak semenjak berumur
7 tahun dan dipaksa mereka untuk membiasakannya setelah berumur 10 tahun
-> Sopan santun dalam keluarga yaitu cara-cara berterimakasih kepada
orangtua dan adab-adab meminta izin masuk ke dalam kamar orangtua
-> Sopan santun dalam masyarakat yaitu tata cara bergaul dengan teman-teman
termasuk cara berjalan, cara berbicara dan cara-cara memandang orang lain dan
lain-lain yang menyangkut dengan tata cara bergaul yang baik
-> Pembinaan kepribadian yang tangguh agar anak menyelami ajaran Islam
dengan baik serta mengagumi agamanya
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Pola pendidikan Islam periode
Rasulullah SAW fase Makkah-Madinah belum semuanya penulis bisa termuat dalam
makalah. Paing tidak dari pembahasan tersebut akan ditemukan benang merah bahwa
pola pendidikan fase Makkah dan Madinah memiliki persamaan dan perbedaan, fase
Makkah ada dua lembaga pendidikan yaitu rumah Arqam ibn Arqam dan Kuttab,
sedangkan di Madinah lembaga pendidikan rumah para sahabat dan masjid yang
multifungsi.
Materi pendidikan di Madinah
adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin
b. Pendidikan kesejahteraan sosial
c. Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat
d. Pendidikan hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam
Kurikulum yang dipakai Makkah
dan Madinah adalah sama, yaitu Al-Quran yang dijelaskan dengan Hadis Nabi
Muhammad SAW yang diturunkan secara berangsur-angsur, hanua kurikulum di
Madinah lebih komplit, seirama dengan bertambahnya wahyu yang duturnkan kepada
Rasulullah SAW.
B. Saran
Sudah selayaknya kita sebagai
bagian dari orang-orang yang menganut agama Islam dapat mempelajari dan
mengetahui lebih dalam mengenai studi sejarah Islam agar tidak banyaknya
perbedaan pendapat yang menimbulkan banyak perdebatan karena suatu masalah yang
dikarenakan belum adanya studi terhadap masalah tersebut. Dengan adanya
penjabaran tentang studi sejarah Islam ini, diharapkan para pembaca dapat
memahami dan menerapkan tentang sejarah Islam dalam pemerintahan agama kita,
agama Islam. Dan semoga penjabaran ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Daftar Pustaka
1. Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:Putra
Grafika
2. Nata, Abuddin.
3. Husen, Usman. Sejarah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ranirry Press