HUKUM INVESTASI SYARIAH MENURUT FATWA MUI - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Senin, 23 November 2015

HUKUM INVESTASI SYARIAH MENURUT FATWA MUI

Dalam hukum Islam,kegiatan berinvestasi dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi yang termasuk dalam kegiatan muamalah yaitu suatu kegiatan yang mengatur hubungan antar manusia.

Sementara itu menurut kaidah Fikih, hukum asal kegiatan muamalah itu adalah mubah (boleh) yang berarti semua kegiatan dalam hubungan antar manusia adalah mubah (boleh) kecuali yang memang jelas ada larangannya (haram).
Ini berarti ketika suatu kegiatan muamalah yang baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam ajaran Islam maka kegiatan tersebut dianggap dapat diperbolehkan kecuali yang memang terdapat implikasi dari Al Qur’an dan Hadist yang melarangnya secara implisit maupun eksplisit.

Dalam beberapa literatur Islam klasik memang tidak ditemukan adanya terminologi investasi maupun pasar modal, akan tetapi sebagai suatu kegiatan ekonomi, kegiatan tersebut dapat diketegorikan sebagai kegiatan jual beli (al Bay).

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),sampai dengan tahun 2004 ,telah diterbitkan sebanyak 6 (enam) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa dimaksud adalah :

1. No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang JUAL BELI SAHAM Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM

Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran: Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. 
Kedua : Ketentuan tentang Barang: Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. Penyerahannya dilakukan kemudian. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. 
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel (????? ???????): Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
a. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya: Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon). Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan: a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya, 
b. menunggu sampai barang tersedia.

Kelima : Pembatalan Kontrak: Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.

Keenam : Perselisihan: Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M

2. No.20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana Syariah
Menimbang:
  1. bahwa Obligasi Syariah  yang telah diterbitkan melalui fatwa DSN-MUI adalah Obligasi Syariah Mudharabah, sehingga belum dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat terhadap Obligasi Syariah yang lainnya;
  2. bahwa dewasa ini dibutuhkan instrumen obligasi berdasarkan prinsip Syariah untuk membiayai transaksi sewa-menyewa, sehingga diperlukan fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah;
  3. bahwa agar Obligasi Syariah Ijarah dapat diterbitkan, maka Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat:
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Maidah [5]:1:
      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ … (المائدة: 1)
      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …" (QS. al-Ma'idah [5]: 1)
    2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
      ... وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَاآتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
      "… Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
    3. Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26:
      قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.
      "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
  2. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:
    1. Hadis Qudsi riwayat Muslim dari Abu Hurairah:
      قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِيْ (أي حَلَفَ بِاسْمِيْ) ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ (رواه مسلم)
      Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Ada tiga kelompok yang Aku menjadi musuh mereka pada Hari Kiamat nanti. Pertama, orang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang menjual orang merdeka (bukan budak belian), lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang memperkerjakan seseorang, lalu pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan orang itu tidak membayarkan upahnya." (HR. Muslim)
    2. Hadis Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
      أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ .
      "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."
    3. Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
      مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
      "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukan-lah upahnya."
    4. Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
      كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِي مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
      "Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."
    5. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:
      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
      "Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  3. Ijma’ ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah al-Zuhaili).
  4. Kaidah Fiqh:
    الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
    "Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya."
    أَيْنَمَا وُجِدَتِ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ.
    "Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah."
Memperhatikan:
  1. Pendapat para ulama, antara lain:
    1. Imam al-Syairazi, al-Muhadzdzab,juz I, Kitab al-Ijarah, hal. 394:
      يَجُوْزُ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ الْمُبَاحَةِ ... وَلأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الْمَنَافِعِ كَالْحَاجَةِ إِلَى اْلأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ عَقْدُ الْبَيْعِ عَلَى اْلأَعْيَانِ وَجَبَ أَنْ يَجُوْزَ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ.
      "Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat."
    2. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz VIII, hal. 7:
      فَهِيَ (الإِجَارَةُ) بَيْعُ الْمَنَافِعِ، وَالْمَنَافِعُ بِمَنْزِلَةِ اْلأَعْيَانِ.
      "Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan benda."
    3. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz VIII, hal. 54:
      وَيَجُوْزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يُؤَجِّرَ الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ إِذَا قَبَضَهَا
      "Penyewa boleh menyewakan benda yang disewa jika ia telah menerima benda tersebut."
    4. Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz XV, hal. 308; al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz II, hal. 332; al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin,juz III, hal. 108:
      ... وَأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَيْهَا [الإجارة] دَاعِيَةٌ؛ فَلَيْسَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مَرْكُوْبٌ وَمَسْكَنٌ وَخَادِمٌ فَجُوِّزَتْ لِذلِكَ كَمَا جُوِّزَتْ بَيْعُ اْلأَعْيَانِ.
      "… kebutuhan orang mendorong adanya akad ijarah (sewa menyewa), sebab tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal dan pelayan (pekerja). Oleh karena itu, ijarah dibolehkan sebagaimana dibolehkan juga menjual benda."
    5. Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz XV, hal. 383:
      أَمَّا إِذَا أَرَادَ الْمُسْتَأْجِرُ أَنْ يُؤَجِّرَهَا (الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ) آخَرَ قَبْلَ الْقَبْضِ، فَفِيْ جَوَازِ اْلإِجَارَةِ ثَلاَثَةُ أَوْجُهٍ:
      (أَحَدُهَا) أَنَّهَا غَيْرُ جَائِزَةٍ، كَمَا فِي الْمَبِيْعِ، لاَيَجُوْزُ بَيْعُ الْمَبِيْعِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَاْلإِجَارَةُ كَمَا تَقَدَّمَ كَالْبَيْعِ،
      (وَالثَّانِيْ) أَنَّ اْلإِجَارَةَ جَائِزَةٌ، لأَنَّ الْمَعْقُوْدَ عَلَيْهِ هُوَ الْمَنْفَعَةُ، وَالْمَنْفَعَةُ لاَتَصِيْرُ مَقْبُوْضَةً بقَبْضِ الْمُؤَجِّرِ لِلْعَيْنِ، فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْمَنْفَعَةِ قَبْضُ الْعَيْنِ.
      (وَالثَّالِثُ) يَجُوْزُ إِجَارَتُهَا مِنَ الْمُؤَجِّرِ، لأنَّهَا فِيْ قَبْضَتِهِ، وَلاَ تَجُوْزُ فِيْ غَيْرِ الْمُؤَجِّرِ، لأنَّهَا لَيْسَتْ فِيْ قَبْضَتِهِ.
      "Jika penyewa bermaksud menyewakan benda yang disewa kepada pihak lain sebelum benda itu diterima, maka mengenai kebolehan penyewaan (kedua) tersebut terdapat tiga pendapat.
      - Pertama, tidak boleh, sebagaimana halnya benda yang dibeli; artinya, tidak boleh menjual benda yang dibeli sebelum diterima; sedangkan ijarah (sewa menyewa) sama dengan jual beli (bai') sebagaimana keterangan terdahulu.
      - Kedua, penyewaan (kedua oleh penyewa) hukumnya boleh (sah), karena obyek ijarah adalah manfaat; sedangkan manfaat tidak dipandang telah diterima hanya dengan pemberi sewa telah menyerahkan benda yang disewakannya. Oleh karena itu, penyerahan benda tidak menimbulkan pengaruh hukum terhadap manfaat.
      - Ketiga, boleh hukumnya menyewakan benda yang disewa tersebut kepada pemberi sewa (pertama), karena benda itu berada pada tangannya; namun tidak boleh menyewakannya kepada selain pemberi sewa (orang lain), karena benda itu tidak berada pada tangannya."
    6. Ibnu Qudamah, Al-Mughni,juz VIII, hal. 56:
      وَيَجُوْزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ إِجَارَةُ الْعَيْنِ بِمِثْلِ اْلأَجْرِ وَزِيَادَةٍ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ. وَرُوِيَ ذلِكَ عَنْ عَطَاءٍ، وَالْحَسَنِ وَالزُّهْرِيِّ. وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَأَبُوْ ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ.
      "Penyewa boleh menyewakan benda yang disewanya dengan sejumlah bayaran (sewa) yang sama atau lebih tinggi. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Imam Ahmad. Pendapat yang sama dikemukakan pula 'Atha', al-Hasan, dan al-Zuhri; demikian juga dikemukakan oleh Iman Syafi'i, Abu Tsaur dan Ibn al-Munzir."
    7. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz VIII, hal. 113:
      وَالْعَيْنُ الْمُسْتَأْجَرَةٌ أَمَانَةٌ فِيْ يَدِ الْمُسْتَأْجِرِ، إِنْ تَلِفَتْ بِغَيْرِ تَفْرِيْطٍ لَمْ يَضْمَنْهَا.
      "Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa; jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti)."
    8. Al-Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah(Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 3, Cet. Ke-4, hal. 208,
      وَيَجُوْزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يُؤَجِّرَ الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ ... وَيَجُوْزُ لَهُ أَنَ يُؤَجِّرَ الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ إِذَا قَبَضَهَا بِمِثْلِ مَا أَجَرَهَا بِهِ أَوْ أَزْيَدَ أَوْ أَقَلَّ.
      "Penyewa (musta'jir) boleh menyewakan barang sewaan …. Ia (penyewa) boleh pula menyewakan kembali dengan harga yang sama pada saat ia menyewa, lebih banyak atau lebih sedikit."
    9. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,Cet.4 Juz 5; hal. 3842:
      إِذَا اسْتَأْجَرَ شَخْصٌ دَارًا أَوْ حَانُوْتًا أَوْنَحْوَهُمَا مِنَ الْمَنَازِلِ فَلَهُ اْلاِنْتِفَاعُ بِهَا حَيْثُ شَاءَ مِنَ السُّكْنَى بِنَفْسِهِ أَوْ إِسْكَانِ غَيْرِهِ بِاْلإِجَارَةِ أَمْ بِاْلإِعَارَةِ، وَلَهُ أَنْ يَضَعَ فِيْهِ مَتَاعَ غَيْرِهِ.
      "Jika seseorang menyewa rumah, toko atau tempat lainnya, ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, baik ditempati sendiri atau dengan menempatkan orang lain ke dalamnya melalui akad sewa menyewa atau dengan cara meminjamkan; ia (penyewa) boleh juga menaruh (memasukkan) benda orang lain di dalam tempat tersebut."
    10. Dr. Ali Muhyiddin Ali al-Qarahdaghi, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, hal. 352-353:
      وَيُمْكِنُ كَذلِكَ إِصْدَارُ صُكُوْكٍ لِلإِجَارَةِ الْعَادِيَةِ (أي غَيْرِ مُنْتَهِيَةٍ بِالتَّمْلِيْكِ)، سَوَاءٌ كَانَتْ إِجَارَةَ اْلأَعْيَانِ مَنْقُوْلَةً أَوْ غَيْرَ مَنْقُوْلَةٍ أَمْ إِجَارَةً عَلَى اْلأَعْمَالِ.
      "Demikian pula dimungkinkan penerbitan Obligasi Ijarah biasa (bukan Ijarah Muntahiya bit Tamlik), baik ijarah atas barang (a'yan), bergerak maupun tidak bergerak, ataupun ijarah atas jasa tenaga kerja."
    11. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz V, hal. 173:
      وَإِنِ اشْتَرَى أَحَدُ الشَّرِيْكَيْنِ حِصَّةَ شَرِيْكِهِ مِنْهُ جَازَ، ِلأَنَّهُ يَشْتَرِيْ مِلْكَ غَيْرِهِ (المغني لابن قدامة، بيروت: دار الفكر، د س؛ ج 5، ص 173)
      "Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh, karena ia membeli milik pihak lain."
    12. Al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, juz III, hal. 9:
      وَلاَ يَبِيْعُ الْوَكِيْلُ لِنَفْسِهِ وَمُوَلِّيهِ وَإِنْ أَذِنَ لَهُ فِيْ ذلِكَ وَقَدَّرَ لَهُ الثَّمَنَ، خَلاَفًا لاِبْنِ الرِّفْعَةِ ... (قوله خلافا لابن الرفعة) أي فِيْ تَجْوِيْزِهِ لِنَفْسِهِ وَمُوَلِّيْهِ ... وَكَتَبَ السَّيِّدُ عُمرُ الْبَصْرِيُّ مَا نَصُّهُ: قَوْلُهُ خَلاَفًا لاِبْنِ الرِّفْعَةِ إلخ كَلاَمُ ابْنِ الرِّفْعَةِ وَجِيْهٌ جِدًّا مِنْ حَيْثُ الْمَعْنَى، لكِنْ تَرْجِيْحُهُمْ مَنْعَ تَوْكِيْلِهِ لِلْهِبَةِ مِنْ نَفْسِه يَرُدُّه مِنْ حَيْثُ النَقْلُ (إعانة الطالبين، 3، ص 9)
      "Wakil tidak boleh menjual kepada dirinya sendiri dan kepada orang yang ada di bawah pengampuannya, walaupun hal itu telah diizinkan dan telah pula ditentukan harganya. Hal ini berbeda dengan pendapat Ibnu Rif'ah; maksudnya, menurut Ibnu Rif'ah, wakil boleh menjual kepada dirinya sendiri dan kepada orang yang ada di bawah pengampuannya ... Sayyid Umar al-Bashri menulis sebagai berikut: "Pendapat Ibnu Rif'ah tersebut adalah pendapat yang sangat berbobot dan mempunyai landasan hukum, dilihat dari sudut makna (semangat hukum). Hanya saja, dilihat dari sisi naql, pendapat jumhur --yang memandang kuat bahwa wakil (dalam hibah) tidak boleh memberikan (hibah) kepada diri sendiri-- menolak pendapat Ibnu Rif'ah tersebut.""
    13. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz V, hal. 4094:
      وَرُوِيَ عَنِ اْلإِمَامِ مَالِكٍ أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْوَكِيْلِ أَنْ يَشْتَرِيَ الشَّيْءَ لِنَفْسِهِ ... وَبِهِ يَتَبَيَّنُ أنَّ الْحَنَفِيَّةَ لاَ يُجِيْزُوْنَ مُطْلَقًا بَيْعَ الْوَكِيْلِ لِنَفْسِهِ، وَأَمَّا الْجُمْهُوْرُ فَلاَ يُجِيْزُوْنَ هذَا الْبَيْعَ إلاّ إِنْ أَذِنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ بِالْبَيْعِ (وهبة، ج 5، ص 4097)
      "Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wakil tidak boleh membeli sesuatu untuk dirinya. Dengan demikian, nampak jelas bahwa ulama mazhab Hanafi secara mutlak tidak membolehklan wakil melakukan penjualan untuk (kepada) diri sendiri. Sementara itu, jumhur (mayoritas ulama) tidak membolehkan cara penjualan tersebut kecuali pihak yang mewakilkan mengizinkan penjualan kepada diri sendiri."
    14. Munzir Qahf, Mu’alajah al-‘Ajz fi al-Mizaniyyah al-‘Ammah fi al-Nizham al-Islami,h. 14 dan 16:
      وَيُمْكِنُ إِصْدارُ صُكُوْكِ إِجَارةٍ لِقَاءَ أصُوْلٍ ثَابِتَةٍ مَوْجُوْدَةٍ فِعْلاً، يَتِمُّ تَمْلِيْكُهَا لِحَامِلِي الصُّكُوْكِ، وَاسْتِئْجَارُهَا مِنْهُمْ، كَمَا يُمْكِنُ صُدُوْرُهَا لِقَاءَ أصُوْلٍ ثَابِتَةٍ، تَقُوْمُ الْحُكُوْمَةُ بِشِرَائِهَا وَكَالةً عَنْ حَمَلَةِ الصُّكُوْكِ، ثُمَّ اسْتِئْجَارِهَا بَعْدَ ذلِكَ مِنْهُمْ. (منذر قحف، معالجة العجز في الميزانية العامة في النظام الإسلامي، ص 14)
      أمَّا إِذَا كَانَ عَرْضُ صُكُوْكِ اْلإِجَارَةِ لِلْجُمْهُوْرِ مِنْ أَجْلِ حَدِيْقَةٍ عَامَّةٍ لَمْ تَكُنْ مَوْجُوْدَةً مِنْ قَبْلُ، فَإِنَّ الْحُكُوْمَةَ لاَ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَسْتَعْمِلَ الْحَصيْلَةَ فِيْ غَيْرِ بِنَاءِ الْحَدِيْقَةِ، لأَنَّهَا إِنَّمَا تَتَصَرَّفُ بِالْمَالِ تَصَرُّفَ الْوَكِيْلِ عَنْ مَالِكِهِ، (ص 16)
      "Penerbitan shukuk (obligasi) ijarah dapat dilakukan terhadap (untuk) aktiva (asset) tetap yang telah ada. Kepemilikan aktiva tersebut beralih ke pemegang shukuk; dan (karena itu), penyewaan dilakukan dari mereka. Demikian juga, shukuk ijarah dapat diterbitkan terhadap (untuk) aktiva tetap di mana pemerintah membeli aktiva tersebut sebagai wakil dari pemegang shukuk, kemudian menyewanya dari mereka.
      Jika shukuk ijarah ditawarkan kepada publik untuk kepentingan taman umum yang belum ada (belum dibangun), maka pemerintah tidak dapat menggunakan dana terkumpul untuk selain pembangunan taman. Hal itu karena pemerintah hanya dalam penggunaan dana tersebut hanya berstatus sebagai wakil dari pemiliknya."
  2. Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah; Fatwa DSN-MUI nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah; Fatwa DSN-MUI nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang PRKS; Fatwa DSN-MUI nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah; Fatwa DSN-MUI nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal;
  3. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI tanggal 12 Muharram 1425/4 Maret 2004;
  4. Surat dari PT. Mandiri Sekuritas No.062/MS/DIR/II/04 perihal permohonan Fatwa Obligasi Syariah Ijarah.
MEMUTUSKAN
Menetapkan:FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH IJARAH
Pertama:Ketentuan Umum
  1. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  2. Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
  3. Pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai Musta'jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu'jir (pemberi sewa).
  4. Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.
Kedua:Ketentuan Khusus
  1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.
  2. Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.
  3. Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
  4. Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI, baik untuk asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
  5. Pemegang OSI sebagai pemilik aset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui Emiten sebagai wakil.
  6. Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
  7. Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (‘iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
  8. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
  9. Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.
Ketiga:Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat:Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
3. No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;

Menimbang :
bahwa salah satu bentuk instrumen investasi pada pasar modal (konvensional) adalah obligasi yang selama ini didefinisikan sebagai suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat utang yang dikeluarkan oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi;
bahwa obligasi sebagaimana pengertian butir a. tersebut di atas, yang telah diterbitkan selama ini, masih belum sesuai dengan ketentuan syariah sehingga belum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan obligasi yang sesuai dengan syariah;
bahwa agar obligasi dapat diterbitkan sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syari'ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
Firman Allah SWT, QS. al-Ma'idah [5]:1:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
"Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu …"

Firman Allah SWT, QS. al-Isra' [17]: 34:
… وَأَوْفُوْا بِالْعَهْدِ، إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
"… Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya."

Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah [2]: 275:
… وَأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرَّبَا …
"... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"

Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما) .
"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."

Kaidah Fiqh:
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

الـمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
"Kesulitan dapat menarik kemudahan."

الحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
"Keperluan dapat menduduki posisi darurat."

الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالشَّرْعِ
"Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at)."

Memperhatikan :
Pendapat para ulama tentang keharaman bunga;
Pendapat para ulama tentang keharaman obligasi konvensional yang berbasis bunga;
Pendapat para ulama tentang obligasi syariah yang meliputi obligasi yang menggunakan prinsip mudharabah, murabahah, musyarakah, istishna', ijarah dan salam;
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Istishna', Jual Beli Salam, dan Ijarah;
Surat dari PT. AAA Sekuritas No. Ref:08/IB/VII/02 tanggal 5 Juli 2002 tentang Permohonan Fatwa Obligasi Syariah;
Pendapat para peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI tanggal 14 September 2002 tentang obligasi syariah.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Kedua : Ketentuan Khusus
Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
Musyarakah
Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah;
Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

4. No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
Menimbang:
  1. bahwa salah satu bentuk instrumen investasi pada pasar modal (konvensional) adalah obligasi yang selama ini didefinisikan sebagai suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi;
  2. bahwa obligasi sebagaimana pengertian butir a. tersebut di atas yang telah diterbitkan selama ini, masih belum sesuai dengan ketentuan syariah sehingga belum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan obligasi yang sesuai dengan syariah;
  3. bahwa agar obligasi dapat diterbitkan sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syari'ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat:
  1. Firman Allah SWT, QS. al-Ma'idah [5]:1:
    يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
    "Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu …"
  2. Hadis Nabi saw. riwayat Al-Thabarani dari Ibn Abbas ra.
    كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا دَفَعَ الْمَال مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ. فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني في الأوسط)
    Abbas bin Abdul Mutthalib jika menyerahkan harta sebagai Mudharabah ia mensyaratkan kepada mudharib nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membolehkannya.
  3. Hadis Nabi SAW riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
    أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ : اَلْبَيْعُ اِلَى أَجَلٍ, وَالْمُقَارَضَةُ, وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ
    "Nabi bersabda: Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum halus dengan gandum kasar (jewawut) untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual."
  4. Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
    الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
    "Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  5. Hadis Nabi SAW riwayat Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa'id Al-Khudri:
    لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما)
    "Seseorang tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain."
  6. Hadis Nabi SAW riwayat Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa'id Al-Khudri:
    أنَّ الرسولَ صلى الله عليه وسلم دَفَعَ دِيْنَارًا إلى حَكيمِ بنِ حِزامٍ لِيَشْتَرِيَ له بهِ أُضْحِيَةً (رواه أبو داود والترمذي)
    "Nabi SAW menyerahkan satu dinar kepada Hakim bin Hizam untuk membeli hewan qurban (HR. Abu Dawud dan Al-Tirmidzi)."
  7. Ijma’ para ulama tentang kebolehan menggunakan prinsip Mudharabah dalam investasi sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (V/135) dengan mengutip keterangan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’, Al-Kasani dalamBada-i’ Al-Shanai’, Al-Shan’ani dalam Subulus Salam (III/103), Al-Zarqani dalamSyarhu Al-Muwattha’ (IV/319) dan Wahbah Al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu (IV/838).
  8. Kaidah Fiqh:
    الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
    الحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
    "Keperluan dapat menduduki posisi darurat."
    الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالشَّرْعِ
    "Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at)."
Memperhatikan:
  1. Pendapat para ulama tentang bolehnya mem-fasakh akad Mudharabah, karena berpandangan bahwa akad Mudharabah adalah ghairu lazim, diantaranya : Al-Khatib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj, Juz II hal 319; Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, V hal 179; Al-Kasani dalam Bada-i’ Al-Sana-i’, Juz VIII hal 3655;
  2. Pendapat ulama tentang bolehnya pembagian pendapatan Mudharabah sebelum jatuh tempo selama disepakati dalam akad . Lihat: Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz V/57;
  3. Pendapat para ulama tentang kewajiban Mudharib untuk menjamin pengembalian dana Mudharabah dalam hal terjadi ta’addi (melampaui batas), taqshir (lalai), ataumukhalafah al-syuruth (pelanggaran syarat akad). Lihat: Wahbah Al-Zuhaily dalamAl-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu (V/3944) dan Muhammad Abdul Mun’im Abu Zaid dalam Nahwa Tathwir Nidzam Al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah(hal.127);
  4. Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi (حِصَّة) suatu surat berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi-idzni syarikihi).  Lihat: Wahbah Al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu;
  5. Surat dari PT AAA Sekuritas No. Ref:08/IB/VII/02 tanggal 5 Juli 2002 tentang Permohonan Fatwa Obligasi Syariah;
  6. Pendapat para peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI tanggal 14 September 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan:FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH
Pertama:Ketentuan Umum
  1. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  2. Obligasi Syariah Mudharabah adalah Obligasi Syariah yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memper-hatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah.
  3. Emiten dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah Mudharib sedangkan pemegang Obligasi Syariah Mudharabah adalah Shahibul Mal.
Kedua:Ketentuan Khusus
  1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah akad Mudharabah;
  2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
  3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
  4. Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syariah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan, sebelum emisi (penerbitan) Obligasi Syariah Mudharabah;
  5. Pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan;
  6. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Mudharabah dimulai;
  7. Apabila Emiten (Mudharib) lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, Mudharib berkewajiban menjamin pengembalian dana Mudharabah, dan Shahibul Mal dapat meminta Mudharib untuk membuat surat pengakuan hutang;
  8. Apabila Emiten (Mudharib) diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) dapat menarik dana Obligasi Syariah Mudharabah;
  9. Kepemilikan Obligasi Syariah Mudharabah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.
Ketiga:Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat:Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
5. No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal;
6. No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
Menimbang:
  1. bahwa Obligasi Syariah  yang telah diterbitkan melalui fatwa DSN-MUI adalah Obligasi Syariah Mudharabah, sehingga belum dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat terhadap Obligasi Syariah yang lainnya;
  2. bahwa dewasa ini dibutuhkan instrumen obligasi berdasarkan prinsip Syariah untuk membiayai transaksi sewa-menyewa, sehingga diperlukan fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah;
  3. bahwa agar Obligasi Syariah Ijarah dapat diterbitkan, maka Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat:
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Maidah [5]:1:
      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ … (المائدة: 1)
      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …" (QS. al-Ma'idah [5]: 1)
    2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
      ... وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَاآتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
      "… Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
    3. Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26:
      قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.
      "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
  2. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:
    1. Hadis Qudsi riwayat Muslim dari Abu Hurairah:
      قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِيْ (أي حَلَفَ بِاسْمِيْ) ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ (رواه مسلم)
      Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Ada tiga kelompok yang Aku menjadi musuh mereka pada Hari Kiamat nanti. Pertama, orang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang menjual orang merdeka (bukan budak belian), lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang memperkerjakan seseorang, lalu pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan orang itu tidak membayarkan upahnya." (HR. Muslim)
    2. Hadis Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
      أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ .
      "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."
    3. Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
      مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
      "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukan-lah upahnya."
    4. Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
      كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِي مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
      "Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."
    5. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:
      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
      "Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  3. Ijma’ ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah al-Zuhaili).
  4. Kaidah Fiqh:
    الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
    "Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya."
    أَيْنَمَا وُجِدَتِ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ.
    "Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah."
Memperhatikan:
  1. Pendapat para ulama, antara lain:
    1. Imam al-Syairazi, al-Muhadzdzab,juz I, Kitab al-Ijarah, hal. 394:
      يَجُوْزُ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ الْمُبَاحَةِ ... وَلأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الْمَنَافِعِ كَالْحَاجَةِ إِلَى اْلأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ عَقْدُ الْبَيْعِ عَلَى اْلأَعْيَانِ وَجَبَ أَنْ يَجُوْزَ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ.
      "Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat."
    2. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz VIII, hal. 7:
      فَهِيَ (الإِجَارَةُ) بَيْعُ الْمَنَافِعِ، وَالْمَنَافِعُ بِمَنْزِلَةِ اْلأَعْيَانِ.
      "Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan benda."
    3. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz VIII, hal. 54:
      وَيَجُوْزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يُؤَجِّرَ الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ إِذَا قَبَضَهَا
      "Penyewa boleh menyewakan benda yang disewa jika ia telah menerima benda tersebut."
    4. Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz XV, hal. 308; al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz II, hal. 332; al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin,juz III, hal. 108:
      ... وَأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَيْهَا [الإجارة] دَاعِيَةٌ؛ فَلَيْسَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مَرْكُوْبٌ وَمَسْكَنٌ وَخَادِمٌ فَجُوِّزَتْ لِذلِكَ كَمَا جُوِّزَتْ بَيْعُ اْلأَعْيَانِ.
      "… kebutuhan orang mendorong adanya akad ijarah (sewa menyewa), sebab tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal dan pelayan (pekerja). Oleh karena itu, ijarah dibolehkan sebagaimana dibolehkan juga menjual benda."
    5. Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz XV, hal. 383:
      أَمَّا إِذَا أَرَادَ الْمُسْتَأْجِرُ أَنْ يُؤَجِّرَهَا (الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ) آخَرَ قَبْلَ الْقَبْضِ، فَفِيْ جَوَازِ اْلإِجَارَةِ ثَلاَثَةُ أَوْجُهٍ:
      (أَحَدُهَا) أَنَّهَا غَيْرُ جَائِزَةٍ، كَمَا فِي الْمَبِيْعِ، لاَيَجُوْزُ بَيْعُ الْمَبِيْعِ قَبْلَ الْقَبْضِ، وَاْلإِجَارَةُ كَمَا تَقَدَّمَ كَالْبَيْعِ،
      (وَالثَّانِيْ) أَنَّ اْلإِجَارَةَ جَائِزَةٌ، لأَنَّ الْمَعْقُوْدَ عَلَيْهِ هُوَ الْمَنْفَعَةُ، وَالْمَنْفَعَةُ لاَتَصِيْرُ مَقْبُوْضَةً بقَبْضِ الْمُؤَجِّرِ لِلْعَيْنِ، فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْمَنْفَعَةِ قَبْضُ الْعَيْنِ.
      (وَالثَّالِثُ) يَجُوْزُ إِجَارَتُهَا مِنَ الْمُؤَجِّرِ، لأنَّهَا فِيْ قَبْضَتِهِ، وَلاَ تَجُوْزُ فِيْ غَيْرِ الْمُؤَجِّرِ، لأنَّهَا لَيْسَتْ فِيْ قَبْضَتِهِ.
      "Jika penyewa bermaksud menyewakan benda yang disewa kepada pihak lain sebelum benda itu diterima, maka mengenai kebolehan penyewaan (kedua) tersebut terdapat tiga pendapat.
      - Pertama, tidak boleh, sebagaimana halnya benda yang dibeli; artinya, tidak boleh menjual benda yang dibeli sebelum diterima; sedangkan ijarah (sewa menyewa) sama dengan jual beli (bai') sebagaimana keterangan terdahulu.
      - Kedua, penyewaan (kedua oleh penyewa) hukumnya boleh (sah), karena obyek ijarah adalah manfaat; sedangkan manfaat tidak dipandang telah diterima hanya dengan pemberi sewa telah menyerahkan benda yang disewakannya. Oleh karena itu, penyerahan benda tidak menimbulkan pengaruh hukum terhadap manfaat.
      - Ketiga, boleh hukumnya menyewakan benda yang disewa tersebut kepada pemberi sewa (pertama), karena benda itu berada pada tangannya; namun tidak boleh menyewakannya kepada selain pemberi sewa (orang lain), karena benda itu tidak berada pada tangannya."
    6. Ibnu Qudamah, Al-Mughni,juz VIII, hal. 56:
      وَيَجُوْزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ إِجَارَةُ الْعَيْنِ بِمِثْلِ اْلأَجْرِ وَزِيَادَةٍ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ. وَرُوِيَ ذلِكَ عَنْ عَطَاءٍ، وَالْحَسَنِ وَالزُّهْرِيِّ. وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَأَبُوْ ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ.
      "Penyewa boleh menyewakan benda yang disewanya dengan sejumlah bayaran (sewa) yang sama atau lebih tinggi. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Imam Ahmad. Pendapat yang sama dikemukakan pula 'Atha', al-Hasan, dan al-Zuhri; demikian juga dikemukakan oleh Iman Syafi'i, Abu Tsaur dan Ibn al-Munzir."
    7. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz VIII, hal. 113:
      وَالْعَيْنُ الْمُسْتَأْجَرَةٌ أَمَانَةٌ فِيْ يَدِ الْمُسْتَأْجِرِ، إِنْ تَلِفَتْ بِغَيْرِ تَفْرِيْطٍ لَمْ يَضْمَنْهَا.
      "Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa; jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti)."
    8. Al-Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah(Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 3, Cet. Ke-4, hal. 208,
      وَيَجُوْزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يُؤَجِّرَ الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ ... وَيَجُوْزُ لَهُ أَنَ يُؤَجِّرَ الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ إِذَا قَبَضَهَا بِمِثْلِ مَا أَجَرَهَا بِهِ أَوْ أَزْيَدَ أَوْ أَقَلَّ.
      "Penyewa (musta'jir) boleh menyewakan barang sewaan …. Ia (penyewa) boleh pula menyewakan kembali dengan harga yang sama pada saat ia menyewa, lebih banyak atau lebih sedikit."
    9. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,Cet.4 Juz 5; hal. 3842:
      إِذَا اسْتَأْجَرَ شَخْصٌ دَارًا أَوْ حَانُوْتًا أَوْنَحْوَهُمَا مِنَ الْمَنَازِلِ فَلَهُ اْلاِنْتِفَاعُ بِهَا حَيْثُ شَاءَ مِنَ السُّكْنَى بِنَفْسِهِ أَوْ إِسْكَانِ غَيْرِهِ بِاْلإِجَارَةِ أَمْ بِاْلإِعَارَةِ، وَلَهُ أَنْ يَضَعَ فِيْهِ مَتَاعَ غَيْرِهِ.
      "Jika seseorang menyewa rumah, toko atau tempat lainnya, ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, baik ditempati sendiri atau dengan menempatkan orang lain ke dalamnya melalui akad sewa menyewa atau dengan cara meminjamkan; ia (penyewa) boleh juga menaruh (memasukkan) benda orang lain di dalam tempat tersebut."
    10. Dr. Ali Muhyiddin Ali al-Qarahdaghi, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, hal. 352-353:
      وَيُمْكِنُ كَذلِكَ إِصْدَارُ صُكُوْكٍ لِلإِجَارَةِ الْعَادِيَةِ (أي غَيْرِ مُنْتَهِيَةٍ بِالتَّمْلِيْكِ)، سَوَاءٌ كَانَتْ إِجَارَةَ اْلأَعْيَانِ مَنْقُوْلَةً أَوْ غَيْرَ مَنْقُوْلَةٍ أَمْ إِجَارَةً عَلَى اْلأَعْمَالِ.
      "Demikian pula dimungkinkan penerbitan Obligasi Ijarah biasa (bukan Ijarah Muntahiya bit Tamlik), baik ijarah atas barang (a'yan), bergerak maupun tidak bergerak, ataupun ijarah atas jasa tenaga kerja."
    11. Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz V, hal. 173:
      وَإِنِ اشْتَرَى أَحَدُ الشَّرِيْكَيْنِ حِصَّةَ شَرِيْكِهِ مِنْهُ جَازَ، ِلأَنَّهُ يَشْتَرِيْ مِلْكَ غَيْرِهِ (المغني لابن قدامة، بيروت: دار الفكر، د س؛ ج 5، ص 173)
      "Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh, karena ia membeli milik pihak lain."
    12. Al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, juz III, hal. 9:
      وَلاَ يَبِيْعُ الْوَكِيْلُ لِنَفْسِهِ وَمُوَلِّيهِ وَإِنْ أَذِنَ لَهُ فِيْ ذلِكَ وَقَدَّرَ لَهُ الثَّمَنَ، خَلاَفًا لاِبْنِ الرِّفْعَةِ ... (قوله خلافا لابن الرفعة) أي فِيْ تَجْوِيْزِهِ لِنَفْسِهِ وَمُوَلِّيْهِ ... وَكَتَبَ السَّيِّدُ عُمرُ الْبَصْرِيُّ مَا نَصُّهُ: قَوْلُهُ خَلاَفًا لاِبْنِ الرِّفْعَةِ إلخ كَلاَمُ ابْنِ الرِّفْعَةِ وَجِيْهٌ جِدًّا مِنْ حَيْثُ الْمَعْنَى، لكِنْ تَرْجِيْحُهُمْ مَنْعَ تَوْكِيْلِهِ لِلْهِبَةِ مِنْ نَفْسِه يَرُدُّه مِنْ حَيْثُ النَقْلُ (إعانة الطالبين، 3، ص 9)
      "Wakil tidak boleh menjual kepada dirinya sendiri dan kepada orang yang ada di bawah pengampuannya, walaupun hal itu telah diizinkan dan telah pula ditentukan harganya. Hal ini berbeda dengan pendapat Ibnu Rif'ah; maksudnya, menurut Ibnu Rif'ah, wakil boleh menjual kepada dirinya sendiri dan kepada orang yang ada di bawah pengampuannya ... Sayyid Umar al-Bashri menulis sebagai berikut: "Pendapat Ibnu Rif'ah tersebut adalah pendapat yang sangat berbobot dan mempunyai landasan hukum, dilihat dari sudut makna (semangat hukum). Hanya saja, dilihat dari sisi naql, pendapat jumhur --yang memandang kuat bahwa wakil (dalam hibah) tidak boleh memberikan (hibah) kepada diri sendiri-- menolak pendapat Ibnu Rif'ah tersebut.""
    13. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz V, hal. 4094:
      وَرُوِيَ عَنِ اْلإِمَامِ مَالِكٍ أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْوَكِيْلِ أَنْ يَشْتَرِيَ الشَّيْءَ لِنَفْسِهِ ... وَبِهِ يَتَبَيَّنُ أنَّ الْحَنَفِيَّةَ لاَ يُجِيْزُوْنَ مُطْلَقًا بَيْعَ الْوَكِيْلِ لِنَفْسِهِ، وَأَمَّا الْجُمْهُوْرُ فَلاَ يُجِيْزُوْنَ هذَا الْبَيْعَ إلاّ إِنْ أَذِنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ بِالْبَيْعِ (وهبة، ج 5، ص 4097)
      "Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wakil tidak boleh membeli sesuatu untuk dirinya. Dengan demikian, nampak jelas bahwa ulama mazhab Hanafi secara mutlak tidak membolehklan wakil melakukan penjualan untuk (kepada) diri sendiri. Sementara itu, jumhur (mayoritas ulama) tidak membolehkan cara penjualan tersebut kecuali pihak yang mewakilkan mengizinkan penjualan kepada diri sendiri."
    14. Munzir Qahf, Mu’alajah al-‘Ajz fi al-Mizaniyyah al-‘Ammah fi al-Nizham al-Islami,h. 14 dan 16:
      وَيُمْكِنُ إِصْدارُ صُكُوْكِ إِجَارةٍ لِقَاءَ أصُوْلٍ ثَابِتَةٍ مَوْجُوْدَةٍ فِعْلاً، يَتِمُّ تَمْلِيْكُهَا لِحَامِلِي الصُّكُوْكِ، وَاسْتِئْجَارُهَا مِنْهُمْ، كَمَا يُمْكِنُ صُدُوْرُهَا لِقَاءَ أصُوْلٍ ثَابِتَةٍ، تَقُوْمُ الْحُكُوْمَةُ بِشِرَائِهَا وَكَالةً عَنْ حَمَلَةِ الصُّكُوْكِ، ثُمَّ اسْتِئْجَارِهَا بَعْدَ ذلِكَ مِنْهُمْ. (منذر قحف، معالجة العجز في الميزانية العامة في النظام الإسلامي، ص 14)
      أمَّا إِذَا كَانَ عَرْضُ صُكُوْكِ اْلإِجَارَةِ لِلْجُمْهُوْرِ مِنْ أَجْلِ حَدِيْقَةٍ عَامَّةٍ لَمْ تَكُنْ مَوْجُوْدَةً مِنْ قَبْلُ، فَإِنَّ الْحُكُوْمَةَ لاَ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَسْتَعْمِلَ الْحَصيْلَةَ فِيْ غَيْرِ بِنَاءِ الْحَدِيْقَةِ، لأَنَّهَا إِنَّمَا تَتَصَرَّفُ بِالْمَالِ تَصَرُّفَ الْوَكِيْلِ عَنْ مَالِكِهِ، (ص 16)
      "Penerbitan shukuk (obligasi) ijarah dapat dilakukan terhadap (untuk) aktiva (asset) tetap yang telah ada. Kepemilikan aktiva tersebut beralih ke pemegang shukuk; dan (karena itu), penyewaan dilakukan dari mereka. Demikian juga, shukuk ijarah dapat diterbitkan terhadap (untuk) aktiva tetap di mana pemerintah membeli aktiva tersebut sebagai wakil dari pemegang shukuk, kemudian menyewanya dari mereka.
      Jika shukuk ijarah ditawarkan kepada publik untuk kepentingan taman umum yang belum ada (belum dibangun), maka pemerintah tidak dapat menggunakan dana terkumpul untuk selain pembangunan taman. Hal itu karena pemerintah hanya dalam penggunaan dana tersebut hanya berstatus sebagai wakil dari pemiliknya."
  2. Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah; Fatwa DSN-MUI nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah; Fatwa DSN-MUI nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang PRKS; Fatwa DSN-MUI nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah; Fatwa DSN-MUI nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal;
  3. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI tanggal 12 Muharram 1425/4 Maret 2004;
  4. Surat dari PT. Mandiri Sekuritas No.062/MS/DIR/II/04 perihal permohonan Fatwa Obligasi Syariah Ijarah.
MEMUTUSKAN
Menetapkan:FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH IJARAH
Pertama:Ketentuan Umum
  1. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  2. Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
  3. Pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai Musta'jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu'jir (pemberi sewa).
  4. Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.
Kedua:Ketentuan Khusus
  1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.
  2. Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.
  3. Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
  4. Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI, baik untuk asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
  5. Pemegang OSI sebagai pemilik aset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui Emiten sebagai wakil.
  6. Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
  7. Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (‘iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
  8. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
  9. Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.
Ketiga:Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat:Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
SUMBER  http://www.dsnmui.or.id/ 


Fatwa-fatwa tersebut di atas mengatur prinsip-prinsip syariah di bidang pasar modal yang meliputi bahwa suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh pernyataan kesesuaian syariah secara tertulis dari DSN-MUI.

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh sertifikat/ predikat syariah dari DSN-MUI yaitu bahwa calon emiten terlebih dahulu harus mempresentasikan terutama struktur bagi hasilnya dengan nasabah/ investor,struktur transaksinya, bentuk perjanjiannya seperti perjanjian perwali amanatan dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot