2.1 QADARIYAH
2.1.1 Pengertian Qadariyah
Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara
yang berarti kemampuan dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan Allah.[1]
Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free
will dan free act.[2]
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Seseorang dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[3]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah,
orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan
perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni
baik dan buruk.[4]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui
secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad
Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.[5]
Menurut Ibnu
Nabatah dalam bukunya syarh al-‘uyun, Ma’bad al-Juhani dan Ghailan mengambil
paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Iraq.[6] Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah
seorang tabi’I yang baik, tetapi ia memasuki kawasan politik dan memihak ‘Abd
al-Rahman Ibn Asy’as dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad mati
terbunuh dalam tahun 80 H.[7] Ia mati dibunuh oleh al-Hajjaj, seorang
gubernur dari Bani Umayyah yang terkenal kejam dan
berdarah dingin.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang
menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis
untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[8]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai
isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam
wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin
Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara
saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung
dalam Muktazilah.[9]
Setelah kematian Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan paham
qadariyah di Damaskus, tetapi ini tidak berjalan lancar karena mendapat
tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Baru setelah kematian ‘Umar ia
melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti pada masa itu. Tapi akhirnya ia
mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik.Sebelum dilaksanakan hukuman
tersebut diadakanlah debat antara Ghailan dan Awza’i yang langsung dihadiri
oleh Hisyam mengenai paham yang dibawa Ghailan.[10]
Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari
ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan mereka berkeyakinan bahwa Allah
belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya.Mereka berpendapat bahwa tidak ada
takdir, mereka mengingkari iman dengan qadha dan qadar. Mereka juga mengatakan
bahwa Allah tidak menentukan dan tidak mengetahui sebuah perkara sebelum
terjadi, bahkan Allah baru mengetahui sebuah perkara setelah terjadi.
Dalam kitab Al-Milal wa Al-Nihal, pembahasan masalah
Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah,
sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah,
sebab faham ini juga dijadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya,
sebahagian orang juga menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran
ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[11]
2.1.2 Sejarah
Timbulnya Aliran Qadariyah
a.
Pendapat Ahmad Amin
Kapan Qadariyah muncul dan siapa
tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad
Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang atba’
tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun
Ghalian adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula
Usman bin Affan.[12]
b. Pendapat
Ibnu Nabatah
Ibnu Nabatah dalam kitabnya
Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang
pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama
kristen kemudian beragama islam dan balik lagi keagama kristen. Dari
oranginilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud
sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al
Auza’i adalah Susan.
c. Pendapat
W. Montgomery
Sementara itu, W. Montgomery
watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman
yang dipublikasikan melaului majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini
menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis
untuk Khalifah Abdul malik olah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau
bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan
catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat
memilih secara bebas memilih antara berbuat baik atau buruk.
Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan
Ad-Dimasyqi, menurut watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan
Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan
Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini
mula-mula dikembangkan oleh Hasan Al-Bashri, dengan demikian keterangan yang
ditulis oleh ibn Nabatah dalam Syahrul Al- Uyun bahwa fahan Qadariyah berasal
dari orang irak kristen yang masuk islam kemudian kembali lagi kekristen,adalah
hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang
yang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagipula menurut Kremer, seperti
dikutip Ignaz Goldziher , dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan
tenteng butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.
Berkaitan dengan persoalan
pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya jika meninjau kembali pendapat
Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peniti
sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika
itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan bukti bahwa gerakan ini
terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini di kuatkan oleh Ibn
Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah
seorang kristen di irak yang telah masuk islam pendapatnya itu diambil oleh
Ma’bad dan Ghallian. sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di
Damaskus. Diduga disebabkan oleh orang-orang yang banyak dipekerjakan di istana-istana.
2.1.3
Pokok Pemikiran Aliran Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa
An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang
doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang
begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan
bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham
ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan
Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa
manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan
tuhan.
Manusia Mempunyai Qudroh
Ali Mushthafa Al Gurobi antara
menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah
telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat
melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah
memberi beban kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan
kesia-siaan itu bagi Allah itu adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki
Qodariyah ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat
perbedaan antara qudrat manusia dengan qudrat Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat
abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang. Sedangkan qudrat
manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Harun Nasution menjelaskan
pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan
atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain,
An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas
segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas,
dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu,
ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Pendapat Aliran Qodariyah
Tentang Taqdir
Faham takdir dalam
pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang
umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia
hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap
dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di
ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum
yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran
baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan
balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri,
bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan
salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.[13]
Secara
alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti
hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau
ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai
kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi
manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota
tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu, dengan
daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia
dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut
lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat
membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari
itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia.
Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan
yang dimiliki manusia? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan
pertanyaan lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan
pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan.
Hampir semua paham-paham Qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu
al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum qadariyah
diantaranya adalah:
- Meletakkan
posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laku dan semua
perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai
kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah Swt.
Jadi manusia mendapatkan surga dan neraka karena kehendak mereka sendiri
bukan karena taqdir. Paham ini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan
qadariyah.[14]
- Kaum
qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka
Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan zatNya,
serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut.
Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama
dengan mengatakan bahwa Allah lebih dari satu.[15]
- Takdir
merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak zaman
azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah,[16]
seperti matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak termasuk
perbuatan dan tingkah laku manusia.
- Kaum
qadariyah berpendapat bahwa akal manusia
mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah
tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi baik
karena diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena dilarangnya.
Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala
sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu
sebaliknya.[17]
Sebenarnya dalam golongan Qadariyah sendiri ada perbedaan pendapat dan pemahaman
seputar masalah taqdir. Ada golongan qadariyah yang berpendapat bahwa kebaikan
berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan keburukan berasal dari manusia itu
sendiri. Pemahaman ini sama dengan menganggap ada dua pencipta. Ada yang
berpendapat bahwa semua kebaikan dan keburukan penciptanya adalah pelakunya sendiri.
Sebagian golngan qadariyah lainnya menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan
makhluk, lalu Allah menciptakan kemampuan pada makhluk tersebut untuk berbuat
sesuai kemauannya tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini berarti
setelah Allah menciptakan alam semesta Allah menganggur, hanya menonton
kejadian yang terjadi di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman seperti inilah
muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari Abdullah
bin Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah adalah majusi ummat ini. Jika
mereka sakti jangan kalian jenguk dan jika mereka mati jangan kalian saksikan
jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami' ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi
'Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524) berkata,
"Akan tetapi penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata. Bahkan
keyakinan mereka lebih buruk dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya dua
pencipta sedangkan qadariyah meyakini adanya
banyak pencipta."
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha,
disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan :
القدرية خصماء الله عز وجل في الأرض
"Qadariyyah adalah musuh Allah di
dunia"
Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah
musuh mengenai taqdir Allah, karena taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan
keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari dua macam yaitu baik
dan buruk.
Dalam kitab As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim
meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam
Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang kelompok Qadariyyah adalah,
mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum
mati".
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa pemahaman seperti kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena
itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang
memiliki pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci, tidak mungkin
kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba
memiliki keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak
dan keinginan Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan
yang mengikuti kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.
Berikut adalah dalil-dalil yang
menjadi dasar ajaran qodariyah:
1. Q.
S. Al-Kahfi ayat 29:
29.
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.[18]
2. Q. S. Ar-Rad: 11
11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[19]
3.
Q.S. An-nisa: 111
111.
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[20]
2.1.4 Tokoh-Tokoh
dan Ajaran Aliran Qadariyah
Ghailan al-Dimasyqi berpendapat, bahwa manusia sendirilah
yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan
perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia
sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri.
AI-Nazam salah seorang pemuka
Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi
manusia hidup, dia mem-punyai istitha'ah (day a), maka dia berkuasa atas segala
perbuatannya. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak
mendapat-kan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia
juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di
sini nyatalah bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan
ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham
Jabariyah.
Pembahasan ajaran ini, kiranya lebih
luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; sebab sebagaimana diketahui paham
Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu'tazilah. Sehingga ada yang
menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan al-Qadariyah.
AI-Jubba'i mengatakan, bahwa
manusialah yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan
buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.
Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum
adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jab-bar,
Untuk memperkuat pendapatnya, Abd
al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas,
Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan
terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu,
perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu,
maka tidak -lah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut
perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia
meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan
terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Di antara ayat yang digunakan untuk
memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai
berikut:
Abd. al-Jabbar menyatakan, sekiranya
perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka ayat ini tidak ada artinya, sebab ini
berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan seseorang yang pada
hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, agar ayat ini tidak
membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus dipastikan sebagai
perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti majazi.
Selain ayat tersebut, masih banyak
ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Mu'tazilah) untuk memperkuat
argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya:
Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.(Q.S.AL-Mudassir:38)
Artinya: Sesungguhnya ini adalah
peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada
Tuhannya.(Q.S AL-MUZAMMIL:19)
Artinya: Dan barangsiapa melakukan
suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.(Q.S an-Nisa:111)
Ajaran al-Qadariyah dan berbagai
argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam
mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian?
kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu
dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya dalam paham Qadariyah
atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan
kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia ini bukanlah
atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya
telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap
orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi
bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia,
sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi.
Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya,
bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang
diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah oleh manusia. Manusia harus
tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah membakar. Manusia tak dapat
merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia adalah membuat atau menyusun
sesuatu yang tak dapat dimakan api
Kebebasan dan kekuasaan manusia,
sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya,
hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini
perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disalah artikan meng-andung
paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan
kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan
Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.
3.1 JABARIYAH
3.1.1 Pengertian Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang
berarti memaksa. Dalam istilah Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau
predestination[21].
Dalam
kamus Jhon M. Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan
bahwa nasib menguasai segala-galanya, sedangkan predestination adalah takdir.[22]
Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu
sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan
secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[23]
Sehingga makna secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh
Qodo dan Qadar Tuhan.
Dalam konteks pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa manusia makhluk
yang terpaksa di hadapan Tuhan.
Menurut Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang
menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan
tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam
melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut
Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya
adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan
kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini
manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki
kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia
menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[24]
Adapun
mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan
yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan
masa Bani Umayyah.[25] Paham Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam
ditonjolkan pertama kali oleh al-Ja’d
Ibn Dirham. Tetapi yang mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn
Safwan dari Khurasan.[26]
Jahm Ibn Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah.
Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Jahm
yang terdapat dalam aliran jabariyah sama dengan Jahm yang
mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari
Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm dapat ditangkap dan kemudian
dihukum mati di tahun 131 H[27]. Sepeninggalnya,
faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah Jahamiyah
(ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah.[28]
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup
dikenal di kalangan Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang
tokoh dari golongan Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah
ini adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
Pendapat
yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah
bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[29]
Harun
Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka
kepada paham fatalisme.[30]
Faham
ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh
Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat
sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia
adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan
melawan Bani Umayah. Sebenarnya faham al-Jabar sudah muncul jauh sebelum kedua
tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
- Suatu ketika nabi menjumpai
sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi
melarang mereka untuk mendebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir.[31]
- Khalifah umar bin khattab pernah
menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu
berkata” tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar ucapan itu, umar
marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh
karena itu, umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama,
hukuman potong tangan. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir
tuhan.[32]
- Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya
tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu
bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan
qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan.
Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala
dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian
bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
- Pada pemerintahan daulah Bani
Umayyah, pandangan tentang al-Jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah
bin Abbas, melalui suratnya memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria
yang diduga berfaham jabariyah.
- Berkaitan dengan kemunculan aliran
jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diibatkan oleh pengaruh
pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama
kristen bermazhab Yacobit.[33]
3.1.2 Sejarah Timbulnya Aliran
Jabariyah
Pola pikir Jabariyah kelihatannya
sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan
lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat
melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka
lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap
pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham
Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah
qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat
Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya
secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada
orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan
telah menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya
berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab:
"Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid)
untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman
kepada takdir dapat menia-dakan rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak
masuk suatu kotayang di dalamnyaterdapat wabah penyakit, mereka berkata,
"Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Aku
lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain." Perkataan Umar ini
menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan
tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebabterjadinyasesuatu, karena
setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah)
Pada masa pemerintahan Bani Umayah,
pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan
suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham
Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk
Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang
yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat
dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode
Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut,
dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham
ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang
menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini dari
orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari
Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn
Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing,
Yahudi maupun Persia. Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat
ayat-ayat yang dapat dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut
ini:
Artinya: Mereka sebenarnya tidak
percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112).
Artinya: Bukanlah engkau yang
melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah yang melontar
(mereka). (QS. al-Anfal: 17),
Artinya: Kamu tidak menghendaki,
kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat ini jelas dapat dibawa
pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya, mengapa hingga kini pola
pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan umat Islam sungguhpun para
penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
3.1.3 Pokok Pemikiran Aliran
Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran
Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[34]
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[34]
Berikut adalah dalil-dalil yang
menjadi dasar ajaran Jabariyah:
1.
QS
ash-Shaffat: 96
96.
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".[35]
2. QS al-Anfal: 17
17. Maka (yang sebenarnya) bukan
kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.[36]
3. Q.S.
al-Insan: 30
30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali
bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.[37]
3.1.4
Tokoh-Tokoh dan Ajaran Aliran Jabariyah
Sifat-sifat
Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok persoalan ini
menimbulkan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah dan Mu’tazilah.
Qadar
dan Keadilan Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan
golongan-golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
Sama’
dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’
atau dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan imamah (khalifah).
Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramah dan Asy’Ariyah.[38]
Menurut
Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan
moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya. Misalnya, kalau
seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak
sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan qadhar tuhan yang menghendaki
demikian.[39]
Diantara
pemuka jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
- Jahm bin shofwan, nama lengkapnya
adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia barasal dari Khurasan bertempat
tinggal di kuffah.
Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan
teologi adalah sebagai berikut ini;
1.
Syurga dan neraka tidak kekal. Tidak ada
yang kekal selain tuhan.
2.
Iman adalah ma’rifat atau membenarkan
dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan aliran kaum Murji’ah.
3.
Kalam tuhan adalah mahluk. Allah maha
suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar
dan melihat.[40]
4.
Allah
tidak memiliki sifat-sifat azaly, karena hal ini akan menjadikan Allah serupa
dengan makhluk.Pendapat ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah.
5.
Bid’ah
jabr. yaitu pernyataan bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan dan daya upaya
sama sekali, bahkan semua kehendaknya muncul karena dipaksa oleh Allah Swt.
6.
Bid’ah
irja’, yaitu bahwa iman cukup hanya dengan ma’rifat. barang siapa yang inkar di
lisan maka hal tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa
lenyap karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam
keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan.[41]
- Ja’ad bin Dirham. Ia dibesarkan
dalam lingkungan orang kristen yang senang membicarakan tentang teologi. Ia adalah seorang maulana dari
bani Hakam dan tinggal di Damaskus. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah
yaitu Khalid bin Abdullah El-Qasri. Dokrin pokok Ja’ad
secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai
berikut;
1.
Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena
itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.
2.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa
dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3.
Manusia terpaksa oleh Allah dalam
segala-galanya.
Berbeda
dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun yang baik. Tetapi
manusia mempunyai bagian dalamnya. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah
sebagai berikut;
- An-Najjar, nama lengkapnya adalah
husain bin muhammad an-najar, para pengiktnya disebut An-Najariyyah atau
Al-Husainiyah. Najjariyyah
juga terbagi menjadi beberapa kelompok kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah
dan Mustadrikah), tetapi mereka tidak berbeda dalam prinsip-prinsip pokok
dalam aliran Jabariyah.[42]
Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut;
1.
Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry.[43]
2.
Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat,
akan tetapi ia menyatakan bahwa tuhan dapt saja memindahkan potensi hati
(ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat tuhan.[44]
- Adh-Dhirar, nama lengkapnya adalah
Dhirar Bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan husein
an-najjar, bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan
dalang, manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak
semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Mengenai ru’yat tuhan
diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui
indera keenam.[45]
4.1
ANALISIS ALIRAN QADARIYAH DAN JABARIYAH
Tuhan
adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya
perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki
kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul
pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya?
Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang
absolut?.
Menanggapi
pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak
belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal
dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada
otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu
berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan
Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada
otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Berbeda
dengan Jabariyah. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah
mengenai iktiqad Jabariyah tentang penyerahan totalitas dalam Qada dan
Qadar kepada Tuhan. Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah
menuduh Allah. Seolah-olah Dia itu jahat dan zalim kepada umat-Nya.
Akan
tetapi kesimbangan dari analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak
identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu
hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam
menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada
takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah
SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan.
Qadha
dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum
atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan
teori kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta
keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib
setiap yang telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dari
makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa
kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi,
sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah
kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Pandangan
sekilas tentang indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari
kehidupan manusia yang secara langsung maupun tidak lansung, sengaja ataupun
tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini
menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha ataupun ikhtiar yang
dilakukan oleh seorang hamba.
Pada
perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga
sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam.Kedua paham teologi Islam
tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman
masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) -
dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham
Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua
paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan
dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang
berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah
kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari
tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua
paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah
semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang
sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat
investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan
(perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu
investigasi.
Dengan
demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang
merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari
perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di
dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat kita
simpulkan bahwa:
- Qadariyah
adalah sebuah firqah
yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan berkeyakinan
bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya.
- Jabariyah
adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak
punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang
menentukan segala-galanya.
- Takdir adalah sesuatu yang harus
kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari enam rukun iman.
- Agama kita adalah agama rasional,
sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”.
Tetapi tidak semuanya yang bisa kita terima dengan akal, ada beberapa hal
yang harus kita terima dengan iman. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya
semua hal dalam agama ini bisa diakali, pastilah telapak khuf lebih utama
untuk disapu.”
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat
kita, terutama dalam memahami paham-paham Qadariyah dan Jabariyah. Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi bahasa, sistematika
penulisan, dan lain lain. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca.
Kami mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan.
Terima kasih atas kerjasama dan saran dari pembaca semua. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986. Jakarta:
UI-Press, Cet ke-5.
Jhon
M.Echols, Kamus Inggris Indonesia,
Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia.
K.
Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern,
Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
M.
Hanafi, Theologi Islam. 1992.
Jakarta:Pustaka Al-Husna.
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari Mabahits fi Ulum
al-Qur'an. 2004. Jakarta: Litera AntarNusa.
[3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia,
Cet ke-2, hal. 70.
[4] AB Hadariansyah,
Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah
Pemikiran Islam. 2008. Banjarmasin: Antasari Press, hal. 68.
[5] Ibid,.
[8]
Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung:
Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
[9]
Yusran
Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar
Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, 1996. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hal. 74
[11] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal.
38.
[13]
Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung:
Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 73.
[15] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal.
38.
[18]
Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
[19]
Ibid,.
[20]
Ibid,.
[22]
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII.
2006. Jakarta: Gramedia, hal. 234 dan 443.
[23]
Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung:
Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 63.
[25] Tim, Enseklopedi Islam, Jabariyah. 1997. Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, Cet ke-4, hal. 239.
[26] Adapun riwayat Jahm tidak
diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia
berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai
pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan
Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
[28]
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, hal. 132.
[29]
Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung:
Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 64.
[31]
Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran
Perkembangan dalam Islam. 1987. Jakarta:
Beunneubi Cipta. hal 27-29.
[32]
Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq
al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t, hal. 15.
[33]
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam,
Jakarta: Rajawali, hal. 133.
[35]
Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
[36]
Ibid,.
[37]
Ibid,.
[38]
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna, hal. 58.
[40]
Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam,
Cet. Ke- 8. 1980. Jakarta : Penerbit Wijaya, hal. 102.
[41]
Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, hal.
35.
[45]
Muhammad ibn
Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal
wa al- Nihal. Beirut:
Dar al-Kutub Ilmiah, hal. 78.
Tags:
MAKALAH