BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Metodelogi Syariat
Islam adalah bidang ilmu yang mempelajari syariat islam dari berbagai sisi
penglihatan dan berguna untuk mencegah adanya kekeliruan dalam beragama atau
ajaran-ajaran sesat dan lain sebagainya. Diantara berbagai macam permasalahan
dalam beraagama yang timbul di abad ke-20 ini, kurangnya pemahaman kepada
sumber ajaran islam adalah salah satunya. Oleh karena itu salah satu cara untuk
mengatasi permasalahan ini adalah, dengan mengkaji kembali apa saja yang
menjadi sumber ajaran agama islam.
1.2 Rumusan Masalah
Penulis akan membahas beberapa masalah didalam makalah ini, yaitu:
1.
Apa itu Al-Qura’an sebagai sumber ajaran isalam ?
2.
Apa itu Al-Sunnah sebagai sumber ajaran isalam ?
3.
Apa itu Ijmak sebagai sumber ajaran isalam ?
4.
Apa itu Qiyas sebagai sumber ajaran islam ?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulis menulis makalah ini dengan tujuan untuk:
1. Agar kita semua dapat memahami sumber
ajaran islam.
2. Agar kita semua dapat terhindar dari ajaran-ajaran
sesat yang berkembang di sekitar kita.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qura’an Sebagai
Sumber Ajaran Islam
1. Pengertian Etimologi
Para ulama telah berbeda pendapat
di dalam menjelaskan kata Al-Quran, berikut pendapat beberapa ulama tentang
penjelasan kata Al-Quran.
a. Menurut pendapat Al-Lihyani, Al-Quran itu sendiri
berasal dari kata “qara’a” (membaca). Kata ini kemudian dijadikan sebagai nama
dari firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penamaan ini masuk
kedalam kategori “tasmiyah al-maf’ul bil al-masdar”(penamaan isim maf’ul dengan
isim masdar). Dan mereka merujuk kepada firman Allah SWT pada surah Al-Qiyamah
ayat 17-18.[1]
b. Menurut pendapat Al-Zujaj,
kata Al-Quran merupakan kata sifat yang berasal dari kata dasar “al-qar” yang
artinya menghimpunan. Kata sifat ini kemudian menjadi dijadikan nama bagi
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena AL-Quran
menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan. Atau karena Al-Quran
menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.[2]
Ada beberapa ulama yang mengatakan
bahwa cara melafalkan kata Al-Quran dengan tidak menggunakan hamzah terbagi
menjadi dua kelompok:
a. Al-Asy’ari mengatakan bahwa kata Al-Quran diambil dari
kata kerja “qarana” yang artinya (menyertakan)
karena ALQuran menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf
b. Al-Farra’ menjelaskan bahwa kata
Al-Quran diambil dari kata dasar “qara’in” (penguat)
karena Al-Quran terdiri dari ayat-ayat yang saling mengatkan dan terdapat
kemiripan antara satu ayat dan ayat-ayat lainnya.[3]
2. Pengertian Terminologi
Pengertian AL-Quran secara istilah
menurut para ulama adalah:
a. Menurut Manna’ Al-Qhathan, Al-Quran itu adalah kitab
Allah yang diturunkan kepada Nab Muhammad SAW. Dan membacanya memperoleh
pahala.
b. Menurut Al-jutrjani, Al-Quran itu
adalah, apa yang ditrunkan kepada Rasulullah SAW, yang ditulis di dalam mushaf
dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan tentang kebenarannya.
c. Menurut Abu Syahbah, Al-Quran itu
adalah, Kitab yang diturunkan bak lafazh maupun maknanya, kepada Nabi terakhir,
Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mtawatir, yakni dengan penuh kepstian
dan keyakinan akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai
akhir surah An-Nas.
d. Menurut Kalangan Pakar Ushul Fiqh, Fiqh Dan Bahasa
Arab
Kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang lafazh-lafazhnya mengandung
mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah yang diturunkan secara mutawatir,
dan yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surah Al-Fatihah samapai akhir
surah An-Nas.
Dari
beberapa pendapat para ulama diatas kita dapat mengetahui bahwa Al-Quran adalah
kiab suci yang isinya mengandung firman Allah, turunnya secara bertahap melalui
malaikat jibril, pembawanya Nabi Muhammad SAW, susunannya dimulai dari surah
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas, bagi yang membacanya bernilai
ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas
kerasulan Nabi Muhammad SAW, keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara
dengan baik, dan pemasyarakatannnya dilakukan secara berantai dari satu
generasi ke generasi yang lain dengan tulisan maupun lisan.
Sebagai sumber ajaran islam yang
utama Al-Quran diyakini berasal dari Allah SWT dan mutlak benar. Selanjutnya
Al-Quran juga berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya
kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya, ketika umat islam
berselisih dalam segala urusannya hendaknya dia berhakim kepada AL-Quran.
Al-Quran lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi
terhadap perjalanan hidup manusia dimasa lalu.
B.
Al-Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam
1. Pengertian Al-Sunnah
Sunnah
berasal dari bahasa Arab “Sunnah”. Yang secara etimologis berarti: cara
yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Sunnah
juga sering disebut dengan cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang
dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW, atau suatu amaliah agama yang telah dikenal
oleh semua orang. Lawan dari kata Sunnah adalah bid’ah, yaitu amaliah yang
diadaadakan dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi.
Sunnah
dalam istilah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik
dalam ucapan, perbatan maupun pengakuan dan sifat Nabi.
Selain
kata Al-Sunnah yang pengertiannya sebagaimana disebutkan diatas, kita juga
menjumpai kata Al-Hadis, Al-Khabar, Al-Atsar. Oleh sebagian ulama kata-kata
tersebut disamakan artinya dengan Al-Sunnah, dan oleh sebagian ulama lainnya,
kata kata tersebut dibedakan artinya. Menurut sebagian ulama yang disebut
belakangan ini Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh nabi
Muhammad SAW, sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan oleh Nabi Muhammad
SAW dari pada ditinggalkan. Sementara itu hadis adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan namun
jarang dikerjakan Oleh Nabi. Selanjutnya khabar adalah ucapan, perbuatan dan
ketetapan yang berasal dari sahabat, dan atsar adalah ucapan, perbuatan dan
ketetapan yang berasal dari para tabi’in. Sementara itu jumhur ulama atau
kebanyakan para ulama ahli hadis mengertikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan
Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama
ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan belian yang
berkaitan dengan dengan hukum.
Sebagai
sumber ajaran islam kedua, setelah Al-Quran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang
pada intinya sejalan dengan AL-Quran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat
dilepaskan dari adanya sebagian ayat Al-Quran 1) yang bersifat global (garis
besar) yang memerlukan perincian, 2) yang bersifat umum (menyeluruh) yang
menghendaki pengecualian, 3) yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang
menghendaki pembatasan, 4) isyarat Al-Quran yang mengandung makna lebih dari
satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua
makna tersebut, bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak di jumpai
keterangannya di dalam Al-Quran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.
Selain itu ada pula yang sudah djelaskan dalam Al-Quran, tapi hadis datang pula
memberikan keterangan, sehingga masalah tersebut menjadi kuat.
Dalam
kaitan ini, hadis berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Al-Quaran yang
bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Al-Quran yang bersifat
umum, sebagai pembatas terhadap ayat Al-Quran yang bersifat mutlak, dan sebagai
pemberi informasi terhadap sesuatu kasus yang tidak dijumpai di dalam
Al-Quran.dengan posisinya yang demikian itu, maka pemahaman Al-Quran dan juga
pemahaman ajaran islam yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan
hadis.[4]
C.
Ijmak
Sebagai Sumber Ajaran Islam
1.
Pengertian Ijmak
Secara bahasa ijmak memiliki dua
arti, diantaranya:
a.
Ijmak dengan arti ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu atau keputusan melakukan sesuatu. Ijmak dalam pengambilan
keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus : 71, juga
dapat dilihat dalam hadis Nabi yang artinya “tidak ada puasa bagi orang yang
tidak meniatkan puasa semenjak malam.
b.
Ijmak dengan arti sepakat, ijmak dalam arti in
dapat dilihat dalam surat Yusuf: 15
Pengertian ijmak
secara istilah teknis hukum atau istilah syar’I terdapat perbedaan rumusan.
Perbedaan tu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan
rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijmak sebagai
berikut:
a.
Al-Ghazali merumuskan ijmak sebagai
kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
b.
Al-Amidi yang juga pegikut syafi’iah merumuskan
ijmak adalah kesepakatan sejumlah ahlul halli wal ‘aqd (para ahli yang
berkompeten mengurusi umat) dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa atas
hukum suatu kasus.
2.
Kedudukan Ijmak Sebagai Dalil Hukum
Sebagai sumber hukum ketiga, ijmak juga dapat
menetapkan hukum yang mengikat da wajib di patuhi umat islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al-Quran maupun Sunnah.
3.
Persyaratan Ijmak.
a)
Kuantitas anggota ijmak
b)
Berlalunya masa
c)
Sandaran ijmak
4.
Qiyas Sebagai Sumber
Ajaran Islam
1.
Pengertian Qiyas
Qiyas
merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal
yang nash Al-Quran dan Sunnah tidal menetapkan hukumya secara jelas. Secara
bahasa Qiyas artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya. Secara
istilah, pengertian Qiyas menurut para ulama adalah,
a.
Menrut pendapat Al-Ghazali, qiyas adalah,
menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduannya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan
ada hal yang sama antara kedanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
b.
Menurut Qadhi Abu BAkar, qiyas itu adalah,
menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan
ada hal yang sama antara keduanya.
c.
Menurut Shadru Al-Syariah merentangkan
(menjangkaukan) hukum dari “ashal” kepada “furu’” karena ada kesatuan ‘illat
ynag tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughawi semata.
d.
Menurut Ibnu Al-Hummam, samanya suatu wadah
(tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat hukumnya. Baginya ada
artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebahasaan.
e.
Menurut Abu Zahrah, qiyas itu adalah, menghubungkan
sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang
ada nash hukumya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum.
2.
Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil Hukum
Memang
tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan
dalil syara’ untuk mentetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan
mujtahid mentapkan hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh
karena itu, terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil
hukum syara’.
Dalam hal
penerimaaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad Abu
Zahrah membagi 3 kelompok, yaitu:
a.
Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas
sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat
hukumnya dalam nash Al-Qran atau Sunnah dan dalam ijmak ulama. Mereka
menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
b.
Kelompok ulama zahiriah dan syiah imamiah yang
menolak penggunaan qiyas secara mutlak zahiriya juga menolak penemuan ‘illat
atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya
secara hukum syara’.
c.
Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas
dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat
kesamaan ‘illat diantara keduanya, terkadang member kekuatan yang lebih tinggi
terhadap qiyas, sehngga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagai ayat
Al-Quran atau Sunnah.
3.
Persyaratan Qiyas
a.
Maqis alaih
Maqis adalah adalah tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya
b.
Maqis
Maqis adalah sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal
c.
Hukum ashal
Hukum ashal adalah hukum yang
terdapat pada suatu wadah maqis alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash, dan hukum itu pula akan diberlakukan pada furu’
d.
‘illat
‘illat adalah suatu rukun atau
unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya ‘illat
itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk
dapat direntangkan kepada yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
yang telah di sebutkan dapat disimpulkan bahwa sumber sumber ajaran islam
yaitu:
Al Quran adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril
diturunkan secara mutawatir mengandung mukjizat setiap suratnya dan berpahala
bagi yang mebacanya. Sunnah adalah
jalan yang di tempuh oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan,
ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Ijmak adalah persetujuan atau kesesuaian
pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Qiyas
adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al
quran dan As sunnah atau Al hadist
dengan hal (lain) yang hukum nya disebut dalam Al quran dan As sunnah karena
persamaaan illat.
B.
Saran
Kajian
tentang makalah Sumber-sumber ajaran islam ini akan menambahkan pengetahuam dan
wawasan kita terhadap Sumber ajaran islam. Hal ini sangat penting agar dapat
memahami sumber-sumber ajaran islam itu sendiri, untuk menghindari umat islam
dari berbagai ajaran sesat yang sudah berkembang sekarang. Semoga dengan
membaca makalah ini dapat menambahkan pemahaman kita terhadap sumber-semuber
ajaran agama kita sendiri.
Daftar Pustaka
Nata
Abudin, Metodelogi Studi Islam, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2013
Suparta
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010
Syarifuddin
Amir, Ushul Fiqh, Jakarta, Pernada Media Group, 2009
Tags:
MAKALAH