BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
A. Latar Belakang
Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan. Cinta, kasih sayang, keinginan, keperluan, kemampuan, adalah beberapa hal yang kerap menjadi alasan utama dua insan
melangsungkan pernikahan. Pernikahan atau munakahat merupakan suatu hal yang sangat sakral dalam kehidupan
dua orang insan. Janji sehidup semati yang diikrarkan dalam pernikahan bukanlah
hal yang mudah untuk diwujudkan. Lika-liku perjalanan hidup mengarungi bahtera
pernikahan akan dijalani.
Pernikahan merupakan
sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan
kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan jalan dari hasrat biologis yang
dimiliki manusia.
Namun, terlepas dari
berbagai alasan tersebut, Islam menganjurkan beberapa
syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah
pernikahan. Bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan
tetapi syarat kafa’ah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan
yang berkasih dan juga berkeluarga. Selain itu, perlu adanya khiyar dalam
pernikahan, agar nantinya tidak terjadi suatu kesalahpahaman jika telah
menikah.
Mengapa demikian, pada awalnya keduan insan ini adalah individu yang
berbeda, kemudian ingin untuk disatukan dengan tata cara yang benar menurut
syariat islam. Kalimat ‘individu yang berbeda’ inilah yang kemudian menjadi
disyaratkan adanya kafa’ah dalam sebuah pernikahan. Kafa’ah atau kesetaraan antar pasangan nikah sangat penting dalam kelanggengan
suatu pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan dan
kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kafa`ah dalam
pernikahan ?
2. Bagaimana hukum kafa`ah ?
3. Apa ukuran kafa’ah
dalam pernikahan ?
4. Apa kriteria kafa`ah menurut ulama fiqih?
5. Apa hikmah kafa`ah dalam pernikahan?
6. Apa saja aib-aib khiyar dalam pernikahan?
7. Apa saja hal-hal yang mendorong adanya khiyar (hak memilih)
dalam pernikahan ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian dari kafa`ah dalam pernikahan.
2. Menjelaskan hukum kafa`ah.
3. Menjelaskan
ukuran kafa’ah dalam pernikahan
4. Menjelaskan kriteria kafa`ah menurut ulama fiqih.
5. Menjelaskan hikmah kafa`ah dalam pernikahan.
6. Menjelaskan aib-aib khiyar dalam pernikahan.
7. Menjelaskan hal-hal yang mendorong adanya khiyar (hak memilih) dalam
pernikahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah berasal
dari bahasa Arab dari kata (كفىء ) , berarti sama atau
setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat
dalam Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah
dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 :
وَلَمۡ
يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ٤
yang berarti “ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”.
Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” , artinya ialah
sama, serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah
atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setaraf, seimbang, atau
keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding” .
Yang
dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum
Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau
laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama
dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau kafa’ah diartikan
persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya
kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT adalah sama. Hanya ketaqwaannyalah
yang membedakannya. [1]
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya
: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
Al-Hujurat (49):13 )
Kafa’ah dalam
perkawinan, merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami
istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan
rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri,
tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi
wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan
yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema
berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh
karena itu, boleh dibatalkan. [2]
B.
Landasan
Kafa’ah
Kafa’ah diatur
dalam pasal 61 KHI dalam membicarakan pencegahan perkawinan, dan yang diakui
sebagai kriteria kafaah itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan
ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. Pasal 61 berbunyi: “Tidak se-kufu
tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu
karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.[3]
Ibnu Hazim
berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: Semua orang Islam asal
saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah, asal tidak
tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun
ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya, namun tak dapat diharamkan
kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat Fasiq,
asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasiq, asal bukan perempuan berzina. Alasannya adalah
firman-firman allah:
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab
itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat ayat 10)
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Artinya: Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS.
An-Nisa’: 3 )
Tujuan
disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila
pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu
(sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila
kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak
terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan
kehidupan rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan,
seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang Kafa’ah, yaitu:
وعن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى اللة عليه وسلم قال:
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لمالها,
ولحسبها, ولجمالها, ولدينها, فاظفر بذات الدين تربت يداك. متفق عليه مع بقية السبعة.
Artinya:
“Wanita itu
dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang
beragama, semoga akan selamatlah hidupmu”.
Secara mafhum
hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon suami. Dan khusus
tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy riwayat Abu Hatim
Al Mudzanny:[4]
اذااتاكم من ترضون دينه وخلقه فانكحوا. رواه الترمذي
Artinya:“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang
laki-laki yang sesuai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya”.
C.
Ukuran Kafa’ah
Kafa’ah menurut
bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun maksud yang sebenarnya adalah
kesamaan antara dua belah pihak suami-istri dalam 5 hal :
1.
Agama
2.
Kedudukan.
Yaitu nasab atau silsilah keturunan
3.
Kemerdekaan.
Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita merdeka karena
statusnya berkurang sebagai budak.
4.
Keterampilan.
Orang yang memiliki keterampilan di bidang tenun kufu’ dengan gadis seorang
yang memiliki profesi mulia, seperti pedagang.
5.
Memiliki harta
sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya berupa maskawin dan nafkah. Maka,
laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’ untuk seorang gadis yang berada karena
pada wanita itu dalam bahaya dengan kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi
nafkah yang harus ia terima mengalami kemacetan. [5]
Jika
salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya dalam salah satu
dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian, kecocokan,kesetaraan) telah hilang.
Namun hal ini tidak memberi pengaruh kepada sahnya pernikahan karena kafa’ah
bukan syarat dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW kepada Fatimah
bintu Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Maka, Usamah menikahinya atas
dasar perintah Nabi SAW.
Akan
tetapi kafa’ah menjadi syarat lebih utama untuk sebaiknya dilakukan pernikahan.
Jika seorang wanita dinikahkan kepada laki-laki yang tidak sekufu’
dengannya, siapa saja yang tidak ridha dengan itu baik pihak istri atau para
walinya, berhak melakukan fasakh (pembataan nikah).[6]
Jika
kita melihat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ditinjau dari segi insaniyah, manusia
itu sama seperti dalam Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13:
أَيُّهَا
ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
Manusia pada dasarnya sama
derajatnya, hanyalah taqwalah yang membedakan manusia yang satu dengan yang
lainnya, bukan seperti kebangsawanan, kebangsaan dan kecantikan.
D.
Kriteria
Kafa’ah Menurut Ulama’ Fiqih
Menurut
Ibnu Rusyd, di kalangan Madzhab Maliki tidak di perselisihka lagi bahwa apabila
seorang gadis di kawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr (pemabuk),
atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak
perkawinan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqoha’ juga
berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), faktor kemerdekaan, kekayaan
dan keselamatan dari cacat (aib).
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin
dengan hamba sahaya Arab, seperti firman Allah dalam Qur’an Surat Al Hujurat
ayat 13:
أَيُّهَا
ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam
kafa’ah:
1.
Menurut ulama
Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a. Nasab
Yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan
lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena
itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab
tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/ bagi perempuan
Quraisy lainnya.
b. Islam
Yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi
orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab
mereka ini merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan
berharga dengan Islam. Adapun diluar
bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa
dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki
Muslim yang atah dan neneknya tidak beragama Islam.
c. Hirfah,
Yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan keluarga yang pekerjaannya
terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau
pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain
maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat
atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya
pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan masa yang lain.
d. Kemerdekaan dirinya
Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki
yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal.
Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu’ dengan
perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka
bila dikawin dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila
dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
e. Diyanah,
Yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam. Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam
kufu’dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal
laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja.
f.
Kekayaan.
Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai
isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain
berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan
itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah
mementingkan kekayaan.
2.
Menurut ulama
Malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a. Diyanah.
b. Terbebas dari cacat fisik
Salah satu syarat kufu’ ialah terbebas dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani yang menonjol, ia tidak kufu’ dengan perempuan yang sehat dan
normal.
3. Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a. Nasab
Tidaklah dinamakan sekufu’ pernikahan orang bangsawan Arab dan rakyat jelata atau sebaliknya.
b. Diyanah
Tidaklah sekufu’ bila orang
Islam menikah dengan orang yang bukan Islam.
c. Kemerdekaan dirinya
Tidaklah sekufu’ bagi mereka yang merdeka yang menikah dengan budak.
- Hirfah
4. Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a. Diyanah
b. Hirfah
c. Kekayaan
d. Kemerdekaan diri
e. Nasab
Mayoritas Ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai
kriteria kafa’ah. Konsensus itu
didasarkan pada Qur’an Surat As-Sajdah: 18,
أَفَمَن
كَانَ مُؤۡمِنٗا كَمَن كَانَ فَاسِقٗاۚ لَّا يَسۡتَوُۥنَ ١٨
Artinya: “Apakah
orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.
(QS. As-Sajdah :18 )
Menurut
Sufyan Al Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin
dengan hamba sahaya lelaki.
Imam
Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraiys tidak boleh
kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali
dengan lelaki Arab pula.
Perbedaan
pendapat tersebut menurut Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat
mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Rasulullah, yaitu:
//وعن أبى هريرة
رضى الله عنه عن النبى صلى اللة عليه وسلم قال: تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبَعٍ:
لمالها, ولحسبها, ولجمالها, ولدينها, فاظفر بذات الدين تربت يداك. متفق عليه مع
بقية السبعة.[7]
Artinya:
“Wanita itu dikawinkan karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan
keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung
tangan kananmu”.
Segolongan
fuqoha’ ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan
pertimbangan. Segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan sama
kedudukannya dengan factor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada
yang keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’,
yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah. Dan semua fuqoha’
yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan
menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah.
Demikian
juga dengan faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan
madzhab Maliki bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian Kafa’ah. Hal ini
didasarkan adanya hadits shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada
hamba sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk
meneruskan atau membatalkan perkawinan dengan suaminya yang masih berstatus
hamba sahaya).[8]
Selanjutnya
para fuqoha’ juga bersepakat bahwa kafa’ah hanya berlaku bagi pihak pria untuk
wanita, tidak sebaliknya. Jadi apabila pihak pria memilih seorang wanita yang
tidak sekufu dengannya tidak menjadi masalah dalam kafa’ah. Seperti dalam Al-Qur’an
surat Al Ahzab ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ
وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ
مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا
مُّبِينٗا ٣٦
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.”
E.
Hikmah Kafa’ah
dalam Kehidupan Rumah Tangga
Berikut hikmah
kafaah dalam pernikahan yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan
Islam dalam pernikahan.
Islam telah memberikan hak thalaq
kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh sebagian laki-laki yang
kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang dimilikinya dieksploitir dan
disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan.
Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum proses
pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap
perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif
mungkin dalam memilih calon suaminya Target paling minimal adalah,
perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep thalaq,
dan bertanggung jawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
2.
Dalam Islam,
suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai
makmumnya.
Konsekuensi dari relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran
keta’atan dan kepatuhan dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya
akan berjalan normal dan wajar apabila sang suami berada ‘satu level di atas’
istrinya, atau sekurang-kurangnya sejajar.
3.
Naik atau
turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Seorang
perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang
laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan
derajat keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi
kredit kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.
F.
Aib-aib Khiyar
dalam Pernikahan
Aib dalam pernikahan adalah kekurangan
pada fisik atau akal pada salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang
tercapainya tujuan pernikahan dan tidak tercapainya kebahagian hidup suami
isteri.[9]
Ada beberapa
aib dalam pernikahan yang menjadikan munculnya hak untuk memilih. Di antaranya:
1.
Istri menemukan
suami tidak mampu melakukan persetubuhan karena impotensi atau zakarnya
terputus. Istri berhak melakukan pembatalan pernikahan (fasakh).
2.
Jika seorang
suami mendapatkan istrinya memiliki aib yang menghalangi persetubuhan, seperti
kemaluannya buntu yang tidak bisa disembuhkan, menjadi haknya untuk membatalkan
pernikahan.
3.
Jika keduanya
mendapatkan aib yang sama pada pihak pasangannnya, seperti penyakit bawasir,
gila, kusta, lepra, dan lain-lain.
4.
Jika wanita
dewasa dan berakal sehat merelakan suami yang terpotong zakarnya atau impoten,
walinya tidak perlu melarangnya karena hak persetubuhan adalah padanya, bukan
pada selain dirinya.
5.
Jika seorang
wanita rela dinikahi dengan pria yang gila, lepra, atau berpenyakit kusta,
walinya harus melarangnya kerena dalam hal itu ada bahaya yang dikhawatirkan
akan menular pada anak-anaknya. Yang demikian itu adalah kekurangan dan
kelemahan bagi keluarga perempuan.[10]
Jenis
penyakit yang terjadi pada pasangan suami isteri ditetapkan sebagai berikut:
1.
Cacat
penghalang fungsi suami isteri (alat reproduksi)
a)
Al-Jabb
Al-Jabb yaitu yaitu
terpotongnya dzakar semuanya atau sebagianya, dan sisanya bukan hasafah.
b)
Al-Unnah
Al-'unnah yaitu kelemahan pada penis yang menghalang-halangi kemampuannya
untuk bersetubuh (impotent). Menurut terminology, Abdul Al-Rahman Al-Jaziri
memperinci 'unnah ini bahwa seseorang yang dikatakan impotent adalah
orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya (tepat pada qubulnya),
meskipun kemaluannya itu sudah intisyar (bangun tegak) ketika ia belum
mendekxati isterinya.
Seseorang
yang hanya sanggup bersetubuh dengan wanita lain, atau hanya sanggup
bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan,
atau sanggup bersetubuh dengan isterinya, namun hanya pada duburnya dan tidak
sanggup pada kemaluannya, maka orang yang memiliki salah satu dari beberapa
kecenderungan tersebut itulah yang disebut impotent terhadap isterinya.[11]
c)
Rataq
Rataq yaitu
tersembatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam
bersenggama. Menurut terminologi Al-Mawardi mengatakan daging yang tumbuh pada
kelamin wanita dan menghalangi masuknya penis.
d)
Qarn
Menurut bahasa adalah
"tanduk", menurut terminologi adalah tulang yang menghalangi rahim,
serta menghalangi penetrasinya penis, berupa benjolan tulang yang tumbuh pada
kelamin wanita dan mirip tanduk domba.[12]
2.
Cacat bukan
penghalang fungsi suami isteri (alat reproduksi)
a.
Barash
Sopak
(a piebald skin diseace) atau (barash), artinya munculnya
keputih-putihan di kulit yang disertai hilangnya darah kulit dan berikut
dagingnya. Penyakit ini pun dapat menular pada keturunan dan orang yang
mencampurinya. Oleh sebab itu dapat menyebabkan keengganan dan perasaan jijik
bagi orang lain (pasangan), sehingga tidak dapat memenuhi hasrat hubungan
intim.
b.
Junuun
Gila (al-Junuun), menurut etimologi bahasa Arab, lafal al-junuun
memiliki arti الجنون: زوال العقل kegilaan. Menurut terminologi artinya hilangnya akal yang
menyebabkan tidak dapat melaksanakan hak.[13]
Baik gila yang ringan maupun gila yang parah, karena gila yang ringan, meskipun
hanya sedikit (sebentar), tetap saja dampaknya dapat menghalang-halangi penderitanya
untuk memenuhi hak pada saat itu.
c.
Judzam
Kusta (leprosy) atau menurut etimologi bahasa Arab disebut judzam,
artinya adalah kelemahan yang ada pada anggota tubuh dan hidung yang bisa
menjalar keanggota yang lain, sehingga dapat terjadi kerontokkan, bahkan
terkadang menular pada keturunan dan pada orang yang mencampurinya.[14]
Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata, “Setiap aib
yang menjadikan pihak pasangan menjauhkan diri dan karenanya maksud pernikahan
tidak bisa tercapai, harus ada hak memilih karena pernikahan itu lebih daripada
sekedar jual beli.”
Hak memilih akan menjadi tetap terhadap
pasangan yang tidak rela dengan aib pada pasangannya, sekalipun pada dirinya
juga ada aib yang sama atau aib yang berbeda, karena seseorang itu tida bisa
menjauhkan diri dari aib dirinya sendiri. Barang siapa yang saling merelakan
aib pasangannya, mislanya dengan mengatakan, “Aku rela dengan itu” , atau
muncul darinya tanda-tanda kerelaan setelah mengetahui adanya aib, tidak ada
hak memilih baginya setelah itu.
Sahnya hak memilih pada salah satu dari keduanya harus dengan
ketetapan dari hakim, karena ha itu membutuhkan penelitian dan peninjauan serta
ijtihad. Maka, pembatalan dilakukan oleh seorang hakim dengan permintaan dari
orang yang memegang hak pilih untuk melakukan pembatalan.[15]
Jika pembatalan terjadi sebelum dukhul
(persetubuhan), mahar tidak harus dibayarkan. Jika pembatalan setelah dukhul,
suami harus membayar mahar/ maskawin sebagaimana disebutkan dalam akad, karena
maskawin wajib dengan akad dan akan menjadi tetap dengan dilakukannya dukhul.
Dengan hak khiyar yang
diberikan maka demi tujuan kawin yang akan dibina nanti, manakala ternyata
ditemukan cacat salah satu pihak, terutama cacat keagamaannya, baik prianya
maupun perempuannya, pihak yang satu sah memutus hubungan dengan pihak lain.[16]
G.
Hal-Hal Yang
Mendorong Adanya Khiyar (Hak Memilih) Dalam Pernikahan
Hal-hal yang mendorong adanya khiyar (hak memilih) dalam pernikahan
ada empat yaitu:
1.
Cacat
Para ulama berbeda
pendapat tentang hal-hal yang mendorong adanya khiyar karena cacat, bagi masing-masing
suami istri, yaitu dalam dua masalah:
a.
Dalam hal
apakah pernikahan bisa ditolak karena cacat atau tidak, Imam Malik, Syafi’i dan
para pengikut mereka berdua berpendapat bahwa cacat bisa mendorong adanya
khiyar untuk menolak atau menahan istri. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz
berpendapat bahwa tidak mendorong adanya khiyar untuk menolak dan menahan diri.
b.
Dalam hal cacat
apakah yang bisa ditolak
1)
Imam Malik dan
Syafi’i sepakat bahwa penolakan itu bisa terjadi karena empat hal: gila, lepra,
kusta, dan penyakit pada kemaluan yang menghalangi persetubuhan, baik itu
daging yang tumbuh pada kemaluan atau yang menutup kemaluan pada wanita, atau
berupa kelamin yang terpotong atau mandul pada laki-laki.
2)
Sedangkan para
pengikut madzhab Maliki berbeda pendapat tentang empat hal: hitam, botak,
kemaluan yang berbau busuk atau mulut yang berbau busuk. Satu pendapat
mengatakan ditolak karenanya dan pendapat lain mengatakan tidak ditolak
karenanya.
3)
Sedangkan Abu
Hanifah, para pengikutnya dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa seorang wanita tidak
ditolak dalam pernikahan kecuali karena dua cacat saja yaitu daging yang tumbuh
pada kemaluan dan yang menutup kemaluan.
2.
Kesulitan untuk
memberikan mahar dan nafkah
Para
ulama berbeda pendapat tentang kesulitan untuk memberikan mahar:
a)
Syafi’i
berpendapat diberikan hak khiyar jika dia belum digauli, pendapat ini juga
dikemukakan oleh Malik.
b)
Sedangkan para
pengikutnya berbeda pendapat tentang batasan menunggunya. Menurut satu
pendapat, tidak ada batasan dalam hal itu. Pendapat lainnya mengatakan satu
tahun. Pendapat lainnya mengatakan dua tahun.
c)
Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat bahwa istri menjadi salah satu orang yang berutang, tidak
dipisahkan antara keduanya dan suami dituntut untuk memberikan nafkah dan istri
boleh menghalangi dirinya hingga suaminya memberikan mahar kepadanya.
Adapun
kesulitan untuk memberikan nafkah:
a)
Menurut Imam
Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, Abu Ubaid dan sekelompok ulama berpendapat
boleh diceraikan antara keduanya, pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hurairah
dan Sa’id bin Al- Musayyib.
b)
Menurut Abu
Hanifah dan Ats-Tsauri berpendapat tidak diceraikan antara keduanya, pendapat
ini dikemukakan oleh ahli zhahir. [17]
3.
Kehilangan
(maksudnya kehilangan suami)
Khiyar
karena kehilangan suami, para ulama berbeda pendapat tentang suami yang hilang
serta tidak diketahui hidup atau matinya di negara Islam:
a)
Malik
berpendapat bahwa istrinya diberi waktu empat tahun dimulai sejak dia
mengadukan perkaranya kepada hakim. Jika penelitian tentang hidup atau matinya
suami telah selesai, lalu dia tidak diketahui, maka hakim hakim memberikan
waktu kepada istrinya. Jika masa iddah orang yang ditinggal mati oleh suaminya
selesai, yaitu empat bulan sepuluh hari dan dia telah halal, Malik mengatakan
harta orang tersebut tidak diwariskan hingga datang masanya yang dengannya bisa
diketahui bahwa orang yang hilang tersebut tidak akan hidup.
b)
Sedangkan
Syafi’i, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa istri orang yang hilang
tidak halal hingga kematiannnya terbukti, pendapat ini diriwayatkan dari Ali
dan Ibnu Mas’ud. [18]
Orang-orang yang hilang menurut para ulama dari pengikut mazhab
Maliki ada empat macam:
a)
Orang yang
hilang di negeri Islam (dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat)
b)
Orang yang
hilang di negeri musuh
Maka
hukumnya seperti orang yang ditawan. Istrinya tidak boleh menikah dan hartanya
tidak boleh dibagi hingga kematiannya terbukti.
c)
Orang yang
hilang dalam peperangan Islam (maksudnya, peperangan antara mereka)
Hukumnya
adalah seperti hukum orang yang terbunuh tanpa harus menunggunya. Pendapat lain
mengatakan ditunggu berdasarkan jauh dekatnya tempat terjadinya peperangan dan
waktu paling lama dalam hal itu yaitu satu tahun.
d)
Orang hilang
dalam peperangan dengan orang kafir
Madzhab
Maliki mempunyai empat pendapat yaitu: pendapat pertama mengatakan hukumnya
seperti orang yang tertawan. Pendapat kedua mengatakan hukumnya adalah hukum
orang terbunuh setelah menunggu satu tahun, kecuali jika terjadi di tempat yang
jelas diketahui, maka dihukumi orang yang hilang pada peperangan kaum muslim
dan fitnah di antara mereka. Pendapat ketiga mengatakan, hukumnya adalah hukum
orang yang hilang di negeri kaum muslim. Pendapat keempat mengatakan, hukumnya
seperti orang yang terbunuh berhubungan dengan istrinya dan hukum orang yang
hilang di negeri kaum muslim berhubungan dengan hartanya (maksudnya, ditunggu
dan setelah itu bisa diwariskan).[19]
4.
Khiyar
Memerdekakan
Para ulama sepakat
bahwa seorang budak wanita jika merdeka sementara suaminya adalah seorang
budak, maka dia berhak melakukan khiyar. Para ulama berbeda pendapat jika dia
merdeka, sedangkan suaminya adalah orang merdeka, apakah dia berhak melakukan khiyar
atau tidak:
a.
Malik, Syafi’i,
ahli Madinah, Al-Auza’i, Ahmad, dan Al-Laits berpendapat tidak ada khiyar
baginya
b.
Abu Hanifah dan
Ats-Tsauri berpendapat dia berhak melakukan khiyar, baik suaminya merdeka atau
budak.
Adanya perbedaan
pendapat, didasari oleh kontradiksi penukilan hadits Barirah dan kemungkinan
alasan yang mengharuskan adanya hak khiyar, yaitu apakahpaksaan yang terjadi
dalam pernikahannya secara mutlak, jika ia sebagai budak wanita, atau paksaan
agar dia menikah dengan budak laki-laki.
Ulama mengatakan
bahwa alasannya ialah paksaan dalam pernikahannya secara mutlak, mereka
berpendapat dia diberi hak khiyar baik suaminya merdeka atau budak. Dan ulama
yang mengatakan bahwa alasannya adalah paksaan untuk menikah dengan budak
laki-laki saja, mereka berpendapat, dia hanya diberi hak khiyar ketika suaminya
seorang budak.[20]
Sedangkan
perselisihan tentang penukilan, yaitu telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
suami Barirah adalah seorang budak hitam. Dan diriwayatkan dari Aisyah bahwa
suaminya adalah seorang yang merdeka. Dan kedua penukilan ini memiliki
ketetapan menurut ahli hadits.
Para ulama juga
berbeda pendapat tentang waktu yang dibolehkan baginya untuk melakukan khiyar:
1)
Malik dan
Syafi’i berpendapat dia dibolehkan melakukan khiyar selagi suaminya belum
menggaulinya.
2)
Abu Hanifah
berpendapat khiyarnya adalah ketika di majlis.
3)
Al-Auza’i
berpendapat khiyartnya gugur karena menggaulinya, jika dia mengetahui bahwa
menggauli bisa menggugurkan khiyarnya. [21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kafa’ah atau kufu’
dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan
keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak
merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.
Landasan
kafa’ah terdapat dalam Al-Qur’an, dan KHI. Para ulama berbeda pendapat mengenai
kriteria kafa’ah. Baik Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Imam Ahmad ibn Hanbal.
Terdapat berbagai macam hikmah kafa’ah
dalam pernikahan, salah satunya adalah merupakan wujud keadilan dan konsep
kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
Aib-aib dalam pernikahan adalah kekurangan
pada fisik atau akal pada salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang
tercapainya tujuan pernikahan dan tidak tercapainya kebahagian hidup suami
isteri.
Salah satu aib tersebut dalah cacat. Misalanya
seperti gila, impoten, kusta, dan lain-lain. Adanya hak memilih akan menjadi tetap terhadap
pasangan yang tidak rela dengan aib pada pasangannya.
Hal-hal yang mendorong adanya khiyar (hak
memilih) dalam pernikahan ada empat yaitu cacat, kesulitan untuk memberikan
mahar, nafkah atau pakaian, kehilangan (maksudnya kehilangan suami), dan kemerdekaan
yang dimiliki oleh budak wanita yang bersuami.
Dengan hak khiyar yang diberikan
maka demi tujuan kawin yang akan dibina nanti, manakala ternyata ditemukan
cacat salah satu pihak, terutama cacat keagamaannya, baik prianya maupun
perempuannya, pihak yang satu sah memutus hubungan dengan pihak lain.
[1]
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.
56.
[2] Tihami dan
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:
Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 57.
[3]
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 145.
[4] Dahlan Idhamy.
Azas-azas Fiqh Munakahat, Hokum Keluarga Islam. hlm. 19
[7] Ibnu Hajar
al-Atsqalani. Bulughul Maram. hlm. 209.
[8] Abdur Rahman
Ghazali. Fiqih Munakahat. hlm 98-100
[11]Abdurrahman
Al-Jaziri, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, hlm. 169
[12] Habib
Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir. hlm, 463
[13] Habib
Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir. hlm, 463
[14] Abdurrahman
Al-Jaziri, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, hlm.463
[15] Shalih, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, terj. Asmuni,
(Cet. I; Jakarta: Darul Falah, 2005), h. 850.
[16]
Achmad Kuzari, Nikah
Sebagai Perikatan, Edisi 1, (Cet. 1:Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
h.23-24.
[17]
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj.
Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.
99-100.
[18]
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj.
Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.
103.
[19]
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj.
Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.
104.
[20]
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h.
105.
[21]
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj.
Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.
106.
Tags:
MAKALAH