Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 27 Januari 2016

MAKALAH PENGERTIAN HAK ASUH ANAK DALAM PERNIKAHAN (MAKALAH )

Januari 27, 2016 0




Kata Hadhanah berasal dari kata “Hidhan”, artinya: lambung. Dan seperti kata: Hadhanah ath-thairu baidhahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengempit anaknya.
Para ahli fiqh mendefinisikan “hadhanah” ialah: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.[1] Mengasuh anak juga berarti mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Berusaha untuk mendidik anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh agam dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan, diharapkan agar anaknya nanti akan melanjutkannya. Anak yang shaleh merupakan amal orang tuanya. Hanya do’a anak yang shalehlah yang dapat meringankan orang tua yang telah meninggal dunia dari siksaan Allah, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah SAW. Dalam hadits beliau:
اِذَامَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَمَلِهِ إِلَّامِنْ ثَلاَثٍ:مِنْ وَلَدٍصَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ أِوْصَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْفَعُ بِهِ (رواه مسلم)
Artinya:
“Apabila seorang manusia telah meninggal, putuslah (pahala) amalnya, kecuali dari tiga perkara: dari anak yang shaleh yang mendo’akannya atau shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat” (HR. Muslim)
Dan firman Allah SWT:
$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6)

Yang dimaksud dengan memelihara dalam ayat tersebut di atas ialah mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi agama. Ayat ini memerintahkan agar semua kaum muslimin berusaha agar mendidik keluarganya.[2]
Hadhanah merupakan kewajiban bersama, akan tetapi jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayah, maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu daripada ayahnya, selama tidak ada suatu alasan yang mencegah ibu melakukan pekerjaan hadhanah tersebut, atau karena anak telah mampu memilih apakah mau ikut ibu atau bapak.  Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي, وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)

Seorang hadhinah (Ibu) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu kecakapan dan kecukupan. Kecukupan dan kecakapan juga memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.
Syarat-syaratnya itu ialah:
  1. Berakal Sehat, jadi bagi orang yag kurang akal seperti gila, keduanya tidak boleh menangani Hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang punya apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang lain.
  2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
  3. Mampu Mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri juga perlu diurus oleh orang lain.
  4. Amanah dan Berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang curang itu.
  5. Islam, anak Muslim tidak boleh diasuh oleh orang yang bukan Muslim, sebab hadhanan adalah masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam surat Annisa’ ayat 141:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
Artinya:
“… dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang orang kafir menguasai orang orang mukmin. (QS. Annisa’: 141)

  1.  Ibunya tidak kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah di atas:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)

  1. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.[3]

  1. Memberi Nafkah dalam Pernikahan
    1. Kewajiban Nafkah
Kaum Muslimin sepakat bahwa, perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah. Nafkah atas istri ditetapkan nashnya dalam surat berikut ini:
4 ’n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%ø—Í‘ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr 4 Ÿw §‘!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 ’n?tãur Ï^Í‘#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÇËÌÌÈ
Artinya:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. (QS. Al-Baqarah:233)
Yang dimaksud para ibu di situ adalah istri-istri, sedangkan yang dimaksud dengan ayah adalah suami-suami.[4]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami semenjak akad perkawinan dilakukan.
Keberadaan nafkah tentunya sangat penting dalam membangun keluarga. Jika dalam keluarga nafkah tidak terpenuhi, baik itu nafkah untuk isteri maupun anak-anaknya, dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakberhasilan dalam membina keluarga.
Kata nafkah di atas sendiri adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yaitu nafakah yang berarti “belanja”, “kebutuhan pokok”. Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.
Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa yang termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu ialah: pangan, sandang dan tempat tinggal, sedang ahli fiqh yang lain berpendapat bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga , maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan, sedang kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.[5]
  1. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Nafkah lahir, yaitu nafkah bersifat materi seperti sandang, pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak
  2. Nafkah batin, nafkah yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.
  3. Syarat-syarat Nafkah
Syarat bagi seorang perempuan berhak menerima nafkah adalah sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja.[6] Sedangkan dalam kaitannya ayah menafkahi anak atau dengan kata lain anak di nafkahi ayah, yaitu dengan syarat:
  1. anak dalam keadaan miskin dan tidak mampu bekerja,atau anak yang tidak mempunyai pekerjaan. Hal ini Nampak dalam dua keadaan: pertama, anak-anak tersebut masih kecil, dan kedua, anak-anak tersebut sudah besar tetapi tidak mempunyai pekerjaan atau karena mereka itu anak perempuan.
  2. Hendaklah si ayah dalam keadaan kaya yang mampu memberi nafkah.[7]
  1. Akibat Dari Putusnya Perknikahan
Akibat positif yang bisa didapatkan dari perceraian (putusnya pernikahan) adalah terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi dampak negatif dari perceraian akan lebih banyak, seperti:
  1. Akibat Perceraian Bagi Suami Istri
    1. Perceraian sering menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut, seperti stres dan despresi. Keadaan ini tidak menguntunggakan untuk kehidupan dia dalam hal pergaulan ataupun pekerjaan.
    2. Meranggangkan hubungan silaturahmi diantara keduanya, apalagi kalau perceraiannya karena permusuhan.
    3. Perceraian membuat trauma pada pasangan yang bercerai tersebut sehingga tidak ingin menikah lagi.
    4. Akibat Perceraian Bagi Anak
Anak-anak yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan sedih bila orangtua mereka bercerai. Bahkan bisa dikatakan korban yang paling parah dari perceraian adalah anak. Anak bisa mengalami despresi, stres dan tertekan, anak juga bisa menjadi sangat membenci orang tuanya, terjebak ke pergaulan bebas, atau anak akan menjadi takut menikah karena melihat kegagalan orang tuanya. Dan masih banyak lagi akibat dari perceraian.
Selain itu akibat dari putusnya perkawinan menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ialah:
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu dapat memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk menghidupkan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.[8]
IV. ANALISIS
Selain terhadap harta perkawinan yang didasarkan hukum Islam juga memberi akibat terhadap anak-anak yaitu siapa yang memegang hak asuh anak setelah kedua orang tuanya bercerai. Dalam kasus percerain, persoalan hak asuh anak merupakan masalah yang sering menjadi pangkal sengketa diantara suami-istri yang bercerai.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, pada prinsipnya jika terjadi perceraian maka hak asuh jatuh ke tangan ibunya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriyah semata melainkan juga kedekatan batiniyah.
Namun meskipun pada prinsipnya hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya, kompilasi hukum islam masih memberi kesempatan kepada si anak untuk memilih antara ikut ayah atau ibunya. Pilihan itu diberikan kepada anak yang telah mumayyiz, yaitu seorang anak yang telah berusia 12 tahun. Seorang anak yang telah berusia 12 tahun oleh hukum dianggap telah dapat menentukan pilihannya sendiri ketika kedua orang tuanya bercerai, yaitu mengikuti ayah atau ibunya.
Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya harus disertai jaminan keselamatan jasmani dan rohani si anak meskipun biaya kehidupan si anak telah terjamin. Apabila memegang hak asuh anak, baik ayah maupun ibunya ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan dapat meminta kepada pengadilan agama untuk memindahkan hak asuh anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh. Dan siapaun yang memegang hak asuh, semua biaya hak asuh dan nafkah anak merupakan tanggung jawab ayahnya. Tangggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya dan berlangsung sampai anak mencapai dewasa (21 tahun).
  1. KESIMPULAN
Hadhanah ialah: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Syarat bagi seorang perempuan berhak menerima nafkah adalah sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Dampak positif yang bisa didapatkan dari perceraian adalah terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi dampak negatif dari perceraian akan lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidy, Mu’ammal, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam,Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984
Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta: Lentera, 2007
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980
___________, Fikih Sunnah vol. 8, Bandung: PT Alma’arif, 1980
3.11.12, 13.18



[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah vol. 8, (Bandung: PT Alma’arif, 1980), hlm. 173
[2] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 129-130
[3] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 8, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm.,179-184
[4] Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, (Jakarta: Lentera, 2007), hlm. 400
[5] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 119-120
[6] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm., 80-81
[7] Mu’ammal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984), hlm., 180

Read More

MAKALAH PENGERTIAN NIKAH MUTAH

Januari 27, 2016 0




A.    NIKAH MUT’AH
Nikah Mut’ah adalah akad yang di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafaz tamattu’,istimta’, atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah mut’ah di sebut juga kawin kontrak (muaqqad) dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu, atau tidak ada wali saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut’ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus karena laki-laki menikahi perempuan itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah mut’ah karena laki-lakinya, bermaksud untuk bersenang-senang secara temporer.


Nikah Mut’ah menurut Abdul Wahad merupakan perkawinan yang dilarang (bathil). Larangan tersebut telah di sepakati oleh jumhur ulama. Dengan menyatakan bahwa tidak ada yang mengakui perkawinan tersebut.
Seluruh Imam Mazhab mengharamkan nikah mut’ah dengan alasan sebagai berikut.
1.      Nikah Mut’ah tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi, hukumnya batal sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
2.      Banyak Hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya nikah mut’ah. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW. Mengharamkan nikah mut’ah dengan sabdanya:
يا ايها النا س اني كنت اذ نت لكم ف الا ستمتاع الا وان الله قد حر مها الى يوم القيا مة
Artinya:
wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
Zufar berpendapat nikah mut’ah di sebut dengan tegas dan jelas batas waktunya maka kawinnya sah, tetapi pembatasan waktunya yang batal. Hal ini apabila di dalam ijab qabulnya di gunakan kata-kata tazwij (kawin), tetapi kalau digunakan kata-kata mut’ah (sementara), hukumnya haram dan batal sebagaimana jumhur ulama.
Hadits lain yang di kemukakan oleh Ali bin Abi Thalib menyebutkan:
وعن علي رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهي عن متعة النساء يوم خيبر وعن لحوم الخمرالاهلية
Artinta:
Dari Ali, Rasulullah SAW. Telah melarang kawin mut’ah pada waktu perang khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya. (H.R.Imam Muslim)
3.    Ketika menjadi khalifah, Umar berpidato menyatakan keharaman nikah mut’ah. Ketika itu, para sahabat langsung menyetujuinya padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, jika pernyataan Umar tentang haramnya nikah mut’ah itu salah.
Nikah Mut’ah itu sebenarnya baru diharamkan pada tahun penaklukan kota Mekkah, sebagaimana diriwayatkan di dalam shahih Muslim, bahwa para sahabat pada penaklukan kota Mekkah masih ada diizinkan oleh Nabi melakukan nikah mut’ah. Jika benar pada perang khabar itu di haramkan, brarti terjadi nasakh (pembatalan hukum) dua kali. Padahal, tidak pernah terjadi pembatalan hukum samppai dua kali, karena itulah muncul ikhtilaf di kalangan ulama tentang hadits yang bersangkutan. Ada yang berpendapat bahwa Nabi pernah melarang memakan daging keledai penduduk Khaibar pada waktu Perang Khaibar dan melarang nikah mut’ah, tetapi tidak di sebutkan dengan tegas sejak kapan nikah mut’ah itu di larang, sedangkan hadits Muslim di atas menjelaskannya, yaitu pada tahun penaklukan Mekkah.
Imam Syafi’i tetap berpegang pada lahiriyah hadits itu. Ia berkata,”Tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang di halalkan Allah lalu di haramkann-Nya, lalu di halalkan-Nya kemudian di haramkan-Nya lagi, kecuali soal kawin mut’ah”. 
4.      Al-Khattabi menyatakan bahwa Nikah Mut’ah telah dispakati keharamannya oleh ulama mazhab, kecuali ulama Syi’ah Imam 12 yang membolehkannya. Dalil yang mereka rujuk adalah riwayat yang membolehkan perkawinan ini pada awal priodisasi munculnya Islam, sebelum turun dalil yang me-nasakh-nya. Dalil lain yang di jelaskan alasan adalah firman Allah An-Nisa’ ayat 24 :
فما استمتعتم به منهن فا تو هن اجورهن فريضةَ
Artinya:
Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban.
Ayat tersebut mewajibkan memberikan harta bagi perempuan sebagi ganti telah bersenang senang  dengannya. Ayat tersebut menyebutkan ajran (upah). ‘bersenang-senang‘ dengan seorang perempuan berarti tidak menikahinya. Upah di situ juga bukan berarti mahar. Hal itu menjadi dalil terhadap kebolehan mut’ah.
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa kelompok syi’ah Imamiyah jika menghadapi masalah ikhtilah selalu merujuk pada dalil-dalil yang dikeluarkan oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi kali ini, justru dalil yang menyatakan bahwa nikah mut’ah telah di hapus, adalah dalil yang dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib dengan hadits yang kedudukannya sahih. Bahkan, di perkuat oleh Baihaki yang meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia di tanya tentang nikah mut’ah. Baihaqi menjawab bahwa nikah mut’ah sama dengan zina.
5.      Nikah Mut’ah  sekedar bertujuan melampiaskan Syahwat, bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya. Nikah Mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu yang menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas laki-laki dengan mengatasnamakan kondisi darurat. Oleh karena itu, nikah mut’ah disamakan dengan zina, jika dilihat dari segi tujuan untuk semata-mata bersenang senang.
Selain itu, nikah mut’ah dapat membahayakan posisi perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan tempat tinggal dan tidak memproleh pemeliharaan serta pendidikan dengan baik.
Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi’in bahwa nikah mut’ah  itu halal, sebagaimana di sebut dalam riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitab Tahdzin Al-sunan bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah bila di perlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak. Akan tetapi, pendapat ini kemudian di cabut ketika banyak orang melakukannya secara berlebihan. Jadi, nikah mut’ah tetap haram bagi orang yang tidak memiliki alasan yang sah. 
Al-Khattabi menyebutkan pernyataan Said bin Jubair yang pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang fatwanya menegenai kebolehan nikah mut’ah, sehingga diikuti oleh para khalifah yang sedang berdagang di negeri orang. Para khalifah tersebut memanfaatkan pendapat Ibnu Abbas mengenai kebolehan nikah mut’ah. Mereka berkata, “Ibnu Abbas telah mmebolehkan nikah mut’ah maka bersenang senanglah sampai engkau kembali ke rumah”. Mendengar itu Ibnu Abbas kaget dan bersumpah dengan nama Allah, bahwa ia tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang kebolehan nikah mut’ah. Ia pun membaca Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Demi Allah saya tidak berfatwa begitu, dan tidak dan tidak pula bermaksud begitu. Kalaupun saya menghalalkan, itu seperti Allah menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi, yang semua itu tidak halal, kecuali bagi orang-orang yang terpaksa. Nikah mut’ah itu ibarat bangkai, darah, dan daging babi.
Jumhur fuqaha menyatakan bahwa nikah mut’ah itu batil dengan mengambil dalil dari Al-Qur’an surat Al-Mu’min yat 5-6:
والذين هم لفروجهم حفظون ّ الا على ازواجهم اوماملكت ايما نهم فانهم غير ملومين
Artinya:
Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
Pada dasarnya, orang-orang melakukakan nikah mut’ah bukan karena adanya pandangan Ibnu Abbasatau pandangan ulama Syi’ah Imamiyah dan Jumhur ulama. Menurut Sayyid Sabiq, kebanyakan yang nikah mut’ah adalah orang-orang yang tidak mau memberi harta pusaka bagi anak isttinya, sebagaimana pada zaman jahiliyah. Perempuan dan anak-anak hanyalah objek penderitaan yang selalu dikuasai raga dan hartanya oleh wali-wali mereka.
Kelompok Syi’ah memandang bahwa nikah mut’ah dibolehkan sepanjang kondisi darurat. Hal ini karena semenjak awal di perbolehkannya nikah mut’ah adalah karena keadaan emergensi, yaitu ketika para sahabat sedang berpereng, sedangkan mereka jauh dari istri-istrinya maka ketika itu Rasulullah SAW, membolehkannya. Akan tetapi, Umar bin Khattab melarangnya karena perajurit yang sedang berpereng dan melakukan nikah mut’ah akan mengalami kelengahan dan mengakibatkan kalah dalam berperang. Di samping itu, pembolehan nikah mut’ah hanyalah salah satu bagian dari proses penegakan syari’at Islam yang di sampaikan secara bertahap.
Orang-orang Jahiliyah telah lama menjadikan perempuan sebagai objek hawa nafsu, kemudian Islam membawa kebiasaan tersebut dengan menyodorkan salah satu syarat, yaitu “jika kondisi darurat”. Setelah itu, lahirlah hadits yang menyatakan keharaman nikah mut’ah. Hadits ini memancing Ikhtilaf di kalangan ulama, karena “kondisi darurat” dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, bagi kaum syi’ah, tidak ada nasakh dalam kaitannya dengan kedaruratan, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang menegaskan adh-dhararu yuzal dan adh-dharuratu tubih al-mahdurah, artinya kemudharatan memebolehkan sesuatu yang dilarang.
Rasulullah SAW, mengeluarkan larangan mut’ah sebanyak enam kali pada kesempatan yang berbeda untuk menguatkan pengharamannya bagi kaum muslim. Ketika para sahabat meminta Rasulullah SAW untuk memberikan rukhsah (keringanan) untuk pengendalian syahwat mereka, Rasulullah SAW, tidakmengabulkan permintaan tersebut. Seandainya nikah mut’ah itu halal, para sahabat tentu akan melakukannya pada saat peperangan, tetapi mereka tidak melakukannya. Hal ini menunnjukkan bahwa pada akhirnya nikah mut’ah hukumnya haram.
Dalam Al-Muhadzdzab di katakan bahwa nikah mut’ah itu tidak di perbolehkan, yaitu mngucapkan akad “Aku nikahkan engkau dengan putriku sehari atau sebulan” ini sesuai dengan hadits yang di riwayatkan oleh Muhammad bin Ali r.a yang mendengarkan ayahnya, Ali bertemu Ibnu Abbas. Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah dengan perempuan. Ali pun berkata, “Engkau orang yang bertindak gegabah, sesungguhnya Rasulullah SAW, telah melarangnya pada hari Khabir. Tidak boleh ada pembatasan dalam akad nikah, seperti jual beli. Nikah mut’ah tidak terkait dengan talaq, nafkah, waris-mewarisi, dan iddah wafat. Oleh karena itu, nikah seperti itu batal, seperti nikah batal lainnya.

B.     HIKMAH PENGHARAMAN NIKAH MUT’AH
Adapun hikamh pengharaman nikah mut’ah adaalah tidak terealisasinya tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng, serta tidak bertujuan untuk membentuk keluarga yang langgeng. Dengan diharamkannya tidak akan lahir anak-anak zina dan lelaki yang memanfaatkan nikah mut’ah untuk berbuat lacur.
Adapun ayat Al-qur’an yang di pakai oleh golongan Syi’ah bukanlah dalil untuk nikah mut’ah melainkan untuk nikah abadi, dengan dalil bahwa ayat sebelum dan sesudahnya, serta ungkapan dalam ayat dengan kata istamta’ makssudnya bukan mut’ah sebagaimana yang di yakini Syi’ah Imamiyah, melainkan istimta’ dengan istri yang sah menurut sayriat (bersenang-senang dengan istri). Kemudian yang di maksud dengan ‘ujur (upah) dalam ayat tersebut adalah mahar. Al-Qur’an menyatakan mahar dengan ‘ujur sebagai majaz (kiasan), seperti di jelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 25:
   فانكحو هن باذن اهلهن وا توهن اجورهن باالمعروف
Artinya:
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka mas kawin yang pantas  
  
Q.S An-Nisa 25
اذا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مسا فحين
Artinya:
Apabila kamu membayar maskawin mereka untuk manikahinya, tidak bermaksud berzina.

Ibnu Hazm dan sebagian ulama fiqh dari mazhab maliki berpendapat bahwa hadd (saksi hukum) wajib di tegakkan untuk orang yang bersetubuh dalam nikah mut’ah, padahal dia tau bahwa hukum mut’ah itu haram. Mereka mengatakan bahwa kesepakatan yang diambil setelah dan keharamanya. Hal ini seperti nikah yang kelima, atau menikahi orang yang dalam masa  iddah. Dengan demikian wajib menegakkan hadd bagi mereka yang mengakui keharamannya.
Banyak ulama fiqh mengingatkan adanya iijma’ tentang keharaman mut’ah setelah terjadinya berbedaan mengenai hukumnya. Al-Baji mengatakan keharaman nikah mut’ah itu berdasarkan perkataan umar. Ia melihat perkataan Umar tidak bertentangan dengan ijma’.  Ibnu Munzdir berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang membolehkan mut’ah pada hari ini, kecuali segelintir orang yang menolak pengharaman itu. Tidak ada artinya perkataan yang bertentangan dengan firman Allah dn sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian, pendapat yang datang dari para ulama salaf sudah menguatkan kebenaran adanya nasakh (menghapuskan) terhadap hukum bolehnya nikah mut’ah. Jadi, jelaslah bahwa nikah mut’ah haram berdasarkan ijma’ ulama. Itu berarti pula batallah nikah mut’ah, dan persetubuhan di dalamnya adalah zina, yang pelakunya wajib di hukum (rajam atau jillid), yakni bagi mereka yang  mengetahui hukumnya dan dengan sengaja melakukan persetubuhan.
  Golongan Syi’ah imamiyah Imamiyah membolehkannya dengan syarat-syarat berikut.
1.      Ucapan Ijab qabulnya dengan lafazh: Zawwaj atau unkihuka (saya kawinkan kamu) atau matta’tuka (saya kawinkan kamu sementara).
2.      Istrinya haruslah seorang muslim atau ahli kitab, tetapi di utamakan memilih perempuan mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3.      Membayar mahar/ maskawin: harus di sebutkan maskawinnnya dan boleh dengan membawa saksi dan perhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya segenggam gandum.
4.      Batas waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat di dalam pernikahan tersebut.
5.      Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing, misalnya sehari, sebulan, atau setahun, pokoknya harus ada pembatasan waktu.

Menurut golongan Syi’ah, hukum nikah mut’ah adalah sebagai berikut.
1.      Kalau maskawinnya tidak disebut, tetapi batas waktunya di sebutkan akad nikahnya batal. Akan tetapi, kalau maharnya di sebutkan, sedangkan batas waktunya tidak disebutkan, perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
2.      Anak yang lahir menjadi anaknya
3.      Tidak ada talak dan li’an
4.      Tidak ada hak pusaka-memusakai antara suami istri
5.      Anaknya berhak mewarisi ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi anaknya.
6.      Masa Iddah dua kali masa Haid, bagi yang masih berhaid. Bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya, masa iddahnya 45 hari.

Imam Syauqani berkata : “sepenuhnya kami hanya berpegang pada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami, nikah mut’ah itu di haramkan untuk selama-lamanya”. Adapun sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini berarti telah mencederakan hukum ini, dan kami pun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat di jadikan dasar untuk meringankan hukum nikah mut’ah. Bagaimana mungkin nikah mut’ah ini bisa di berikan keringanan, padahal sebagian besar sahabat telah mengetahui keharamannya dan mereka pun menjauhinya. Bahka mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits mengenai keharaman nikah mut’ah bahkan Ibnu Umar pernah berkata dalam hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanadnya sahih.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذن لنا فى المتعة شلاثا ثم حرمها والله لااعلم احد ا تمتع وهو محصن الا رجمتها با الحجا رة  


Read More

TAFSIR SURAT AL-QASHAS 27 TENTANG ANAK WANITA YANG MEMINTA AYAHNYA AGAR MEMINANGKAN ANAK LELAKI KEPADANYA

Januari 27, 2016 0



  Seorang anak perempuan meminta Ayahnya untuk meminang laki-laki
QS. Al-Qashas 27
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَىَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَآأُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِينَ {27}


Berkatalah dia (Syu'aib):"Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (QS. 28:27)



Tafsirannya :
ابنتي   : Dua orang anak perempuan
تأ جرنى : Kamu menjadi pekerjaan yang aku sewa untuk mengembala kambing ku
حجج : Tahun- tahun
Para mufassir berikhtilaf mengenai laki-laki ini ada yang mengatakan dia adalah Nabi Syuaib a.s ada pula yang mengatakan orang itu adalah saudara Syu’aib yang bernama Tsairun. Namun, pendapat yang masyhur di kalangan para ulama ialah yang pertama. Thabrani meriwayatkan dari Salamah bin Sa’ad al-Ghazi yang menjadi utusan untuk menghadap Rasulullah maka beliau bersabda kepadanya[1],
Selamat datang kaum syuaib dan dua orang saudara musa. Allah telah memberimu hidayah  
Firman Allah Ta’ala salah seorang di antara kedua wanita itu berkata “Hai bapak ku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya orang yang paling baik untuk engkau pekerjakan adalah orang yang kuat dan jujur” sang ayah berkata kepada anaknya ini” apa dasarnya kamu mengatakan demikian? “ Dia menjawab “Dia dapat mengangkat batu yang hanya dapat di angkat oleh sepuluh orang laki-laki. Dan ketika aku berjalan bersamanya, sedang aku berada di depannya, dia berkata kepadaku “ Berjalanlah di belakang ku. Jika aku salah jalan lemparkanlah batu krikil ke arah jalan yang benar agar aku tidak tersesat.
            Ayat ini menceritakan tentang pertemuan yang pertama kali antara Nabi dan Musa dengan Syua’ib di Mdyan. Pada waktu itu, langsung Nabi syuaib menawarkan salah seorang dari  dua putrinya kepada nabi musa untuk di jadikan istri. Dengan kata lain, pinangan di majukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki.
Pinangan seperti itu adalah suatu sunnah yang berlaku sejak zaman dahulu dan berlaku pada zaman nabi-nabi, seperti yang di kisahkan oleh ayat ini. Yakni terhadap laki-laki soleh dan baik, sunnah membolehkan pinangan itu datangnya dari pihak perempuan. Peristiwa seperti ini pernah dilakukan juga oleh sahabat-sahabat di zaman rasulullah SAW.
            Imam syafi’i berkata Allah menyebutkan bahwa seorang Nabi diantara para Nabi-Nya telah mempekerjakan dirinya selama beberapa tahun sebagai ganti dari mahar isrtinya. Lalu Allah menunjukkan kebolehan (kehalalan) sewa-menyewa. Dia juga menetapkan sewa-menyewa itu boleh di langsungkan beberapa tahun. Jika seseorang pekerjakan orang lain tanpa ada hitungan tahun, hal ini termasuk bentuk sewa-menyewa yang dibolehkan. Ada yang berpendapat bahwa dia (Nabi Syu’aib) mempekerjakan Nabi Musa sebagai pengembala kambing.
            Imam Syafi’i berkata “ Mahar itu adalah sesuatu yang berharga, dan setiap sesuatu yang berharga dapat di jadikan mahar. Allah swt membolehkan setiap mahar itu dalam bentuk sewa menyewa yang di jelaskan di dalam kitab-Nya. Kaun Nabi muslimin juga membolehkannya. Allah juga menuturkannya kisah Nabi Syu’aib dan Nabi Musa. Lalu kisah ini di tafsirkan dalam sebuah hadits tentang Umar bin Khattab yang menawarkan hafsah putrinya untuk Abu Bakar dan usman tapi keduanya menolak akhirnya hafsah di nikahi oleh Nabi Saw.
Hafshah binti ‘Umar. Ia merupakan salah seorang putri Umar bin Khaththab. Khunais bin Hudzafah, suami Hafshah syahid di medan perang Badar. Hafshah yang menjanda kemudian ditawarkan Umar kepada Utsman bin Affan yang kebetulan sedang ditimpa musibah kematian istrinya, akhirnya memutuskan minta maaf. Kemudian Umar menawarkan kepada Abu Bakar, namun ia tidak menjawab tawaran itu hingga membuat Umar tidak sabar karena menunggu keputusan yang tak kunjung datang. Riwayat lengkapnya seperti berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُحَدِّثُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِينَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السَّهْمِيِّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا تُوُفِّيَ بِالْمَدِينَةِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa dia mendengar Abdullah bin Umar ra, bercerita, bahwa Umar bin Khattab berkata ketika Hafshah binti Umar menjanda dari Khunais bin Hudzafah As Sahmi -ia termasuk  di antara sahabat Rasulullah Saw yang ikut serta dalam perang Badr dan meninggal di Madinah-, Umar berkata, Maka aku datangi Usman bin 'Affan dan kutawarkan Hafshah kepadanya.
عن ابن عمر لما تأ يمت حفصة بن خذافة خنيسس السهمى قال عمر لعثمان : إن شئت أنكحك حفصة بنت عمر وكذلك قال لأبي بكر , لكنهما امتنعا لأن النبي ص.م ذكرها بخير , فلم يفشيا سره وفهما أنه يريد الزواج بها  
Adapun kisah dari hafsah disini menggambarkan bahwa sanya seorang ayah itu sangat menjaga dan memperhatikan anaknya terutama anak perempuan di karena perempuan itu memiliki sifat yang dan lemah dan lembut sehingga butuh terhadap perlindungan. Dan dalam sudut pandang yang lain dalam mencarikan pasangan hidup orang tua terutama ayah itu memiliki peranan yang besar dalam memilih atau melihat calon suami untuk si anaknya.
Dan di dalam keriteria nya dalam melihat atau dalam memlihkan calon suami untuk anaknya yaitu seorang yang mampu menggantikan peranan si ayah yaitu untuk melindungi dan menjaga anaknya, maka di dalam surat Al-Qashas di atas seorang ayah yang bernama syu’aib berkata kepada seorang pemuda ia memiliki maksud untuk menikahkan pemuda tersebut dengan salah satu dari kedua anak perempuan beliau dan ayah tersebut memiliki ketentuan yaitu untuk mempekerjakan pemuda tersebut dalam artian disini ayah tersbut ingin melihat bagaimana sikap pemuda tersebut apakah ia bertanggung jawa, jujur, amanah dan mampu terpercaya untuk menjaga anak perempuannya tersbut. 







[1].  
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot