Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH HUBUNGAN SEBAB AKIBAT DALAM HUKUM PIDANA

Desember 12, 2015 0




A.      Teori Conditio Sine Quanon

       Teori Conditio Sine Quanon (teori syarat mutlak) dikemukakan oleh Von Buri Presiden Reichsgericht Jerman. Buri mengemukakan, musabab adalah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat.[4] Teori ini juga disebut teori ekuivalen, karena menurut teori ini, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (Equivalent) terhadap timbulnya suatu akibat. Penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi. Kalau satu saja faktor tersebut dihilangkan, maka akibatnya mungkin akibatnya tak ada atau lain dari yang terjadi. Selain itu teori ini juga disebut dengan bedingungstheorie karena dalam ajran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dan mana faktor penyebab (causa). Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
       Sebagai contoh:

A berniat membunuh B dengan menembakkan peluru di bagian dada. Ternyata tembakan tersebut tidak membunuh B, namun A melarikan diri karena panik. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, B berjumpa dengan C yang juga menaruh dendam kepada B. C memukul B hingga terjatuh ke dalam selokan yang berisi air kotor. C meninggalkan B. Kemudian B berhasil sampai di Rumah Sakit dan ditangani oleh dokter D. Karena kurang cermat, D memberikan obat padahal masih terdapat sisa amunisi dalam lukanya setelah dibersihkan sehingga memperburuk keadaan B. Setelah beberapa lama kemudian, B meninggal dunia.
       Dalam perspektif Conditio Sine Qua Non yang tidak membedakan antara syarat dan sebab, perbuatan penembakan, pemukulan, salah diagnosa dan kurang cermat dalam membersihkan luka korban merupakan serangkaian sebab yang menimbulkan akibat secara bersamaan. Hilangnya salah satu sebab dari rangkaian tersebut menyebabkan akibat tidak terjadi. Teori ini tidak melakukan pemilihan atas sebab yang dinilai paling berpengaruh terjadinya akibat. Konsekuensinya, bukan hanya A, C dan D yang adequat dengan akibat melainkan juga meliputi (pembuat) peluru dan senapan karena kedua alat tersebut turut mengakibatkan matinya korban.      
       Penganut teori Von Buri adalah Van Hammel yang mengatakan bahwa teori Conditio Sine Qua Non satu-satunya teori logis yang dapat dipertahankan. Namun, penggunaannya dalam hukum  pidana harus disertai oleh teori kesalahan. Teori ini menyatakan tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara sekian banyak faktor dalam suatu peristiwa yang menimbulkan akibat terlarang harus bertanggung jawab atas akibat itu, melainkan apabila perbuatan dirinya terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan atau kealpaan.
       Dalam perkembangan selanjutnya timbul dan berkembang ajaran tentang hubungan sebab akibat sebagai penyempurnaan dari teori Conditio Sine Qua Non, yaitu (1) teori Generalisasi, dan (2) teori Individualisasi.

B.       Teori Generalisasi
     Termasuk ke dalam teori ini adalah teori adequate yang dikemukakan oleh Von Kries. Menurut Kries, musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.[5] Teori ini pada pokoknya menjelaskan bahwa teori Von Buri terlalu luas, maka harus dipilih satu faktor saja yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai sebab (causa).[6] Teori ini mengajarkan bahwa dari rangkaian faktor-faktor yang oleh Van Buri diterima sebagai causa, maka dicari faktor yang dipandang yang dipandang paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang bersangkutan.[7]
     Teori ini berpijak pada fakta sebelum kejadian (antefaktum). Maksudnya apakah di antara serentetan syarat ini ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu.[8]
     Untuk menentukan bahwa suatu sebab itu pada umumnya secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat maka timbul dua pendirian yaitu:
1)      Pendirian subjektif ( Teori Adequat Subjectif)
     Teori Adequat Subjectif dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, faktor yang diketahui dan disadari oleh si pembuat yang akan menimbulkan akibat tersebut. Jadi dalam teori ini faktor subjektif atau sikap batin sebelum si pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu adalah adequat untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.[9]
Contoh: si A mengetahui bahwa si B mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memukul si B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.
2)      Pendirian objektif (Adequat Objectif)
     Pada ajaran adequat objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor- faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor- faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/ sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.[10]
Contoh: meninggalnya pasien yang diminumkan obat oleh perawat, yang sebelumnya telah dicampuri racun oleh orang yang ingin membunuh pasien, walaupun tidak diketahui oleh perawat, perbuatan perawat meminumkan obat yang mengandung racun adalah adequat terhadap matinya pasien, karena itu ada hubungan kausal dengan akibat kematian pasien.[11]
C.       Teori Individualisasi
     Teori Individualisasi ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkrit (post factum).[12] Teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Menurut Remelink, teori individualisasi disebut juga teori pengujian causa proxima. Menurut ajaran ini dimengerti sebagai sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat (sebab yang dapat dipikirkan lepas atau berjarak dari akibat disebut causa remota).[13] Sebab dibatasi dengan satu atau beberapa peristiwa/faktor saja yang dianggap berpadanan, paling dekat atau seimbang dengan terjadinya akibat. Tidak semua sebab dapat menimbulkan akibat, hanya sebab yang paling dekat dengan timbulnya akibat.
     Berkemeyer, sebagai penganut teori ini mengemukakan pendapat sebagai berikut: “Dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya suatu akibat, yang menjadi sebab adalah syarat yang dalam keadaan tertentu, paling dominan untuk menimbulkan akibat”. Kesulitannya adalah menentukan syarat yang paling dominan. Menurut Karl Binding, musabab adalah syarat yang paling menentukan dalam syarat-syarat yang positif untuk melebihi yang negatif. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi karena faktor yang menyebabkan timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif) daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan memenangkan faktor positif tadi.
     Dalam kaitannya dengan teori individualisasi ini perlu dikemukakan pandangan Schepper, guru besar hukum pidan R.H.S dahulu sebagai berikut:
a.       Hubungan kausal letaknya di lapangan sein (lapangan lahir) bukan lapangan sollen (lapangan batin).
b.      Musabab adalah kekuatan yang mengadakan faktor perubahan dalam suasana keseimbangan yang menjadi pangkal peninjauan dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan yang memberi arah dalam proses alam, menuju pada akibat yang dilarang.
c.       Meskipun ukuran, faktor perubahan menuju ke arah akibat tersebut dalam positifnya dan kepastiannya hanya relatif saja, tetapi secara negatif sudah dapat ditarik batas yang pasti, yaitu manakala untuk kejadian itu selain dari hubungan yang kita dapatkan, maka disitulah ternyata bahwa hubungan yang pertama itu tidak kuat untuk dijadikan dasar dari tindak pidana.[14]
Contoh: si A memukul si B hingga luka, A melarikan diri, sedangkan B naik taxi menuju rumah sakit. Si sopir taxi ngebut dan akhirnya jatuh ke sungai yang dalam airnya. B tenggelam dan meninggal.
Menurut teori yang mengindividualisir, yang menjadi sebab meninggalnya si B adalah tenggelam.
            Walaupun teori ini lebih baik dari teori sebelumnya, namun terdapat juga kelemahannya berhubung ada dua kesulitan yaitu :
1.      Dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat.
2.      Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.


III.   KESIMPULAN
1.      Teori Conditio Sine Qua Non mengemukakan bahwa musabab adalah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini juga disebut teori ekuivalen, karena menurut teori ini, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (Equivalent) terhadap timbulnya suatu akibat.
2.      Teori Generalisasi dikemukakan oleh Von Kries. Menurut Kries, musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.
3.      Teori Individualisasi ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkrit (post factum).

IV.   DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Effendi, Erdianto. 2011. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama
Farid, A. Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika
Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta
Saifullah. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. Malang: UIN Malang


CONTOH KASUS:

Kronologis Pembunuhan Sadis Holy Angela di Kalibata City
Pembunuhan terhadap Holly Angela Ayu Winanti (37) di unit 09AT tower Ebony Apartemen Kalibata City, Jaksel, Senin 30 September lalu, direncanakan dengan matang oleh para pelaku. Para eksekutor yang berjumlah empat orang ini dipimpin oleh S. Dari empat orang itu dua di antaranya sudah tertangkap yakni S dan AL yang ditangkap di Karawang dan Depok. Sementara satu orang lainnya yang tidak disebutkan identitasnya, masih buron. Elriski yang tewas dari lantai 6 itu, dia juga eksekutornya.
Polisi kini juga tengah mengincar sosok lain yang diduga terlibat dalam pembunuhan ini. Salah satu tersangka, S, mengaku pernah beberapa kali menjadi sopir seorang pria berinisial G yang diduga salah satu auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berangkat dari kesaksian S, polisi pun melayangkan surat panggilan pemeriksaan untuk G yang juga diduga sebagai suami siri Holly.
Gatot Supiartono resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Holly Angela Ayu (37) di Apartemen Kalibata City. Gatot dijerat dua pasal tentang pembunuhan dengan ancaman hukumat mati. Gatot dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana jo Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 55 KUHP tentang ikut serta. Auditor utama BPK itu kini ditahan di Mapolda Metro Jaya.
Motifnya pun terungkap. Holly diketahui kerap menuntut dan meminta sesuatu pada Gatot. Bahkan, Holly juga sering menuntut Gatot agar menceraikan istri sahnya.
Perencanaan
Pembunuhan sadis itu sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Pada Agustus 2013, mereka menyewa satu unit di lantai 06BE tower Ebony Apartemen Kalibata City, untuk mengintai aktivitas Holly. Di kamar tersebut, para pelaku sudah mempersiapkan peti khusus untuk mengangkut jasar Holly. Peti berupa hardcase untuk peralatan musik itu berukuran 100x50x50 cm, warna hitam.
Para komplotan pembunuh Holly Angela menyamar sebagai musisi. Mereka sengaja menyewa kamar di lantai 6 apartemen itu untuk mengintai sang korban hingga hari eksekusi tiba. Dengan berpura-pura sebagai musisi, El Riski Yudhistiran (tewas), L, S dan R (DPO/buron), bisa leluasa memindahkan kotak gitar yang akan digunakan untuk menyimpan jenazah Holly. Peti berukuran 100x50x50 cm berisi jenazah itu rencananya bakal dibuang ke laut. “Kotak itu untuk membuang jasad korban ke laut,”
Kelompok penjahat itu menyiapkan dua buah gitar listrik. Gitar ini sedianya disiapkan sebagai kamuflase untuk menutupi mayat Holly di dalam hardcase itu nantinya disimpan di atas mayat Holly. Mereka juga menyiapkan kopi bubuk, tali tambang dan plastik.
Keempatnya juga telah menyiapkan bubuk kopi seberat 1.750 gram untuk ditaburkan ke jasad Holly agar bau busuk mayat tak tercium. Holly yang ditemukan dalam kondisi kritis di Kamar E 09 AT Tower Ebony, Kalibata City, sempat dibawa ke rumah sakit pada 30 September yang lalu. Namun sayang, nyawanya tidak tertolong.
Para pelaku masuk kamar Holy menggunakan kunci palsu yang telah dipersiapkan. Masih belum diketahui bagaimana kunci palsu tersebut dapat dibuat. Saat menunggu beberapa lama kemudian Holy masuk dan dilakukan penyekapan dan pembunuhan tersebut.
Holly dibunuh oleh dua eksekutor, Elriski Yudhistira dan Rusky. Wanita berusia 37 tahun itu dipukul menggunakan besi sepanjang 50 cm. Holly tewas di lokasi. Sementara Elriski yang berusaha kabur, terjatuh dari lantai 9 hingga tewas. Rusky bisa kabur dan saat ini masih buron.
Tapi saat dilakukan pembunuhan ternyata Holy sedang menelpon. Saat terjadi pergumulan HPNya terlepas tetapi madih aktif. Saudaranya yang melakukan komunikasi telepon tersebut curiga dan mendengar suara-suara yang janggal dan mencurigakan. Langsung saja dia menghubungi satpam apartemen, Dengan sigap satpam apartemen mendobrak pintu kamar Holly. Mendengar dobrakan pintu tersebut para pelaku terbirit-birit melarikan diri. Saat melarikan diri satu pelaku terjatuh pelaku lainnya berhasil keluar ke kamar bawah apartemen Holly. Setelah berdiam diri menunggu suasana aman dalam beberapa jam akhirnya dia keluar dari persembunyiannya.

Analisis:

       Teori Conditio Sine Qua Non menyatakan bahwa tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap sebagai causa (sebab). Dari kasus di atas menurut teori ajaran Von Buri ini yang menjadi sebab kematian Holly Angel adalah G (auditor BPK), El Riski Yudhistiran (tewas), L, S dan R (buron), selain itu karena teori ini menganggap bahwa semua syarat adalah sebab maka pemilik hotel, recepcionist hotel, pembuat hardcase untuk peralatan musik dan si pembuat kunci ganda dan besi juga menjadi sebab.
       Teori Generalisasi memandang sebab sebagai faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Pemukulan dengan besi oleh pelaku (Elriski Yudhistira dan Rusky) disebut sebagai sebab karena diketahui dan disadari oleh si pembuat yang akan menimbulkan akibat. Selain itu, Gatot sebagai otak dibalik peristiwa ini juga sebagai sebab karena dia ikut menyebabkan meninggalnya Holly. Pelaku memang sudah berencana membunuh Holly jadi secara pasti mereka mengetahui apa akibat yang mereka lakukan (berdasarkan teori adequat subjektif).
       Teori Individualisasi memandang antara peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret, faktor penyebab hanya berupa faktor yang paling dominan terhadap timbulnya suatu akibat. Berdasarkan teori ini hanya pemukulan yang dilakukan Elriski Yudhistira dan Rusky yang menjadi penyebab karena mereka bertindak secara konkrit terhadap pembunuhan Holly.







[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 214
[2] Saifullah, Konsep Dasar Hukum Pidana, Buku Ajar (Malang: UIN Malang, 2004), h. 17
[3] Saifullah, Konsep Dasar, h. 17
[4] Saifullah, Konsep Dasar, h. 17
[5] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h. 96
[6] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.211
[7]Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, h.210
[8] Saifullah, Konsep Dasar, h. 18
[9] Adami Chazawi, Pelajaran Pidana 2, h. 223
[10] Adami Chazawi, Pelajaran Pidana 2, h. 224
[11] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h.111
[12] Adami Chazawi, Pelajaran Pidana 2, h. 220-221
[13] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), h. 206
[14] Saifullah, Konsep Dasar, h. 19
Read More

MAKALAH ASAS-ASAS DALAM RUANG LINGKUP BERLAKUNYA PERATURAN PIDANA BAGIAN KE-2

Desember 12, 2015 0






A.  Asas-asas dalam ruang lingkup berlakunya peraturan pidana
Asas berlakunya undang-undang hukum pidana berdasarkan tempat dapat dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas universal.

Menurut pompe yang mendasarkan sifat hukum pidana adalah melindungi, maka asas perlindungan menjadi sumber dari semua asas-asas, oleh karena itu keempat asas itu dapat dipersatukan menjadi satu asas perlindungan untuk kepentingan dan kewibawaan dari setiap subjek hukum yang harus dilindungi.[3]
1.      Asas teritorial
Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.
Prinsip ini menganggap bahwa hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. [4]Hal ini ditagaskan dalam pasal 2 KUHP bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Negara Indonesia. Dengan demikian orang asing yang berda dalam wilayah Indonesia takluk pada hukum pidana di Indonesia.
Berlakunya hukum pidana berdasarkan wilayah dibatasi oleh hukum internasional. Hal ini tercantum pada pasal 9 KUHP: berlakunya pasal 2, 3, 4, 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional.[5]
Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.
Prinsip teritorial dalam pasal 3 KUHP diperluas sampai kapal-kapal Indonesia, meskipun berada diluar wilayah Indonesia. Dengan demikian siapa saja baik itu orang asing dalam kapal laut Indonesia meskipun sedang berada atau sedang berlayar dalam wilayah Negara lain, takluk pada hukum pidana Indonesia. Jadi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau diatas suatu kapal Indonesia, meskipun dalam laut wilayah Negara lain, misalnya sedang berlabuh dalam suatu pelabuhan negara asing dapat dituntut oleh jaksa dan dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Hal ini juga tidak mengurangi kemungkinan bahwa menurut peraturan hukum Negara asing tersebut, seseorang yang melakukan tindak pidana tadi dapat pula dihukum oleh pengadilan dari Negara asing itu. apabila hal tersebut terjadi maka pelanggar hukum pidana tadi tidak akan diadili oleh hukum pidana di Indonesia sebab berdasrkan asas ne bis in idem ( pasal 76 ayat 2 KUHP ). Hal ini dapat diterima sebab dalam perturan pasal 2 KUHP apabila seseorang asing didalam kapal asing dalam suatu pelabuhan Indonesia, malakukan tindak pidana, maka orang itu juga dapat dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia.
2.      Asas personal ( nasional aktif )
Terkandung dalam pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah yaitu:
a.       Pada ayat 1 ke-1 menentukan beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak diharapkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana negara asing, oleh karena pembuat deliknya adalah warga negara Indonesia yang berada diluar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
b.      Ayat 1 ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa 1)perbuatan-perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan itu terjadi. Dua syarat itu harus terpenuhi, sebab apabila menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, maka KUHP tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (diluar golongan pertama).
Jadi semua kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga negara Indonesia diluar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama sekali. Atau dapat pula dikatakan bahwa ketentuan pasal 5 ayat 1 ke-1 mempunyai tujuan khusus, sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 mempunyai tujuan umum bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain. Teoritis akan timbul persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan kejahatn didaerah tak bertuan (laut bebas) didalam kapal asing atau kapal terbang, jawabannya akan terpecah seperti halnya mengenai pasal 3 dikaitkan dengan pasal 5 KYHP.
c.       Pada ayat 2 untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang asing diluar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasimenjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan pasal 5 ayat 1 ke-2 masih bisa dilaksanakan.
     Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Pidana Indonesia mengikuti warganegaranya dimanapun ia berada. Inti asas tercantum dalam pasal 5 KUHP : ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia. Pasal 5 ayat 1 ke 1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan orang Indonesia di Luar Negeri, maka berlakulah hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu tercantum dalam Bab I dan II buku kedua KUHP.
Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang nasional atau warga Negara.
Golongan kesatu dari kejahatan-kejahatan ini adalah :
1.       Dari titel 1 dan 2 buku II KUHP yang meliputi kejahatan-kejahatan terhadap keamanan Negara, seperti pemberontakan, makar, usaha membunuh kepala Negara, dan terhadap kedudukan kepala Negara seperti menghina kepala Negara, menyerang kepala Negara secara fisik.
2.       Dari pasal 160 dan 161KUHP yang berupa penghasutan untuk melakukan tindak pidana.
3.       Dari pasal 240 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban dalam bidang pertahanan kejahatan
4.      Dari pasal 279 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban melebihi jumlah yang diperbolehkan.
5.        Dari pasal 450-451 KUHP yang berupa turut serta, tanpa izin pemerintah Indonesia, dalam kapal dinas Negara asing yang melakukan pengambilan kapal-kapal lain.
Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi Negara Indonesia. Tetapi apabila tidak termuat dalam hukum pidana Negara asing, sehingga pelakunya tidak akan dihukum apabila kejahatan tersebut dilakukan di Negara asing tersebut. [6]Namun apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia, orang tersebut dianggap pantas untuk dihukum juga meskipun kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara asing.
Lain halnya dengan golongan kejahatan yang tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua. Kejahatan-kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana Negara asing apabila dilakukan di Negara asing tersebut. Apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia dan orang tersebut ingin mendapatkan perlindungan hukum diwilayah Negara Indonesia, kemungkinan besar orang tersebut oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kapada pemerintah Negara asing yang bersangkutan. Dengan demikilan orang tersebut akan bebas dari hukuman pidana. Hal ini dianggap tidak layak sehingga harus dibuka kemungkinan bahwa orang itu akan dihukum oleh pengadilan negeri Indonesia. Penentuan ini juga berlaku juga apabila seseorang pelaku kejahatan itu baru kemudian menjadi warga Negara Indonesia.
Akan tetapi terdapat sedikit pembatasan yang termuat dalam pasal 6 KUHP yang menentukan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan menurut hukum pidana negra asing yang bersangkutan tidak diancam dengan pidana mati.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Jika dalam asas teritorial yang dilindungi adalah siapa pun dalam wilayah Indonesia, dalam asas personalitas ini yang dilindungi adalah warga negara di mana pun ia berada. Namun perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan atas warga negara atas ancaman kejahatan, akan tetapi perlindungan dalam bentuk pemberlakuan hukum pidana Indonesia bagi si warga negara.[7]
Di dalam praktik, penggunaan asas personalitas ini tidak semudah yang dibayangkan. Warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri sukar untuk dikembalikan ke dalam negeri karena salah satu sebabnya ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tersebut. Asas ini tidak mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada diwilayah negara lain yang berkedudukan gecoordinerd, artinya yang sama-sama berdaulat karena bertentangan dengan kedaulatan negara, apabila ada orang asing didalam wilayahnya tidak diadili menurut hukum negara itu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara asas teritorial dengan asas personalitas. Jika asas teritorial menyatakan batas berlakunya hukum pidana bagi wilayah negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan pelaku, maka asas personalitas dapat diartikan bahwa keberlakuan hukum pidana Indonesia mengikuti keberadaan warga negara Indonesia kemana pun ia berada. Oleh karena itu, asas personalitas disebut juga dengan asas nasional aktif. Demikianlah, setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di mana pun berada, ia berhak diadili menurut hukum pidana Indonesia hal mana dikenal dengan asas nasional aktif.[8]



3.      Asas nasional pasif ( asas perlindungan )
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara.
Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dihukum di pengadilan Indonesia. [9]
Hal diatas dapat terlaksanan apabila pelaku dibawa di wilayah Indonesia. Prinsip nasional pasif ini termuat dalam pasal 4 ke 1, 2, dan 3 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang diluar wilayah Indonesia telah melakukan :
Ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-108, 110, 111, bis sub 1, 127, 130-133
Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai segel atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
Ke-3 : suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang ( scheldbrieven ) atas beban Indonesia atau daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam tanda-tanda deviden atau bunga dari surat-surat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat-surat yang dipalsukan itu.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut. 
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
a.    Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
b.    Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
c.    Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
d.   Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
Hanya ada sedikit kejahatan yang dikenakan Prinsip nasional pasif ini, yang terberat saja dari titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang Indonesia, pemalsuan segel dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat hutang atas beban Indonesia atau daerahnya.
4.    Asas universal
Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Hukum pidana ini berlaku umum, melampaui negara yang bersangkutan. Perlindungan disini untuk kepentingan dunia. Jadi tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata hukum sedunia, demikian menurut V. Hattum. Asas ini dianut dalam Undang-undang Pidana kita, seperti yang terdapat antara lain dalam pasal 438 dan 444 KUHP yang mengancam dengan hukuman terhadap siapa saja yang telah bersalah melakukan pembajakan laut dengan segala akibat yang mungkin timbul dengan kegiatan tersebut.
Berlakunya pasal 2-5 dan pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4   ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Asas ini terdapat pada pasal 4 ayat 2 dan 4 KUHP sejauh kepentingan negara-negara lain yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan pidana tersebut. Pasal tersebut semula dibentuk hanya untuk melindungi mata uang dan uang kertas yang telah dikeluarkan oleh bank sirkulasi. Namun sejak tahun 1932 tidak hanya mata uang saja yang harus dilindungi. Tetapi juga hal-hal lain yang menyebabkan adanya tindak pidana berskala internasional.
Dalam pasal 4 sub 4 KUHP yang menentukan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang diluar wilayah Indonesia melakukan kejahatan-kejahatan, termaut dalam pasal-pasal 438, 444-446 sepanjang mengenai pembajakan laut, dan pasal 447 mengenai membawa suatu kapal ke bawah kekuasaan bajak laut.
Dewasa ini makin banyak perjanjian antara Indonesia dengan negara asing untuk menumpas suatu tindak pidana yang dalam sistem hukum negara lain juga dianggap sebagai tindak pidana, apalagi tindak pidana tersebut memiliki karakteristik yang transnasional, umpamanya kejahatan narkotika, psikotropika, perdagangan orang, perompakan di laut dan lain sebagainya.
Dewasa ini pula, asas universal banyak diterapkan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Seluruh dunia merasa berkepentingan dengan aksi-aksi terorisme, karenanya sebagian besar negara sepakat bahwa terorisme adalah kejahatan universal yang dengan demikian menjadi universal pula kewenangan untuk menangani dan mengadilinya.





B.  Asas be bis in idem
Dalam pasal 76 KUHP terdapat prinsip penting yaitu bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.[10]
Dasar pikiran atau ratio dari asas ini ialah :
a.    Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara)
b.    Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.
Penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.                   Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap
                           Keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap disini adalah keputusan hakim yang dapat berupa :
1)        Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
2)        Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP
3)        Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :          
1.         Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan
2.         Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan
3.         Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Jadi Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
b.    Orang terhadap siapun putusan itu dijatuhkan adalah sama
c.    Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Melihat pada asas tersebut (Ne Bis In Idem), terdakwa yang melakukan kejahatan tersebut tidak dihukum lagi di Indoneisa. Dan ayat kedua terhadap putusan asing: kalau putusan yang satu telah menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka penuntutan tidak dapat dilakukan dan diadakan terhadap orang itu karena perbuatan yang sama.[11]
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.
Prinsip ini tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum karena telah melakukan tindak pidana, tidak boleh dituntut kembali atas perbuatan yang sama, walaupun dalam perkara pertama tersebut dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan ( ontslag van rechtsvervolging ), maka atas perbuatan yang sama tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan kembali.
Jadi apabila pembebasan atas perkara tersebut disebabkan oleh suatu kekeliruan dalam penuntutannya, maka hal tersebut juga tidak dapat dituntut kembali walaupun dengan maksud ingin memperbaiki kekeliruan tersebut. Karena Adanya prinsip ini adalah untuk kepentingan para anggota masyarakat akan adanya suatu kepastian dan ketentraman dalam hidupnya.














BAB III
PEMBAHASAN
A.    Kasus
Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil membekuk seorang perempuan yang disebut sebagai ratu kurir narkoba, berinisial RW alias K, alias V di Perumahan Griya Nusantara Cibubur City Blok C nomor 11, Jakarta Timur, pada Kamis (27/6/2013).
V merupakan operator kurir penyelundupan narkoba ke Indonesia atau negara lainnya. Bersama sang suami yang saat ini masih dalam pengejaran petugas, V memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan warga Nigeria. Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Irjen Pol Benny Mamoto, mengatakan berdasar hasil penyelidikan V bersama suaminya yang berkewarganegaraan Nigeria memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan Warga Negara Nigeria di beberapa negara, seperti Indonesia, India, Filipina, Singapura, dan Malaysia.
Tugas V sebagai perekrut, sementara sang suami merupakan salah seorang pengendali jaringan narkoba yang selalu berhubungan dengan jaringan narkoba lainnya asal Nigeria yang beroperasi di negara-negara tersebut."Keduanya ini sangat berpengaruh. Suaminya mengendalikan jaringan Nigeria di Malay, India, Indonesia dan negara lainnya yang selalu saling berhubungan. Barang-barang diselundupkan dari dan untuk negara yang membutuhkan. Tersangka V sendiri berperan sebagai operator kurir," kata Benny dalam konferensi pers di Lapangan Parkir BNN, Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Senin (1/7/2013) kemarin.[12]
Sidang Tuntutan WNA Narkoba Terdakwa warga negara asing (WNA) asal Inggris, Andrea Ruth Waldeck (kanan) mengikuti sidang dengan agenda tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jatim, Senin (16/12). Dalam sidang tersebut jaksa penuntut umum memberikan tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara denda Rp 2 milyar subsider enam bulan.[13]
Gugurnya Hak Menuntut (Dasar Penghapus Pidana) “Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 944/K/Pid/2006 a.n Terpidana Anastasia Kusmiati yang Didakwa dengan Kasus yang Sama pada Perkara 244/Pid .B/2009 /PN.Kbm” Riswan Suci Santo Puji Nisa Anastasia Kusmiati Pranoto diduga mengeluarkan surat utang (promissory note) palsu Rp 74 miliar di Bank Lippo Cabang Kebumen. Dia disangkakan telah menerbitkan surat utang palsu yang seolah-olah dari kantor pusat Bank Lippo. Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 122/Pid.B/2005/PN.Kbm. tanggal 31 Oktober 2005: Pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan. Banding, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang mengeluarkan putusan Nomor : 265/Pid/2005/PT.Smg. tanggal 17 Januari 2006, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Kebumen. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 100.000.000,- subsidair 4 (empat) bulan kurungan. 2005 Kasasi, MA mengeluarkan putusan dengan Nomor 944 K/Pid/2006 yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENCUCIAN UANG” dan dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan Menghukum Terdakwa dengan hukuman denda sebesar Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). KESIMPULAN Ne Bis in Idem adalah salah satu dasar penghapus pidana. Dalam kasus di atas, perkara yang kedua gugur karena adanya asas Ne Bis in Idem Analisa Kasus 1. Ne Bis in Idem 2. Dasar Hukum Pasal 76 KUHP 3. Telaah Kasus Perbuatannya sama Putusan (inkracht van gewijsde) Orangnya sama Pada tahun 2010 Jaksa Penuntut Umum mengajukan perkara 2644 /Pid.Sus/2010 dengan Terdakwa Anastasia Kusmiati (terdakwa yang telah menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan Negeri yang telah diperkuat oleh putusan kasasi No. 944 K/Pid/2006), dengan dakwaan alternatif Kejahatan Perbankan dan Pemalsuan Surat. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 25 Februari 2010 nomor :244/Pid .B/2009 /PN.Kbm adalah mengabulkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Banding, putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.185/Pid /2010 / PT.Smg. tanggal 20 Agustus 2010. Pengadilan menerima permintaan banding dari penasihat hukum Berlin Pandiangan & Rekan untuk dan atas nama terdakwa Dra. Anastasia Kusmiati Pranoto alias Mei Hwa, bahwa perkara tersebut gugur demi hukum karena ne bis in idem. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, di tingkat kasasi dalam perkara No. 2644 K/Pid.Sus/2010, Mahkamah Agung justru memperkuat putusan banding yang menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah benar ne bis in idem” 2010[14]
B.     Analisis Kasus
Dari kasus di atas terdakwa kasus tindak pidana narkoba bernama Andrea Ruth Waldeck berkewarganegaraan Inggris. Namun, dilihat dari perjalanan kasus di atas asas yang cocok dengan kasus tersebut adalah asas teritorial dimana Andrea sudah dijatuhi tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara dan denda 2 milyar subsider enam bulan. Asas teritorial sendiri adalah bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.






















BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Asas berlakunya undang-undang hukum pidana berdasarkan tempat dapat dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas universal.
Asas territorial menjelaskan Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.
Asas nasional aktif menjelaskna bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Asas Nasional Pasif yakni Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dihukum di pengadilan Indonesia.
Asas Universal menjelaskan bahwa Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Asas Nebis in Idem menyatakan bahwa bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.
B.     SARAN
Demikian makalah ini penulis susun, namun masih terdapat beberapa kekuarangan dalam penulisan makalah ini karena adanya keterbatasan referensi dari penulis. Untuk itu diharapkan bagi penulis selanjutnya agar dapat mengkaji pembahasan yang sama dengan lebih baik legi dengan menambah beberapa referensi buku sehingga informasi yang diberikan akan lebih baik dan lengkap.







[1] Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta : Rineka Cipta,2009 ), hal.1
[2]Andi Hmzah,Asas-Asas Hukum Pidana,( cet. IV, Jakarta : Rieneka Cipta, 2010), hal. 5
[3]  (W.P.J. Pompe 1959: 507-508).
[4] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, ( Bandung : PT Refika Aditama, 2008 ),51
[5] Saifullah, Konsep Dasar Hukum Pidana.

[6] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia,53-54
[7] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, PT. Refika Aditama, 2011), 81.
[8] Ibid, 82.
[9] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, 56
[10] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, 159-160
[11] Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007), hlm. 86.
[12] http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/07/02/ratu-kurir-narkoba-diduga-sindikat-nigeria 18/12/2014 10:10
[13] http://www.antaranews.com/foto/57538/sidang-tuntutan-wna-narkoba18/12/2014
[14] http://prezi.com/ejd_r-yseugm/contoh-kasus-ne-bis-in-idem/
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot