A.
Teori Conditio
Sine Quanon
Teori Conditio Sine Quanon (teori syarat mutlak) dikemukakan oleh Von Buri Presiden Reichsgericht Jerman. Buri mengemukakan, musabab adalah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat.[4] Teori ini juga disebut teori ekuivalen, karena menurut teori ini, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (Equivalent) terhadap timbulnya suatu akibat. Penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi. Kalau satu saja faktor tersebut dihilangkan, maka akibatnya mungkin akibatnya tak ada atau lain dari yang terjadi. Selain itu teori ini juga disebut dengan bedingungstheorie karena dalam ajran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dan mana faktor penyebab (causa). Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
A
berniat membunuh B dengan menembakkan peluru di bagian dada. Ternyata tembakan
tersebut tidak membunuh B, namun A melarikan diri karena panik. Dalam
perjalanannya ke rumah sakit, B berjumpa dengan C yang juga menaruh dendam
kepada B. C memukul B hingga terjatuh ke dalam selokan yang berisi air kotor. C
meninggalkan B. Kemudian B berhasil sampai di Rumah Sakit dan ditangani oleh
dokter D. Karena kurang cermat, D memberikan obat padahal masih terdapat sisa
amunisi dalam lukanya setelah dibersihkan sehingga memperburuk keadaan B.
Setelah beberapa lama kemudian, B meninggal dunia.
Dalam perspektif Conditio Sine Qua Non yang
tidak membedakan antara syarat dan sebab, perbuatan penembakan, pemukulan,
salah diagnosa dan kurang cermat dalam membersihkan luka korban merupakan
serangkaian sebab yang menimbulkan akibat secara bersamaan. Hilangnya salah
satu sebab dari rangkaian tersebut menyebabkan akibat tidak terjadi. Teori ini
tidak melakukan pemilihan atas sebab yang dinilai paling berpengaruh terjadinya
akibat. Konsekuensinya, bukan hanya A, C dan D yang adequat dengan
akibat melainkan juga meliputi (pembuat) peluru dan senapan karena kedua alat
tersebut turut mengakibatkan matinya korban.
Penganut teori Von Buri adalah Van Hammel
yang mengatakan bahwa teori Conditio Sine Qua Non satu-satunya teori logis yang
dapat dipertahankan. Namun, penggunaannya dalam hukum pidana harus disertai oleh teori kesalahan.
Teori ini menyatakan tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu
faktor di antara sekian banyak faktor dalam suatu peristiwa yang menimbulkan
akibat terlarang harus bertanggung jawab atas akibat itu, melainkan apabila
perbuatan dirinya terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan atau kealpaan.
Dalam perkembangan selanjutnya timbul dan
berkembang ajaran tentang hubungan sebab akibat sebagai penyempurnaan dari
teori Conditio Sine Qua Non, yaitu (1) teori Generalisasi, dan
(2) teori Individualisasi.
B.
Teori Generalisasi
Termasuk ke dalam teori ini adalah teori adequate
yang dikemukakan oleh Von Kries. Menurut Kries, musabab dari suatu kejadian
adalah syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian normal, dapat atau
mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.[5]
Teori ini pada pokoknya menjelaskan bahwa teori Von Buri terlalu luas, maka
harus dipilih satu faktor saja yaitu yang menurut pengalaman manusia pada
umumnya dipandang sebagai sebab (causa).[6]
Teori ini mengajarkan bahwa dari rangkaian faktor-faktor yang oleh Van Buri
diterima sebagai causa, maka dicari faktor yang dipandang yang dipandang paling
berpengaruh atas terjadinya akibat yang bersangkutan.[7]
Teori ini berpijak pada fakta sebelum
kejadian (antefaktum). Maksudnya apakah di antara serentetan syarat ini
ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu,
artinya menurut pengalaman hidup biasa atau menurut perhitungan yang layak,
mempunyai kadar (kans) untuk itu.[8]
Untuk menentukan bahwa suatu sebab itu pada
umumnya secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat maka
timbul dua pendirian yaitu:
1)
Pendirian
subjektif ( Teori Adequat Subjectif)
Teori Adequat Subjectif dipelopori oleh J.
Von Kries, yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut
kejadian yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang
timbul, faktor yang diketahui dan disadari oleh si pembuat yang akan
menimbulkan akibat tersebut. Jadi dalam teori ini faktor subjektif atau sikap
batin sebelum si pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya
hubungan kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan
yang akan dilakukan itu adalah adequat untuk menimbulkan akibat yang timbul,
dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.[9]
Contoh: si A
mengetahui bahwa si B mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian
jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memukul si B dengan yang
berakibat pada kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu dikatakan sebagai
sebab.
2)
Pendirian
objektif (Adequat Objectif)
Pada ajaran adequat objektif ini, tidak
memperhatikan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi
pada faktor- faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya
beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-
faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/ sikap
batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana
kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, apakah faktor
tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.[10]
Contoh:
meninggalnya pasien yang diminumkan obat oleh perawat, yang sebelumnya telah
dicampuri racun oleh orang yang ingin membunuh pasien, walaupun tidak diketahui
oleh perawat, perbuatan perawat meminumkan obat yang mengandung racun adalah
adequat terhadap matinya pasien, karena itu ada hubungan kausal dengan akibat
kematian pasien.[11]
C.
Teori
Individualisasi
Teori Individualisasi ialah teori yang
dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya
melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan
kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara
konkrit (post factum).[12]
Teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah
peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih
sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor
lainnya hanya merupakan syarat belaka. Menurut Remelink, teori individualisasi
disebut juga teori pengujian causa proxima. Menurut ajaran ini
dimengerti sebagai sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat
dilepaskan dari akibat (sebab yang dapat dipikirkan lepas atau berjarak dari
akibat disebut causa remota).[13]
Sebab dibatasi dengan satu atau beberapa peristiwa/faktor saja yang dianggap
berpadanan, paling dekat atau seimbang dengan terjadinya akibat. Tidak semua
sebab dapat menimbulkan akibat, hanya sebab yang paling dekat dengan timbulnya
akibat.
Berkemeyer, sebagai penganut teori ini
mengemukakan pendapat sebagai berikut: “Dari serentetan syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbulnya suatu akibat, yang menjadi sebab adalah syarat yang
dalam keadaan tertentu, paling dominan untuk menimbulkan akibat”. Kesulitannya
adalah menentukan syarat yang paling dominan. Menurut Karl Binding, musabab
adalah syarat yang paling menentukan dalam syarat-syarat yang positif untuk
melebihi yang negatif. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi karena
faktor yang menyebabkan timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif)
daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor
sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan
memenangkan faktor positif tadi.
Dalam kaitannya dengan teori
individualisasi ini perlu dikemukakan pandangan Schepper, guru besar hukum
pidan R.H.S dahulu sebagai berikut:
a.
Hubungan kausal
letaknya di lapangan sein (lapangan lahir) bukan lapangan sollen (lapangan
batin).
b.
Musabab adalah
kekuatan yang mengadakan faktor perubahan dalam suasana keseimbangan yang
menjadi pangkal peninjauan dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan
yang memberi arah dalam proses alam, menuju pada akibat yang dilarang.
c.
Meskipun ukuran,
faktor perubahan menuju ke arah akibat tersebut dalam positifnya dan
kepastiannya hanya relatif saja, tetapi secara negatif sudah dapat ditarik
batas yang pasti, yaitu manakala untuk kejadian itu selain dari hubungan yang
kita dapatkan, maka disitulah ternyata bahwa hubungan yang pertama itu tidak
kuat untuk dijadikan dasar dari tindak pidana.[14]
Contoh: si A
memukul si B hingga luka, A melarikan diri, sedangkan B naik taxi menuju rumah
sakit. Si sopir taxi ngebut dan akhirnya jatuh ke sungai yang dalam airnya. B
tenggelam dan meninggal.
Menurut teori
yang mengindividualisir, yang menjadi sebab meninggalnya si B adalah tenggelam.
Walaupun
teori ini lebih baik dari teori sebelumnya, namun terdapat juga kelemahannya
berhubung ada dua kesulitan yaitu :
1.
Dalam hal
kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat.
2.
Dalam hal
apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat
pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.
III. KESIMPULAN
1. Teori
Conditio Sine Qua Non mengemukakan bahwa musabab adalah tiap-tiap syarat yang
tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini juga disebut teori
ekuivalen, karena menurut teori ini, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (Equivalent)
terhadap timbulnya suatu akibat.
2.
Teori
Generalisasi dikemukakan oleh Von Kries. Menurut Kries, musabab dari suatu
kejadian adalah syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian normal,
dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.
3.
Teori Individualisasi
ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu
akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah
perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya
benar-benar terjadi secara konkrit (post factum).
IV. DAFTAR
PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 2:
Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan & Peringanan Pidana, Kejahatan
Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Effendi, Erdianto. 2011. Hukum Pidana Indonesia.
Bandung: PT Refika Aditama
Farid, A. Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana 1.
Jakarta: Sinar Grafika
Moeljatno.
2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta
Saifullah.
2004. Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. Malang: UIN Malang
CONTOH KASUS:
Kronologis
Pembunuhan Sadis Holy Angela di Kalibata City
Pembunuhan
terhadap Holly Angela Ayu Winanti (37) di unit 09AT tower Ebony Apartemen
Kalibata City, Jaksel, Senin 30 September lalu, direncanakan dengan matang oleh
para pelaku. Para eksekutor yang berjumlah empat orang ini dipimpin oleh S.
Dari empat orang itu dua di antaranya sudah tertangkap yakni S dan AL yang
ditangkap di Karawang dan Depok. Sementara satu orang lainnya yang tidak
disebutkan identitasnya, masih buron. Elriski yang tewas dari lantai 6 itu, dia
juga eksekutornya.
Polisi kini juga
tengah mengincar sosok lain yang diduga terlibat dalam pembunuhan ini. Salah
satu tersangka, S, mengaku pernah beberapa kali menjadi sopir seorang pria
berinisial G yang diduga salah satu auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Berangkat dari kesaksian S, polisi pun melayangkan surat panggilan pemeriksaan
untuk G yang juga diduga sebagai suami siri Holly.
Gatot Supiartono
resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Holly Angela Ayu (37)
di Apartemen Kalibata City. Gatot dijerat dua pasal tentang pembunuhan dengan
ancaman hukumat mati. Gatot dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana jo Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 55 KUHP tentang ikut
serta. Auditor utama BPK itu kini ditahan di Mapolda Metro Jaya.
Motifnya pun
terungkap. Holly diketahui kerap menuntut dan meminta sesuatu pada Gatot.
Bahkan, Holly juga sering menuntut Gatot agar menceraikan istri sahnya.
Perencanaan
Pembunuhan sadis
itu sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Pada Agustus 2013, mereka
menyewa satu unit di lantai 06BE tower Ebony Apartemen Kalibata City, untuk
mengintai aktivitas Holly. Di kamar tersebut, para pelaku sudah mempersiapkan
peti khusus untuk mengangkut jasar Holly. Peti berupa hardcase untuk peralatan
musik itu berukuran 100x50x50 cm, warna hitam.
Para komplotan
pembunuh Holly Angela menyamar sebagai musisi. Mereka sengaja menyewa kamar di
lantai 6 apartemen itu untuk mengintai sang korban hingga hari eksekusi tiba.
Dengan berpura-pura sebagai musisi, El Riski Yudhistiran (tewas), L, S dan R
(DPO/buron), bisa leluasa memindahkan kotak gitar yang akan digunakan untuk
menyimpan jenazah Holly. Peti berukuran 100x50x50 cm berisi jenazah itu
rencananya bakal dibuang ke laut. “Kotak itu untuk membuang jasad korban ke
laut,”
Kelompok
penjahat itu menyiapkan dua buah gitar listrik. Gitar ini sedianya disiapkan
sebagai kamuflase untuk menutupi mayat Holly di dalam hardcase itu nantinya
disimpan di atas mayat Holly. Mereka juga menyiapkan kopi bubuk, tali tambang
dan plastik.
Keempatnya juga
telah menyiapkan bubuk kopi seberat 1.750 gram untuk ditaburkan ke jasad Holly
agar bau busuk mayat tak tercium. Holly yang ditemukan dalam kondisi kritis di
Kamar E 09 AT Tower Ebony, Kalibata City, sempat dibawa ke rumah sakit pada 30
September yang lalu. Namun sayang, nyawanya tidak tertolong.
Para pelaku
masuk kamar Holy menggunakan kunci palsu yang telah dipersiapkan. Masih belum
diketahui bagaimana kunci palsu tersebut dapat dibuat. Saat menunggu beberapa
lama kemudian Holy masuk dan dilakukan penyekapan dan pembunuhan tersebut.
Holly dibunuh
oleh dua eksekutor, Elriski Yudhistira dan Rusky. Wanita berusia 37 tahun itu
dipukul menggunakan besi sepanjang 50 cm. Holly tewas di lokasi. Sementara
Elriski yang berusaha kabur, terjatuh dari lantai 9 hingga tewas. Rusky bisa
kabur dan saat ini masih buron.
Tapi
saat dilakukan pembunuhan ternyata Holy sedang menelpon. Saat terjadi
pergumulan HPNya terlepas tetapi madih aktif. Saudaranya yang melakukan
komunikasi telepon tersebut curiga dan mendengar suara-suara yang janggal dan
mencurigakan. Langsung saja dia menghubungi satpam apartemen, Dengan sigap
satpam apartemen mendobrak pintu kamar Holly. Mendengar dobrakan pintu tersebut
para pelaku terbirit-birit melarikan diri. Saat melarikan diri satu pelaku
terjatuh pelaku lainnya berhasil keluar ke kamar bawah apartemen Holly. Setelah
berdiam diri menunggu suasana aman dalam beberapa jam akhirnya dia keluar dari
persembunyiannya.
Analisis:
Teori Conditio Sine Qua Non
menyatakan bahwa tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau
bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan dari
rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap sebagai causa
(sebab). Dari kasus di atas menurut teori ajaran Von Buri ini yang menjadi
sebab kematian Holly Angel adalah G (auditor BPK), El Riski Yudhistiran
(tewas), L, S dan R (buron), selain itu karena teori ini menganggap bahwa semua
syarat adalah sebab maka pemilik hotel, recepcionist hotel, pembuat hardcase
untuk peralatan musik dan si pembuat kunci ganda dan besi juga menjadi sebab.
Teori Generalisasi memandang sebab
sebagai faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada
umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Pemukulan dengan besi oleh pelaku (Elriski
Yudhistira dan Rusky) disebut sebagai sebab karena diketahui dan disadari oleh
si pembuat yang akan menimbulkan akibat. Selain itu, Gatot sebagai otak dibalik
peristiwa ini juga sebagai sebab karena dia ikut menyebabkan meninggalnya
Holly. Pelaku memang sudah berencana membunuh Holly jadi secara pasti mereka
mengetahui apa akibat yang mereka lakukan (berdasarkan teori adequat subjektif).
Teori Individualisasi memandang antara
peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret, faktor penyebab
hanya berupa faktor yang paling dominan terhadap timbulnya suatu akibat.
Berdasarkan teori ini hanya pemukulan yang dilakukan Elriski Yudhistira dan
Rusky yang menjadi penyebab karena mereka bertindak secara konkrit terhadap
pembunuhan Holly.
[1] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 214
[2] Saifullah, Konsep Dasar
Hukum Pidana, Buku Ajar (Malang: UIN Malang, 2004), h. 17
[3] Saifullah, Konsep Dasar,
h. 17
[4] Saifullah, Konsep Dasar,
h. 17
[5] Moeljatno, Asas-asas
Hukum Pidana, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h. 96
[6] Zainal Abidin Farid, Hukum
Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.211
[7]Zainal Abidin Farid,
Hukum Pidana 1, h.210
[8]
Saifullah, Konsep Dasar, h. 18
[9] Adami Chazawi, Pelajaran
Pidana 2, h. 223
[10] Adami Chazawi, Pelajaran
Pidana 2, h. 224
[11] Moeljatno, Asas-asas
Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h.111
[12] Adami Chazawi, Pelajaran
Pidana 2, h. 220-221
[13] Erdianto Effendi, Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), h. 206
[14] Saifullah, Konsep
Dasar, h. 19